Memories || Kimetsu no Yaiba

By Mizuraaaa

96.6K 12.8K 4.7K

Highest Rank: #1 in mitsuri (13/2/21) #1 in kyoujuro (6/2/21) #1 in kimetsu (2/4/21) #1 in yaiba (2/4/21)... More

Author Note!
Prolog
1.A new world?
2.Pelatihan
3.Kisatsutai
4.Rapat Pilar
5.Uzui's Family
6.Become Stronger
7.Natagumo
8.Tanjirou
9.No Tittle
10.Mugen Train(1)
11.Mugen Train(2)
12.Datang lagi
13.Pertemuan Pertama
14.Keputusan
15.Alasan
INFO!!!
Flashback Moment
16.Tidak Terduga
17.Hubungannya
18.Kerinduan
19.Berita Buruk
20.Menyadarinya
21.Yuki no Hashira
22.Maksud Sebenarnya
23.Memburuk
24.Percobaan
25.Permintaan
26.Misi Bersama
27.Penyerangan
Flashback Moment
28.Pemburu Iblis vs Iblis
29.Lemah
30.Kesembuhan
31.Keinginan untuk Mati
32.Takut untuk Mati
33.Keluarga
34.Penyelesaian Masalah
35.Festival Kembang Api
36.Iblis Es
37.Memperbaiki
38.Uji Coba
39.Penangkapan
Pengumuman
40.Terjebak
41.Teman Lama
42.Penyelamatan Diri
43.Rasa Bimbang
44.Tanpa Dirinya
45.Setelahnya
46.Diskusi
46.Diskusi (bag 2)
47.Rasa Bersalah
48.Rasa yang Nyata
50.Yuri tanpa Sahabatnya
51. Sudahkah, berakhir?
52. Kejahilan Bertambah
53.Seragam SMA

49.Tanpa jejak

357 58 9
By Mizuraaaa

Warning⚠: Author tidak membaca manga sehingga cerita akan berbeda jauh dengan alur aslinya!

"Tunggu, bukankah itu tidak masuk akal?"

Kedua bahunya terangkat tak acuh, kembali membuang wajah untuk yang kesekian kalinya. "Entahlah. Bahkan sampai sekarang ini, aku mencoba untuk tidak percaya, tetapi pada akhirnya yang aku lakukan hanya mengelak dari kenyataan yang ada di depan mata."

Gadis itu telah menceritakan semuanya. Bagaimana ia bisa dengan tiba-tiba masuk ke dunia ini, dan betapa sulitnya ia beradaptasi dengan dunia penuh fiksi yang benar-benar berbeda.

Sulit.

Satu kata pertama yang terlintas pada benak Tanjirou saat mendengar keseluruhan cerita. Kakaknya ini memang sungguh hebat, dia bisa menanggung beban sebanyak itu sendirian. Ah, mungkin tidak. Pasti banyak orang yang mendukungnya di sini, bukan?

Selama ini ia mengenal (Y/n), bahkan memanggilnya kakak, ia kira ia sudah tau banyak, ternyata masih banyak yang masih belum ia ketahui. Tapi Tanjirou memang tidak berharap banyak, lagipula siapa dia? (Y/n) pantas memiliki privasinya sendiri.

"Sebenarnya aku lelah." kini ia menekuk kedua lutut, lantas memeluknya erat. "Semua ini benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Aku sangat lelah." kepalanya menunduk lemas, menyimpan dahinya di atas lutut.

"Aku ingin kembali, tetapi terlalu banyak hal yang terjadi yang membuatku ragu."

Tanjirou menunduk ragu. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tentang keanehan yang baru saja ia dengar. Tetapi melihat bagaimana (Y/n) bersikap, sesuatu yang diluar nalar seperti itu pun langsung bisa ia percayai.

"Neesan," panggilnya. "Jadi, pada akhirnya kau akan meninggalkan kami nanti?" manik matanya bergetar sendu. Tanjirou belum lama mengenal (Y/n), tetapi dia sudah merasakan kasih sayang seorang kakak darinya. Tanjirou sedikit khawatir jika suatu saat kakaknya tidak ada lagi di hadapannya.

"Sungguh?" (Y/n) mengangkat kepalanya. "Kau juga?"

Tanjirou mengernyit bingung atas reaksi (Y/n). Gadis itu terkekeh pahit, menggigit bibir bawahnya kuat kala melihat ke bawah, mencegah isakan keluar dari mulutnya.

"Tanjirou-kun, katakan." (Y/n) memberi jeda, menatap tepat pada iris mata lawan bicaranya. "Kenapa semua orang bersikap egois? Kenapa mereka selalu mengatur kehidupan orang lain?" suaranya terdengar sedikit bergetar. "Aku hanya ingin pulang, tetapi mengapa banyak yang menghalangiku untuk melakukannya? Padahal mereka tidak tau penderitaanku."

Bola mata Tanjirou berkilat, kala cahaya memantul pada air mata yang telah menggenang penuh pada netra. "Neesan." ia menatap sendu. "Maaf, aku tidak bermaksud menghalangimu." Tanjirou menundukkan kepalanya.

"(Y/n)-nee, aku mungkin baru mengenal neesan, itulah mengapa aku tidak pantas mengatakannya. Namun, orang-orang yang neesan bicarakan, mereka pasti sudah sangat mengenal neesan, kan?" Tanjirou turun dari ranjangnya, lalu beralih menjadi duduk di ranjang yang sama dengan (Y/n).

Tepukan di pundak membuat (Y/n) menoleh, laki-laki muda itu tengah membentuk senyum menawan pada bibirnya. "Mereka menyayangimu, neesan," ujar Tanjirou meyakinkan. "Mereka bukan egois, mereka hanya tidak ingin kehilanganmu."

"Bukan tidak mungkin jika kau sudah dianggap keluarga di sini, neesan. Dan kau mungkin tau, bagaimana rasanya ketika ditinggalkan oleh keluarga, bukan?"

(Y/n) mengalihkan pandangnya kembali, mengacak rambut kasar lalu memijit kepalanya pelan. Semuanya membingungkan, kepala (Y/n) terasa hampir pecah, mengapa (Y/n) harus memikirkan banyak hal seperti ini? Raganya sudah cukup lelah, jangan pikirannya juga.

"Neesan, berapa usiamu?"

"Eh?" (Y/n) menoleh bingung. "Delapan belas." pada akhirnya ia memberi jawaban.

Tanjirou mengangguk anggukan kepalanya beberapa kali dengan dua jari yang menjepit dagu. "Ahh, kau sudah dewasa berarti." ia menghasilkan kesimpulan seenaknya.

Hal itu membuat (Y/n) terkekeh pelan, lalu mengacak surai hitam kemerahan milik adiknya. "Bodoh, dewasa itu tidak ditentukan dari usia!" ia terkikik geli ketika Tanjirou menepis tangannya kesal. Gadis itu menatap lurus ke depan, meski terlukis sebuah senyuman, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.

"Terkadang aku ingin menjadi anak kecil saja. Egois dan bersikap seperti tidak tau apa-apa. Setidaknya aku tidak perlu memikirkan segala hal kecuali makan dan main."

"Neesan, bukan begitu!"

(Y/n) menoleh bingung pada adiknya, lalu menaikkan sebelah alis. "Maksudmu?" Tanjirou menghela nafas panjang, lalu menyimpan kedua tangannya pada pinggang.

"Neesan! Usia memang tidak menentukan seberapa dewasanya dirimu, tetapi dengan usia aku bisa memperkirakan sebanyak apa pengalaman neesan." Tanjirou menghembuskan nafas lembut, lalu tersenyum tipis seraya menepuk pundak (Y/n). "Kau telah melalui banyak hal, neesan. Aku tau itu sangat sulit dan berat, tetapi semua itu bisa membentuk kepribadianmu, bukan?"

"Kau pasti bisa menentukan apa yang terbaik untukmu, aku akan selalu mendukung neesan!"

(Y/n) tidak sanggup menahan lengkungan pada bibirnya tercipta. Tuhan, bagaimana bisa kau sebaik ini sampai-sampai mempertemukannya dengan Tanjirou? Kenapa Tanjirou tidak jadi adik kandungnya saja?!

Ia mencubit ujung hidung Tanjirou membuatnya memekik terkejut. "Kau ini benar-benar sok bijak, ya!" (Y/n) tergelak melihat ekspresi kesal Tanjirou karena perbuatannya.

"Oh iya, aku juga minta maaf karena baru memberitahukan hal ini. Yahh, soal aku yang bukan berasal dari dunia ini, kau pasti marah, ya?" (Y/n) menyandarkan wajahnya pada kedua lutut, menatap sendu Tanjirou dengan perasaan khawatir.

Tanjirou menggeleng kuat. "Tidak, neesan." ia tersenyum sebelum melanjutkan, "(Y/n)-nee pantas memiliki privasi, kau memiliki hak untuk memberitahukan sesuatu atau tidak tentang dirimu kepada orang lain."

Tuhan,

(Y/n) menutup mulutnya tidak percaya, terharu, bahkan Tanjirou lebih dewasa daripada Giyuu! Dengan gerakan cepat ia memeluk remaja itu erat, seraya menggesekkan wajahnya pada surai Tanjirou. "HUAAA, Tanjirou-kun, aku ingin menikahimu saja!!!"

"Argh! Neesan!!"

.
.

"Oh iya, Tanjirou-kun?" sebelum menutup pintu, ada suatu hal yang ia ingat sehingga mengurungkan niatnya. Tanjirou tampak memiringkan kepala, menunggu lanjutan ucapan kakaknya itu. "Aku dengar kau sedang melatih pernafasan mataharimu, ya?"

Tanjirou mengangguk semangat. "Iya! Ada apa (Y/n)-nee menanyakan hal itu?"

"Begini," jedanya, menyandarkan kepala pada pintu. "Kapan-kapan kau mau berlatih bersama? Aku bisa mengajarkanmu beberapa hal, sebagai gantinya kau juga harus membantuku, hehe!"

Mata Tanjirou berbinar cerah, diikuti dengan bibir yang melengkung lebar. "Tentu saja! Aku tidak mungkin menolak!" ujarnya antusias, menyimpan kedua tangannya yang terkepal di bawah dagu.

(Y/n) terkekeh melihat ekspresi itu. "Baiklah, untuk waktu dan tempatnya aku beritahukan lagi nanti. Sekarang, selamat beristirahat!" pamitnya sebelum menutup pintu.

"Baik, arigatou! Neesan!!"

.
.
.
.

"Sial sial sial SIALLLL!!"

Di tempat yang cukup gelap, dengan penerangan seadanya yang sejujurnya tidak dibutuhkan, teriakan demi teriakan yang terdengar frustasi mengisi seluruh sudutnya. Rasa amarah yang menguar membuat semuanya bungkam, memilih diam daripada terkena amukan sang Pemimpin.

"Brengsekk!! Bajingan!! Gadis sialan!!"

Selain suara yang melampiaskan emosinya, tak terdengar suara lagi dari dimensi tak terbatas itu. Pria dewasa dengan rambut ikal menatap tangannya yang pucat, lalu mengepalkannya erat.

"Masa bodoh dengan gadis itu, aku akan menghancurkan semuanya, sampai mereka tak punya alasan lagi untuk hidup!"

.
.
.

Plakk

Tubuhnya membeku di tempat. Dengan wajah yang berpaling ke samping, tangannya reflek menyentuh pipi yang mulai mengeluarkan efek panas. Ia bungkam. Otaknya tak dapat mencerna apa yang terjadi dalam sesaat.

Kini ia menoleh bingung, tertawa. Masih menganggap hal ini sebuah candaan meski sang pelaku telah habis kesabaran. "Yuri, kau lupa minum obat, ya?" candanya, masih tidak mengerti keadaan.

"Bego."

Alis (Y/n) mengernyit tidak mengerti. Pertama Yuri menamparnya, lalu menghinanya, ada apa dengan anak ini? Sedang apa juga dia di kamarnya? Apa Yuri memang menunggunya sejak tadi di ruangan ini?

"Yuri, kau sinting, kenapa sih? Tiba-tiba nampar gitu aja, sakit loh buset." (Y/n) mengusap pipinya yang mungkin sudah memerah. Tak dapat dipungkiri dia marah, tetapi amarah itu entah kenapa terkalahkan oleh rasa bingung. Dia tau betul Yuri suka bercanda, tapi untuk ini, (Y/n) benar-benar tidak mengerti.

"Aku mendengar pembicaraanmu dengan Giyuu."

Mata (Y/n) membelalak kaget. Apa-apaan? Sebenarnya ada berapa orang yang menguping obrolannya dengan Giyuu? Gawat, tempat ini sudah tidak aman, (Y/n) jadi merasa diawasi setiap saat.

"Yuri, kau tau menguping itu tidak—"

"Terlepas dari baik atau tidaknya perbuatanku," sela Yuri cepat, ekspresi wajahnya masih tak berubah. "Kenapa kau berkata seolah aku menghalangimu untuk bahagia?"

Dahi (Y/n) berkerut dalam, sama sekali tidak mengerti. "Apa sih? Perasaan orang-orang agak aneh deh hari ini, kalian pada kenapa?" tanyanya bingung. Pertama Muichirou, Sanemi, lalu Tanjirou dan sekarang Yuri, nanti siapa lagi?

"(Y/n)," panggilnya pasrah, menatap sendu terhadap sahabat di hadapannya. "Kenapa kau bersikeras untuk pulang? Kau sendiri tau, kau yang merasakannya, kau bahagia di sini, lalu kenapa kau ingin melepas kebahagiaanmu sendiri?"

Kali ini otaknya telah terhubung dengan maksud Yuri, dengan obrolan yang ingin ia lanjutkan. Astaga, kenapa hari ini begitu berat, sejak pagi hingga larut malam seseorang tak henti-hentinya mengajak dia berdebat. "Yuri, jika kau mendengar pembicaraan kami, seharusnya kau mengerti alasanku, kan?"

"Lalu kenapa kau menggunakan namaku?!" bentak Yuri mulai emosi. "Kenapa?! Aku bahkan tidak pernah menghalangimu untuk tinggal di manapun! Tolong, pikirkan saja kebahagiaanmu, jangan pedulikan aku!"

(Y/n) melangkah mundur satu kali, tidak percaya. "Tunggu, apa? Yuri, dengar, aku sedang memperjuangkan persahabatan kita! Hubungan kita bukan sekedar teman sekolah! Kau sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri! Aku tidak ingin kita berpisah lagi!"

Yuri menengadah, menahan emosinya agar tidak meledak-ledak. Menghembuskan nafas kasar, ia sama sekali tidak mengerti dengan pikiran dangkal sahabatnya. Bukankah dulu dialah yang bodoh? Kenapa sekarang (Y/n) jadi lebih bodoh?!

"Saat aku hilang, kau juga pasti mengkhawatirkanku, bukan? Kau begitu, kan?!"

"Iya!!" bentak Yuri. "Kau tidak tau seberapa khawatirnya aku saat menyadari kau menghilang tanpa jejak!" Yuri melangkah mundur ketika tubuhnya oleng, lalu berakhir jatuh terduduk saat punggungnya telah menabrak dinding.

"Aku takut." suaranya bergetar. Kini ia mengangkat kedua tangannya, meremas surai merah muda dengan kasar. "Aku benar-benar panik menyadari sahabatku satu-satunya menghilang, aku takut tidak bisa melihatmu lagi." ia menunduk frustasi.

(Y/n) yang melihat dan mendengar semua menatap sang sahabat sendu. Dia yakin Yuri akan khawatir karena hilangnya dia, tetapi ia tidak menyangka reaksinya akan separah ini. Perlahan ia mendekat, lalu memberikan pelukan hangat terhadap sahabatnya.

"Yuri, udah jangan nangis." (Y/n) mencoba menenangkan saat menyadari Yuri mulai terisak. "Aku terharu loh, aku gak nyangka kau akan sekhawatir itu, padahal dulu kau pernah nyumpahin aku biar menghilang aja dari dunia."

"Itu gara-gara kau! Salah siapa hina husbu aku cebol!!"

(Y/n) terkekeh pelan menyadari temannya telah kembali. Ia mulai melepas pelukan, dengan kedua tangan yang masih tersimpan di atas bahu Yuri. "Lihat? Kita sama-sama tidak ingin kehilangan satu sama lain. Kau tau aku, kan? Aku tau mana yang paling tepat."

"Tidak."

Lagi-lagi Yuri memotong ucapan (Y/n). "Kau tidak tau, pilihanmu salah." Yuri masihlah keras kepala. Gadis pemilik iris sebiru langit itu tidak biasanya seperti ini, dan itu membuat (Y/n) selaku sahabatnya bingung. "Kau butuh kebahagiaan, dan di sini lah kau mendapatkannya. Memang apa yang rindukan dari tempat lama mu, bodoh? Neraka berwujud dunia?"

(Y/n) menggeleng pelan, ia menarik sudut bibirnya. Gadis itu tersenyum, tapi rasanya pahit. "Mungkin tidak ada yang membuatku bahagia di sana, tetapi aku tetaplah bagian dari dunia itu."

"Aku memang tidak dibutuhkan, tetapi aku ada dan dilahirkan di sana." gadis itu menunduk pelan, lalu terkekeh. "Aku berusaha untuk tidak sombong, tetapi aku cukup dikenal, Yuri. Bukankah setidaknya beberapa orang menyadari hilangnya aku? Kau juga pasti melaporkan kasusku pada polisi, kan? Aku tidak ingin merepotkan lebih banyak orang lagi."

Yuri tidak habis pikir, bisa-bisanya (Y/n) masih mementingkan orang lain disamping dirinya sendiri yang paling membutuhkan perhatian lebih. Ia mulai mengangkat tangannya lalu menepuk bahu (Y/n), menggeleng. "Tidak, (Y/n), tidak ada yang peduli padamu."

Alis (Y/n) terangkat sebelah, apa Yuri masih ingin bercanda? Pikirnya. Seharusnya Yuri tidak perlu memperjelas hal yang membuat dadanya sesak. (Y/n) terkekeh. "Aku tau, Yuri, tapi—"

"Tidak, (Y/n)!" ia menatap tepat pada Iris violet yang memancarkan kebingungan, lalu berkata dengan sangat serius. "Kehadiranmu sebelumnya, benar-benar tidak berbekas."

Sebagai penegasan karena (Y/n) masih belum menunjukkan tanda mengerti, Yuri melanjutkan,

"Dunia seolah diciptakan ulang, tanpa ada kau di dalamnya."

KRINGG

BRUGHH

"A-ah, ittai ...!"

Gadis itu mengusap bagian bawah tubuhnya yang menghantam lantai. Beruntung selimut ikut terjun bersamaan dengannya, sehingga ia tidak terlalu terkejut dengan ubin dingin yang menyentuh permukaan kulitnya.

Melirik ke samping, seketika wajahnya berubah masam. Jam weker di atas nakas membuatnya terbangun dari tidur, suaranya begitu keras, entah kenapa itu menghancurkan moodnya di pagi hari yang indah ini.

"Yuri!! Cepat matikan alarmnya! Berisik!"

Seruan dari luar kamar membuatnya mendesis tajam, tambah kesal karena ibunya memerintahkan untuk mematikan alarm, padahal sebelumnya ia berniat mematikan benda itu sebelum di suruh.

Yuri segera mematikan alarm itu, lalu mendudukkan diri di kasur empuknya. Nyawa belum terkumpul seluruhnya, ia harus memastikan sadar sepenuhnya agar tidak dimarahi sang ibu.

Alis mengernyit tiba-tiba. Menatap jam weker di sampingnya, rasa kantuk Yuri tiba-tiba menghilang.

Sejak kapan jam itu berubah bentuk?

Apa ibunya mengganti jam itu tanpa seizinnya? Ah, dasar ibu, lalu dikemanakan jam weker pemberian sahabatnya? Padahal Yuri sangat menyukai jam itu karena berbentuk kucing, Yuri sangat menyukainya! Terlebih itu barang gratisan, hiks.

Sudahlah. Yuri segera bangkit dari kasurnya lalu meraih handuk untuk membersihkan diri.

.

Setelah beberapa saat, Yuri sudah siap dan rapi menggunakan seragam SMAnya. Ia mendudukkan diri di meja makan, menunggu ibunya menyiapkan sarapan seraya berbincang ringan dengan ayahnya sebelum berangkat kerja.

"Kau pergi ke event itu kemarin?"

Pertanyaan ayahnya ditanggapi dengan jentikan jari, lalu membentuk jarinya menyerupai pistol. "Yoi, Yah, seru banget tau, aku beli banyak barang-barang kece." ia menceritakan hal itu dengan antusias.

"Benarkah?" ayahnya mengangkat kedua alis semangat. "Tapi tumben kau tidak sekalian cosplay, bukannya katanya mau jadi mbak Zero Two?"

Yuri menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, mengerang malas bersamaan dengan ibunya yang bulak-balik memindahkan makanan ke meja. "Gak jadi, abisnya (Y/n) belum bayar utang sih, aku jadi gak bisa beli bando tanduknya." wajahnya cemberut seketika.

"Oh iya, aku sekalian minta uang ya, Ayah! Mau traktir (Y/n), kayaknya udah ada yang jadian nih." ia terkikik geli seorang diri, sementara ayahnya yang baru meneguk kopi ikut terkekeh.

"Boleh aja. Oh iya, (Y/n) siapa? Temen barumu?"

Semua gerakan Yuri terhenti seketika, ia menoleh kaget pada ayahnya yang berekspresi polos. Apa katanya? Yuri menegakkan tubuhnya serius, lalu membuka mulutnya. "Masa—"

"Udah, jangan kebanyakan ngobrol, sarapan dulu, ntar telat."

Yuri mencebikkan bibirnya kesal saat sang ibu menyela ucapannya. Ia hanya pasrah, tidak ingin terkena amukan ibunya yang terkenal galak terhadap anaknya sendiri, tetapi tidak pada anak orang lain.

Saat hendak mengambil makanan bagiannya, Yuri teringat sesuatu, lalu menolehkan kepala pada sang Ibu. "Oh iya, Ibu, jam weker dari (Y/n) Ibu kemanain? Itu masih bagus kan padahal, kenapa di ganti?"

Ibu Yuri menatap anaknya bingung. "(Y/n)? (Y/n) siapa?"

Alis Yuri semakin mengernyit dalam. Gadis itu terkekeh, mencoba menganggap sebagai candaan. "Ih, kalian kenapa deh? (Y/n) loh, kalian kenal banget kan sama tu anak?" Yuri memberi jeda, menatap kedua orang tuanya. "Dia sering nginep di sini loh!" lanjutnya.

Ayah dan Ibu Yuri saling bertatapan untuk sesaat, lalu kembali memandangi anaknya tanpa ekspresi yang berubah. "Yuri, kau ini kenapa? Kau kan belum pernah bawa temenmu ke rumah." ayahnya kembali meneguk kopi dalam gelas.

Yuri seketika berdiri dari tempatnya, menggebrak meja pelan seraya menatap kedua orang tuanya bergantian. "Ibu, Ayah, kalian bercanda, kan? Gak lucu loh, kalian masa gak inget (Y/n)?" tanyanya ulang, memastikan.

"Yuri, kau sakit, ya? Ibu gak ngerti apa yang kau bicarakan."

Yuri melangkah mundur dari tempatnya berdiri. Iris matanya bergetar, menyiratkan rasa ketidakpercayaan atas apa yang ia dengar. Gadis itu menyisir rambutnya yang menghalangi pandangan ke belakang, berakhir dengan menundukkan kepala.

Perasaan tidak enak menguar hebat dari dalam hatinya.

Apa-apaan candaan ini?!

.
.
.
.
.
TBC

Continue Reading

You'll Also Like

51.2K 6.9K 31
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
731K 58.7K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
159K 11.8K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
56.5K 6.9K 33
"Saat kamu kembali, semua cerita kembali dimulai." Kisal Sal dan Ron kembali berlanjut. Setelah banyak yang terlalui. Mereka kembali bersama. Seperti...