Rapat terakhir mereka selesai pukul tujuh malam. Kali ini, Marshall tidak lagi mengundang Si-Ting dan stafnya untuk makan-makan fancy atau minum-minum seperti di CÉ LA VI kemarin. Si-Ting mengusulkan untuk makan malam bersama di malam terakhir Marshall dan Jacqueline di Singapura. Dia menyebut restoran burger Hans im Glück yang lokasinya di One Raffles Place, tak jauh dari kantor, mengiming-imingi Marshall dengan bir asli dari Jerman yang dijual di sana. Ryan mengusulkan JUMBO di Clarke Quay, apalah artinya ke Singapura kalau tidak makan chilli crab.
Namun, Marshall menolak semua usulannya. Bukan karena dia tidak tertarik dengan segala jenis sajian yang disebutkan Si-Ting dan Ryan, tapi karena dia ingin makan berdua saja dengan Jacqueline. Seharian itu, Marshall diam-diam memperhatikan Jacqueline. Dia tidak banyak bicara, seperti biasa, sedikit menjaga jarak, seperti biasa, tapi selain itu ada sesuatu yang lain darinya. Jacqueline nampak seperti orang yang isi kepalanya begitu penuh. Pikirannya seolah ada di tempat lain. Beberapa kali Marshall mendapati keningnya berkerut, seperti sedang berpikir, namun tatapan matanya kosong. Sebagaimanapun Marshall berusaha untuk tetap peduli, dia tetap dihantui rasa bersalah, takut kalau-kalau sungguhan ada ucapan tidak pantas yang dia lontarkan kepada Jacqueline ketika sedang mabuk.
"Jacques, ayo kita makan berdua malam ini." Marshall mencondongkan tubuhnya, berbisik ke telinga Jacqueline di antara diskusi tim Si-Ting perihal mau makan di mana.
Jacqueline menoleh. Dia menatap Marshall dengan heran.
"Ada yang mau saya bicarakan." Marshall menambahkan.
"Tentang apa?"
"Tentang kita."
Alis Jacqueline terangkat. Dia risih mendengarnya. Tentang kita?! Kedengarannya seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih.
"Kamu mau makan di mana? Saya tiba-tiba pengen char kway teow."
Jacqueline tidak menyahut, sebab mendadak ponselnya bergetar. Nama Alfons berpendar-pendar di layar. Raut wajah Jacqueline langsung membeku. Dia menatap nama itu dengan tegang. Marshall melongok dengan kepo.
"Kok, nggak diangkat?"
Jacqueline tidak menjawab Marshall. Dia mengabaikan panggilan telepon dari Alfons dan memasukkan ponselnya kembali ke saku blazer.
"Saya lagi nggak pengen makan di hawker center," ucap Jacqueline.
Marshall mendengus. "Karena itu kurang fancy buat kamu?"
"Karena di sana nggak bisa minum."
Kedua mata Marshall melebar. Dia menatap Jacqueline dengan heran. "Setelah jadi polisi moral, sekarang kamu yang mau minum alkohol?"
"Saya nggak jadi polisi moral, saya cuma berusaha making some sense ke Pak Marshall. Kalau Bapak mabuk sementara esoknya harus—"
"Jangan panggil saya Bapak!"
"—rapat besar, gimana bisa konsentrasi?"
"Nyatanya, hari ini saya baik-baik aja kan?" Marshall menyeringai menyebalkan, membuat Jacqueline kena skak mat kehabisan kata-kata.
Jacqueline menjauhkan wajahnya dari Marshall.
"So, have we decided or not?" Si-Ting menepukkan kedua tangannya, memancing perhatian Marshall dan Jacqueline.
"I'll just go back to the hotel and take a rest." Jacqueline berdiri, mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Kepalanya menuding Marshall. "He wants to go and have some char kway teow. Maybe you all can accompany him?"
Marshall tergagap, celingukan menatap Jacqueline dengan bingung. Belum sempat dia membantah, Si-Ting sudah mengiyakan ucapan Jacqueline.
"Sure, sure."
Jacqueline berjalan menghampiri Si-Ting, mengabaikan Marshall. Dia mengulurkan tangan dan menyunggingkan senyum di wajahnya.
"Thank you for these two days."
"Our pleasure. We thank you too for coming over here. If we don't see each other again, have a safe flight, Jacqueline."
Selesai bersalaman dengan Si-Ting, Ryan dan beberapa staf lainnya, Jacqueline keluar dari ruangan untuk kembali ke hotel. Saat sedang menunggu elevator, tiba-tiba Jacqueline mendengar suara langkah kaki yang gaduh.
"Jacques!"
Marshall mengejarnya. Suara sepatu pantofel yang mengetuk lantai marmer berhenti ketika Marshall berdiri di sebelah Jacqueline.
"Jacques!" Marshall memanggil nama Jacqueline lagi di sela-sela napasnya yang tersengal. "Kenapa... kamu jadi... pulang?!"
"Saya nggak lagi pengen makan char kway teow."
"Oke, jadi kamu mau makan apa?"
"Nggak tau." Jacqueline menggumam. "But it doesn't matter. Saya memang nggak lagi pengen makan sama Pak Marshall."
Marshall melongo. "Tapi, saya mau ngomongin sesuatu sama kamu."
"Nanti aja di kantor."
"Kita baru besok siang kembali ke kantor!"
"Kalau begitu, tunggu sampai besok siang."
Marshall mengerjap. "Are you serious? Kamu itu seriously staf saya yang paling kurang ajar deh, kayaknya."
Jacqueline tidak merespon. Dia tetap mematung.
"Jacques!"
"Bagian mana yang Pak Marshall nggak ngerti?" Jacqueline menatap Marshall dengan galak. "Ini udah di luar jam kantor, saya nggak punya kewajiban untuk babysit putra mahkota yang bahkan belum pantas disebut pemimpin."
Marshall kaget mendengar ucapan Jacqueline yang begitu menghujam. Saking terkejutnya, dia sampai tidak bisa menyahut apa-apa. Dia sudah sering mendengar betapa Jacqueline adalah petinggi kantor yang sangat straightforward dan tidak takut apapun atau siapapun, tapi dia tidak menyangka perempuan itu juga punya lidah yang sangat tajam.
Ting!
"Saya duluan." Jacqueline mengangguk kecil dan masuk ke dalam elevator yang pintunya membuka, meninggalkan Marshall yang cuma bisa melongo menghantarkan Jacqueline pergi.
"Hah." Marshall mendengus. Lama-lama dengusannya berubah menjadi tawa yang hampa. "Haha. Hahahaha! Ha—ehm."
Tawa Marshall sontak berhenti melihat sosok Si-Ting dan yang lainnya muncul. Mereka sempat saling pandang untuk satu-dua detik. Marshall malu bukan main. Barangkali Si-Ting dan stafnya mengira Marshall gila sekarang.
"Ehm." Marshall berdeham lagi. "So, let's go and eat?"
Malam itu, Marshall, Si-Ting dan stafnya pergi makan bersama di hawker center sederhana. Marshall memesan char kway teow sesuai dengan yang diidamkannya, tetapi entah kenapa dia sudah tidak lagi berselera saat makanan itu terhidang di hadapannya. Meskipun Si-Ting, Ryan dan yang lainnya banyak melontarkan canda, Marshall tidak membalas mereka dengan lepas seperti kemarin malam. Dia sedang memikirkan hal lain, tentang Jacqueline. Ekspresinya memang selalu datar, namun ada yang tersirat di wajah Jacqueline sewaktu Alfons meneleponnya. It wasn't a cold expression, it was fear.
"Do you want to get any drinks?"
Marshall tersentak dari lamunannya. "Oh, yeah."
"Which one do you want?"
Drinks. Minuman. Tadi Jacqueline bilang, dia tidak mau makan di hawker center karena tidak bisa minum (alkohol). Berarti mungkin sekarang dia sedang nongkrong di sebuah bar dan mabuk?
"Anything will do."
"Anything?"
"Yeah." Marshall menjawab sekenanya.
Setelah selesai makan, Marshall mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan untuk Jacqueline.
Marshall
Jacques, kamu di mana?
Marshall menatap layar ponselnya untuk beberapa saat. Jacqueline tidak kunjung menjawab. Boro-boro dijawab, dibaca saja belum.
"Here you go."
Marshall terperangah melihat Milo dinosaur jumbo tersaji di depannya. Anything sih anything, tapi tidak Milo dinosaur juga kali? Ini sudah malam, kenapa dia jadi minum susu? Memangnya dia bayi. Jam segini enaknya minum—
"Ah! I just remember, I really have to go now." Marshall beranjak dari kursi tanpa aba-aba, membuat Si-Ting dan yang lainnya kaget. "Really sorry, guys. Just take my Milo dinosaur. I have to go."
"Where are you going?" Si-Ting mengernyit.
"I—" Marshall tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia segera menyunggingkan senyum dan mengulurkan tangan untuk berjabatan. "I'm really sorry for saying goodbye so suddenly. But I really enjoy your company these past two days, thank you."
"Sure, sure, it's our pleasure. We thank you for coming over and visiting us here. It's really an honour to have you around." Si-Ting buru-buru membalas salam Marshall. "Have a safe flight tomorrow, Marshall."
Marshall kembali ke hotel dengan taksi, tetapi alih-alih menuju kamarnya, dia malah naik ke Skybar CÉ LA VI. Matanya memandang berkeliling mencari sosok Jacqueline. Entah kenapa Marshall sangat yakin Jacqueline ada di sini sekarang.
"What the f*ck." Marshall mendesis saat dia berhasil menemukan Jacqueline.
Marshall melangkah dengan cepat, menghampiri salah satu meja di mana ternyata Jacqueline sudah tumbang karena mabuk. Marshall melihat tiga gelas kosong bekas cocktail di atas meja serta satu botol Macallan yang sudah setengahnya habis. Marshall meraih salah satu gelas kosong dan mengendusnya. Smells like Mai Tai, not bad. Mata Marshall juga begitu tergiur untuk mencicipi Macallan. Nyaris saja tangannya menyambar botol itu jika Jacqueline tidak tiba-tiba cegukan.
"Jacques!" Marshall menegurnya, menepuk-nepuk punggung tangan Jacqueline. Jacqueline hanya mengangkat kepala, menatap Marshall tanpa mengucap apa-apa. Gila, orang ini betul-betul mabuk berat! Marshall tidak jadi menenggak Macallan. Dia malah sibuk berusaha menyadarkan Jacqueline.
"Jacques, udah jangan minum lagi." Marshall menarik tangan Jacqueline, berusaha membuat nya berdiri. "Nanti kamu keracunan alkohol terus mati! Mampus saya kalau kamu mati di sini."
Marshall menyampirkan tangan Jacqueline di bahunya, menyanggah Jacqueline supaya bisa berjalan. "Jacques, bisa jalan nggak?"
Jacqueline cegukan lagi. Tiba-tiba dia terlihat mual dan hendak muntah. Marshall menatap Jacqueline dengan horor.
"Jangan, jangan muntah di si—"
"Hoekkkk."
Marshall memekik. Terlambat. Jacqueline keburu muntah, lalu mengerang pelan. Marshall menghela napas lega karena ternyata muntahan Jacqueline tidak mengenai bajunya, melainkan mengotori baju Jacqueline sendiri. Setelah itu, Jacqueline tidak sadar lagi. Marshall mendecak. Sekarang dia merasa begitu dilemma, antara menelantarkan Jacqueline di Skybar atau membawanya ke kamar.
"Sumpah, brengsek kamu Jacqueline!!!"
***