WASTED LOVE (Completed)

By felisurya

128K 17.1K 571

[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Cold ass Jacqueline, direktur paling muda di Wardhana Group, harus terusik oleh k... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Epilog

Bab 15

2.5K 389 21
By felisurya

Mampus. Mampus. Mampus! Hanya ada kata 'mampus' yang menggaung-gaung di kepala Jacqueline saat ini. Kata 'mampus' itu tersebut setiap kali dia menarik dan mengembuskan napas, dengan tempo jantungnya yang berdetak begitu cepat.

Pukul enam sore tadi, Jacqueline menepati janjinya untuk ikut Marshall. Marshall sudah duduk di kursi kemudi mobilnya dengan kedua tangan menggenggam setir. Ini pertama kalinya Jacqueline berada di mobil Marshall yang dibelinya dengan dana mobil dinas kantor yang luar biasa over budget. Di luar dugaan Jacqueline, mobil Marshall sangat rapi dan semua komponennya masih orisinal.

Tidak ada modifikasi sama sekali. Tidak ada musik jedag-jedug yang memekakkan telinga dan mendistorsi otak. Jika dia tidak tahu ini adalah mobil Marshall, Jacqueline akan mengira ini adalah mobil seorang eksekutif muda yang cerdas dan berwibawa, bukan mobil putra mahkota perusahaan konglomerat yang otaknya tertinggal di warung nasi Padang dan cacat wibawa sejak lahir.

"Bapak nggak akan nyulik saya, kan?" Jacqueline masih bertanya dengan curiga, menatap Marshall dengan skeptis sebelum menutup pintu mobil.

"Jacques, ini Sudirman. Saya mau nyulik kamu, mau diumpetin di mana? Di kolong Dukuh Atas?" Marshall memutar bola matanya. "Buruan, tutup pintunya. Kita dikejar waktu, semua timing harus presisi."

Jacqueline tidak mengerti apa yang dimaksud Marshall, mengapa dia sok-sokan meracau seperti seorang agen rahasia yang sedang menjalankan misi? Namun, Jacqueline menuruti permintaan Marshall. Dia baru tahu jawabannya dua puluh menit kemudian, saat mobil Marshall masuk ke gedung perkantoran lain, La Place, dan dengan tergesa membiarkan petugas valet mengambil alih.

Jantung Jacqueline mencelus saat mereka melewati security check point di lobi dan dia melihat sosok yang baru saja keluar dari elevator. Jacqueline bisa mendengar Marshall menggumam pada dirinya sendiri, "Just in time". Kemudian Marshall melangkah, tidak menoleh untuk memeriksa apakah Jacqueline mengekornya atau tidak. Pandangan matanya lurus, tajam ke arah satu titik... Alfons.

"P-Pak Marshall mau ngapain?" Jacqueline berbisik, namun tentu saja Marshall tidak mendengar.

Langkah Marshall baru berhenti di depan sosok Alfons dan rekan-rekan kerjanya. Darah Jacqueline berdesir. Tiba-tiba saja tubuhnya gemetar. Dia ingin kabur sejauh-jauhnya, tetapi kakinya terpaku.

"Hei." Marshall mencegat Alfons. "Kamu Alfonsus Subrata?"

Dua lelaki berbadan tegap saling membusungkan dada di hadapan satu sama lain. Kalau ini drama Korea, semua penonton perempuan sudah histeris ingin menjadi Jacqueline. Tapi, percayalah, saat itu Jacqueline hanya ingin menghilang saja dari muka bumi.

"Kamu siapa?" Alfons mengernyit, nampak tidak senang dengan sapaan Marshall yang dingin tanpa basa-basi.

"Saya asumsi, mereka rekan-rekan kerjamu?" Marshall memandang berkeliling. Mendengar diri mereka disebut, rekan-rekan Alfons turut menghentikan langkah dan menyimak Marshall.

"Kamu siapa? Ada apa?" Alfons masih mencecar Marshall dengan pertanyaan yang sama.

"Apa kalian tahu perilaku orang ini di luar kantor?" Marshall mengalikan pandangan kepada rekan-rekan kerja Alfons. "Dia suka menganiaya istrinya, Jacqueline. Saya lihat sendiri tubuhnya penuh luka, wajahnya ketakutan, semua karena perbuatan laki-laki bejat yang merupakan rekan kerja kalian ini."

Alfons terperanjat mendengarnya. Kedua matanya melotot. Bukan hanya dia yang kaget dengan ucapan Marshall, tetapi juga rekan-rekan kerjanya. Melihat reaksi mereka yang sesuai harapan, Marshall semakin mendapat angin.

"Siapa kamu?" Alfons mendesis. "Mau apa kamu ke sini?"

"Kamu mau tahu siapa saya?" Marshall melempar senyum yang mencemooh. "Saya Marshall, pacar Jacqueline. Saya ke sini untuk menegaskan ke kamu, jangan pernah macam-macam lagi sama Jacqueline kalau kamu nggak mau cari mati."

WHAT THE FUCK?! Jacqueline nyaris pingsan mendengar ucapan Marshall. Pacarnya?! Marshall baru saja mengaku bahwa dia adalah pacarnya??! Pacar dari dunia dimensi yang mana?! Dimensi halusinasi tingkat tinggi yang cuma ada di otaknya?!

"Pacar?" Alfons menaikkan sebelah alisnya. Dia pun heran dengan ucapan Marshall.

"Iya. Kamu nggak salah dengar." Marshall mengulum senyum. "Kalau kamu nggak bisa menyimpan berlian berharga dengan baik, berlian itu akan dicuri orang, yang lebih tahu nilainya, dan lebih bisa merawatnya."

Tangan Alfons mengepal. Dia mulai mengerti maksud Marshall.

"Bukannya kamu konsultan yang sukses? Ternyata bolot."

BUK! Sebelum Alfons sempat melayangkan kepalan tangannya ke arah Marshall, Marshall keburu menyerang duluan dengan meninju ulu hati Alfons. Alfons terbatuk, nyaris jatuh tersungkur jika tidak segera ditahan oleh salah seorang koleganya.

"Don't you fucking dare lay a finger on her again." Marshall mengucap tajam. "Atau lain kali bukan cuma ulu hatimu yang saya hajar."

Alfons tidak sempat membalas Marshall yang keburu pergi. Dia masih berusaha mengatur napas sambil memegangi ulu hatinya. Saat Marshall membalikkan badan, Alfons melihat sosok Jacqueline yang sedari tadi menontonnya. Kedua mata mereka bertemu, saling mengirim pesan tersirat lewat tatapan. Sorot mata Jacqueline terlihat begitu ketakutan, sementara mata Alfons menyala-nyala oleh karena amarah yang membara. Marshall sendiri tersenyum puas, merasa seperti ksatria berkuda yang baru saja menyelamatkan tuan putri dari semburan napas naga.

"Ayo, pergi. Dia nggak akan berani macam-macam lagi sama kamu." Marshall menggamit tangan Jacqueline dan menyeretnya.

Tubuh Jacqueline terlalu lunglai untuk menyentakkan tangan Marshall dan berjalan sendiri. Napas Jacqueline mendadak sesak membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Mampus. Mampus. Mampus. Inilah akhir dari seorang Jacqueline Kitahara Sjahrir. Pulang ke rumah nanti, dipastikan dirinya hanya tinggal nama.

"BRENGSEK KAMU, MARSHALL! What the fuck?!" Jacqueline meneriaki Marshall begitu mereka kembali ke mobilnya. "Apa-apaan kamu barusan?! Kamu bukan cuma membangunkan singa tidur, kamu menimpuk singa tidur dengan batu dan menjambak semua rambutnya sampai rontok! Kamu betul-betul bajingan!""

Marshall membiarkan Jacqueline memakinya bertubi-tubi sampai puas. Marshall sudah tahu, reaksi Jacqueline pasti akan seperti ini, itu sebabnya dia sudah menyiapkan rencana lanjutan.

"Kamu nggak mikirin gimana saya nanti? Saya bisa mati! Alfons pasti akan menghajar saya habis-habisan saat saya pulang nanti!" Kilat marah bercampur takut dan panik terlihat jelas di mata Jacqueline.

"Saya tahu. Saya—"

"Kamu nggak mikirin itu semua, Marshall. Kamu cuma mikirin diri kamu yang merasa jadi pahlawan! Kamu nggak sungguh-sungguh mikirin saya, you fucking piece of shit! Kenapa kamu bikin hidup saya susah dari awal bertemu? Nggak kamu bunuh aja saya sekalian di sini?!"

Marshall menarik napas. Dia tidak menyangka, perempuan dingin yang pelit kata itu kalau marah berubah menjadi mercon, merepet dan memaki tidak henti-henti. Jacqueline menggigit bibir sambil meremas-remas jarinya. Dia berusaha memikirkan jalan keluar untuk menyelamatkan diri, tetapi otaknya buntu. Saking desperate-nya, dia merasa sungguh ingin menangis.

Marshall menyalakan mesin mobil. Sebelum Jacqueline sempat bertanya ke mana mereka hendak pergi, Marshall lebih dulu berbicara. "Jangan takut. Saya tahu akan seperti apa reaksi Alfons kalau saya menantangnya seperti itu. Itu sebabnya saya udah nyiapin rescue plan buat kamu."

"Rescue plan? Rescue plan apa? Apa dikuliti Alfons hidup-hidup merupakan bagian dari rescue plan kamu?!"

"Itu namanya bukan rescue plan, tapi—" Marshall tidak menyelesaikan kalimatnya. "Wait, ini kamu lagi sarkas aja kan?"

"Get me out of here."

"How can I get you out of here? This is part of your rescue plan." Marshall malah mengebut, masuk ke jalan tol, menghapus sama sekali kesempatan bagi Jacqueline untuk turun dari mobilnya.

"Kamu mau ngapain?" Jacqueline mendesis.

"Saya mau kamu pulang ke rumahmu sekarang, kemasi barang-barangmu seperlunya, lalu kabur sebelum Alfons sampai." Marshall menatap lurus jalanan yang kosong di hadapannya. Nice. Untung saja tidak macet.

"Terus, saya mau kabur ke mana?" Suara Jacqueline merendah, setengah mati menahan emosinya yang siap meledak kapan saja.

"Stay dulu aja di apartemen saya, sampai kamu figure out apa langkah yang mau kamu ambil selanjutnya. Yang penting kamu aman dulu. Saya yakin, Alfons nggak akan berani datang ke kantor untuk menghajar kamu. Tapi, kalau kamu masih serumah dengannya, dia bisa jadi kambuh meskipun udah saya ancam tadi."

Jacqueline melotot. "Apartemen kamu?!"

"Iya, apartemen milik saya. As you know, saya masih tinggal dengan orangtua saya. Jadi, apartemen itu sekarang kosong."

Jacqueline membuang pandangan ke luar jendela. Satu tangan menopang keningnya sambil memijat-mijat pelan. Marshall baru saja memintanya untuk kabur dari rumah dan tinggal di apartemennya, yang dia klaim kosong. Setengah mati Jacqueline berusaha untuk tidak berurusan dengan makhluk ini sejak kemunculannya di kantor, sekarang dia malah harus menumpang di apartemennya?!

"Are you crazy?!" Jacqueline memekik.

"Why?"

"Apa-apaan rencanamu ini?"

"It's a good plan, right? Kamu selamat, Alfons nggak berani macam-macam, dan apartemen saya ada yang bersihin sampai kamu punya jalan keluar."

Darah Jacqueline mendidih. Marshall mengucapkannya dengan begitu enteng.

"Memangnya kamu punya solusi lain sekarang?" Marshall menolehkan kepala. Dia menantang Jacqueline halus lewat tatapan matanya. Jacqueline mengepalkan tangan. Rasanya ingin mencakar wajah itu sekuat tenaga dan meneriakinya sampai gendang telinganya bolong.

"Nggak punya, kan?" Marshall tersenyum menyebalkan, auranya mencemooh. "Kalau kamu punya solusi, saya juga nggak akan ikut campur kayak gini. You need me, face it, accept it."

Jacqueline cuma bisa menelan ludah. Dia menyerah. Senyum Marshall mengembang semakin lebar dan menyebalkan. Seandainya Jacqueline tahu, yang dirasakan Marshall bukan kemenangan tetapi kelegaan. Lega karena akhirnya dia bisa berguna melindungi Jacqueline.

***

Continue Reading

You'll Also Like

27K 2.5K 22
[FREE ALL CHAPTER] Ethan Pascal tau, satu-satunya cara untuk mendapatkan Valerie Isaac kembali adalah dengan menjebaknya untuk bekerja sama di proyek...
3.5M 27.5K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.9M 93.2K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
20.2K 1.9K 69
Richard Ackles tidak pernah menyangka, kesempatan emas yang seharusnya bisa dia genggam erat, justru datang bersama mimpi paling buruk yang pernah ad...