Miss Possesive

By dianjesika

46.6K 4.8K 379

Jika ditanya apakah Larissa menyukai Ben, dia pasti selalu menyangkalnya. Tapi gadis itu tak pernah senang ji... More

Prolog
Part 1
Part 2
Pdf
Part 3

Part 4

4.3K 531 29
By dianjesika

Author Pov

Ben menaiki tangga menuju kamar tempat Larissa tinggal. Tangganya cukup kecil, dengan pencahayaan yang kurang dan lumayan tinggi. Untuk badan sebesar Ben, ia akan berpikir seribu kali untuk tinggal di sana. Hasil dari olahraga yang sering ia lakukan cukup berguna saat kakinya menapaki tangga satu-persatu. Tak sedikitpun pernapasannya terganggu.  Setelah tiba di depan pintu kamar Larissa, Ben tidak langsung mengetuk. Dia membiarkan sesaat berlalu. Tidak tahu untuk apa namun Ben tetap melakukannya.

Jarak Ben dari pintu kamar Larisa hampir tak ada. Pria yang memiliki tinggi badan 180cm tersebut menempelkan keningnya di sana. Beberapa detik ia memejamkan mata.

"Kak Ben?" Larissa membuka pintu ketika akhirnya Ben mengetukkan tangan di pintu, gadis tersebut memperhatikan Ben yang masih memakai kemeja. "Mau ngapain kak Ben ke sini?"

Dalam pandangan Ben Larissa selalu cantik. Dulu, pertama kali mereka bertemu hingga sekarang. Hal tersebutlah yang membuat perasaan Ben tak menentu. Ia ingin menjauh, menghilangkan sekelumit perasaan yang mengganggunya, membuat situasinya jelas bahwa Larissa cukup menjadi seorang adik baginya. Siapa sangka pekerjaan tersebut begitu sulit.

kening Ben berkerut. "kau tidak menyuruhku masuk?" pertanyaan Larissa dijawabnya dengan pertanyaan juga.

Larissa masih memandangi Ben sembari mendorong pintu melebar. gadis tersebut membiarkan Ben masuk.

tempat kos yang dipilih Larissa tidak besar namun nyaman. terdapat dapur kecil dan ruang tamu yang tak kalah kecilnya. kamar tidur dan kamar mandi berada di balik ruang tamu. sangat berbeda dengan rumah orangtuanya, yang besar dan mewah. meski begitu Larissa tidak keberatan tinggal di sana. karena dirinya cuma sendiri, dia tak butuh tempat yang lebar. kecil namun nyaman sudah cukup baginya.

"kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" Ben berbalik menatap Larissa, kunci mobil dan handphone ia letakkan di atas meja yang dilihatnya. "kau juga tidak memberitahu dimana kau tinggal." bersedekap, Ben menunggu jawaban Larissa.

Larissa mengenakan piyama berwarna kuning telur, sendal jepit hitam melekat di kakinya yang berkutek biru tua. ia menyelipkan sedikit rambutnya ke balik telinga. "Maaf, kak." gadis itu tak sepenuhnya menyesal menyembunyikan keberadaannya dari Ben. ia masih kesal dengan kata-kata Ben tempo hari. menurutnya tidak bertemu dengan Ben untuk beberapa waktu dapat memperbaiki suasana hatinya yang kacau. "Kakak sudah makan?" Larissa mencoba mengganti topik pembicaraan.

Menggeleng, Ben berkata. "Memangnya kau memasak?"

Senyuman manis menghiasi bibir Larissa. "Nģgak, tapi aku bisa memasak. Nggak akan lama, kok."

"Terserah padamu," ujar Ben kaku, menyembunyikan rasa senangnya bisa berlama-lama bersama Larissa.

"Nasi goreng?" tanya Larissa. "Itu yang agak cepat dimasak."

"Terserah." Ben pergi ke sofa, melepas kaos kakinya. kalau sepatu sudah ia lepas ketika masuk tadi. Tanpa meminta ijin ia menyalakan TV. Mengistirahatkan kepalanya di sofa, Ben membuka dua kancing kemeja. Tak lama kemudian mulai tercium aroma sedap masakan Larissa. Dari tempatnya duduk, Ben dapat melihat Larissa. Bergerak luwes memasak nasi goreng. Pinggul gadis itu bergerak tatkala melangkahkan kaki. Rambutnya yang diikat asal menambah seksi penampilan gadis itu. Apalagi piyama Larissa hanya jatuh menyentuh paha. Ben menggeleng, memaksa tatapannya mengarah ke TV. satu detik ia mampu melakukannya, namun detik berikutnya bola matanya yang hitam kembali memperhatikan Larissa.

Tak tahan lagi, Ben berdiri. "Boleh aku ke kamar mandi?"

"Oh;" Larissa menunjuk arah kamar mandinya. "di sebelah sana, kak."

Ben menyiram wajahnya dengan air, mengusapnya berulang kali. Matanya lagi-lagi terpejam sembari dalam hati mengumpat. Setelah kepalanya mulai dingin, Ben keluar dari kamar mandi.

Larissa telah selesai memasak, terdapat dua piring berisi nasi goreng di atas meja. Larissa sedang mengisi air putih ke gelas saat ia melihat Ben dan wajahnya yang basah. "kakak butuh handuk?"

"Tidak usah."

"Nasi gorengnya udah masak."

"Baunya harum."

Mereka makan bersama. Ben duduk di seberang Larissa, menikmati nasi di piringnya. "Enak," ujarnya santai.

Gadis itu menaruh senyum di bibir. "Aku nggak keberatan sering-sering masak untuk kakak."

Ben nyaris tersedak. Begitu lekat ia memperhatikan Larissa sampai gadis itu salah tingkah. Ben akhirnya menyadari apa yang ia rasakan. sejuta kalipun ia menyangkalnya, hatinya tak dapat berbohong. "Setiap hari sehabis pulang kerja aku akan datang."

"Eh!" kali ini Larissa yang nyaris tersedak. "Biasanya aku pulang kerja lebih sore, kak. bahkan sampai malam. hari ini aku bisa ada di rumah karena hari liburku. Besok aku pulang malam."

"Aku bisa menunggu di dalam. Berikan saja kunci padaku." Nasi goreng di piring Ben habis tak bersisa, pria itu benar-benar menyukainya. Melihat gelagat aneh Larissa, Ben berkata kemudian. "Maaf, aku tidak bertanya lebih dulu apakah kau mau melakukannya. aku seperti memaksakan keinginanku. kalau kau keber---."

"---aku nggak keberatan, kak. kalau kakak datang, aku akan memasak untuk kakak."

Perasaan puas yang asing dirasakan Ben saat Larissa mau memasak untuknya setiap ia datang. "Terimakasih."

****

Keesokan harinya Ben benar-benar datang. Larissa tidak ada di kamar kosnya karena belum pulang kerja. Ben masuk dengan kunci yang diberikan Larissa kepadanya. Hanya mengenakan kaos dalam dan celana kerja, Ben duduk sembari mendengarkan seorang wanita mengoceh di dalam Televisi.

setengah jam berlalu, Larissa belum menunjukkan batang hidungnya. Ben berjalan ke kulkas, memeriksa isinya. ia menemukan roti kering. Saat masih tinggal di rumah orangtuanya, Larissa sering memasak roti kering seperti itu untuk dinikmati bersama. Ben mengira gadia itu takkan melakukannya lagi, ternyata Larißsa masih.

Sekeping roti kering lumer di mulut Ben, seperti biasa rasanya enak. Mengambil sebagian lalu Ben menutup kulkas.

Tak lama pria itu kembali duduk di sofa, pintu terbuka. Larissa dengan wajah lelah seharian bekerja tetap menawan.

"Hari ini toko sangat ramai," ujarnya dengan tentengan belanjaan di tangan. "Kakak sudah lama datang?"

"Belum." Ben berbohong. "Aku mengambil roti di kulkasmu."

Larissa mengganguk. "Kemarin aku memasak sedikit. Nicky memintaku memasakkan untuknya."

Ben berhenti mengunyah, tiba-tiba ia haus. "Sejak kapan kau jadi tukang masaknya?"

Larissa terkejut dengan nada keras suara Ben. Plastik yang ia bawa tadi diletakkannya di meja dapur. "Nicky temanku, kak." katanya menjelaskan. "Dia suka roti yang kubuat, dia bertanya apakah aku menjualnya. Aku yang menawarkan memasak untuknya." Sambung gadis itu. "Nicky baik padaku, dia selalu mau membantuku, kak."

"kau bisa bilang padaku jika butuh bantuan."

"Kakak selalu sibuk dengan si Alice-Alice itu," cibir Larissa. Satu-persatu bahan makanan yang dibelinya iamasukkan ke kulkas. "Aku nggak mau merepotkan kakak."

Ben membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu namun urung. Ia berdiri mengambil air minum. "Ceritamu membuatku haus."

"Tadi Nicky yang mengantarku pulang." Entah kenapa Larissa memberitahu Ben.

Ben tersedak air putih, kaos yang dipakainya basah di bagian depan. Bola matanya yang hitam menelisik tajam ke arah Larissa. "Tidak bisakah kau berhenti menyebut nama si kacamata itu?"

Larissa pura-pura tidak menyadari ekspresi Ben yang kesal. "Aku akan membuat dua porsi mie kuah, kakak suka?"

"Kalau kau menyebut nama pacarmu itu lagi, mungkin aku akan muntah."

Larissa meringis, mengalah untuk sementara. Gadis tersebut membiarkan Ben mengira ia dan Nicky pacaran. Terserah lelaki itu berpikiran apa, yang penting ia  sudah mengatakan bahwa Nicky temannya. Bila Ben tidak percaya, terserah pada pria itu.

Semangkok mie kuah dengan porsi besar masuk ke perut Ben. Ia benar-benar kenyang. Larissa yang merapikan mangkok kosong sementara Ben bersandar tak berdaya di sofa, ia terlalu kenyang. Masakan Larissa terlalu enak untuk disisakan.

"Kau pernah memasakkan pacarmu seperti yang tadi?"

Melap tangan yang basah, Larissa melirik Ben. "Nic---"

"--Kubilang jangan sebut namanya."

Gadis tersebut menghela napas. "Belum."

"Jangan pernah memasak yang seperti tadi untukknya!"

"kenapa?" Kening Larissa berkerut.

"Jika kau sudah memasak satu masakan untukku, jangan memasak untuknya juga. Dan yang sudah pernah kau masak untuk pacarmu, jangan masak untukku lagi." Ben tahu ia kekanakan, tapi persetan. "Aku tak ingin memakannya."

"Lalu bagaimana dengan kue yang kakak makan tadi?" Tanya Larissa. "Aku sudah memberinya."

"Yang lebih dulu memakan roti itu aku," tegas Ben. "Pacarmu yang tidak boleh memakannya lagi."

Ben benar-benar kekanakan.


Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

507K 47.6K 111
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
852K 74.3K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
134K 7.3K 50
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
534K 30.8K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.