Mantra : Hasrat Sang Penyihir

By Erzullie

1.7K 358 126

Andis mengalami koma tanpa penyebab yang jelas. Data menunjukkan, puluhan orang di kota Yogyakarta mengalami... More

Kelam Malam
Rencana Gila
Perburuan Sang Penyihir

Kota Mati

624 97 29
By Erzullie

Yogyakarta, 2016

Pekat malam menyelimuti langit Yogyakarta. Masih jelas tercium aroma bekas hujan sore tadi. Kabut tipis menjadi penghias bumi, akibat udara dingin yang mengepung kota Istimewa ini.

Suara bola yang beradu hingga membuat salah satu bola masuk ke dalam pojok lubang di papan itu membentuk senyum tipis di bibir pria bersarung tangan hitam, ia melirik ke arah pria yang menjadi lawannya, pria itu tampak frustasi.

"Gimana?" Andis menyodorkan beberapa koin di atas meja bar pada seorang wanita yang duduk di sebelahnya. "Masih mau lanjut, manis?"

Wanita itu tersenyum menatap Tama yang sedang fokus membidik bola delapan, alias bola terakhir dalam permainan biliyar. Ketika Tama melepaskan sodokan terakhir, hal itu juga menjadi akhir dari permainan tersebut.

"Nope," jawab wanita itu pada Andis. "Temen kamu terlalu jago."

Andis mengambil koin-koinnya kembali, ditambah koin taruhan milik wanita tersebut. "Oke deh kalo gitu." Andis beranjak, ia mengenakan jaketnya. "Jangan dendam, ya, manis. Selamat malam." Ia berjalan ke arah penukaran hadiah untuk menukar koin-koin yang ia peroleh dengan sejumlah uang. Ya, Andis dan Tama sedang berada di sebuah kasino. Setelah menukar uang, mereka berdua berjalan menuju parkiran.

"Kenapa?" tanya Tama yang melihat Andis sering menoleh ke arah belakang.

"Ah--enggak apa-apa." Andis mempercepat langkah menuju motornya. Mereka segera pergi dari tempat itu, dan pulang menuju Mantra.

***

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, Andis dan Tama masuk ke dalam rumah mereka. "Nih, jatah lu." Andis memberikan sejumlah uang pada Tama, tetapi Tama menolak. Ia pergi ke kasino hanya untuk bermain. Tama suka bermain, dan menganggap kasino hanyalah wahana permainan sama halnya seperti time zone.

"Sejak kapan lu jadi mandor judi, Dis?" tanya Dirga yang sedang duduk di belakang meja kasir.

"Hahahaha enggak, itu tadi gua cuma iseng aja. Niat cuma mau kenalan sama cewek, eh malah diajak ke tempat judi. Dia pikir bisa melorotin gua, tapi untungnya gua bawa Tama."

"Akhirnya dipelorotin balik tuh cewek sama si Tama?" tanya Dirga.

"Dalam permainan, cuma Uchul yang bisa sejajar sama Tama."

"Pemain paling bersih dan pemain paling kotor," balas Dirga sambil terkekeh.

Setelah perbincangan itu, Andis langsung naik ke kamar karena lelah. Ia berbaring dan mendapati sesuatu yang aneh di pojok ruangan. Memang, Andis merasakan sesuatu mengikutinya sedari keluar dari kasino. Andis mengambil ponselnya dan dengan segera melakukan video call ke nomor Uchul.

Di sisi lain, Uchul hendak memejamkan matanya, tetapi semua itu tidak terjadi, karena suara ponselnya yang mengganggu dengan ringtone tawanya sendiri.

"Ya elah, siapa sih malem-malem?" Uchul menatap layar ponselnya. "Ini orang—ngapain sih video call cowok malem-malem? Homo apa, ya?" Uchul menerima panggilan video tersebut dengan wajah datar. "Apa?"

"Chul! Liat muka gua!"

"Menjijikan seperti biasanya."

"Bukan! Aura gua gimana?!"

"Aura?" Uchul memicingkan matanya.

Setiap orang memiliki auranya yang berbeda. Aura merupakan pancaran energi yang keluar dari tubuh manusia. Aura tersebut nantinya akan mencerminkan suasana atau kondisi hati seseorang. Jika senang, aura yang terpancar cenderung cerah, sementara jika sedih cenderung lebih kelam. Lantas, bagaimana dengan aura orang yang mendekati ajalnya?

Zahran Utomo, pria yang akrab disapa Uchul itu mampu melihat warna aura manusia. Berdasarkan warna itu, Uchul mengetahui kondisi fisik dan psikis orang lain. Ia juga mampu melihat warna kematian. Kelabu pucat yang perlahan menghitam dalam kurun waktu tujuh hari.

"Iya, aura gua!"

Uchul memfokuskan dirinya untuk melihat warna aura Andis. Terlihat kuning. Kuning melambangkan perasaan optimis, percaya diri, pengakuan diri, akrab, dan lebih kreatif. Namun, dalam arti sebaliknya, kuning juga memiliki pesan negatif seperti perasaan ketakutan, kerapuhan secara emosi, depresi, kegelisahan, dan keputusasaan.

"Kuning," jawab Uchul. "Lu kenapa sih?"

"Yakin kuning?" tanya Andis. Ia terdiam beberapa saat sambil menatap ke arah depan. "Bu-bukan aura kematian?"

"Yakin." Uchul mulai merasa ada hal yang janggal. Ia melihat Andis yang ketakutan. Andis seperti ketakutan melihat sesuatu yang berada di depannya. Andis Sagara, pria itu memang bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata, tetapi Andis hampir tak pernah merasa takut, jika itu adalah sesuatu yang tidak berbahaya.

Tiba-tiba ponsel Andis terjatuh diiringi teriakan. Uchul kehilangan kontak dengan Andis. "Ini orang kenapa dah? Absurd." Ia segera menghubungi Dirga. "Halo."

"Kenapa, Chul?"

"Andis kenapa?"

"Andis? Dia lagi seneng. Menang taruhan banyak," jawab Dirga.

"Kekeke si sampah itu kirain kenapa. Dia--kelihatan takut."

Dirga memicingkan matanya? "Gimana maksudnya?"

"Barusan dia video call, terus nanya warna aura. Seolah-olah kematiannya udah deket."

Dirga mematikan panggilan Uchul dan merubahnya menjadi panggilan video. "Nih, kita liat, dia lagi ngapain." Dirga terkekeh sambil menaiki tangga. Ketika ia membuka pintu kamar Andis, dirinya dan Uchul dikejutkan dengan Andis yang terkapar di lantai.

"Oi, Dis," panggil Dirga, tetapi tak ada respon. "Dis." Dirga meletakkan ponselnya di atas meja, lalu mencoba meggoyangkan tubuh Andis. "Oi, baru juga mendadak kayak lu. Gara-gara uang haram sih, langsung kena adzab kan." Dirga mencoba memancing Andis dengan guyonan, tetapi masih tak ada respon. Hingga Dirga menyentuh lengannya untuk merasakan nadi Andis. Matanya terbelalak.

"Jay! Tam! Tolongin gua! Andis kenapa ini dah! Denyut nadinya lemah!" teriak Dirga.

Hal itu membuat Uchul terdiam. Tak ada tanda-tanda kematian pada diri Andis, lantas—apa yang terjadi?

Malam itu, Andis dilarikan ke rumah sakit JIH yang berada di Sleman, mengingat itu adalah rumah sakit terdekat dari Mantra Coffee. Andis berhasil selamat, tetapi dengan catatan. Ia dalam kondisi koma.

***

"Tim yang akan menyelidiki kasus aneh di Yogyakarta, adalah Tirta dan ...."

Uchul mengangkat tangannya dengan wajah suram. "Berikan misi ini pada saya," tuturnya pada Inspektur Dendi.

Inspektur menatap Kei, selaku pimpiman unit kepolisian khusus ilmu hitam dan santet, Dharma. Kei menganggukkan kepalanya pelan, sebagai tanda setuju.

"Oke. Tirta dan Tomo yang akan turun dalam misi ini."

Yogyakarta tidak baik-baik saja. Pasalnya, muncul sebuah wabah aneh, di mana puluhan orang mendadak koma tanpa sebab. Menurut data dari pihak kepolisian setempat, ada sebuah pola aneh yang terjadi.

Berdasarkan urutan pasien yang koma ini, berselang waktu tiga hari, selalu ada yang mati dan itu berurutan sesuai tanggal mereka dinyatakan koma. Hal tersebut memancing kepolisian Yogyakarta untuk memanggil unit Dharma, mengingat kejadian ini terasa janggal, dan perlu diinvestigasi lebih lanjut oleh unit ahlinya.

Bandar Udara Adisutjipto 2016.

Tirta dan Uchul tiba di Yogyakarta. Dirga sudah menunggu kehadiran mereka berdua di parkiran mobil.

"Terhitung berapa hari sejak Andis koma?" tanya Tirta yang duduk di kursi depan menemani kembarannya, Dirga.

"Tiga hari dua malam," jawab Dirga sambil melirik Uchul yang duduk di kursi tengah, dari kaca depan.

Uchul, pria yang biasa terlihat sebagai karakter antagonis itu, kini diam seribu bahasa. Sejujurnya, ia sangat khawatir dengan kondisi Andis. Jika memang ini ada kaitannya dengan sihir dan guna-guna, tentu saja Uchul akan sangat murka. Mengingat kejadian di masa lalunya, ketika seorang penyihir merengut nyawa pujaan hatinya. Hal itu juga yang membuat Uchul, manusia liar itu menjadi bagian dari satuan yang memerangi pengguna ilmu hitam. Kebenciannya terhadap para dukun itulah yang membawanya ke unit Dharma.

Sesampainya di Mantra, Uchul langsung bertanya perihal psikologi Andis pada Ajay beberapa hari ini dan berniat untuk melakukan investigasi dari kampusnya.

"Lu cek data rumah sakit, ada yang harus gua urus," ucap Uchul pada Tirta.

Tirta adalah orang yang sabar. Sebenarnya berpartner dengan Uchul itu adalah hal yang kurang menyenangkan, mengingat sifatnya yang egois, tetapi Tirta selalu bisa mengimbanginya dan berusaha untuk mengikuti keinginan Uchul. Tirta paham, Uchul bukannya tidak melakukan apa-apa dan malah bersantai. Faktanya, Uchul melakukan investigasi dengan caranya sendiri yang di mana tak ada orang lain yang akan mengerti pola pikirnya.

"Oke." Tirta tak ingin membuang waktu, ia segera beranjak dan meminjam motor milik Dirga.

"Enggak istirahat dulu?" tanya Dirga.

"Uchul langsung gerak, masa gua nyantai?" balas Tirta diiringi senyum tipis. "Gua pergi dulu." Ia langsung menuju kantornya di Jogja.

***

Malam kian gulita, dicumbunya aroma kegelisahan di dalam kafe yang tutup ini. Dirga, Tama, Ajay, Tirta, dan Uchul duduk melingkar.

"Per hari ini, total ada seratus tiga puluh orang yang koma tanpa sebab," ucap Tirta. "Setiap tiga hari, salah satu dari mereka meninggal secara berurutan berdasarkan data waktu mereka koma."

"Berapa waktu Andis?"

"Ada dua orang lagi sebelum Andis. Artinya sembilan hari." Tirta menatap Uchul. "Bukan artinya kita harus mengabaikan dua orang ini, Chul."

"Itu tugas lu," balas Uchul. "Lu yang pikirin cara biar game ini bisa tamat, gua pikirin gimana caranya biar enggak game over. Kemungkinan terburuknya Andis mati."

"Enggak," balas Tirta. "Kemungkinan terburuknya semua orang di data ini mati, dan jumlah orang koma masih berlanjut."

"Andis mati, selesai," lanjut Uchul. "Waktu kita sembilan hari."

Dirga, Tama, dan Ajay hanya diam menonton Uchul dan Tirta yang sedikit berselisih.

"Pertanyaannya adalah ...." Dirga membuat kedua orang itu menoleh ke arahnya. "Sihir apa yang bikin orang lain koma, dan mati secara bergilir?"

"Bahkan di Peti Hitam, enggak ada yang sesakti itu, bahkan Mikail," timpal Ajay. Sementara itu, Tama hanya menjadi pengamat seperti biasa.

"Sebelum Andis koma, apa ada kejadian menarik?" tanya Uchul.

"Dia sama Tama abis menang judi di kasino," jawab Dirga.

Uchul memicingkan matanya dan mencoba memikirkan segala kemungkinan. "Tam, kenapa lu sama Andis main judi?"

"Andis ngajak kenalan cewek, terus dia mau dipelorotin duitnya. Karena Andis lagi sama Tama, dia berani buat terima tantangan judi itu dan malah menang banyak," jawab Dirga. Ia paham, Tama malas berbicara.

"Siapa nama cewek itu?" tanya Uchul.

Tama hanya menggeleng. Merasa buntu, Uchul beranjak dan menarik Tama ikut bersamanya.

"Mau ke mana?" tanya Tirta.

"Kasino."

***

Malam ini kasino tampak ramai. Rupanya ada sebuah mini kompetisi yang sedang di adakan.

Kekeke untuk mendapatkan informasi, kita harus ikut berpartisipasi.

"Aku bisa urus dengan caraku," ucap Uchul pada kepribadiannya yang lain.

Tama menoleh ke arahnya dengan wajah bingung.

"Ah sorry, itu tadi kepribadian gua yang lain lagi ngomong," lanjut Uchul. Namun, tiba-tiba seringai itu muncul dan membuat Tama merinding. "Kekeke hey bocah bisu, ayo kita main sebentar."

Alih-alih mencari petunjuk, Tama dan Uchul malah ikut dalam ajang mini kompetisi itu dan melaju hingga ke babak final yang di mana Uchul bertemu dengan Tama.

Beberapa orang di sini mengenal Tama karena menang taruhan dalam jumlah besar beberapa hari lalu. Mereka semua mendukung Tama. Pertandingan berjalan sengit, tapi pada akhirnya Tama lagi-lagi berhasil memenangkan permainan itu. Tama mengangkat tangan kanannya sebagai sebelrasi, sementara Uchul memasang wajah frustasi. Setelah itu mereka berdua duduk di sebuah bar.

"Enggak heran, kemarin kamu ngalahin Risa, bukan hal baru kalo kamu menang di mini kompetisi ini. Ini hadiah kamu." Wanita yang berperan sebagai bartender itu memberikan Tama hadiah kompetisi.

"Risa?" tanya uchul.

"Iya, dia Ratu judi di sini. Temen kamu berhasil membungkam Risa tanpa perlawanan," jawab bartender itu. Uchul dan Tama saling bertukar tatap.

"Di mana si Risa itu tinggal?" tanya Uchul. "Kami ingin sedikit bernegoisasi."

***

Setelah mendapatkan sebuah alamat, Uchul dan Tama segera menuju ke tempat itu. "Chul, sebenernya wanita yang namanya Risa itu dukun?" tanya Tama yang duduk di jok belakang motornya.

"Kemungkinan, iya," jawab Uchul. "Gimana perawakan dia?"

"Wanita dengan rambut panjang, masih muda, dan lumayan cantik."

"Kekeke seorang Retsa Pratama memuji perawakan seorang wanita selain Aqilla?"

"Banyak wanita cantik," ucap Tama.

"Ya, ya, ya, enggak usah dilanjut. Jijik," celetuk Uchul.

Mereka kini tiba di alamat tujuan. Sebuah rumah yang gelap. Sepertinya rumah ini kosong. Uchul turun dari motor dan segera masuk, sementara Tama berjalan di belakangnya. Sejujurnya Tama itu penakut, tetapi hanya menunggu diluar tentunya membuat pria pendiam itu lebih takut, jadi ia memutuskan untuk mengikuti Uchul.

Uchul menyalakan flash ponselnya ketika masuk ke dalam rumah itu. Benar-benar rumah terbengkalai. "Oi, oi, oi ...." Uchul menatap dinding rumah tersebut yang dipenuhi coretan bertuliskan Hasrat. Entah ada berapa ratus coretan itu di tiap sudut rumah ini. Uchul menyentuh salah satu coretan itu, kini jari telunjuknya dibasahi oleh darah.

Darah ini masih baru, batin Uchul.

Ia mengendus aroma yang tak asing. Bau mesiu ....

Uchul terbalalak. Ia berlari menerjang Tama sambil membuka penutup matanya. Sebuah ledakan besar terjadi. Rumah itu kini terang benderang dipenuhi oleh kobaran api.

.

.

.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

BLACK CODE By Sirius Khans

Mystery / Thriller

123K 11.7K 45
Kasus pembunuhan satu keluarga menuntun tiga orang detektif yang bekerja sama dengan dua dokter forensik untuk menyelidiki suatu kasus besar yang mel...
1.6K 307 7
Gunung merupakan tempat yang kaya akan keindahan alam, tetapi rupanya gunung memiliki sisi gelap yang mungkin memberikan kesan ngeri bagi para sebagi...
4.4K 609 30
Sagara adalah samudra dan Azura adalah bumantara. Jika Sagara tercipta dari riuhnya ombak menderu, maka Azura tercipta dari kelamnya awan kelabu. Me...
49K 2.6K 73
Jata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset ka...