XABIRU [END]

By SiskaWdr10

54.9K 4K 603

[Series stories F.2 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Hilangnya satu malaikat Tuhan kembali memberikan malaik... More

01.Kita yang sama
02.Si gadis sempurna
03.Apa itu ayah?
04.Mata yang sama
05.Mindset yang buruk
06.Dia iblis pembunuh!
07.Jagoan sedang sakit
8.Rai, kita jadi dukun ya.
9.Malaikat dan kehidupan
10.Anti bucin garis keras
11.Semesta & Rai milik Biru
12.Silsilah darah Ricardo
13.Ru, bumi udah bersyukur.
14.Si biang kerok menang
15.Masa-masa dengan Ra
16.Selamat hari Rai sedunia
17.Biru lebih berhak bahagia.
18.Prioritaskan diri sendiri
19.Puisi punya pemiliknya
20.Gess gadis bintang rock
21.Yang berkuasa atas rasa
22.Satu-satu nanti cape Ra
23.Insiden naas di rooftop
24.Duplikat dari sang ayah
25.Momen khusus ruang hati
26.Mengulang sejarah silam
27.Sejatinya rumah berpulang
28.Revolusi seorang Xabiru
29.Siap patah berkali-kali
30.Bad rumor, real hickey?!
31.Mengalir darah malaikat
32.Dua pemeran yang buruk
33.Selamanya tetap pelanggar
34.Dari si pemberi luka
35.Kita pake kerja cerdas
36.Hukum kekekalan hati
37.Biru, you are not alone.
38.Dasar pengingkar janji
39.Bandung adalah kamu
40.Ra selamat bahagia ya.
41.Kejutan paling mahal
42.Petualangan telah usai
43.Pulang untuk menetap
44.Pemenang dari takdir
45.Penikmat alur tengah
46.Lekung pemulih luka
Hiii

47.Si netra hijau [akhir]

1.9K 91 5
By SiskaWdr10

47.Si netra hijau [akhir]

Tegang.

Wajah cemong, baju kotor sedikit basah, rambut berantakan dan ada goresan-goresan kecil di lengan serta kaki. "Jam lima sore, seru sekali sepertinya kalian bertiga menghabiskan waktu hingga---lihat? amat berantakan," ucap Rai santai tapi terasa dingin, berjalan di depan tiga orang yang pulang dari petualangan, ah 'bolosnya'.

Masih belum ada yang berani menjawab, Xabiru berdiri tegak di tengah, apa itu jas kerja? bos restoran yang katanya terkenal ini malah bolos lalu mengenakan kaos oblong.

"Raga cardigan khas sekolah mu besok bunda harus beli lagi untuk yang ke lima kalinya, keren sekali anaknya ayah Xabiru ini?" jangan tanya, Raga anak yang tidak banyak omong lebih ke banyak tingkah jadilah cardigannya sering sobek.

Xabiru meringis saat Rai mengambil buah pisang dari saku jaketnya ia bukan kemudian dimakan---cara makannya begitu terlihat menakutkan membuat bulu kuduk Xabiru meremang. "Dari mana kalian?"

"Sayang...." Xabiru keki sendiri karena tidak bisa berbohong.

"Aku berlatih basket lupa membawa kaos," alibi Raga datar, perhatian kini terpusat padanya.

Rai mengangguk pura-pura percaya, membungkukkan badan pada Calista yang tersenyum kikuk. "Dan Tata dari mana?"

"Eummm----piket kelas lalu aku terpeleset," bola matanya bergerak ke kanan kiri, tabiatnya ketika bohong. Rai mengangguk lagi, senyum makin lebar.

"Sungguh?"

Calista mendelik pada Ayah dan abangnya yang mengisyarakatkan mengangguk, Tata paling sulit disuruh berbohong, katanya itu sudah masuk dosa paling besar terlebih pada orang tua. "Eummm, yeahh?" keraguan terpancar jelas.

Rai banyak ide, satu jurus ia keluarkan. "Teriyaki salmon rice bowl?" mata Calista membuat, hampir buka mulut selanjutnya menoleh kesamping. Ia harus konsisten. Menggeleng berat. "Dua porsi?" pancing Rai.

"YAAA!" membayangkan saja membuat Calista kenyang duluan, itu makanan favoritnya. "Aku, ayah dan Raga dari hutan---petualangan, nda."

Tepak jidat secara bersamaan dua laki-laki di sebelahnya, Calista yang baru sadar refleks tutup mulut. Rai tersenyum pasrah, menghela samar, kembali berdiri tegak dan merangkul Calista juga Raga. "Kalian pasti lelah, bersihkan diri kalian," kata Rai meninggalkan Xabiru. "Malam nanti kita akan bakar-bakar sosis!" desis Rai sengaja nada kencang. Dua tangan Xabiru langsung menutup bagian bawahnya.

******

Kedatangan Rai ke ruang tengah membuat Raga langsung memilih pergi tanpa sepatah kata yang terucap disertai wajah lempeng yang akhir-akhir ini terang-terangan ia tunjukan pada Rai. Biasanya tidak, keluarga kecil mereka sama sekali tidak ada yang berani mengacuhkan Rai sebab itu aturan dari Ayah Biru.

"What are you doing, cantiknya bunda?" Calista menoleh ke arah suara lembut itu.

"Read a book nda and---mendengarkan Raga bercerita mengenai apalah itu jump shoot, jump ball, lay up shoot. Dia selalu merasa paling keren sedunia jika membahas hobinya itu. Ridiculous!" Rai tertawa setuju, Raga rela banyak omong jika sekali saja dipancing membahas hal berbau basket.

Panjang rambut Calista sepunggung, tebal dan hitam pekat diusap lembut oleh Rai. "Bunda ingin mendengarkan cerita petualangan mu kemarin, boleh kah?" sepasang bola mata Rai mencuat harapan besar.

"Boleh nda, asal janji jangan marah. Deal?" anggukan mantap Rai jawaban setuju.

Sudah dikatakan Calista bukan anak yang mudah berbohong, semua cerita lengkap ia beritahu. Dibagian mereka hampir terpatok ular bibir Rai pucat, detak jantung berpacu lebih kencang. Luka lamanya perlahan terbuka....

"Nda?" panggil Calista sebab air muka Rai amat tegang. Rai mengerjap, tersenyum tipis.

******

Bukan hanya perasaan Calista saja tetapi satu rumah juga, tentang Rai yang berubah semenjak Calista menceritkan petualangan tempo itu.

Raga mengambil lemparan kaleng bear brand dari ayahnya kemudian berjalan ke kolam ikan di belakang rumah.

"Take care, nda!" ucap Calista saat Rai selesai mencium keningnya. Melihat itu Raga hendak berbalik badan untuk menghindari kebiasaan Rai yang jika pergi kerja pasti mengecup kening mereka berdua.

Baru satu langkah Raga sudah ditahan oleh Rai. Mendelik ke atas, Rai hanya tersenyum tipis, begitu saja---- dan melengos berjalan menjauh. Raga tertegun walau kemarin-kemarin Raga menunjukan mimik risi ketika dikecup Rai tetap senyum, beda dengan barusan.

Berpamitan pada Xabiru pun tanpa buka suara, hanya mencium tangan. Saat Xabiru tanya puluhan kali jawaban Rai 'tidak apa-apa' akhirnya Xabiru memberikan luang agar Rai bisa lebih tenang untuk siap cerita.

"Kau sadar tidak? Bunda hanya mengeluarkan beberapa kata saja dari kemarin?" tanya Calista, Raga menegak bear beand mengangguk. "Bunda juga sudah jarang tersenyum, dia banyak diam. Itu lebih menyeramkan dari kebiasaannya yang selalu mengomel jika kau main bola basket di ruang tengah yang membuat barang-barang pecah jadi korban."

"Kau sengaja mencari kesalahan ku, hah?"

"Siapa bilang itu benar?! berakhir dibela ayah, kau tidak tahu heh malamnya Bunda cekcok dengan ayah karna terlalu mewajarkan tindakan kurang ajar mu itu," ketus Calista.

"Memang wajar, aku hanya merusak televisi, lemari kaca dan vas bunga."

"Dan lukisan, lampu atas," tambah Calista sewot. Raga diam kalah omong, ia mencari suasana baru dengan mencoba main basket di sembarang tempat.

Mata Calista memecing ke depan. "Katanya sih diam adalah puncak amarah paling tinggi."

Menggunkan celah jari Raga menyingkirkan rambut panjangnya yang menutupi mata. "Kata siapa?" umur sepuluh tahun saja suara Raga sudah terdengar serak.

Calista menunjukan buku tebal di pahanya. "Kata narasi dari buku sastra yang sedang ku baca ini."

Raga berdecih mengejek. "Kutu buku."

PLAK!

Tahu rasa kena geplak buku milik Calista. Cukup kencang sampai Raga meringis dibarengi mengusap kepala. "Kau juga ku perhatikan akhir-akhir ini cuek pada bunda, kenapa? dikutuk jadi batu tahu rasa kau."

"Batu tampan maksud mu?"

PLAK!

"TATA!" omel Raga karna kena pukul buku lagi. Siapa suruh menjawab pakai bercanda.

"Tidak lucu! kau dengan ayah saja tidak ada mirip-miripnya, mana ada tampan?" cemooh Calista, dia sudah mendefinisikan jika ayahnya adalah laki-laki paling tampan.

Itu sedikit mencubit hati Raga, ditambah saat kumpulan keluarga besar ada salah satu anggota yang mencetus Raga memang tidak mirip Xabiru, dari segi bentuk hidung, bola mata, alis dan lainnya. Sempat Raga berpikir nyeleneh apa jangan-jangan ia dan Xabiru memang tidak memiliki ikatan darah resmi?

"Kau jika melamun tidak jauh beda dengan kambing yang akan disembelih," ejek Calista tertawa.

"Enak saja!" sergah Raga cepat. "Urusan ku marah atau tidak pada Bunda, anak kecil seperti mu yang hanya tahu novel-novel sastra agar jadi cerdikiawan lebih baik diam."

PLAK!

"CALISTA AMORA!" amuk Raga mengepal tangan ke udara, dadanya membusung. Calista pelaku geplak buku itu memeletkan lidah santai, kepalan tangan Raga hanya di udara tidak akan mendarat di pipinya.

Sebagai lelaki sejati ia memegang teguh prinsipil yang Xabiru ajarkan untuk tidak 'enteng tangan' terutama pada perempuan mau itu semarah apapun, kodrat wanita tetap nomer satu.

Mengatur nafas, coba mengubur emosi dalam-dalam, sejurus kemudian...

CUP.

"IUHHHHHHH!" seruan Calista marah-marah, menepuk kembali kepala Raga, kecup pipi singkat saja ia bisa badmood satu bulan.

******

Hukumnya beda lagi, jika sudah menikah, terikat aturan saklar surga jadi ada di telapak kaki suami. Alasan itu yang membuat Rai tetap berbakti meski dalam keadaan marah sekalipun, sederhana seperti sekarang tidur menghadap Xabiru tidak membelakanginya.

Xabiru mendekat, memeluk Rai dengan hati resah. Seminggu lebih ia tidak dapat 'bagiannya' karna acara ngambek Rai. Xabiru tidak berani meminta walau Rai pasti akan setuju saja karna jika menolak dosa besar, Xabiru pikir... benar-benar tidak lucu jika berhubungan badan dalam acara ngambek istrinya itu.

"I love you," bisik Xabiru sebagai ganti ucapan selamat malam. Rai tidak menjawab, pura-pura tidur. Dijawab 'dalam hati'.

Pukul setengah dua malam, Xabiru buka suara. "Sayang bobo," katanya mengusap rambut Rai yang mendelik ke atas.

"Kamu tau aku belum tidur?"

"Tau, aku dari kemarin-kemarin nggak tidur nunggu kamu tidur duluan," lembut suaranya.

"Jadi...." Rai terdiam sebentar. "Cuma pura-pura perem?

Xabiru mengangguk. "Mana bisa aku tidur nyenyak kalau ternyata istri ku larut sama masalahnya sendiri?"

Bum! Rai kira Xabiru diam masa bodo. Rai terhenyak.

"Maaf, ya?" tak ada respon. Xabiru berdehem merasakan kaosnya basah kena air mata. "Kalau aku jadi belalang sembah kamu masih marah nggak?" gurau Xabiru random. "Atau gimana kalau aku jadi bingkai foto presiden aja biar bisa melulu diucapin selamat pagi sama anak-anak kelas, eh jangan istri ku cemburuan."

Biasanya Rai receh tertawa, membayangkan Xabiru jadi belalang sembah yang ditangkap jarjit lalu ditanya bagaimana cara tidurnya.

"Jadi kamera aja ya? biar bisa desenyumin kamu terus," lanjutnya Rai menggeleng.

"Eh mau denger aku pantun aja? ah gak seru kamunya udah cakep duluan," gelengan Rai serta isakan yang mulai kencang membuat Xabiru menyudahi bercandanya. "Sayang... hei?" mengusap semakin lembut Surai Rai. "I'm hare, sama kamu. Selalu, nggak akan kemana-mana," ucap Xabiru sebagai kata ampuh untuk menenangkan.

"Bohong."

"Sayang...."

Gelengan Rai makin kencang, dilakukan berulang kali. "Kenapa sih kamu gak bisa belajar dari pengalaman," jerit Rai serak tertahan di tenggorokan.

"About?"

"Your terrible adventure!" balas Rai menepak kencang dada Xabiru. Ujaran ketus Rai membuat Xabiru paham, itu sebagain besar alasan istrinya banyak diam dan jarang tersenyum.

"Maaf," hanya itu yang terlontar penuh kelembutan, Xaviera dan Rai tidak jauh berbeda keduanya mudah luluh lewat usapan. "Aku salah, maaf."

Sebersikeras apapun kebenaran laki-laki akan tetap salah jika posisi amarah perempuan memuncak. Jalan pintasnya minta maaf, membiarkan emosi dan tangisannya pecah.

"Aku gila, gila banget. Gila saat kamu dikabarin meninggal tahun gelap dulu. Kamu ngerti arti gila gak sih?" ketus Rai berderai air mata. Katakan dirinya terlalu lebay, cengeng atau apapun itu lah yang namanya trauma tetap trauma.

Pelukan Xabiru mengerat pada tubuh mungil Rai, jutaan meteor menghantam dadanya kuat-kuat, sakit mendengar suara getir itu. "Dimanapun, dalam keadaan apapun termasuk ada di luar negeri sekalipun aku detik itu langsung pulang saat denger kabar salah satu anggota kita ada yang 'celaka' gak peduli sama segala hal 'penting-penting' itu, simple jawabannya, karna kalian pusat hidup aku, dunia ku."

Hidung Rai kedat. "Ini bukan sekedar ketakutan buat sedarah daging tapi juga buat ikatan saklar aku sama kamu! NGERTI GAK SIHHH?!"

"ULAR, ULAR SIALAN ITU! GIMANA HAH? GIMANA KALO ULAR ITU GIGIT KALIAN, SALAH SATU DARI KALIAN TERANCAM PERGI?" teriak Rai, hidungnya merah dan mata sembab. "Tega banget sih, tega nyepelein trauma aku."

"Sayang, Husss. Nggak-nggak," bantah Xabiru tegas namun lembut. Ia sadar ternyata larangan Rai berpengaruh besar membuka luka lama.

Isakan Rai menyatu dengan sesak hati Xabiru. Membuat suasana tambah dingin.

Egois.

Demi tuhan tengah malam itu Xabiru benar-benar baru sadar bahwa Rai si Ibu dari dua anak juga cinta kasihnya tengah berusaha memulihkan diri dari masa gelap.

"Maaf egois Bunda cantik ku. Kita sembuh sama-sama ya."

Jeda.

"Kita obatin sama-sama juga."

Rai mengangguk samar.

"Biar bahagianya juga sama-sama," katanya mengecup sayang puncuk Rai. Dibiarkan lama, kalau bisa tidak mau lepas.

Semesta tolong catat kedepannya mereka bukan hanya suami istri di atas surat menikah, mereka sudah di atas level itu.

Dua luka yang saling menyembuhkan, menjahit perlahan dan sembuh bersamaan.

*******

Dua hari setelahnya Raga semakin banyak berubah, mungkin hanya perasaan Rai saja? ah tidak, anak itu jadi cuek, gampang marah dan diam saat Rai ikut obrolan.

Raga menggeram saat panah yang ia tembakan tidak melesat tepat di titik tengah. Ketukan pintu terdengar. "Bunda boleh masuk?"

"Boleh."

Rai masuk ke kamar yang sengaja di cat keseluruhan hitam, banyak stiker-stiker Captain America dan juga koleksi berbagai robot power rangers di laci kacanya. Sudut kanan terdapat alat gaming. Rai duduk di sisi ranjang. "Bunda besok libur, mau dimasakan apa sayang?"

"Hanya itu?"

"Eh? Raga ingin cerita pada bunda about your daily life?"

"No."

"Lalu apa?"

"There is not," katanya duduk di sebelah Rai.

"Eummm, kalau begitu bunda yang bertanya boleh?"

Alis Raga terangkat satu. "Siapa gadis yang kamu suka itu?" tersenyum kecil berharap anaknya akan memberitahu.

Jeda.

"Is it important?" luntur senyum Rai.

"Penting, kenapa hanya ayah yang diberitahu? I'm jealous."

"Karna hanya ayah yang peduli padaku," kata Raga membuat darah di tubuh Rai berdesir lebih cepat. "Bunda lebih peduli tata."

Hening. Mencelos ke jantung. Mata Rai berkaca-kaca.

"Aku selalu jadi nomer dua. It sucks," lanjutnya menunduk. Rai menggenggam tangan puteranya, mengusap-ngusap lembut.

"Bunda peduli sama Raga juga, sayang banget bunda."

"Oh ya? apa kah bunda tahu berapa nilai ulangan ku Minggu ini?" diam lagi, sebelumnya Raga pernah memberitahu tapi Rai tengah sibuk. "Terbukti hanya ayah yang tahu," ia melepaskan tangannya dari Rai.

"Aku butuh istirahat, besok jadwalnya tanding basket bunda juga tidak tahu itu bukan? lebih baik bunda pergi." Raga membaringkan tubuhnya di ranjang, menutupi selimut sampai ke dada. Rai terhenyak, mengusap dada mematikan lampu nakas lalu mencium lama puncuk puteranya.

Berjalan lunglai menuju kamarnya, hati ibu jelas sedih mendengarkan semua tutur kata sarkas yang terlontar enteng dari anak. Xabiru dan tata pergi membeli permen kapas, Rai akhirnya duduk di lantai sebelah ranjang kamar, memeluk dua lutut dengan pandangan yang kosong.

Kalang kabut pikirannya, akhir-akhir ini ia benar-benar merasa lelah lahir batin, terasa untuk bernafas saja pengap. Xabiru bilang konteks kata menangis tidak selamanya berarti lemah ada arti lain, menangis bisa berarti hal paling sederhana guna menghilangkan beban yang 'tidak pernah hilang' bebannya tetap ada tetapi sesak yang berkumpul sedikit terkikis lewat air mata.

Rai menenggelamkan wajah di pelukan kaki, terisak meluapkan sesak juga letih. Menangis bisa jadi juga keperluan seluruh mahluk hidup di muka bumi. Untuk itu jika kalian merasa ada di titik paling sedih sekali-sekali tidak apa menangis, kalian tidak akan dianggap cengeng apalagi lemah. Percayalah orang terkuat sekalipun pasti pernah meneteskan air mata.

Anak-anak rambut menutupi wajah Rai. Sibuk menangis sampai tidak sadar ada sosok laki-laki berpakaian rapi yang berdiri di depannya. "Bunda...."

Dalam hitungan detik Rai langsung mendelik. "Bisakah kita makan malam bersama?" tanyanya lembut sambil menengadahkan tangan.

Rai terperanjat. Menatap dari bawah sampai atas, jas hitam dengan pita kecil sebagai pengganti dasi yang puteranya kenakan begitu cocok dikenakan, Raga amat terlihat tampan dan gagah. Rambutnya di sisir rapi juga wangi parfum vanila yang menyeruak ke hidung Rai.

Raga mengedikan bahu beserta bibir santai, gaya khasnya. "Will you go on a date with me? ku harap suami mu tidak marah saat istrinya ku rebut malam ini."

Mendengar itu membuat Rai tertawa sambil mengusap air matanya, memeluk sang putera sangat erat. "Sayang bunda kangen sama kamu, jangan kaya gitu lagi ya? promise?"

Raga balas memeluk, kepalanya mengangguk diiringi kekehan geli. "Promise, maafkan aku bunda. Aku hanya sedikit cemburu saja pada si bawel tata."

Tawa kecil lagi-lagi terdengar. "Bunda mau! mau diner sama kamu, tunggu ya? tungguin bunda jangan kemana-mana," katanya agak lebih ke mengancam. Raga sedikit terkejut saat Bunda menariknya duduk di ranjang.

Sungguh, Raga geleng-geleng kepala melihat Rai cepat mengambil handuk dan lari ke kamar mandi, apa sesenang itu kencan dengannya?

Dress warna hitam selutut yang Rai kenakan amat membuat aura kecantikannya makin terlihat tambah surai panjang yang di gelung pakai pita, simple juga elegan pembawaannya.

Raga bangkit, mengajak bunda untuk jalan bergandengan layaknya kencan dengan laki-laki sebaya. Rai tersipu, tersenyum manis bergandengan dengan pangeran kecilnya.

Acara cemberut serta drama ngambek-ngambek sudah hilang total. Di dalam mobil mereka kembali bercengkrama. "Kenapa Bunda harus tanya siapa cinta pertama ku sedangkan jawabannya bunda sendiri?"

"Bunda?"

Dengan tatapan teduh Raga mengangguk. "You are my first love, nda...."

Bukan Raga bocah sepuluh tahun yang ada di hadapannya, ini persis seakan Juna! Rai terpaku sesaat. "Always and forever," tegasnya lalu mengecup pipi Rai yang malah tertegun.

Rai menangkup pipi Raga dan menciumnya bulak-balik. Kalau di depan Xabiru melakukan seperti ini Raga sudah di seret menjauh, si biang kerok aneh! cemburu pada anak sendiri.

"Jika ada yang bertanya pada ku, who is the most beautiful woman in the world? aku jawab Bunda. Bunda seorang," kata Raga jujur.

"But.... jika ada yang bertanya siapa yang paling bunda mu sayang? ku jawab...." Raga menghela nafas jengkel. "Ayah. Pelit, aku dipaksa menjawab itu olehnya seakan tidak boleh ada yang Bunda sayangi selain dirinya, takut tersaingi! pencemburu! posesif!" umpat Raga misuh-misuh. Terbahak Rai tertawa.

Xabiru dan raga lebih dari kata akur kecuali tentang Rai, keduanya sama-sama manja, tidak mau mengalah.

Raga menuntun tangan Bunda untuk turun dari mobil, mereka sudah sampai di depan restoran siap saji favorit Rai tentunya, bangunannya berlantai tiga dengan interior Yunani kuno ini terlihat mewah, dari mulai bagian luar sampai isi di dalamnya.

"Kok gelap? tutup kali sayang---RAGA?!" anak itu tiba-tiba hilang di kegelapan ini, Rai berputar panik mencari anaknya.

"RAGA KAMU DIMANA SAYANG?!"

Kepanikan Rai sirna cepat saat lampu menyela, seluruh keluarga menatap dirinya, tersenyum bahagia. Dari jauh Xabiru yang memakai jas hitam rapi berjalan mendekat ke arah Rai sambil membentangkan tangannya. "Eh?"

"Happy anniversary kesepuluh tahun pernikahan kita, sayangku," bisiknya lembut lalu mengecup lama puncuk kepala Rai.

Rai tidak langsung menjawab, ia menoleh ke arah puteranya yang santai memasukan dua tangannya ke saku lalu pada Xabiru yang paham maksud tatapan Rai, menyengir. "Jahat banget?" grutu Rai cemberut. Sebelum tambah meledak ia kembali ditarik dalam dekapan dada lebar milik Xabiru. "To honey, maaf kalau sering ngancem tidur di rumah tentangga."

Aurora yang umurnya sudah tujuh belas tahun itu menyibak dress-nya ke atas, ribet sekali. Ia tadinya akan memakai hodie tapi di marahi oleh papa Kale. Cengengesan berjalan menuju Rai. Memeluk sayang. "Selamat ya, bunda!" katanya tersenyum penuh arti. "Semoga, eummm---" melirik pada wajah lempeng Raga, menaik turunkan alisnya untuk menggoda. "Kasih restu aku nikah sama si galak raga, mwuah!" melayangkan kiss bye yang membuat Raga bergidig kengerian.

Demi apapun geram sekali Aurora pada keponakan kutub antartiknya itu. Rai tertawa renyah. "Anaknya tuh Bun kenapa sih sok cool banget?!" cemooh Aurora monyong-monyong. "Lebih cocok jadi anaknya papa Kale dari pada ayah biru!"

Kali ini Xabiru ikut tertawa setuju, raga bukan anak yang gampang akrab pada orang lain. Mirip dengan Kale memang, bagaimana tidak saat hamil Raga yang sering Rai lihat tidak jauh dari abangnya yang bulak-balik ke rumah Risa.

Raga berdecih pelan. "Nama princess tapi sikapnya seperti the doll, kekanakan, cerewet, rempong."

"ENAK AJA!" baru Aurora maju selangkah Raga sudah mundur tiga kaki ke bekalang membuat Aurora semakin menggeram marah. "MAU PELUK RAGA! JUAL MAHAL BANGET SIH? DI CICIL TAU RASA!"

Dengan wajah tenangnya Raga menjawab datar. "Tidak punya uang sok-sokan mau peluk."

Tawa satu keluarga saling beradu di ruangan itu. Dilanjut ucapan selamat dari yang lain. Anya sendiri sibuk menemani Calista mencicipi ribuan cupcake kukus yang ada di meja makan, lahap memakan berdua. Kalau Calista memang mirip Anya, anggun, suka nyemil, lemah lembut. Sedangkan Aurora ya---agak banyak tingkah sama dengan Rai.

Setelah acara utama selesai mereka semua berpencar, terserah mau kemana. Toh malam ini restoran hanya untuk keluarga mereka.

Raga duduk tenang di salah satu bangku yang jauh dari keluarganya, ia mengeluarkan sapu tangan warna biru dari saku jas, menyunggingkan senyum manis saat otaknya memutar satu momen dimana dua harian yang lalu Nesya mengompres luka wajahnya menggunkan sapu tangan tersebut, gadis kecil berponi itu kenapa menarik sekali di mata Raga?

"Cie, apa spesialnya sih sapu tangan biru itu? ku perhatikan dari kemarin kau terus saja memperhatikannya," suara dari mulut celemot cream kue itu membuyarkan pikiran Raga. Ia segera memasukan kembali.

Tidak seperti biasanya, kali ini Raga tersenyum hangat, menggeleng, mendekatkan wajahnya pada telinga sang adik. "Tata kau harus lebih banyak lagi makan kue-kue manis agar tubuh mu membesar lalu jadi balon dan terbang ke langit, kau bukannya ingin bertemu para unicorn itu?" sumringah wajah lugunya mengangguk.

"Pintar! kau juga harus ikut, ayo makan!"

"Dengan syarat."

"Apa?"

Tangan Raga di silang depan dada. "Panggil aku Abang."

"No."

"Satu kali."

"No!"

"Abang, ayolah aku lebih tua dari mu."

"Hanya berbeda satu tahun."

Raga berdesis, wajahnya murung. "Hanya sekali, aku janji."

"Will not," grutunya merotasikan bola mata.

"I'm your brother!"

"I don't care, i don't want to!"

"Just once."

Calita menggeleng. "No, that... that's creepy."

"Lebih menyeramkan mana dari pada kau harus terbang sendiri dan bertemu dengan moster penunggu disana?" jurus menakuti keluar.

Ketara pasi Calista yang ciut membayangkan. Raga menarik Calista mengangkatnya untuk duduk di paha lalu dengan telaten rambut adiknya itu ia kepang. "Mudah saja, hanya memanggil Abang. Tidak perlu ada embel-embel tampan atau whatever that is, betulan hanya Abang. Tidak akan ku rekam seperti sebelumnya."

Sepele mungkin bagi kebanyakan Kakak tapi bagi Raga panggilan itu menggemaskan sekali jika keluar dari mulut kecil adiknya. Saat Calista masih bayi Raga selalu mengurung diri hanya untuk bermain dengan tata ketimbang dengan teman sebayanya.

Mahir dua tangan raga mengepang rambut panjang adiknya. "Saat kau sakit aku dan ayah banyak membelikan mu little poni dengan warna merah muda yang kau suka, it is funny..."

"Yeah super cute, how many?"

"Sudah ada tiga dus di kamar ku," kata Raga. Berbinar mata Tata.

Tata mendelik kebelakang. "Do you miss me?"

Raga terdiam. "NO! jangan harap," ucapnya gengsi. Tata mencebikan bibir.

Ide muncul, ia turun dari pangkuan Raga, tersenyum menatap wajah tembok itu. "Kau merindukan ku abanggggg?"

Sontak wajah itu cerah, mengangguk dan tersenyum lembut. "YAAAH! I miss you so much, tataaaaa!" gadis manis itu tertawa, kejadian langka.
Ia mencium pipi abangnya.

Di lain sisi ayah dan bunda mereka tengah menatap pemandangan jalan kota Jakarta dari lantai atas gedung, semua terlihat jelas dari sini. Udara dingin menerpa wajah, terlalu banyak polusi hingga benda langit semacam bintang atau bulan kosong molompong.

Kedua tangan Xabiru memegang pembatas besi tersebut, menoleh pada istrinya. "Udah berapa lama kita jarang sesantai sekarang? Tata yang sakit, urusan klien kamu, kerjaan aku. Kadang aku lebih kangen masa SMA yang dulu, kerjaannya cuma bikin pipi kamu kaya tomat."

Rai menghembuskan nafas panjang, ia setuju ucapan Xabiru. "Aku...." bola mata Rai balik menatap Xabiru. "Kangen aljabar."

"Mau heran tapi kamu yang ngomong," kata Xabiru sedikit sinis, ia kira Rai akan berkata puitis.

Raut wajah kesal Xabiru membuat Rai tertawa. "Juga kangen narik kamu yang suka kalap kalo berantem, dasar jagoan sekolah."

"Dasar murid kesayangan guru----kesayangan aku," ralatnya mengedipkan satu mata. Sialan, Rai tersipu sendiri.

"Apa ini?" tanya Rai saat Xabiru menyodorkan kotak kado. Ia membuka untuk menghilangkan penasaran, tertegun sesaat kala melihat isinya.

"Dari awal itu kaya udah punya aku, nggak mau aku balikin. Berat banget rasanya, lemari ku juga kaya punya magnet buat narik cardigan kamu untuk netap, ternyata emang itu udah di atur takdir. Saat di Berlin kalo aku kangen cardigan kamu itu yang sedikit bisa ngilangin kangen aku," papar Xabiru menarik cardigan lama itu dan memakaikan ke belakang tubuh mungil Rai, mata mereka saling bertatapan, semburat rasa haru dan senang berpadu jadi kesatuan.

Jeda beberapa detik.

"Sekarang aku balikin lagi sebagai tanda makasih udah nemenin aku selama ini. Makasih udah nyelamatin anak keras kepala yang di kejar-kejar preman dan makasih karna kamu dunia yang dulu selalu ku bilang jahat jadi terasa adil. Hari itu mungkin hari kematian aku kalo kamu nggak sukarela nolong. Kita berhak bahagia, bukan cuma aku ataupun kamu tapi kita dan keluarga kecil yang kita punya. Promise?"

Kelu lidah Rai, mengangguk lalu cepat memeluk tubuh Xabiru yang mencium puncuk kepalanya. Rai tidak menyangka cardigannya saat awal bertemu masih Xabiru simpan bertahun-tahun. "Aku minta hadiah paling mahal ke Tuhan dan kamu adalah jawabannya."

Sederhana yang baru disadari, Xabiru adalah jawaban dari Tuhan atas permohonan-permohonan Rai selama ini, bahagia, beruntung, tertawa dan tersenyum bisa terkabul saat bersama sosoknya.

Sosok laki-laki bernetra hijau yang sempurna dengan lukanya.

-Akhir.

*******

Terima kasih untuk diri saya sendiri dan pembaca setia:3

Biru sama tokoh lain salam katanya, sehat-sehat, rajin sekolahnya, ambil hal baik dari cerita ini. Do'ain Zergan punya bini. Oke besti, bye!<3

Ceritanya udah sampe akhir. Kelar. Boleh2 yg mau mutualan follow ig aku, siska_wdr10.

HADIAHNYA, putera sulung Rai punya lapaknya sendiri. Yapss, cerita Ragaaaa anak bapak Juna atau--eh anak master X? HAHAHA AYO BACA.

Judulnya: Testudines

Jangan lupa rekomendasiin cerita ini ke temen kalian ya, thank you all, we are all great!💙💙💙

Continue Reading

You'll Also Like

3K 1K 32
Kisah ini bukan menceritakan tentang luar angkasa maupun isinya. Melainkan kisah tentang seorang gadis bernama Rayana Libra Antariksa yang dicintai o...
3.5M 390K 67
"Lo kenapa segitunya bela gue sih?" "Gue berada di titik dimana gue bisa kasih seluruh hati gue untuk lo Ra." °°° "Hera, lo udah suka sama gue?" "Gue...
68.4K 6.8K 22
#Baskara Universe #Saraga "Aku seperti berada di lembah abu. Terjebak di antara waktu dan kisah hidupmu." Amora--cewek itu tahu di dunia ini tidak ha...
17.1K 606 14
"Jangan percaya sama muka gua. Lo belum tau siapa gua sebenernya." _______________________ 2019 ©khoeriyahtinah