WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

126K 16.9K 570

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 17

2.3K 373 2
By felisurya

Selepas Marshall pergi, Jacqueline duduk di tepi ranjang untuk menarik napas sejenak. Sejak sore tadi, semuanya begitu hectic. Tangan Jacqueline menyapu sprei putih yang halus dan wangi pelembut pakaian. Apa Marshall pernah tidur di ranjang ini? It would be weird if she sleeps on the same bed he used to sleep in. Tapi, sewaktu di Singapura juga Jacqueline tidur di ranjang Marshall, kan? Raut wajah Jacqueline berubah tidak nyaman mengingatnya.

Dia beranjak. Jam sudah menunjukkan pukul delapan dan dia masih belum makan. Perutnya mulai terasa perih, namun alih-alih pergi keluar mencari makan atau memesan lewat ojol, Jacqueline malah menanggalkan semua pakaiannya dan membuka koper. Dia menarik keluar baju renang dan kimono. Jacqueline mengenakan keduanya, lalu menyambar kacamata renang dan waterproof MP3 player yang terletak di sebelahnya.

Dia naik ke lantai paling atas, ke rooftop swimming pool di lantai 35. Angin malam ini berhembus cukup kencang. Barangkali itu sebabnya tidak banyak yang sedang berenang di sana, hanya dua-tiga orang saja. Jacqueline menanggalkan kimono dan memasang earbuds di telinganya. Dia memandang berkeliling sejenak, memetakan lajur kolam di hadapannya, sebelum mengenakan kacamata renang.

Dia menenggelamkan diri sepenuhnya ke air jernih berwarna biru yang diterangi cahaya lampu kolam. She's underwater and it sets her free. Jacqueline menekan tombol di telinganya dan mulai menggerakkan kaki. Suara senar gitar yang dipetik dengan nada yang sudah dihafalnya sontak melepas segala kepenatan di dalam kepala.

Saat kepala Jacqueline naik dari permukaan air untuk mengambil napas, dia melihat dua orang lain yang berenang bersamanya meninggalkan kolam. Hanya tinggal dia sendiri sekarang. Senyumnya mengembang tipis sementara dia menyelam lagi. Jacqueline tidak menggerakkan tubuhnya. Dia hanya mengambang di pojok kolam, kemudian perlahan membiarkan dirinya tenggelam sambil mengamati luka-luka di lengannya. Jacqueline tidak pernah memberitahu siapapun soal dirinya dan Alfons, kecuali Marshall. Aneh bukan, bahwa seorang asing seperti Marshall malah menjadi satu-satunya yang tahu rahasia terdalamnya?

Terkadang, lebih mudah berbagi rahasia kepada orang asing yang tidak menghakimi daripada orang terdekat yang kita tidak tahu reaksinya akan seperti apa. Itulah alasan mengapa Jacqueline menahan sendiri semua kesakitannya. Yang utama bukan karena dia takut tidak ada yang percaya dengan sikap kasar Alfons di balik pembawaannya yang manis, tetapi karena Jacqueline takut, sekalipun ada yang percaya, dia akan dihakimi.

"Kok, bisa nggak tahu sih kalau Alfons ternyata kasar? Memangnya nggak ketahuan pas pacaran?" Well, pacaran itu tidak sama dengan hidup bersama. What do you expect dari pertemuan seminggu satu-dua kali yang cuma beberapa jam lamanya?

"Salah sendiri bego, kenapa masih bertahan dan nggak kabur atau cerai aja?" Not that easy. Iya, dia memang bego percaya begitu saja dengan ancaman Alfons. But if your dignity is stripped off to the ground and your fear is ignited into a raging flame, apakah masih bisa berpikir jernih?

"Kenapa nggak minta tolong aja sama orang lain?" Malu. Takut jadi beban. Takut menyeret orang lain ke dalam bahaya. Takut ditolak dan diabaikan. Itu sebabnya, ketika Marshall melaksanakan rencana-rencana sembrononya untuk membantu Jacqueline, sebetulnya dia merasa sangat tersentuh. He's actually the kindest and most caring person she knows now. Kalau sampai Alfons mencelakakan Marshall, Jacqueline akan sangat menyesal dan tidak pernah memaafkannya.

Jacqueline menyembulkan kepalanya ke atas air saat dia sudah kehabisan napas. Dengan tersengal dia melepas kacamata renang dan earbuds di telinganya.

"Udah saya duga, kamu ada di sini."

"Huaaah!" Jacqueline menjerit saat ada suara di belakangnya.

Marshall berdiri dengan satu tangan di dalam saku celana, satu lagi menenteng bungkus makanan yang wanginya merebak ke mana-mana.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Jacqueline heran.

"Lho, kenapa kaget? Ini kan apartemen saya." Marshall menyahut, menyebutkan fakta yang tidak menjawab pertanyaan Jacqueline. "Naik, yuk. Saya bawain kamu makanan."

Mendengar kata 'makanan', barulah Jacqueline sadar perutnya terasa perih. Aroma makanan yang dibawa Marshall sungguh menggugah selera. Dia bergantian menatap bungkus makanan itu dan air kolam.

"Jangan lihat." Jacqueline menggumam.

"Kenapa? Toh, saya juga udah lihat semua luka di tubuhmu waktu itu."

Tetap saja, Jacqueline merasa malu. Marshall mengembuskan napas. Dia membalikkan badan dan mengambilkan kimono Jacqueline di salah satu kursi.

"Ini. Saya nggak lihat." Marshall memalingkan wajah sementara tangannya terulur.

Jacqueline cepat-cepat naik dan menyambar kimono itu. Dia mengenakannya rapat-rapat dan mengikat talinya dengan kencang.

"Udah?" tanya Marshall, masih memalingkan wajah.

"Udah." Jacqueline membalas pelan.

"Maaf, kalau waktu itu saya sembarangan buka kemeja kamu." Marshall menggumam. "Saya pernah masuk angin karena tidur dengan baju yang basah kena muntah, jadi saya pikir—"

"It's okay." Jacqueline tersenyum tipis. "Saya percaya. Sekarang saya percaya kamu bukan orang kayak gitu."

Marshall mengangguk canggung. Dia menuding kursi kosong. "Yuk, kita makan di sana."

Mereka berdua membuka kotak makanan di pangkuan masing-masing. Bakmi ayam.

"Suka nggak?" Marshall mulai makan.

"Memangnya ada orang yang nggak suka Bakmi GM?" Jacqueline membalas. Walau ekspresi wajahnya datar, dalam hati dia luar biasa gembira. Tahu dari mana Marshall bahwa ini adalah kesukaannya?

Marshall cuma tersenyum. Dia membuka kotak pangsit goreng yang membuat senyum Jacqueline kali ini sungguhan merekah.

"Saya tahu dari Kana," celetuk Marshall, menjawab rasa penasaran Jacqueline. "Dia bilang ini makanan favorit kamu."

"Terima kasih."

Mereka makan dalam hening. Jacqueline melirik Marshall yang makan dengan lahap dan pertanyaan itu kembali terlintas di kepalanya.

"Kenapa kamu mau repot-repot menolong saya sampai seperti ini?" Jacqueline berhenti mengunyah. "Kamu belum jawab tadi."

"Kenapa penting buat kamu untuk tahu alasannya?" Marshall balas bertanya. "I swear, Jacqueline. Saya nggak punya motif apa-apa. Saya tulus nolongin kamu."

"Iya, tapi apa alasannya?"

"You really need to know the reason?"

"Because I know there is definitely a reason."

Kunyahan Marshall melambat. Dia menerawang menatap air kolam yang kini begitu tenang memantulkan cahaya malam.

"Saya kasihan sama kamu, Jacqueline, yang begitu powerful di kantor tapi nggak berdaya di rumah." Marshall menggumam, menatap kotak makanannya yang kini kosong.

Wajah Jacqueline merona merah mendengarnya. Dia menelan ludah. Tiba-tiba Jacqueline merasa seolah ada sesuatu yang membuat napasnya tercekat.

"Sepertinya kamu nggak punya siapa-siapa untuk dijadikan tempat berkeluh kesah, boro-boro dimintai tolong. I just feel really bad when I think about it. Orang yang begitu keras seperti kamu menyimpan masalahmu sendirian, menyembunyikan luka yang kamu punya tanpa ada yang tahu, buat saya rasanya—"

Klap! Jacqueline menutup kotak makanannya yang belum habis. Dia beranjak tanpa aba-aba, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih makanannya, Marshall. Nanti saya habiskan di atas."

"Kamu nggak mau selesaiin makan dulu di sini?"

Jacqueline menggeleng. "Nanti aja. Saya mau naik, udah kedinginan."

"Oke." Marshall membereskan sisa makanan mereka. "Nanti saya panaskan lagi saat kamu mandi."

"It's fine." Jacqueline masih tersenyum. "Saya bisa sendiri. Saya mau istirahat sendiri dulu, boleh?"

Marshall menatap Jacqueline dengan bingung sambil mengangguk pelan. Jacqueline tidak pernah tersenyum selebar ini sebelumnya. Something must have gone wrong. Justru, ketika Jacqueline yang dingin itu tiba-tiba mengumbar senyum, berarti ada sesuatu yang salah. Tapi, apa? Mereka baru saja makan sambil mengobrol santai, menikmati suasana hening di tepi kolam, apa yang membuat mood-nya tiba-tiba berubah?

"Udah malam. Sebaiknya kamu juga pulang," kata Jacqueline. "Besok kita harus kerja, kan?"

"Yeah."

"Sekali lagi, thank you, Marshall."

Jacqueline berlalu sambil membawa sisa makanannya pergi. Dia bahkan tidak menunggu Marshall lagi. Jacqueline menekan tombol elevator dengan tidak sabar. Cepat-cepat dia masuk elevator datang, menekan tombol lantai 32. Sambil menggigit bibir, Jacqueline membuka kunci pintu utama unit apartemen Marshall. Setibanya di dalam, dia segera menutupnya rapat. Dia bersandar pada pintu sejenak, menyeka matanya. Saya kasihan sama kamu, Jacqueline, yang begitu powerful di kantor tapi nggak berdaya di rumah. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya. Jacqueline menyeka matanya sekali lagi. Kasihan.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 28.2K 28
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
157K 8.6K 13
Who would choose a daisy in a field of roses? And who's worth enough to be hold in your arms? Tatsuya Maruyama, seorang pengacara terbaik di Liz La...
95.6K 5.8K 33
-SELESAI- Cerita tidak di private! 👊 "Kamu hantu?" "Bukan." "Terus kenapa nangis sendirian malam-malam?" "Karena aku sedih." "Kalau gitu, aku mau...
415K 43.6K 28
Ketika yang sudah pergi kemudian datang kembali. Apakah ini adalah kesempatan kedua? Atau ini hanya permainan semesta yang ingin mengikatkannya tenta...