HOW TO BE A (FAKE) CRAZY RICH✔

By ElAlicia

337K 13.4K 438

TAMAT May contain mature scenes Ray awalnya memiliki segalanya, namun ia kembali jatuh dan bahkan kehilanga... More

INTRO
PROLOG
1. RENCANA
2. AMBISI
3. PENDEKATAN
4. KESEPAKATAN
5. RAY DAN HARGA DIRINYA
6. PAGI HARI

PROLOG 1.2

11.8K 1.8K 89
By ElAlicia

"Bajunya pas gak, Ma?" tanya Ray sembari menatap punggung sempit ibunya yang tengah menyiapkannya bekal di pagi hari.

"Pas, pas sekali," jawab ibunya dengan senyuman senang. "Kamu buat sendiri?"

Ray mengangguk dengan wajah bangganya. "Ada banyak kain sisa dari butik, jadi Ray buatin patchwork aja untuk mama. Ternyata cakep juga."

"Kenapa nggak buatin untuk kamu sendiri?" tanya ibunya tanpa mengalihkan fokus dari bekal yang sedang ia siapkan untuk anaknya.

"Ray malas kalau harus ngukur badan sendiri," jawab Ray sembari cengengesan.

Sudah satu tahun lebih, ia akhirnya lepas dari statusnya sebagai simpanan. Ia juga kini tidak perlu lagi harus terpaksan menikmati seks dengan pria tua. Kini, keuangan keluarga Ray lebih stabil. Ray bahkan menggunakan seperempatnya untuk kursus pola baju dan juga bahasa Perancis, sebab ia ingin sekali bekerja di rumah mode besar. Kini, Ray sudah memiliki pekerjaan yang baik dan menghasilkan uang yang cukup. Tak disangka Ray akhirnya ia bisa menggeluti pekerjaan idamannya, yaitu sebagai pattern maker di salah satu butik adibusana terkenal di Jakarta. Ray tidak pernah sebangga ini sebelumnya. Hidupnya sudah sempurna, kecuali pengalamannya yang menjadi pelacur untuk beberapa bulan itu. Menjadi pelacur memang melelahkan dan memalukan, namun nyatanya pekerjaan itulah yang menyelamatkan ibunya dan juga kehidupannya.

Tanpa menjadi simpanan, Ray tidak akan bisa membayar prosedur cuci darah ibunya. Tanpa menjadi simpanan juga, ia tidak mungkin bisa menjadi seorang patternmaker. Dan tanpa menjadi pelacur, Ray mungkin sudah kehilangan ibunya sekarang. Ibunya kini sehat dan berseri-seri. Itu sudah lebih dari cukup untuk Ray.

"Liburan ini kita ke Bali gimana, Ma?" tanya Ray sembari mencomot tempe goreng di meja makan.

"Nggak usah," balas ibunya sembari meletakkan kotak bekal yang terbuka itu di depan Ray. Mata Ray berbinar ketika melihat ada perkedel kesukaannya. Ketika ia ingin mencomotnya, tangannya langsung dipukul oleh ibunya.

"Nanti," ucap ibunya dengan nada marah. Ray kembali cengengesan yang ditanggapi dengan gelengan dari ibunya.

"Kenapa nggak usah?" tanya Ray tidak terima.

"Katanya kamu mau cicil rumah," jawab ibunya.

"Itu gampang," balas Ray sembari mengibaskan tangannya. "Kan kita nggak pernah ke Bali, terus Mama juga dari dulu pengen ke Bali."

"Di Jakarta juga ada Bali," gumam ibunya sembari duduk di hadapan Ray.

Ray mengerutkan keningnya bingung. "Sejak kapan?"

"Itu di Ancol," canda ibunya sembari tertawa lebar. Di sisi lain, Ray tidak menangkap lelucon ibunya. Jadilah ia hanya diam, mengunyah tempe goreng sembari menonton ibunya yang menertawai candaannya sendiri. Lama-lama tawa itu menular. Ray pun juga ikut mendengus geli, meskipun tawanya tak seheboh ibunya.

"Udah. Pokoknya, Ray pesankan tiket ke Bali untuk liburan bulan Juni nanti," ucap Ray tidak ingin dibantah.

"Mending kamu..." Ibunya masih terus membantah dan berusaha menjelaskan uang itu sebaiknya digunakan untuk hal yang lebih berguna. Di sisi lain, Ray menulikan pendengarannya, sembari menyusun kotak bekalnya yang ia masukkan ke dalam tas dan mencium pipi ibunya sebagai ucapan selamat tinggal.

"... siapa tahu lebih berguna. Kamu harus bisa nabung dari sekarang." Sebelum ibunya sempat menyelesaikan kata-katanya, Ray sudah menghilang dari balik pintu rumah. Ibu menghela nafas pelan dengan senyuman lembut perlahan-lahan tersungging di wajahnya. Namun, senyuman itu luntur seketika saat menyadari satu hal.

"RAY! SENDOK GARPUNYA BELUM MASUK!" seru Ibu panik, namun apa mau dikata, Ray dan motornya sudah menghilang.

***

Studio sedang sibuk-sibuknya hari itu, sebab pesanan terus berdatangan. Bulan-bulan September hingga Desember adalah bulan tersibuk butik itu, sebab ya orang senang sekali menikah di bulan-bulan itu. Belum lagi dengan pesanan dari beberapa artis yang harus mengikuti acara award. Ray bahkan pernah tidak tidur dua hari hanya untuk mengerjakan pesanan yang tidak habisnya itu.

"Ray... Ray... Ray," panggil Mbak Ana dengan nadanya yang panik.

Ray langsung menghentikan pekerjaannya kemudian menoleh pada wanita berkacamata itu. "Bantuin ngambil ukuran bentar dong, please..."

"Mbak Fio sama Mas Ardi ke mana, Mbak?" tanya Ray bingung. Dua orang itu adalah orang-orang yang bertugas khusus untuk pengambilan ukuran badan klien. Mas Ardi untuk pria dan Mbak Fio untuk wanita.

"Nggak bisa, masalahnya mereka fitting di rumah klien," gumam Mbak Ana sembari merengek.

"Waduh, Mbak, masalahnya pattern-nya hari ini harus udah dicoba di muslin," guman Ray kebingungan. Ia bahkan belum mulai pecah pola, namun kini ia sudah ditimpakan tugas baru.

"Ayo dong," mohon Mbak Ana. "Masalahnya di sini yang paling akurat kalau ngambil ukuran itu kamu."

Ray menggaruk tengkuknya galau. Semua orang di studio itu sama sibuknya sepertinya, sehingga ia tidak bisa meminta bantuan rekan kerjanya.

"Gini deh, nanti aku minta Pak Wirogo waktu tambahan untuk pattern kamu," ucap Mbak Ana lagi.

Mendengar hal itu, senyuman Ray langsung terbit. Ia langsung menegakkan tubuhnya dengan sikap siap 45 untuk melakukan permintaan Mbak Ana. Ray sedikit kebingungan melihat Mbak Ana begitu gopoh dengan klien satu ini. Biasanya jika Mbak Ana gopoh, itu berarti klien mereka adalah orang besar dan terkenal.

"Siapa sih, Mbak?" tanya Ray penasaran.

"Dia anak terakhir Tjandrakusuma, yang sekarang megang Amerta Group," bisik Mbak Ana.

Ray mengambil pita ukur metriknya dengan wajah tercengang. Amerta Group adalah perusahaan properti Indonesia yang cukup terkenal. Beberapa mall di Indonesia adalah milik Amerta Group. Dan usut punya usut, Amerta Group juga membangun kasino di Makau dan Singapura. Berita kasino ini pernah menjadi trending topic di Indonesia, karena kasino yang dibangun oleh keluarga Tjandrakusuma masih abu-abu mengenai penarikan pajaknya sehingga menjadi masalah sengketa perpajakan antara Indonesia dan Makau.

Mendengar penjelasan Mbak Ana, Ray sedikit khawatir sebenarnya, sebab kliennya tidak main-main. Mbak Ana menarik nafas panjang -begitu juga dengan Ray, sebelum membuka pintu jati yang menghubungkan langsung dengan ruangan fitting khusus.

"Selamat pagi, Pak Gavyn, maaf menunggu lama, orang sudah ada, Pak," ucap Mbak Ana sembari mempersilahkan Ray.

Ray membeku di tempatnya ketika melihat kliennya adalah pria yang selalu berpapasan dengannya di lift. Pria itu pun juga tampak kaget melihatnya. Ray canggung setengah mati. Ia tentu tidak bisa sesantai seperti di lift, sebab -demi Tuhan, ini masih situasi profesional dan pekerjaannya bergantung pada pria di depannya. Satu keluhan, maka habislah dia.

"Halo, Pak, perkenalkan saya, Ray. Mari, Pak," ucap Ray dengan senyuman sopannya, memilih untuk bersikap profesional, apalagi kini Mbak Ana sedang memperhatikannya.

Gavyn mengikuti Ray ke arah ruang fitting yang cukup luas. Di depannya terdapat cermin besar. Lukisan bernuansa Indonesia menggantung manis di dinding. Alunan musik jazz lembut semakin memperkental kesan mewah ruang fitting tersebut. Mbak Anna sudah bersiap dengan kertas ukuran di tangannya, menunggu Ray mengambil ukuran.

"Jas, dasi dan jam tangannya bisa dilepas, Pak," ucap Ray sopan. Gavyn menuruti perkataan Ray. Dilepasnya jas, dasi dan jam tangannya, kemudian benda-benda itu diberikan pada Mbak Ana. Ray bersumpah Gavyn adalah pria paling atraktif yang pernah ia temui. Gerak-gerik pria itu begitu sensual, apalagi ketika Gavyn melepaskan dasi dan kancing teratasnya. Bukan hanya Ray saja yang terpana, melainkan Mbak Anna juga, sebab keduanya saling bertatapan ketika Gavyn melakukan permintaan Ray.

"Ada barang di kantong celana, Pak?" tanya Ray lagi.

"Nggak ada, Ray," jawab Gavyn, sengaja menyebutkan nama Ray dengan nadanya yang memancing.

Mbak Ana menatap Ray kaget, membuat Ray berdeham pelan. "Saya izin menyentuh Bapak."

"Silakan." Lagi-lagi kata itu terkesan sederhana, namun Ray bisa merasakan dengan jelas ada rayuan tersirat di sana. Bukan hanya Ray saja yang merasakannya, Mbak Ana juga, sebab kinj wanita itu menatap Ray seolah curiga pernah terjadi sesuatu di antara mereka berdua.

Ray melingkarkan pita ukur itu di leher Gavyn, membuatnya mau tidak mau harus menatap mata pria itu juga akhirnya.

"Kamu bilang akan bertemu lagi, tetapi kita baru bertemu setelah satu tahun berlalu," bisik Gavyn, yang hanya bisa didengar oleh keduanya. "Dan lagi, kamu bahkan nggak memberikan nomor kamu sama sekali."

"Dagunya dinaikkan sedikit, Pak," ucap Ray dengan nada yang dikeraskan dan senyuman manisnya. Ray mengucapkan ukuran lingkar leher Gavyn dan langsung dicatat oleh Mbak Ana.

"Kamu nggak nyaman, karena ada orang lain di sini atau kamu lupa sama aku?" tanya Gavyn dengan senyuman miringnya.

"Lengannya bisa disejajarkan, Pak," ucap Ray, lagi-lagi mengabaikan ucapan Gavyn. Ia melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Gavyn untuk menarik pita ukur metrik itu. Posisinya sekarang membuatnya bisa mencium dengan jelas wangi Gavyn yang begitu kalem dan menyenangkan. Ray cepat-cepat mengukur lingkar dada pria itu, sebab ia tidak ingin terlalu dekat dengan pria itu.

"Bisa tinggalkan kami berdua?" ucap Gavyn pada Mbak Ana, membuat Ray mendongak kaget.

"Maaf?" ucap Mbak Ana dan Ray bersamaan.

"Saya ingin berbicara dengan teman lama saya," lanjut Gavyn lagi dengan senyuman sopannya. "Nanti biar Ray saja yang mengukur dan mencatat."

Mendengar hal itu, Mbak Ana langsung menatap Ray dengan tatapan terselubungnya. Di sisi lain, Ray mengangkat bahunya tidak mengerti. Wanita berkacamata itu meletakkan catatan ukuran dan pena di meja, lalu pamit undur diri dari situ, meninggalkan Gavyn dan Ray.

Keduanya sama-sama menatap punggung Mbak Ana yang menghilang di balik pintu. Di waktu yang bersamaan, pandangan keduanya berlabuh antara satu dengan yang lain. Ketika tatapan keduanya bertabrakan, Ray mendengus geli. Hal itu memancing senyuman dari Gavyn.

"Fitting? Untuk apa?" tanya Ray dengan nada santainya sembari mengambil ukuran lebar dada Gavyn.

"Tunangan," jawab Gavyn seadanya.

"Oh wow, selamat ya," ucap Ray dengan senyumannya. "Dengan teman tidur kamu?"

"Bukan, beda lagi," balas Gavyn, menikmati percakapan santai antara dirinya dengan Ray.

"Aku ga bayangin berapa body count kamu," tutur Ray sembari menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Hanya dua," balas Gavyn tidak terima. "Aku ga semurahan itu."

"Aku kira kamu lebih dari dua puluh," canda Ray pelan. "Wajah kamu playboy soalnya. Aku bahkan sempat ngira kamu gigolo awalnya."

Ray menertawai ucapannya sendiri, apalagi ketika ia melihat wajah protes dari Gavyn. Tawa Ray begitu puas, seolah itu adalah candaan terbesar abad ini. Tawa Ray menular pada Gavyn. Pria itu kini tersenyum geli sembari menatap Ray.

"Aku sampai lupa berapa ukurannya gara-gara ketawa," gumam Ray sembari mencatat ukuran Gavyn di kertas tersebut.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Gavyn lagi, ketika suasana mulai kembali hening. "Aku udah nggak pernah lihat kamu lagi sejak di lift."

"Hm?" Ray menoleh dengan wajah bingungnya. "Aku selalu baik."

"Kamu udah nggak jadi simpanan lagi?"

Ray mendengus geli mendengar ucapan Gavyn. "Keuanganku udah stabil sih sekarang," balas Ray santai, seolah hal itu bukanlah hal yang besar. "Lagian having sex dengan lansia itu sebenarnya bikin parno. Takut dia kecapekan terus tiba-tiba langsung almarhum."

Gavyn tersenyum mendengar candaan Ray. Ray adalah satu di antara sekian orang yang berbicara santai dengannya. Orang-orang selalu menggunakan bahasa yang formal dan basa-basi yang kaku ketika berada di dekat Gavyn dan hal itu terkadang membuatnya kesepian. Namun, Ray sukses memberikannya impresi pertama yang unik. Wanita itu berbicara padanya seolah mereka berteman baik dan Gavyn menyukai suasana itu.

"Kamu emang sesantai ini ke semua orang?" tanya Gavyn penasaran.

"Kalau orangnya bisa diajak santai ya kenapa nggak," balas Ray dengan senyuman hangatnya.

"Kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Gavyn pelan.

"Kita nggak punya kepentingan untuk bertemu lagi."

"Apa harus ada kepentingan dulu?"

Ray terdiam sejenak, tampak berpikir. "Iya, kan kita sama-sama sibuk, apalagi kamu akan tunangan."

"Lagian, kamu juga udah punya cewek," balas Ray dengan tatapannya yang terang-terangan menilai. "Semua wanita yang kamu tawari pasti menolak lah."

"Aku hanya menawarkan kamu," balaa Gavyn bersungguh-sungguh.

"Buaya," ejek Ray sembari menggelengkan kepalanya.

"Jadi jawabannya tidak?"

"Entahlah," canda Ray, sengaja menggantungkan jawabannya, namun tak ayal hal itu membuat Gavyn semakin ingin bertemu lagi dengan wanita di hadapannya.

TBC...

Masih prolog guys aowkwkwkw...

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 26.2K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
18.2K 3.1K 83
18+ for violence, blood, and strong language [Action, Drama, Science Fiction] Takdir ibarat seperti langit. Jika ia biru, artinya merupakan pertanda...
143K 25.8K 40
Park Chanyeol dihadapkan pada keadaan yang membuatnya terjepit dan memutuskan untuk melakukan hal gila. Ditengah teror yang dilakukan segelintir fans...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...