Memories || Kimetsu no Yaiba

By Mizuraaaa

90.5K 12.1K 4.6K

Highest Rank: #1 in mitsuri (13/2/21) #1 in kyoujuro (6/2/21) #1 in kimetsu (2/4/21) #1 in yaiba (2/4/21)... More

Author Note!
Prolog
1.A new world?
2.Pelatihan
3.Kisatsutai
4.Rapat Pilar
5.Uzui's Family
6.Become Stronger
7.Natagumo
8.Tanjirou
9.No Tittle
10.Mugen Train(1)
11.Mugen Train(2)
12.Datang lagi
13.Pertemuan Pertama
14.Keputusan
15.Alasan
INFO!!!
Flashback Moment
16.Tidak Terduga
17.Hubungannya
18.Kerinduan
19.Berita Buruk
20.Menyadarinya
21.Yuki no Hashira
22.Maksud Sebenarnya
23.Memburuk
24.Percobaan
25.Permintaan
26.Misi Bersama
27.Penyerangan
Flashback Moment
28.Pemburu Iblis vs Iblis
29.Lemah
30.Kesembuhan
31.Keinginan untuk Mati
32.Takut untuk Mati
33.Keluarga
34.Penyelesaian Masalah
35.Festival Kembang Api
36.Iblis Es
37.Memperbaiki
38.Uji Coba
39.Penangkapan
Pengumuman
40.Terjebak
41.Teman Lama
42.Penyelamatan Diri
43.Rasa Bimbang
44.Tanpa Dirinya
45.Setelahnya
46.Diskusi
46.Diskusi (bag 2)
47.Rasa Bersalah
48.Rasa yang Nyata
49.Tanpa jejak
51. Sudahkah, berakhir?
52. Kejahilan Bertambah
53.Seragam SMA

50.Yuri tanpa Sahabatnya

333 56 3
By Mizuraaaa

Warning⚠: Author tidak membaca manga sehingga cerita akan berbeda jauh dengan alur aslinya!

Gadis itu menghembuskan nafas lelah. Seraya memijat pelipisnya yang mulai terasa sakit, ia berjalan memasuki gedung di mana dirinya menimba ilmu. Cukup banyak orang yang berlalu lalang di sekitarnya, tetapi orang yang dicarinya tak kunjung ditemukan.

Masa bodoh dengan keluarganya. Ayah dan Ibunya kan memang banyak drama, bisa saja mereka bercanda dan ingin memberi kejutan, tau tau saat pulang dibelikan action figure Levi Ackerman. Yahh, semoga saja begitu.

Kedua netranya mengerjap cepat, diikuti senyum yang terulas tipis. Gadis itu melangkah menghampiri, lalu menepuk pundaknya kasar. "Oii!"

"Aduh! Yuri, apa sih?! Sakit tau!"

Yuri hanya terkekeh geli melihat laki-laki yang meringis kesakitan itu. Padahal rasanya pukulan Yuri tidak seberapa, dia memang berlebihan. Yuri mulai menyimpan sikunya di atas bahu laki-laki itu, sok akrab. "Yo, gimana kemarin? Jadi pulang bareng sama (Y/n), kan?"

"Hah? Apaan?" remaja seumurannya mengernyitkan alis. "Aku pulang sendiri kok, lagian (Y/n) siapa? Ada orang yang naksir aku?"

Alis Yuri sama-sama mengernyit, lalu menurunkan sikunya yang semula bertengger di atas bahu lawan bicara. "(Y/n), woy, (Y/n)! Kan kau sendiri yang minta dikenalin, ngajak pulang bareng segala, kau yang naksir dia, kan?"

Laki-laki itu terkekeh canggung seraya menggaruk belakang kepalanya. "Yuri ngomong apa sih?" tanyanya bingung. "Emang Yuri punya temen yang namanya (Y/n)? Dari kelas mana emang?"

Yuri membulatkan mata sekaligus mulutnya, melangkah mundur tidak habis pikir. Lelucon apa lagi ini? Padahal Yuri sudah bela-belain ikut event pulang sekolah agar tidak pulang bersama (Y/n) dan sahabatnya pun bisa pulang bersama dengan laki-laki ini, tapi sekarang apa?

"Eh, jangan bercanda deh, gak lucu sumpah." Yuri terkekeh bingung, memalingkan wajahnya yang telah bercucuran keringat sejenak. "Aku udah maksa (Y/n) biar mau pulang bareng sama kau, kok gak jadi?"

"Yuri, aku gak tau (Y/n) itu siapa." laki-laki itu menghembuskan nafasnya lelah. "Kayaknya kau kebanyakan ngehayal deh, minum obat dulu sana, ntar stress, lagi," ujarnya, lalu melenggang pergi meninggalkan Yuri seorang diri.

Yuri menyisir rambutnya ke belakang sekali lagi, berakhir menggigiti kuku jempolnya gelisah. Kenapa orang-orang terlihat aneh hari ini? Pikirnya. Yuri benar-benar tidak bisa mengerti apapun.

Dengan cepat ia meraih ponsel di sakunya. Jari-jari sibuk menekan tombol dan menggeser layar itu, hingga ekspresi paniknya tidak bisa disembunyikan lagi.

"Kok kontak (Y/n) ilang, sih?!"

Yuri masih sibuk menggeser daftar nama dalam kontaknya. Pasti ada yang salah dengan penglihatannya, karena itu nama '(Y/n)' tidak tertangkap oleh matanya.

"Yuri! Kau gak ganti baju?! Jam pertama kita olahraga loh!"

Seruan dari temannya membuat Yuri menoleh cepat, lalu memegang kedua kepalanya panik. "Buset lupa!!" gawat, guru olahraga kan sangat galak, telat sedikit dirinya bisa tewas. Sudahlah, urus saja anak itu nanti!

.
.

"Kaneko Yuri!"

"Hadir, pak!"

Guru dengan perawakan tinggi itu kembali berkutat dengan buku absennya. Manik matanya melirik pada deretan nama murid dimulai dari atas sampai bawah, memastikan tidak ada yang terlewat.

"Baiklah, sudah semua. Sekarang kalian pemanasan saja dulu, setelah itu akan Bapak jelaskan materinya."

"Baik, Pak!"

Sementara siswa siswi mulai bersiap untuk pemanasan, satu gadis yang masih berdiri tegak mengernyitkan alisnya. Bingung, teramat malah. Perlahan ia mencolek punggung teman di depannya, hingga sang korban menoleh kesal karena merasa geli. "Apa?!"

"Tadi Bapak udah absen (Y/n) belum, sih?"

Kepala gadis dengan rambut kuncir kuda itu memiring bingung. "Eh, ga tau ya, ga denger."

"Ish, dasar gak guna!" ketus Yuri kesal, sementara sang lawan bicara mengendikkan bahu tak acuh dan melanjutkan kegiatannya.

Yuri masih terjebak dalam lamunannya. Apakah karena (Y/n) jarang ikut pelajaran olahraga sehingga guru tidak perlu lagi mengabsennya? Pikir Yuri. Namun, bukankah itu aneh? Tidak seharusnya guru menghilangkan nama murid pada daftar absennya.

.
.
.

Setelah mengganti pakaiannya menggunakan seragam lagi, Yuri berniat kembali ke kelas. Langkahnya begitu lambat, malas alasannya. Pelajaran setelah ini adalah Matematika, rasanya ingin bolos saja.

Sungguh beruntung jarak dari kelasnya dan kamar mandi perempuan cukup jauh, jadi bisa dijadikan alasan untuk sedikit terlambat, dalam hatinya ia tertawa jahat.

Namun, sesuatu yang terasa janggal tertangkap netra biru cerahnya. Ia menghentikan langkah, lalu menoleh ke samping, di mana pintu ruang guru terbuka lebar tanpa ada orang di dalamnya. Bukan itu yang menarik perhatiannya, akan tetapi piala dalam lemari kaca yang membuat alisnya mengernyit dalam.

"Loh, Yuri? Kau belum masuk kelas."

Tubuhnya terperanjat kaget. Saat menoleh ke belakang, ia mendapati guru yang masuk dalam kelompok ramah nan baik di kelasnya. Ia pun menghembuskan nafas, mengusap dada lega. "Ibu, kirain siapa."

Guru berkacamata itu terkekeh pelan, lalu memasuki ruangan. "Kau sendiri sedang apa di sini? Ada urusan dengan Guru?" Yuri menggeleng atas pertanyaannya, tetapi masih belum juga beranjak.

"Ibu, kok pialanya cuma ada empat? Yang lainnya dikemanain?" Yuri menolehkan kepala ke kanan kiri, seakan mencari sesuatu.

"Loh? Dari dulu juga kan emang empat." wanita dewasa itu mendudukkan diri seraya mengernyitkan alis. "Sekolah kita kan memang jarang dapat piala, Yuri, kau lupa, ya?" ia menggelengkan kepala, mencoba memaklumi.

Apa?

"Tapi Bu, bukannya (Y/n) sering menang Olimpiade, ya? Piala yang dia dapetin kemana? Lumayan banyak loh, Bu!" Yuri mencoba mengingatkan, tersirat kegelisahan dalam wajahnya, perasaannya sangat tidak enak.

Sementara itu, guru yang menjadi lawan bicara Yuri memiringkan kepala. "(Y/n)? Memang ada murid yang namanya (Y/n) di sekolah ini?"

"Ibu jangan bercanda deh!!" bentak Yuri, guru itu sedikit terperanjat karena nada tingginya. Masa bodoh! Yuri sangat sangat bingung. "(Y/n) dapetin belasan piala loh, Bu! Masa Ibu lupa sama murid berprestasi kayak dia?!"

Wanita dewasa itu menghembuskan nafas seraya mengusap dadanya, tidak habis pikir dengan muridnya yang nakal ini. "Yuri! Kau cari alasan agar tidak ikut kelas Matematika, ya? Sudah, sana pergi, kau sudah terlambat!"

"Tapi Bu-"

"Yuri ..., mau masuk BK?"

Yuri tidak punya pilihan!

Gadis itu berjalan cepat, nyaris berlari menuju kelasnya. Otaknya tidak bisa mencerna apapun, itu menyebabkan kepalanya terasa pusing. Yuri harap semua berakhir ketika dia masuk ke kelas.

Dan saat dirinya berdiri di depan pintu kelas, ia mematung. Keadaan semakin parah.

Emosinya memuncak seketika. Sebenarnya dia tidak terlalu ingin marah, tetapi segala hal membingungkan ini membuatnya begitu sensitif. Kakinya melangkah cepat, menghampiri meja di belakang tempat duduknya.

Brakk

"Kenapa kau duduk di sini?!"

Gadis itu tampak terkejut dengan kedatangannya, lalu menatap kesal karena tiba-tiba mendapat bentakan. "Maksudmu apa? Dari dulu juga aku duduk di sini!" ujarnya dengan nada tak kalah tinggi.

Yuri menggertakkan giginya emosi. "Apa-apaan?! Kemarin (Y/n) masih duduk di sini!!"

Brakk

"Yuri!!"

Yuri menoleh cepat ke belakang, mendapati guru Matematikanya yang berekspresi marah setelah selesai menggebrak mejanya sendiri. "Kau sedang apa?! Kelas sudah di mulai! Kemana saja kau dari tadi?! Datang-datang langsung mericuhkan kelas!"

Yuri membalikkan badannya, menghadap pada sang guru. "Ibu, ini kan tempat duduk (Y/n)! (Y/n) duduk tepat di belakang aku, kok jadi dia, sih?" tanyanya seraya menunjuk gadis yang sempat berdebat dengannya tadi.

"(Y/n) mana? Memang ada murid baru di sini? Sejak awal tahun pelajaran juga dia memang duduk di situ." Guru perempuan itu menatap murid yang duduk di belakang tempat duduk Yuri.

Yuri mengernyitkan alisnya dalam, menggeleng tidak habis pikir. "Kalian ini pada kenapa, sih?!" Yuri mengedarkan pandangannya ke sekitar, menatap satu persatu teman kelasnya. "Kalian inget (Y/n), kan?! (Y/n)! Masa kalian gak tau?!"

Hening.

Para murid bertatapan satu sama lain, hingga terdengar bisikan bisikan yang menyatakan Yuri mengatakan omong kosong. Gadis bersurai pink itu membuka mulut tidak percaya, sekali lagi meninggikan suaranya. "Kalian jangan bercanda!!"

"Aku tau kalian membenci (Y/n)! Tapi ini tidak lucu! Jangan bersikap seolah kalian tidak menyadari kehadiran (Y/n) selama ini!!" matanya menatap tajam, menghentikan bisikan-bisikan dan membuat nyali beberapa orang ciut ketika mengeluarkan kamera ponsel untuk merekam.

"Yuri!! Duduk! Jangan mencari masalah di jam pelajaran Ibu!"

Yuri melangkah mundur, tubuhnya oleng, nyaris jatuh jika dia tidak segera mengendalikan keseimbangannya. Yuri mengangkat tangannya perlahan, menutup mulut, lalu berlanjut mengusap wajahnya yang sudah basah oleh keringat dingin.

"Aku tidak mencari masalah," lirih gadis itu, menurunkan tangannya. "Kalian yang bermasalah!"

Yuri meraih tas sekolahnya, lalu berlari keluar dari kelas. "Yuri, kau mau kemana?! Jangan membolos!!" teriakan gurunya tak ia anggap, begitu juga puluhan pasang mata yang menatap aneh terhadapnya.

Yuri membuka ponselnya, lalu menekan ikon telepon. Meskipun kontak sahabatnya hilang, ia tetap mengingat nomornya. Ia mengetik rangkaian nomor itu, lalu mendekatkan ponsel dengan telinga setelah menekan tombol panggil.

"Hah?!" jeritnya tidak percaya, menatap ponselnya heran. "Tidak terdaftar?! Kok bisa?!"

Gadis itu mengerang kesal, kelewat pusing dengan situasi saat ini. Ia berlari keluar dari sekolah, lalu berhenti sejenak. Seraya mengambil nafas yang terbuang cukup banyak, ia menolehkan kepala ke kanan kiri, mengingat-ngingat jalan untuk ke suatu tempat.

Setelah mengingatnya, ia segera melanjutkan langkah cepatnya. Yuri terus berlari, sesekali berhenti untuk beristirahat beberapa detik. Setelah beberapa saat, beruntung sekali apartemen ini tidak terlalu jauh dari sekolah, Yuri bisa sampai dengan cepat.

Menaiki lantai tiga, Yuri langsung mencari salah satu kamar yang ia tau. Setelah menemukannya ia segera mengetuk pintu, kasar dan keras, terlalu panik hingga melupakan bel yang bisa digunakan.

Cklekk

Pintu terbuka. Namun, seorang pria dewasa keluar dari kamar itu.

"K-kau siapa?! (Y/n) mana? Kenapa kau di sini?!" Yuri memiringkan tubuhnya, mencoba mengintip ke dalam ruangan yang terhalang oleh tubuh pria itu.

"Heh! Kau ini siapa? Dasar anak gak tau sopan santun, kau salah kamar!"

Yuri mengernyitkan alis dalam, kesal. "Apa sih, Om?! Yang tinggal di sini itu temen aku! Bener kok, nomor kamarnya yang ini!" gadis itu berusaha meyakinkan dengan nafas terengah, efek berlarian sebelum sampai ke sini.

Pria dewasa itu mengusap dahinya seraya menggeleng pasrah. Apakah anak ini anak hilang? Atau penipu dengan modus baru? Dia tidak tau. "Adek, saya udah tinggal di sini sejak 2 tahun yang lalu, kau pasti salah kamar."

"Dua tahun lalu?!" jeritnya kaget. "T-tapi dua hari yang lalu saya ke sini, dan teman saya masih tinggal di sini!" ujarnya penuh penekanan, masih juga keras kepala.

Pria dewasa itu mengerang frustasi, kesal dengan anak SMA yang bicaranya tidak jelas ini. "Sudah ya, saya punya bayi, dia sedang tidur, kau berisik. Sana pergi!" usirnya, lalu menutup pintu sesegera mungkin.

"T-tapi Om!"

Tak ada waktu baginya untuk memberi pembelaan. Gadis itu berjongkok di bawah, meremas surai merah mudanya frustasi. Dua tahun?! Yuri sangat yakin beberapa hari yang lalu ia datang ke sini, dan (Y/n) lah yang menempati kamar ini!

Anak itu kemana, sih?!

.
.

"Permisi, apa anda pernah melihat anak seumuran saya di sekitaran sini? Rambutnya coklat, matanya violet, tubuhnya lebih pendek dari saya."

"Tidak, maaf ya."

"Permisi, apa anda melihat-"

"Maaf, saya tidak melihatnya."

"Permisi, apa anda pernah melihat anak seumuran saya di sekitaran sini? Tingginya sekitar segini, rambutnya coklat panjang."

"Tidak, saya tidak pernah melihatnya."

Gadis itu ingin berteriak, mengeluhkan kemana sahabatnya pergi. Bagaimana bisa ia mencari (Y/n) di kota Tokyo yang begitu luas ini?! Ia juga tak punya jejak lain yang bisa menjadi sedikit pencerahan bagi pencariannya.

"Yuri!"

Kepala menoleh ke samping, mendapati salah satu teman yang sering pergi bersamanya ke event bertemakan anime. Gadis itu menghampiri Yuri, lalu menatapnya teliti dari ujung kepala hingga ujung kaki.


"Kau berantakan sekali, ada apa? Ga mungkin gara-gara begadang nonton anime, kan?" tanyanya curiga, menyipitkan mata.

"Aku lagi cari temen aku, tiba-tiba ilang tanpa jejak! Ga ngerti lagi mau gimana nyarinya!" Yuri menggelengkan kepala gelisah, mengusap wajah dan matanya yang memanas, hampir menangis karena tak menemukan petunjuk sama sekali.

"Cari temen? Kok bisa? Emang dia kayak gimana?"

Yuri langsung menjelaskan, berharap temannya ini bisa membantu pencariannya. "Rambutnya panjang segini, warna coklat, terus warna matanya ungu gelap, dia juga pendek, kalau di aku kira-kira segini, kau ada liat, ga?"

Lawan bicaranya mengetuk dagunya beberapa kali seraya memperhatikan Yuri, sementara otaknya tengah mencoba mencerna penjelasan Yuri. "Kurang jelas," gumamnya. "Gak ada yang lebih spesifik, gitu? Fotonya, ada gak?"

Yuri menepuk dahinya kasar, bagaimana bisa ia melupakan hal itu. Karena terlalu panik dia jadi tidak menggunakan otaknya. Tapi memang pada dasarnya jarang menggunakan otak, sih.

Yuri segera membuka ponselnya, lalu memasuki aplikasi yang menyimpan ratusan foto yang lebih didominasi dengan gambar karakter fiksi. Namun, sesaat kemudian irisnya melebar sempurna, bahkan sempat menahan nafas.

"Fotonya, ga ... ada?"

Apa-apaan ini?!

Yuri menggeser layar ponselnya berkali-kali, namun nihil, tak ada perubahan yang terjadi. Kenapa jumlah foto dalam galerinya hanya ada setengah dari yang ia punya sebelumnya? Kemana ratusan foto yang ia ambil bersama (Y/n)?

"Yuri? Gimana, ada gak fotonya?"

Gadis itu mengerjap pelan beberapa kali, hingga akhirnya ia tersadar dan menutup mulutnya kaget. "Yuri?! Kau nangis?!"

.
.
.

Brakkk

"Ibu!!"

"Yuri, kok udah pulang?!"

Teguran ibunya tak didengar, ia malah langsung memasuki rumah dengan langkah cepat. Sang ibu tentu bingung, ia mengernyitkan alis dalam seraya mengikuti langkah anaknya. "Yuri, ada apa?"

Yuri memasuki kamarnya, langsung mengacak-acak ranjangnya. Ibu Yuri yang melihat itu melebarkan matanya, tidak habis pikir, datang-datang langsung mengacak-acak kamar. "Yuri! Kau sedang apa?!"

"Ibu! Boneka kucing aku mana?" tanya Yuri, tak menatap ibunya sama sekali.

Wanita dewasa itu memiringkan kepalanya. "Boneka? Memangnya kau punya boneka? Kau kan tidak suka boneka." ia menatap Yuri heran.

"Aku memang tidak menyukainya." Yuri melempar bantal dan guling, membuatnya menabrak lemari dan jatuh ke lantai. Gadis itu kini menatap ibunya dengan mata memerah. "Tapi itu boneka dari (Y/n), bu!"

Ibu Yuri terkesiap, menutup mulutnya kaget. "Yuri? Kau menangis? Ada apa? Dan kenapa sejak pagi kau membicarakan (Y/n) (Y/n) itu, dia siapa?"

"Ibu jangan bercanda." Yuri mendudukkan dirinya di kasur, sudah tidak punya tenaga, suaranya bergetar hebat. "Kalian gak mungkin lupa sama (Y/n)!" gadis itu mengusap kasar wajahnya, kelewat bingung harus melakukan apa.

Kini dia turun dari kasurnya, menghampiri nakas di samping dan membuka lacinya. Untuk yang kedua kalinya, dia mengacak acak isi dari laci itu, mencoba menemukan sesuatu saat isakan sudah mulai keluar dari mulutnya.

"Gelang juga gak ada." suaranya sudah terdengar pasrah, tetapi ia masih belum mau menyerah.

Beralih membuka lemari, sekarang pakaian beterbangan akibat ulahnya. Wanita dewasa selaku ibu Yuri ingin menghentikannya, tetapi ia ragu, ia bingung apa yang terjadi terhadap anaknya.

"Syal, syal, syal, syalnya mana?" gumam Yuri tanpa henti. "(Y/n) kasih syal itu waktu perayaan ulang tahun aku tiga tahun lalu, sekarang ke mana?" tenggorokannya mulai tercekat, panik luar biasa. Yuri ingat dia menyimpannya di sini, tidak mungkin di cuci oleh ibunya, karena syal ini belum dipakai.

Pintu lemari di tutup, ia terdiam sejenak dengan nafas terengah-engah. Setelah itu ia mengedarkan pandang, mengambil kursi paling dekat dan memposisikannya di depan lemari, lalu menaikinya. "Yuri, kau cari apa lagi?" pertanyaan ibunya tak digubris, ia masih sibuk.

Pada saat SMP, ia menempati kelas dengan jumlah murid yang genap. Ketika tugas kelompok yang mengharuskan anggotanya dua orang, Yuri selalu memilih (Y/n). Lalu apa yang terjadi dengan kerajinan yang ia buat dulu?

Sebuah rumah yang terbuat dari stik eskrim ditemukan. Bibirnya melengkung tipis sesaat, hingga ia menyadari sesuatu dan senyuman itu kembali meluntur. Kenapa kerajinan ini terlihat begitu hancur?

Yuri ingat betul, guru memberi nilai sempurna atas kerajinan ini, hal itu terjadi karena keterampilan (Y/n). Jika saja Yuri mengerjakannya sendiri, maka hasilnya akan ....

... Seperti ini.

Yuri menutup mulutnya tidak percaya. Pada halaman rumah yang terbuat dari stik eskrim itu terdapat sebuah papan, yang berisikan nama anggota pembuatnya.

Dan hanya ada nama Yuri di situ.

"Apa-apaan?!"

"Ibu, Callie mana?"

"Eh?" wanita dewasa itu mengusap pipinya bingung. Yuri bersikap seperti orang gila dan mengacak-acak kamarnya sendiri, sekarang tiba-tiba menanyakan di mana kucingnya? "Tadi Ibu lihat ada di dapur, sih." pada akhirnya tetap ia jawab.

Tanpa memberi penjelasan lebih, kini ia melesat pergi ke dapur, meninggalkan ibunya yang mendesah frustasi melihat kamar Yuri yang berantakan. Yuri menarik sudut bibirnya tipis, ada satu jejak yang sahabatnya tinggalkan kali ini!

Namun, saat dia sampai di dapur, tubuhnya kembali membeku, kala melihat kucing yang tengah duduk santai di meja dapur. "Kok ...?"

Tak lama kemudian ibunya datang, masih mengikuti Yuri karena rasa bingungnya belum juga habis. "Hahh... Hahh... Yuri, ada apa, sih?"

"Ibu, kenapa kucingku berwarna putih?"

"Hah? Dari dulu juga Callie warna bulunya putih, kan kau sendiri yang pilih waktu beli tahun lalu." gadis itu menoleh pada ibunya, membelalakkan mata. "Aku yang pilih?!"

Yuri tak mampu lagi. Kakinya melemas hebat, tidak mampu lagi menahan berat badannya sendiri. Tangannya terangkat untuk menutup mulut, dengan gerakan bergetar. Sebenarnya apa yang terjadi di sini?

Bukankah kucingnya, Callie, adalah kucing berwarna oranye pemberian (Y/n) dua tahun lalu?

Satu tetes air mata lolos dari netra biru cerahnya, putus asa. "(Y/n), kau kemana?" tanyanya lirih dengan suara bergetar.

"Tidak mungkin ...."

Gadis itu menghembuskan nafasnya lelah, lalu mengangkat tangan untuk menepuk bahu sahabatnya. "Wajar jika dulu aku benar-benar terkejut, semua itu tidak masuk akal, tetapi setelah semua yang kau alami? Kau masih mengira hal ini tidak mungkin terjadi?"

(Y/n) menundukkan kepala, lalu meneguk salivanya susah payah. Cerita Yuri membuat wajahnya bercucuran keringat. Rasanya ia tidak ingin mempercayai hal itu, tapi Yuri tidak mungkin bercanda pada saat ini.

Namun,

"Semua orang, tak ada satupun orang yang mengingatku." ia mengangkat wajahnya, menatap Yuri dengan manik mata bergetar. "Bagaimana bisa? Bukan hanya hilang dari dunia, tetapi aku juga hilang dari pikiran mereka?"

Yuri mengangguk lemah, mau tak mau hal itu adalah sebuah kenyataan, meskipun tak ada satu orangpun yang ingin mempercayainya.

"Lalu mengapa kau masih mengingatku?"

Yuri memiringkan kepala, lalu mengulas senyum tipis. "Aku tidak mengerti perihal itu, tapi yang pasti," jedanya, gadis itu mulai menangkupkan wajah (Y/n) dengan kedua tangannya. "Kau sudah tak punya alasan untuk kembali ke dunia itu."

(Y/n) mendesah lelah, bahkan untuk mengeluarkan air mata pun tidak bisa, terlalu banyak air mata yang telah ia buang. "Tapi Yuri, kau, sahabatku ...." ia tak sanggup melanjutkan, menggigit bibir bawahnya kuat.

Yuri menggeleng pelan, menatap sahabatnya lembut. "Karena aku sahabatmulah, aku ingin yang terbaik untukmu. Tolong jangan buang kebahagiaanmu sendiri, apalagi hanya demi aku."

"Kau bukan sekedar 'hanya', Yuri," ujar (Y/n) masih keras kepala. "Aku tidak ingin kita berpisah lagi."

"(Y/n) dengar." Yuri kembali menghembuskan nafas, lelah dengan sikap keras kepala (Y/n) yang ternyata belum juga berubah, Yuri tidak habis pikir. "Tak apa jika terkadang kau ingin egois, sungguh, selama itu tidak merugikan orang lain, kau bebas melakukan apapun."

Kedua tangan Yuri turun ke pundak sahabatnya, lalu menggelengkan kepala. "Jangan lagi gunakan persahabatan kita sebagai alasan, (Y/n)." gadis bersurai coklat itu tampak menggeleng tidak setuju, sementara Yuri kembali mengangguk lembut, tidak mengizinkan (Y/n) untuk berbicara.

"Karena aku sahabatmulah, aku telah memilih. Aku tidak bersikap sok netral dengan membuatmu menanggung semua beban atas pilihan yang perlu kau putuskan sendirian." Yuri menarik sebelah tangan, lalu menyimpannya di dadanya sendiri. "Aku mengenalmu, (Y/n), aku tau yang terbaik untukmu, dan itu perlu."

Yuri mulai bangkit, bergerak maju untuk meraih tubuh (Y/n) dan membawanya pada pelukan hangat. (Y/n) terisak, kepalanya sakit, semua hal terasa membingungkan baginya.

Usapan lembut diberikan Yuri pada punggung (Y/n), menenangkannya. Yuri tau betul, ia sudah mengenal (Y/n) sejak lama, ia juga tau penderitaan apa saja yang telah (Y/n) lewati. Karena itu,

"Kau berhak, (Y/n), kau pantas mendapatkan kebahagiaan yang kau impi-impikan selama 17 tahun ini."

.
.
.
.
.
TBC

Continue Reading

You'll Also Like

55.1K 8.5K 52
Rahasia dibalik semuanya
1M 86.3K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
47K 417 5
well, y'know? gue fetish sama pipis dan gue lesbian, eh gue sekarang sepertinya bi, kontol dan memek ternyata NYUMS NYUMS Apa ya rasanya Mommy? juju...
198K 9.8K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...