Di paviliun sederhana yang terletak di salah satu titik taman utama sepasang ayah dan putra sulungnya meniup teh panas di cangkir masing-masing. Seruput yang dibuat keduanya terdengar bersamaan dengan kicauan burung-burung yang berada agak jauh dari tempat mereka. Sinar matahari pagi yang hangat disertai hembusan angin sejuk beraroma tipis bunga dan dedaunan membelai memanjakan orang yang bisa merasakannya. Hadden menyusun momen dimana dia akan akhirnya membuka mulutnya setelah membiarkan kesunyian berlangsung di antara dia dengan putranya. Dia akhirnya mulai bicara. "Terimakasih sudah bersedia untuk bicara denganku di sini, Valias."
Abimala sang pemain peran remaja yang tubuhnya dia tempati itu membuat anggukan kepala. "Aku tidak keberatan."
Kemarin mereka makan malam bersama dengan ketiga anggota keluarga mereka yang lain. Tapi kini Hadden akan duduk hanya berdua dengan Valias. "Alasan kenapa ayah merasa ayah membutuhkan waktu perbincangan ini, karena ayah merasa, ayah belum meminta maaf dengan benar padamu. Dan juga, kala itu, bukannya aku yang membuat keputusan meninggalkan kau dan ibumu. Saat itu," Hadden berwajah pahit, "aku belum mempunyai kekuasaan untuk tidak mengikuti perkataan ibuku. Aku, aku memang pengecut dan ayah yang tidak bertanggungjawab. Tapi sekarang aku tidak akan pernah melepaskanmu. Keluarga kita, aku akan melindungi kita semua. Kau dan kedua saudaramu, juga Ruri."
Valias memberikan respons yang sejak awal memang sudah dia punya. "Aku sudah mengetahui itu. Itulah kenapa, ayah sudah tidak perlu merasa bersalah lagi. Aku sudah tumbuh dengan baik sekarang. Aku bisa mengerti alasan yang ayah punya bahkan jika kita memiliki perbedaan pendapat atau memilih jalan pengambilan keputusan yang berbeda. Yang ingin kulakukan sekarang adalah beradaptasi di dalam keluargaku. Aku tidak akan memisahkan diriku lagi."
Wajah Hadden dihampiri rasa haru. Dia menenangkan diri lalu menyesap teh-nya. Berkata. "Kau sudah cukup lama tinggal bersama dengan kedua adikmu di sini tapi kau belum pernah sekalipun meminta apapun. Jika ada sesuatu yang ingin kau miliki kau bisa memberitahuku atau pelayan yang kau tunjuk. Ngomong-ngomong, rasanya aku sudah beberapa hari tidak melihat Alister. Kudengar kau memberikannya liburan?"
"Aku harap itu keputusan yang bijaksana untuk memberikannya sedikit waktu berlibur," Valias menjawab. "Aku juga ingin suasana hatinya meningkat."
Hadden tersenyum. "Itu tidak buruk. Selama kau tidak mengesampingkan kebutuhanmu hanya untuk bisa memberinya beberapa waktu keluar. Aku senang seorang pelayan muda menggantikan Alister sementara. Dengan itu aku bisa menjadi lebih tenang."
"Sebagai ayah dan kepala keluarga Bardev aku mempunyai satu yang perlu kutanyakan padamu, Valias." Hadden bertanya ragu-ragu. "Apakah kau juga mempunyai keinginan untuk menjadi kepala bangsawan?"
Valias tidak sama sekali ragu. "Tidak. Posisi itu akan diberikan pada Danial dan aku hanya akan mendukungnya dari belakang."
"Apakah itu karena kau masih merasa asing dengan keluarga kita?"
"Tidak. Dalam tingkat kemampuan Danial lebih lah tepat untuk memegang posisi kepala keluarga dibandingkan aku," Valias berkata terus terang.
"Tapi itu tidak berarti aku merasa kecil dan tidak memiliki kekuatan," dia melanjutkan. "Sebagai bagian dari kebangsawanan Bardev, meskipun kehadiranku masih menjadi bahan buah bibir bangsawan-bangsawan lain aku juga punya cara yang kupilih untuk menyokong keluarga kita dan nama Bardev di dalam Hayden."
Hadden bertanya hati-hati. "Apakah itu dengan menjadi pendukung Putra Mahkota?"
"Aku tau Bardev sudah selalu menegakkan prinsipnya yang tidak memihak manapun. Karena itu aku pun tidak berencana menjadi pendukung keluarga istana," Valias menjawab. "Tapi jika dengan mengulurkan tanganku pada Putra Mahkota aku bisa ikut andil menjaga kekokohan Hayden, maka itu sama dengan aku melindungi wilayah dan keluarga kita."
Kerutan muncul di kening Hadden. "Itukah yang Putra Mahkota katakan padamu? Kau tidak sedang dalam pengaruh ucapannya, 'kan?"
"Putra Mahkota tidak seburuk itu," Valias berucap pelan. Menepis secara lembut. "Mungkin dia mengundang kewaspadaan karena dia adalah sang putra mendiang Raja Chalis. Tapi sebenarnya Yang Mulia Frey berbeda. Saat ini dia membutuhkan sebanyak-banyaknya bantuan yang bisa dia peroleh. Dan mengikuti kebijaksanaanku aku akan mendukungnya meskipun itu hanya sekedar sebagai teman."
Hadden menelisik kemurnian ucapan putranya. "Benarkah yang kau lakukan hanyalah menjadi teman berdiskusi Putra Mahkota di istana?"
Valias menjadikan ini sebagai denting lonceng markah. "Ayah. Ini yang menjadi isi diskusiku dengan Putra Mahkota."
Di kala Hadden sudah menunjukkan kesiapannya untuk mendengar Valias mengucapkannya. "Aku tau masa depan yang menanti Hayden," ungkapnya. "Perang dan kerusakannya."
Kedua mata Hadden membelalak. Valias melanjutkan. "Aku tau apa yang harus kita lakukan untuk mencegahnya dan dengan tujuan itu aku menemui Putra Mahkota untuk mendapatkan dukungannya."
Hadden terdiam. Valias lah yang mendapatkan dukungan dari Putra Mahkota dan bukan sebaliknya? "Apa saja yang harus kita lakukan untuk mencegah itu?"
"Ada zat-zat dan entitas-entitas yang tanpa diketahui orang-orang, tersebar di penjuru benua. Mereka yang tersebar mempunyai kandungan kekuatan yang memungkinkan manusia penggunanya melampaui batasan manusia biasa. Hanya yang kupikir tepat yang akan kukirim untuk mengambil entitas dan zat itu dengan perintah Yang Mulia Frey," Valias menyesap teh-nya, membasahi tenggorokan. "Ini operasi rahasia yang persuasinya hanya diketahui oleh Yang Mulia Frey dan aku."
"Yang Mulia Frey memberitahumu untuk merahasiakan ini dari kepala keluarga Bardev?" sangsi Hadden.
"Aku yang memberitahu Yang Mulia Frey untuk merahasiakan ini dari publik termasuk dari Yang Mulia Ratu," Valias menggeleng. "Aku tidak ingin menciptakan kekhawatiran di dalam masyarakat Hayden. Kepala bangsawan yang mengetahui tentang ini akan melakukan langkah pencegahannya sendiri. Suatu perubahan yang drastis akan menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan. Satu edaran rumor saja akan menimbulkan kegemparan dan kegelisahan. Itulah kenapa, percayalah padaku dan Putra Mahkota. Kami sudah menyusun siasat kami. Ayah pun bersikaplah seolah ayah tidak pernah mendengar ini dariku. Kegelisahan hanya akan memperkusam suasana, tidakkah ayah setuju?"
Hadden benar-benar kesulitan untuk merespons. Tapi yang Valias ucapkan sangatlah benar. Mengetahui sesuatu hanya akan mengacaukan pikiranmu. Bahkan sekarang pun benak Hadden diisi oleh kegelisahan dan otaknya berputar mencari cara bagaimana melindungi keluarga dan wilayahnya dari peperangan. Instruksi apapun yang dia buat untuk komandan prajurit akan menciptakan tanda tanya pada prajuritnya. Jika benar Putra Mahkota sudah mempunyai strateginya, maka Hadden hanya perlu mempercayainya.
Namun yang tidak bisa dia tutup mata begitu saja, Valias pun ikut andil dalam pembuatan strategi itu?
Putranya. Sang putra sulungnya. "Kau yang bekerja membantu Yang Mulia Putra Mahkota dalam melakukan pencegahan yang kau bilang ini, kau tidak ditempatkan dalam posisi yang membahayakanmu, kan?"
Valias tersenyum. "Sama sekali tidak. Ayah jangan khawatir. Aku tidak akan membuat keluargaku cemas."
Hadden menahan dirinya dari menggerutu gelisah. "Aku akan mempercayai Putra Mahkota. Sampaikan pesanku padanya bahwa aku tidak akan memaafkannya jika dia membiarkanmu terluka atau kelelahan."
"Aku punya persoalan lain untuk kutanyakan, Valias." Hadden memandangnya dengan sorot mata yang tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam bayangan lagi. Aku akan membuat perjamuan dan mengumumkan identitasmu. Kapan kau mau perjamuan itu diadakan?"
Valias memberikan jawabannya. "Di waktu umurku sembilan belas tahun. Pesta kenaikan umur sekaligus pengumuman. Kuharap ayah mengizinkanku untuk menundanya sampai saat itu."
Hadden bermuka cemas. "Kau tidak masalah dengan itu? Apakah ada alasannya?"
Valias mempunyai rencananya. Itu untuk Valias Bardev. "Aku mempunyai alasannya. Tapi aku belum bisa mengatakannya."
Hadden kebingungan dengan wajah gelisah. Tapi dia akan menuruti kemauan putranya. "Baiklah kalau begitu. Apapun permintaanmu." Dia memasang senyumnya.
Valias pun mengangguk dan membalas senyumnya. Di tempat lain, seorang tuan putri dari sebuah kerajaan besar yang membawa ciri khas keluarga istananya bersamanya sedang mengunjungi paviliun salah satu area istana tempat para mage memiliki aula pertemuannya sendiri. Berbeda dengan kakaknya Putra Mahkota dia memiliki lebih banyak keleluasaan dalam berkeliling istana. Apalagi adiknya Wistar. Dia saat ini sedang ingin mengajak Vetra meminum teh dengannya. Dia juga jadi teringat dia belum sempat menetapkan waktu yang tepat untuk mengundang sang putra sulung Bardev. Ibunya pun belum menjadwalkan pemberian penghargaan yang saat itu dia janjikan. Ketiadaan ayahnya memang memberikan dampak yang cukup kuat pada perubahan suasana keluarganya di istana.
Ketika dia sudah berada di sana suasana paviliun itu begitu kosong seolah semua penghuninya sedang berkumpul di satu tempat yang tertutup. Hanya ada satu tempat tertutup yang cukup besar untuk menampung manusia sebanyak itu.
"Apakah beberapa dari kita harus kembali ke Sinfhar?" Azna mendengar seseorang di dalam sana bersuara.
"Ratu tidak akan menyetujuinya. Dan juga kita sudah menjadi milik kerajaan ini kita tidak bisa dengan seenaknya pergi meninggalkan Hayden." Orang lain melanjutkan.
"Tapi mereka semakin gila. Adik-adik kita masih ada di sana. Kita harus membuat pemberontakan yang mengubah Sinfhar."
"Kita akan berperang dan saling menyakiti satu sama lain?"
"Sinfhar harus ditundukkan. Sesuatu yang memiliki kekuatan yang cukup besar untuk memaksakan pengaruhnya pada Sinfhar dan mengubahnya secara ultimatum. Orang-orang itu juga harus dilucuti dari kekuatan agar mereka tidak bisa membuat petaka lagi."
"Ini urusan kita. Hanya kita yang bisa mencampuri masalah ini. Tidak ada pihak lain yang harus kita susahkan untuk terseret ke dalam ini."
"Anak-anak akan mati. Apakah kalian setega itu untuk membiarkan mereka berakhir seperti teman-teman kita?"
Azna terperangah mendapati apa yang didengarnya. Dia berbalik mengetahui dengan sangat baik itu bukan saat yang tepat untuknya meminta Vetra menemaninya minum teh di paviliun kaca.
Frey berada di ruangan kerjanya mengetuk-ngetukkan ujung penanya pada permukaan meja. Wistar berada di sofa mengunyah kue kering sambil membaca kertas yang barusan diberikan oleh Kalim yang sudah keluar membawa serta kertas-kertas yang sudah diperiksa oleh Frey untuk dia serahkan ke bagian arsip. Setelahnya dia akan pergi menemui Vilda memberikannya rangkuman tentang apa saja yang sedang dikerjakan atau akan dikerjakan oleh putra tertuanya.
Pintu ruangan terketuk dan Frey dengan suara suntuk mempersilahkan yang di seberang untuk membukanya. Itu Azna dengan nampan dari piringan logam yang mengangkut mangkuk berisi potongan buah, kacang tumbuk, dan leleh coklat. Dia tersenyum manis padanya. "Kakak."
"Azna." Frey mengeluarkan erangan. "Kau bosan?"
"Para mage sedang memiliki kegelisahan. Tampaknya ada suatu masalah di tempat asal mereka." Azna menghampiri meja Frey untuk meletakkan nampan bawaannya.
"Kakak menemui Nona Vetra?" Wistar mencelingukkan lehernya.
"Awalnya ingin begitu. Tapi semua mage sedang melakukan diskusi dan aku tidak sengaja mendengarkan sedikit. Aku ragu ibu akan mengizinkan mereka meninggalkan istana," Azna berkata cemas.
"Penobatanku sudah dekat," Frey berucap. "Kita membutuhkan mereka di sini. Dan juga di saat mereka meminta untuk diperbolehkan bekerja di istana mereka sudah bilang mereka sepakat untuk melepaskan identitas mereka sebagai warga Sinfhar. Mereka kini murni merupakan warga Hayden. Mereka tidak punya alasan untuk kembali menginjakkan kaki di sana."
"Sepertinya Sinfhar melakukan sesuatu yang membahayakan anak-anak," Azna membuat ringisan. "Tadi kudengar sebelumnya mereka pun berada dalam kondisi yang sama dengan anak-anak itu dan mereka sudah kehilangan banyak dari teman mereka. Besar kemungkinan mereka akan melakukan suatu pemberontakan di sana yang akan mengubah struktur pondasi pemerintahan di dalam Sinfhar–"
"Itu di luar urusan Hayden," tampik Frey memotong tanpa sedikitpun ragu. Secara paksa membuat Azna membuang niatannya untuk membuatnya memberikan izin. "Hayden tidak memiliki sangkut pautan dengan Sinfhar. Jika mereka tetap meninggalkan Hayden meskipun mereka tidak mendapatkan izin mereka akan di-cap sebagai pengkhianat dan mereka akan ditahan di penjara bawah tanah."
"Menurut kakak Valias akan bereaksi berbeda?" Wistar membiarkan pipinya tertekan pada puncak punggung sofa.
"Tuan Muda Valias Bardev? Kenapa kau mengaitkan ini dengannya?" tanya Azna tidak mengerti.
"Oh itu karena aku sering memanggilnya ke sini. Kadang aku bermain-main dengannya dan meminta pendapatnya tentang sesuatu," Frey menepis. "Pokoknya Azna, saat ini Hayden sedang tidak berada dalam posisi dimana kita bisa memikirkan isu wilayah lain. Hayden adalah prioritas kita. Kalaupun kau mau kita menolong seseorang di luar yuridiksi kita, kita baru bisa melakukannya nanti. Ketika aku sudah berhasil menyelesaikan semua permasalahan yang ada di dalam kerajaan kita."
Wajah Azna menampilkan duka. "Aku mengerti. Aku akan pergi ke ruangan ibu."
Di kala Azna sudah raib dari ruangan di tempat duduknya Frey setengah melamun dengan mata tertuju pada permukaan meja. Dia sudah berpikir dengan begitu dalam dan otaknya selalu bekerja setiap kali dia memiliki waktu kosong.
Tanpa Wistar ketahui kakak tertuanya sedang menyusun strategi dan sudah menemukan keputusannya.
Aku harus membentuk gugus dan kru ku sendiri. Dan orang pertama yang akan dia tawarkan untuk menjadi bagian dari gugus itu adalah tak lain dan tak bukan ialah sang pelihat masa depan, penasehat sampingannya, dan pemegang andil dalam penyusunan taktik merombak Hayden dari dalam secara diam-diam. Sang putra sulung Count Bardev.
18 Efra, 1768 ☽ IX
16/04/2023 18.33 1939
Yoggu: fast-update nya dipause di sini dulu