Arcadia | KNJ

By frvrxxodairable

184K 29.9K 36.7K

Dan saat jiwanya mulai lelah, Namjoon mendengar bisikan itu. "Kembali ke sini, kau akan temukan yang apa kau... More

Off the Map
Healing Souls
Stay Here
Embrace Me
Arcadia: Video
Gray Sight
Homelike Kindness
Falling in Love
Melody From the Past
Bliss of the Soul
Another You
The Heart Knows
Living A Lie
Mystery of the Human Mind
Child at Heart
Departure Time
Like a Mirror
Late Night Confession
Make It Right
Arcadia: Trailer 1
Eternal First Love
Those Who Left and Stay
Before It's Too Late
Waiting For You
The Safest Place
You Still Hold Me
Zero O'Clock
Another Hidden Truth
The Warm Hug
From The Start
Whenever, Wherever
Small Warm Town
The Unexpected Life
Last Day of Winter
Epilog: The Turning Point
Informasi Penerbitan!
OPEN PRE-ORDER
Vote Cover + Giveaway!!
Trailer 2 + OPEN PO

The Realest of Them All

1.6K 415 484
By frvrxxodairable

Lantaran nilai rapor Namjoon teramat bagus selama sekolah, aku penasaran mengapa ia memilih untuk menempuh karirnya yang sekarang.

Padahal, dengan nilai itu, ia bisa memasuki kampus terbaik di Korea, lalu sangat mungkin untuk bekerja di kantor besar.

Hari ini rupanya adalah hari keberuntunganku, karena aku mendapatkan jawabannya kala berjalan menyusuri kota Seoul yang nyaris membeku.

"Mendengar lagu rap adalah caraku untuk melarikan diri dari stress yang kudapatkan dari belajar keras," ucapnya sembari menaikkan kedua bahu.

Namjoon mengeluarkan tangannya dari saku jaket abu-abu tebalnya, kemudian merapatkan topinya yang memiliki warna senada. "Saat aku belajar, aku tidak punya tujuan. Aku mungkin bisa mendapatkan jalur karir yang pasti karena baik dalam belajar, tapi lambat laun aku sadar aku menjadi orang yang tidak punya keinginan dalam hidup," lanjutnya.

Kuamati raut wajahnya yang tampak serius. Namjoon kembali menceritakan masa lalunya. "Jadi aku mulai menggeluti genre rap dan membentuk grup rap pertamaku bersama teman saat kelas tiga SMP."

Aku mengangkat alis, "ternyata kau memulai cukup awal juga."

Namjoon tersenyum tipis. "Tapi menjadi idol tidak pernah menjadi bagian dari rencanaku. Saat aku mengikuti audisi dan diterima di Bighit, grupku seharusnya adalah grup rap yang tak perlu dance sama sekali."

Seketika, Namjoon menghentikan langkahku dengan memegang sikuku. "Tali sepatumu lepas," ucapnya.

Lantas, aku menurunkan pandangan. Tali putih sepatu kets bagian kiri yang aku kenakan teruntai di trotoar.

"Ah, terima kasih," ucapku kemudian menjongkok dan segera mengikat tali sepatuku.

Setelah terpasang kembali, kami berjalan.

"Pasti sulit menerima perubahan sebesar itu," ucapku, merespon obrolan Namjoon yang sempat terhenti tadi.

Ia menganggukkan kepala. "Untung saja Bang PD mengkomunikasikan segalanya dengan jelas dan membebaskan pilihanku. Pada akhirnya aku memilih untuk melanjutkan dan menerima perubahan itu."

"Mengapa kau pilih untuk lanjut? Bukannya kebanyakan rapper tidak akan sudi mengubah titelnya menjadi idol?"

"Semuanya memang terasa sulit, bahkan setelah debut aku terus-terusan mempertanyakan identitasku. Namun sejak awal aku punya tujuanku sendiri. Aku ingin musikku didengar oleh banyak orang. Menjadi rapper atau idol, tujuan itu tetap bisa dicapai. Jadi akhirnya aku memutuskan untuk membuang label-label itu atas diriku, artist atau idol, aku tidak peduli."

Ucapan Namjoon itu membuat diriku mempertanyakan tujuanku sendiri. Tentang mengapa aku ingin berkarir sebagai pianis selain karena memang bermain piano adalah hal yang menyenangkan bagiku.

Jujur, pada beberapa menit pertama tidak ada alasan lain yang muncul di kepalaku selain karena ibuku. Tapi beberapa saat kemudian, email yang aku terima dari Ivan Kalhous muncul di kepalaku.

Aku berdeham, menatap lelaki itu ragu. "Kurasa aku sedikit mengerti tentang bagian itu."

"Bagian yang mana?" tanya Namjoon.

"Hm.." aku memiringkan kepalaku sedikit. "Mengapa kau ingin musikmu didengarkan."

Namjoon hanya menatapku datar, menungguku melanjutkan.

"Kau ingin menyalurkan rasa tenang bagi orang lain? Meski terdengar klise, tapi semacam membantu mereka melalui musik.. begitu?"

Kami tiba di tent bar bertirai plastik warna merah, tujuan kami.

Sebelum mengajakku masuk, lelaki itu menggeleng. "Tujuanku adalah untuk membuktikan eksistensiku, aku ingin didengar banyak orang agar aku benar-benar merasakan bahwa aku ada."

Kedua alisku terangkat.

Ia tersenyum tipis, "kaja." (ayo).

***

Perutku mulai terasa aneh saat meneguk soju botol ke dua. Wajah Namjoon disinari lampu pijar kekuningan yang berada di atas.

Ia tersenyum tipis di balik syal hitam yang tak dilepaskan sedari tadi, bahkan saat sedang minum. Seolah takut wajahnya dikenali meski hanya ada kami berdua di tempat ini, selain imo-nim (bibi) yang bermain ponsel di belakang kasir.

Aku merasakan alkohol melewati tenggorokanku.

Setelah benar-benar selesai meneguknya, aku bertanya pada Namjoon. "Kau tidak ahli minum?" tanyaku padanya, lantaran ia telah berhenti sejak gelasnya yang ketiga.

Ia menggeleng, "bisa, tapi aku tidak boleh mabuk agar ada yang menjagamu."

Tawa ringan keluar dari mulutku. "Kebiasaan mabukku tidak seburuk itu. Jangan terlalu khawatir."

Namjoon ikut tertawa, "baguslah."

Kuangkat botol soju yang masih tersisa, lalu aku menawarkannya pada lelaki itu sembari tersenyum tipis.

Namjoon menghela napasnya kala mengukir senyum, tangan kanannya mengangkat gelas kosong dan berucap, "yang terakhir. Aku tetap merasa bertanggungjawab atas dirimu."

Aku menggeleng-gelengkan kepala saat ia meneguk soju tersebut.

Seketika, aku mengingat bahwa aku belum mengembalikan syal abu-abu yang ia berikan saat di rumah sakit.

"Ah, aku baru ingat tentang syalmu yang abu-abu. Nanti kalau bertemu lagi aku kembalikan."

Salah satu alis Namjoon terangkat. "Oh, yang itu. Tidak usah, gunakan saja."

"Kenapa?"

"Geunyang, sepertinya kau butuh." (Tidak ada alasan)

"Oke, kalau begitu terima kasih," ucapku lalu kembali meneguk segelas soju.

Alkohol selalu berhasil membuatku gelisah. Banyak pikiran dan perasaan yang sebenarnya mampu kuabaikan, muncul seketika dan seolah menggelitik dadaku.

Misalnya, tentang seberapa benci aku pada Haein. Atau misalnya lagi, tentang mengapa pria di hadapanku ini memperlakukanku dengan sebaik ini. Meski aku tahu bahwa aku adalah cinta pertamanya, tetap saja, itu telah berlalu.

Tidak ada alasan lain lagi untuk selalu mendengar keluh-kesahku, datang disaat aku perlu seseorang untuk diajak bercerita. Tak ada sama sekali.

Kecuali jika memang ia menyukaiku lagi.

Atau memang karena ia adalah orang yang sungguh baik?

Apa dia melakukan ini ke semua orang yang dekat dengannya?

Meski dengan jadwal sepadat itu, dia tetap menyediakan waktu untuk semua teman-temannya?

Lihat. Benar saja, aku tiba-tiba mempertanyakan banyak hal yang tidak perlu dipertanyakan. Harusnya aku bersyukur saja karena ada orang yang mau menemaniku.

Aku menghela napas, lalu kembali menuangkan cairan dari botol hijau itu.

Sebelum gelasku penuh, Namjoon mengulurkan tangan untuk mengambil botol tersebut dan meletakkannya di atas meja.

"Mungkin dengan mengeluarkan isi pikiranmu akan bisa jauh lebih melegakan dibanding minum ini," ucapnya lembut.

Keningku mengerut. Mungkin di dahiku tertempel tulisan 'sedang banyak pikiran', itulah mengapa Namjoon bisa dengan cepat menyadari keadaanku.

Aku mengurungkan niat untuk minum, lalu melirik ke jendela plastik bening yang menunjukkan pemandangan di luar sana.

Butiran kecil berwarna putih turun perlahan. "Salju sedang turun di luar," ucapku setengah berbisik.

Lelaki itu menolehkan kepala ke arah jendela. Untuk beberapa saat, kami terdiam memandangi salju.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Namjoon membuyarkan lamunan kosongku.

"Hm?"

Kemudian, menyadari konteks pertanyaan lelaki itu, aku segera menambahkan. "Oh, tentang itu.. aku tak tahu. Rasanya ingin marah pada Haein, atau bahkan pada dunia, meluapkannya seperti lahar gunung meletus, tapi itu tidak berguna."

Namjoon membasahi bibirnya. "Maaf karena memberitahumu tentang Haein. Jujur aku sangat ragu karena aku tahu kau akan sangat tersakiti, tapi hal-hal semacam itu selalu lebih baik jika diketahui lebih awal."

Aku menganggukkan kepala. "Jika aku jadi kau, aku juga akan melakukan hal yang sama."

Ingatan tentang apa yang terjadi saat kali terakhir aku bertemu dengan Haein muncul di benakku.

Perih. Rasanya minuman yang masuk dan tiba di ususku tadi berubah menjadi cairan rasa sakit yang kemudian dibawa oleh sel darah merah ke seluruh tubuhku.

Rasa perih itu menyeruak hingga tulangku ngilu.

Aku mendesis. "Sialan," umpatku.

Memang sangat rentan jika minum-minum di saat hatimu terluka. Rasa sakitnya akan jauh lebih terasa dibandingkan saat sadar sepenuhnya.

Kepalaku menjadi berat, aku menunduk dan meringkukkan badan. Kedua tanganku bertumpu di meja dan memegang keningku.

"Dain-ah?"

Suara lelaki itu terdengar khawatir.

Air mataku jatuh begitu saja.

Aku mengangkat wajah dan menurunkan tanganku, memberanikan diri menunjukkan kelemahanku di depannya.

"Nan neomu himdeureo," isakku. (Aku sangat kesulitan/kelelahan)

Aku menghela napas. "Apa yang kumiliki dengannya itu nyata. It was real, the realest love I have ever feel. Tapi ternyata baginya tidak begitu. Semudah itu baginya untuk melupakan apa pernah yang kami punya."

Kubasahi bibirku, "dan aku tak mengerti sejak kapan semuanya mulai berubah ke jalan ini, aku juga tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat sampai-sampai dia tega melakukan itu."

Namjoon menatapku dalam. "Mungkin memang bukan salahmu," responnya.

"Mungkin begitu, tapi mungkin juga karena beberapa hal yang kupikir bukanlah masalah, namun baginya ternyata iya. Mungkin karena aku terlalu mementingkan diri sendiri, memintanya mengunjungiku jauh-jauh sementara aku tak meluangkan waktu dan energi untuk melakukan hal yang sama untuknya."

"Tapi kau punya alasan tersendiri untuk itu, Dain-ah. Aku yakin kau sudah berusaha sebaik mungkin, jadi jangan menyalahkan dirimu."

"Atau mungkin karena aku tidak semenyenangkan perempuan itu," ucapku, yang membuat mataku semakin panas dan mengeluarkan air mata sekali lagi.

Lelaki itu menaikkan tangan kanannya di atas meja, hendak meraih tanganku. "Boleh aku pegang tanganmu?"

Isakanku terhenti sejenak, aku menatap kedua matanya yang hangat.

Aku mengangguk tipis, membiarkannya menggenggam tangan kananku. Dengan pelan, ia mengelus punggung tanganku dengan lembut.

"Menangislah sepuasnya malam ini. Tapi besok bayar dengan senyum sebanyak mungkin," ucap lelaki itu, tak kalah hangat dengan tangannya yang menyentuh kulitku.

Ajaibnya, senyuman tetap terukir di wajahku yang sembap akibat menangis.

Namjoon turut tersenyum tipis, tapi meski begitu lesung pipitnya tetap terlihat.

Tangannya yang bebas mengusap kepalaku pelan untuk beberapa detik.

Dan pada momen itu, meski tangisku masih ingin pecah—sungguh, hatiku berdesir.

Aku tahu ini perasaan apa. Tapi aku sedang berada di bawah pengaruh alkohol, jadi ada kemungkinan tubuhku salah mengartikan sinyal.

Benar. Pasti begitu.

***

Nyesek banget ga sih ditinggal nikah :))) HAEINN OH HAEIN TEGANYA DIRIMU

ANYWAY IM BACK AFTER A FEW MONTHSSSS

Soalnya tibatiba jadwal terbit arcadia diundur :)) dan ga ada kepastian beberapa saat sampe aku considering self pub aja, tapi thankfully penerbit udah netapin bulan fixnyaa yaitu OKTOBERR🥺🤍

I HOPE YOU GUYS ARE STILL WAITING TO HUG THIS BOOKK

ANYWAY ILL BE UPDATING EVERY WEEKEND SOOO KEEP UR NOTIFICATIONS ON!

Question of The Day: Pernah gak kamu rasain kehangatan seseorang meski lewat ucapan atau bahkan tatapan aja?

Kalau aku pernah, meski aku gak sentuh kulitnya sama sekali, aku gak rasain suhu tubuh orang itu, aku tetap bisa merasa hangat..

Thats the moment when you realize they are truly a warm person, when you know it without ever touching them

HEHEHE MALAH CURHAT

YODAH SEE YA NEXT WEEK

Xx,
Jysa.

Continue Reading

You'll Also Like

173K 14.9K 82
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
176K 6.7K 67
Ada tumpukkan kata yang tak sempat tersampaikan Di sudut ruang sang perasa Maka, Bersuaralah...
1.3M 110K 60
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...
11.8K 868 77
apa jadinya, jika hampir semua orang lebih memilih menghindari menyelesaikan persoalan utama kehidupan dan lebih memilih hidup tenang dan kepura-pura...