Kemiskinan Yang Tak Terlihat

Oleh IstiqaJeinRow

1.1K 215 28

Siapa yang bilang 'Bahagia tak melulu soal harta?' Cobalah untuk tinggal bersama orang-orang bawah jika tak p... Lebih Banyak

* Pembukaan *
Nestapa Jauhari
Andaru Rajendra
Jagad Mahanta
Raden Raynar Lasmana
Pamungkas Merangin
Cakra Nanggala Nagapasa
Chapter 1 : Ketika Agustus Dimulai
Chapter 2 : Menelisik Kekurangan
Chapter 3 : Definisi DPR!
Chapter 4 : Memulai Perjuangan
Chapter 5 : Demi Sesuap Nasi
Chapter 6: Hidup Susah Sehari-hari

Raksi Sanubari

31 11 1
Oleh IstiqaJeinRow

Kepada suara hatiku :)

Raksi Sanubari : WANGI SUARA HATI NURANI

Meski terluka dan hatimu diselimuti kegelapan, tetaplah hidup. Karena meski kamu membencinya sekalipun, kamu pantas untuk tinggal.

***

Sebagai anak perempuan pertama dari tiga bersaudara, raksi mengemban harapan besar orang-orang disekitarnya. Tak jarang, ia merasa terbebani sekaligus lelah terus hidup demi mewujudkan harapan orang lain.

Umurnya baru 20 tahun. Namun seolah beban hidup panjang sudah ia rasakan. Raksi menghela nafas sepanjang perjalanan pulang dari kerja.

Jam menunjukkan pukul 02.14 dini hari, jalan begitu sepi dan agak menegangkan. Kasus-kasus pembegalan sering terjadi di daerahnya. Tapi seolah hatinya telah mati, raksi tak menakuti hal itu.

Jika dia di begal dan mati, maka yasudah. Jika tidak, ya alhamdulilah. Simpel, pikirnya. Raksi suka mengendarai motor malam-malam, dia menikmati tiap detiknya dibawah bintang-bintang.

"Capek banget," keluhnya, mengingat kejadian dirumah membuatnya enggan cepat-cepat sampai. "Pengen mati."

Raksi memejamkan mata sejenak, sebelum menarik gasnya lebih kebawah. Untuk urusan ngebut-ngebutan, raksi jagonya. Jatuh di aspal jalan pun sudah sering ia alami. Kapok? Tidak. Raksi malah menyukainya.

Perempuan berkerudung merah itu menggeleng-gelengkan kepalanya untuk sekedar mewaraskan kembali pikiran. Sejak tiga tahun terakhir, raksi selalu berpikir untuk mati.

Walau sudah ia atasi sebaik mungkin, keinginan itu terus berdatangan dan tak hilang. Raksi meringis, membiarkan bening air matanya mengalir. Rasa sesak menggerogoti dadanya akibat ulah orang tuanya.

Dulu, mereka hampir ingin bercerai. Raksi yang menjadi saksi pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi. Meski kini semua tampak baik-baik saja, raksi mengalami perubahan dalam sikap dan perilakunya.

Ia lebih banyak diam dan trauma akan pertengkaran. Semakin beranjak ia dewasa, raksi mengalami masa-masa lebih sulit. Mengenai ekonomi keluarganya yang mengenaskan.

Impiannya untuk berkuliah terkubur dalam-dalam. Selepas lulus SMA, raksi segera mencari pekerjaan untuk membantu keluarganya. Ibu dan Ayahnya sudah mewanti-wanti Raksi dengan berkata.

"Kalau kamu kuliah, adik-adikmu tidak sekolah."

Raksi tau persis apa maksudnya, ia harus rela mengalah. Walau sesekali Ibu selalu menyemangati.

"Kamu bisa kuliah sambil kerja, raksi. Kalau kamu mau, ibu bisa bantu jualan."

Tidak, raksi tidak tega membiarkan Ibunya yang sudah lelah urusan rumah harus turut mencari nafkah demi pendidikannya. Lagipula, sejak setahun yang lalu, raksi sudah lupa impiannya berkuliah.

Ketika sampai rumah, raksi tidak langsung mengetuk pintu. Dia sengaja duduk di teras rumah memandangi langit malam sampai subuh tiba. Tidak ada yang dilakukan Raksi selain duduk dan merenungkan kembali apa yang terjadi dalam hidupnya.

Tentang dirinya, tentang traumanya. Tentang hidupnya yang begitu-begitu saja. Raksi selalu mencari cara agar terlepas dari kemiskinan. Ia menyadari betul kalau ekonomi keluarga yang tak tercukupi, berdampak besar pada kehidupan.

Ia tau bagaimana rasanya sengsara, lapar dan menginginkan sesuatu namun tak bisa didapati karena kekurangan uang. Motor yang ia pakai pun masih nyicil tiap bulan, raksi menghela nafas panjang.

"Gimana caranya jadi kaya, ya Allah?"

Mau cekout shipie saja Raksi harus mikir berkali-kali. Meski ia membeli dengan gajinya sendiri. Raksi terbiasa menaruh keperluannya di prioritas paling bawah. Raksi membiarkan kebahagiaannya berada pada tingkat kesekian.

Dia hampir mati rasa. Dia tidak merasakan sakit apa-apa jika terluka, raksi sering terjatuh dari motor. Namun separah apapun luka yang ia dapat, raksi tak menangis. Dia malah heran, mengapa hampa itu tetap terasa meski fisiknya sudah terluka.

Mengapa luka dihatinya tak juga bisa dialihkan dengan luka fisik? Raksi mengacak rambutnya frustasi.

Semakin lama, semakin dia tidak punya gairah dalam hidupnya. Percintaannya nol besar, raksi tak tertarik untuk menjalankan hubungan menggelikan begitu. Dia benar-benar mati rasa sepertinya.

"Bulan depan adik kamu masuk SMA, bayaran masuknya 3 Juta. Ibu minta tolong banget sama kamu, bantuin Ibu buat bayar sekolah Amel."

Raksi memang punya uang tabungan sendiri untuknya pergi ke Padang. Salah satu tujuan wisata yang ia inginkan. Tapi, lagi-lagi. Seakan semesta tak ingin melepas cekikannya pada Raksi, dia harus rela mengalah untuk kesekian kali.

"Pusing banget, hidup begini-begini terus." gumam Raksi. "Ngalah lagi, ngalah terus. Ngalah aja selamanya!" bentaknya, marah.

Reaksi kepengin nangis. Tapi yang ada cuma sesak dalam dadanya. Dia tak dapat berpikir jernih ketika memikirkan untuk menabrakkan diri ke truk. Atau melompat dari gedung.

"Capek, ya allah. Pengen mati..."

Meski demikian, raksi tau itu perbuatan dosa besar. Batinnya seolah berperan dengan sisa-sisa akal sehatnya. Raksi ingin cepat-cepat mati, namun disisi lain, dia takut oleh hukum akhirat.

"Pengen cepet-cepet ngilang dari bumi..." pinta Raksi, kembali.

Dia menghela nafas dan bangkit dari duduknya. Jam tidur Raksi berantakan semenjak kerja. Dia tak bisa tidur dibawah jam 12. Selalu diatas jam 2 baru matanya mulai lelah. Libur kerja pun begitu.

Raksi mulai mengetuk pintu dan sedikit berteriak memanggil Ibunya. Cukup lama, pintu baru terbuka. Raksi mengumbar senyum tipis dan menyalami tangan Ibunya sebelum memasuki motor dan bersih-bersih muka.

***

"Itu motor kamu dekil banget. Di cuci coba, raksi. Emang nggak malu?"

Ayahnya, siang-siang sudah membuat Raksi kesal. Gadis itu melenguh, hari liburnya ingin ia isi dengan rebahan saja. Jujur, raksi mau istirahat.

"Biarin aja udah, yah."

"Males banget kamu, dari pagi tiduran main HP terus. Cuci motor doang nggak mau. Itu kan buat diri kamu sendiri!"

Taksi memejamkan mata, menahan dalam-dalam emosinya. Setelah suara Ayahnya tak terdengar, raksi buru-buru bangkit. Mandi dan bersiap-siap mencuci motor.

"Cuci di steam aja. Nyuci sendiri capek nanti kamu."

Ya ampun. Bisa tidak sih, nggak usah banyak berkomentar. Raksi mendumel dalam diamnya. "Nyuci sendiri juga bersih."

"Beda. Kalo di steam bisa sampe dalam-dalamnya, biar nggak karatan juga."

"Suruh Amel aja sih, yah. Raksi mau tidur." keluh Raksi dengan wajah sebal.

"Amel dari tadi bantu Ibu di dapur. Kamu aja sana. Itu kan motor kamu yang pakai."

Raksi menghela nafas. Melempar gayung kesal, dia kelepasan. Dan buru-buru menyambar kerudung instannya.

Steam yang Raksi tuju adalah steam dekat rumahnya. Yang jaga juga Raksi cukup kenal. Raksi menyerahkan malas-malasan motornya pada Gala.

"Cuciin." kata Raksi.

Gala menaikkan alis. "Aku bukan pembantu. Kalimatmu tidak sopan."

Mulut Raksi ternganga, ia hendak membalasnya, tapi Gala keburu menyambar kunci motor Raksi dengan kasar.

Laki-laki itu menyebalkan. Gala adalah cowok ngeselin bagi Raksi, tatapan mata Gala yang kesepian membuat Raksi seperti bercermin.

Dia memperhatikan Gala yang bekerja mencuci motornya. Cukup lama Raksi disana, gala terlihat menurunkan motornya dan kini tengah mengelap-ngelap motor Raksi.

Kebetulan, cuma ada Raksi saja yang nyeteam motor. Perempuan itu celingak-celinguk mencari sesuatu. Padahal tidak ada yang ingin ia cari.

Hanya agar tak terlihat canggung depan Gala. Namun tak disangka, pria itu yang membuka suara lebih dulu.

"Kau memang sering pulang kerja jam dua malam sendiri ya?"

Sedetik dua detik, raksi mengedip-ngedip takjub. Sebelum berdehem dan menyahut. "Iya, kalo barang lagi sedikit bisa pulang cepat. Harusnya jam 4 baru balik."

"Nggak takut?"

"Sama?" kening Raksi berkerut.

"Yaa, begal. Pencuri, atau orang-orang iseng. Kau kan cewek sendiri."

Raksi mendengus. "Nggak. Udah terbiasa pulang sendiri."

Gala tak menjawab, hanya mengangguk singkat. Dia menyerahkan kunci motor Raksi seraya menatap tajam gadis itu, lalu menerima uang dari Raksi.

Saat melihat Raksi menaiki motor hendak keluar dari lokasi steam, gala tak bisa menahan diri untuk berkata.

"Lain kali, tunggu sampai jam-jam yang lebih ramai. Atau bisa pulang bergerombol bareng temen-temenmu, bahaya perempuan malam-malam sendirian."

Raksi tertegun mendengarnya, melihat Gala berjalan menuju meja dekat steam untuk menaruh uang. Kala mereka saling tatap, gala cuma menaikkan alis saja. Membuat Raksi lagi-lagi mendengus dan pergi begitu saja.

"Apaan sih maksudnya?" ketus Raksi. "Emang kenapa kalo cewek pulang kerja sendirian malam-malam? Lemah banget kayaknya cewek dimata cowok!"

Raksi yang tak terbiasa perhatian, tak pernah peka kepada kepedulian orang lain terhadapnya. Sebab, ia sudah tak mencintai dirinya sendiri.

Untuk Raksi. Perempuan yang hatinya hampir layu dan mati. Teruslah hidup. Egoislah sesekali, untuk membuat dirimu bahagia.

Raksi Sanubari, 20 tahun. 25 Desember 2002, Penulis.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

283K 16.8K 35
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
883K 12.3K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
2.6M 139K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
5.7M 315K 35
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...