Finale

By nadomeda

2.2K 336 43

The journey to get through things that once broke them down, to love and to be loved properly. More

meet the characters
01 - Bitter
02 - Hi Hello
03 - Struggling
04 - A Ride Home
05 - Addicted
06 - Your One Call Away Man
07 - Rejection
08 - Green-eyed
09 - A Glimpse of Her Past
10 - Rumour
11 - New Step
12 - Serendipity
13 - Bad Bad Dream
14 - Weird Tension
15 - Soto Pagi
16 - Sunrise
17 - Blooming
18 - Take It Easy
19 - Midnight Lullaby
20 - Unfortunate Fortune
21 - She Came Back
23 - Safe Haven
24 - Story Unlocked

22 - The Things You Do

56 6 1
By nadomeda

Sandri

Menurut jadwal yang sudah dijanjikan, kurang dari lima belas menit lagi kami harus naik ke mini stage di sudut restoran. We need to get ready, yet Brian is still out there smoking his fourth or fifth bar of cigs.

Ini bukan pemandangan yang bagus untuk dilihat seperempat jam sebelum manggung. Apalagi mengingat relasi antara Brian dan rokok, sama sekali bukan pertanda bagus, kan?

Sejujurnya gue gak suka. Ingin hati menegur. Ayolah, kita sebentar lagi harus tampil. Apa dia nggak ada niatan sedikit pun buat menjaga suaranya? Dan rasanya baru kali ini gue melihat Brian ngerokok segitu banyaknya dalam kurun waktu dua jam. Terakhir kali dia begini, seinget gue, adalah setelah rumornya menyebar merata ke seantero fakultas.

Di sisi lain, gue juga gak bisa menyalahkan. Sewaktu Brian tiba-tiba menceritakan soal kedatangan Fio tempo hari dan apa yang cewek itu bilang soal Jun, gue langsung tau kalau selama beberapa hari ke depan Brian tidak akan berada dalam kondisi baik-baik saja. Makanya gue gak protes melihat dia kebanyakan diam selama latihan kemarin-kemarin, menghabiskan setengah bungkus rokok dalam satu hari, dan apapun yang dia perbuat malam ini.

Sometimes it sucks, ketika lo tau masalah sahabat lo sendiri tapi gak tau harus ngapain untuk menghibur; selain membiarkannya tenggelam dalam emosi sampai dia bisa bangkit sendiri. Satu-satunya yang bisa gue lakukan hanyalah memberikan Brian waktu untuk menenangkan dirinya sendiri, sambil harap-harap cemas semoga dia betulan bisa menenangkan diri sendiri.

"Brian gak diajak masuk?" celetuk Wage tanpa menatap gue. Kami berdua memandang sosok yang sama; figur tegap Brian yang masih sibuk merokok di luar restoran.

"Ajak sana, Ge."

Wage buru-buru menggeleng. "Anaknya lagi mode senggol bacok gitu, lo aja sana."

Gue belum sempat merespon ucapan Wage, karena setelahnya perhatian kami berdua teralihkan pada Bianca yang tiba-tiba berjalan melewati. Langkahnya menuju pintu keluar, sehingga gue refleks bertanya, "Mau ke mana, Bi?"

Melalui sudut mata bisa gue tangkap Wage mengerling tengil, yang nggak bertahan lama karena gue buru-buru mencubit pinggangnya.

"Mau jemput ortu gue, lagi jalan ke sini," alih-alih Bianca, justru Juan yang menjawab dengan dongkol. Matanya lurus menatap gue, tampaknya menyadari respon gue yang super cepat pada tiap gerak-gerik Bianca.

"Nah, pas banget!" sambut Wage riang, "Bi, minta tolong suruh Brian masuk, ya."

Permintaan Wage memicu semacam reaksi dalam tubuh gue, sehingga mulut gue secara otomatis terbuka untuk mengeluarkan kalimat larangan. Gak usah, gue aja yang manggil, hampir saja lolos kalau tidak tertahan oleh tepukan dua kali pada bahu gue. Menoleh dengan sewot, gue siap untuk memasang tampang sebal pada siapapun yang mengganggu kehendak gue itu. Namun emosi gue langsung meluruh menyadari kalau pelakunya justru LO kami malam ini.

"Mas, teman-temannya bisa naik untuk check sound dulu ya. Sekalian Masnya bisa ngobrol sama saya sebentar?" pintanya setengah memerintah dengan senyum tulus. Gue mengangguk kikuk, langsung menoleh pada Juan, Wage, dan Dimas. Menyuruh mereka untuk melakukan tugasnya hanya lewat tatapan dan gerakan kepala samar.

Mata gue kemudian beralih pada Bianca, yang masih berdiri seolah menunggu konfirmasi. Sepertinya dia sadar kalau gue tadi mau mengucapkan sesuatu padanya.

Gue menghela napas sepelan mungkin. Pada akhirnya gue cuma bisa pasrah.

"Tolong ya, Bi. Suruh Brian masuk, mau check sound," pinta gue, setengah hati.

Gue mengikuti mbak-mbak LO tadi ke pinggir panggung, sementara Juan, Wage, dan Dimas mengekor di belakang. Sesekali gue menoleh ke belakang, memandang punggung Bianca yang memosisikan diri tepat di sisi Brian.

"...Mas? Mas?"

Gue mengerjap, menyadari kalau sang LO ternyata sudah beberapa kali memanggil. Gue hanya bisa meringis malu dan menanyakan perihal apa yang ingin beliau bicarakan.

Ya udahlah, sekarang bukan saatnya buat cemburu-cemburuan.

<>

Bianca

"Everything good?"

Sebongkah penyesalan langsung menyeruak dalam diriku seketika setelah bertanya begitu. Aku memerhatikan Kak Brian dari jauh sejak tadi, dan sadar kalau dia merokok dalam jumlah yang lumayan ekstrim malam ini. Dengan pengetahuanku soal pandangannya soal rokok sebagai pelarian, harusnya aku tau kalau semuanya tidak baik-baik saja.

"Sorry. Pertanyaan gue pasti retoris banget," aku mengklarifikasi sebelum Kak Brian sempat menjawab.

Atau mungkin dia memang nggak berniat untuk menjawab. Akhir-akhir ini dia nggak banyak ngomong. Baik di kampus waktu kami bertemu, waktu dia ngumpul-ngumpul bersama SunDay, atau ketika sedang latihan yang beberapa kali kutonton atas permintaan Dimas dan Juan. Ekspresinya selalu datar mengarah ke mengintimidasi, seperti pertemuan pertama kami, sementara yang lainnya pun nggak membahas apa-apa soal tingkah Kak Brian. Mungkin mereka tau letak permasalahan yang sedang mempermainkan emosi Kak Brian, sehingga mewajari tingkah lakunya yang mendadak dingin.

Aku pribadi nggak pingin tau masalah apa yang sedang berkerumun di kepalanya. Tapi gak bisa bohong juga kalau ada setitik kekhawatiran melihat Kak Brian seperti ini.

Ada apa? Sini cerita.

Ingin rasanya bilang begitu. Tapi ... entahlah. Ada keraguan yang jauh lebih besar dan menahanku untuk nggak mengucapkannya meskipun ada banyak kesempatanku untuk bicara.

"Kenapa keluar? Nggak dingin?" ia bertanya alih-alih merespon ucapanku sebelumnya. Aku menggeleng.

"Nunggu Tante Rhea sama Om Ryanーeh, tuh dia."

Pandangan kami sama-sama bertemu dengan orangtua Juan yang baru saja turun dari mobil. Keduanya tersenyum melihat kami. Kak Brian langsung menggerus puntung rokoknya ke tempat sampah dan membuangnya, lalu menyalimi mereka; begitu pula denganku.

"Udah siap-siap mau tampil ya?" Tante Rhea melongok ke dalam. "Masuk yuk. Brian gak masuk? Nggak tampil tah?"

"Tampil, Tante, habis ngerokok sebentar tadi," jawab Kak Brian sesantai mungkin.

"Mau nyanyi kok ngerokok, Bri? Nggak seret tenggorokanmu?" tanya Om Ryan, membuat Kak Brian meringis malu.

"Ya udah yuk masuk. Gak sabar nih, udah lama Om gak liat Juan manggung," sambung beliau dengan antusiasme tinggi yang membawanya serta Tante Rhea untuk buru-buru masuk ke dalam, meninggalkan aku dan Kak Brian masih pada tempatnya.

Mataku menangkap anggota SunDay yang sudah mulai check sound di dalam, lalu teringat sebuah misi yang terlupakan.

"Oh iya, Kak, tadi gue disuruh manggil lo buat check sound," kataku cepat-cepat. Aku gak mau jadi pihak yang disalahkan kalau Kak Brian terlambat check sound.

Namun Kak Brian tidak memberi respon apapun, baik secara verbal maupun gerakan tubuh. Aku menengok padanya, berniat untuk mendesak cowok itu untuk cepat-cepat masuk ke dalam, tapi yang kutemui malah sepasang maniknya yang lurus menantang mataku.

Jantungku mencelos. Rasanya rencana-rencana di kepalaku langsung melebur bersama tatapan itu, dan yang kulakukan setelahnya justru balas menantang matanya. Hanya sepersekian detik, tapi Kak Brian mampu memporakporandakan ritme jantungku dengan tatapannya yang intens, sebelum akhirnya ia merangsek masuk ke dalam restoran dan menyusul teman-temannya di panggung.

Aku ikut melangkah masuk sambil berusaha menata hatiku yang seperti baru saja dilanda gempa besar. Ketika aku berhasil mendudukkan diri di meja kamiーmeja besar yang sepertinya mampu menampung enam-delapan orang, mata kami sempat bertemu lagi. Kali ini aku buru-buru memutus kontak mata, mengalihkan pandangan pada Tante Rhea dan Om Ryan yang duduk di meja khusus dua orang.

Senyumku mengembang melihat keduanya. Mereka ini sudah lama bersama, tapi romantismenya masih mirip anak remaja yang baru beberapa bulan pacaran.

Aku bisa gitu juga gak ya?

"Lo temennya Dimas ya?" sebuah suara nyaring terdengar, mengaburkan lamunanku.

Kutemukan sepasang mata bulat menatapku. Kayaknya pernah lihat, tapi siapa ya?

"Gue Luna." Oh! Dia toh. Yang ngejar-ngejar Dimas tempo hari kan?

"Bianca," jawabku seraya membalas uluran tangannya. Aku menggeser tubuh, memberikan Luna ruang untuk duduk di sampingku.

"DIMAS!" gadis itu menjerit, dilengkapi lambaian tangan heboh, membuat belasan pasang mata di ruangan ini menjadikannya pusat perhatian. "Semangat tampilnyaaa!"

Sementara itu di depan sana, Dimas menutup wajahnya dengan kedua telapak tanganーyang sebenarnya gagal menyembunyikan sebesar apa rasa malu yang dihadapinya karena telinganya berubah merah. Ditambah lagi Kak Wage dan Juan yang kini sibuk menyikuti Dimas, melempar ejekan-ejekan tengil yang semakin menjadi bersamaan dengan bertambahnya rasa malu Dimas.

"Ih! Malu-malu banget tuh orang, gak berubah dari dulu," komplain Luna. "Eh iya. Siapa tadi nama lo? Bianca? Lo deket ya sama Dimas?"

"Hm? Nggak juga, sih ..."

"Terus ke sini buat nonton siapa?" todongnya.

"Nonton Juan. Sepupu gue."

"Oh ..." bibir Luna membulat. "Gue kira nonton Kak Brian."

"Hah?"

"Kenapa? Bukannya udah rame diomongin? Kak Brian pernah jadi pelaku pelecehan, terus sejauh ini kayaknya lo doang cewek yang mau deket-deket sama dia. Gue kira lo berdua pacaran."

Gila. Anak ini mulutnya enteng banget asal ceplas-ceplos. Tapi ya omongannya memang benar, sih. Bukannya aku gak sadar kalau diomongin karena dekat-dekat Kak Brian. Dan nggak peduli juga, it's not like I want to befriend with everyone, anyway. Aku punya Dimas sebagai teman dan itu sudah cukup.

Tapi kalau soal aku disangka pacaran dengan Kak Brianー

"Oh iya, gue temen SMP Dimas by the way," Luna melanjutkan tanpa kutanya. "Tapi kayaknya dia gak mau ngakuin. Liat aja, setiap gue datengin selalu ngehindar. Haha, untung gue tau kabar kalo band dia mau manggung di sini, jadi bisa gue datengin."

"Oh ... iya ..." adalah satu-satunya respon yang bisa kuberikan. Jujur, aku gak tau harus gimana. Semua informasi yang Luna curahkan muncul tanpa diundang.

"Kita dulu deket banget waktu SMP. Dimas tuh satu-satunya temen yang gue punya, soalnya waktu itu cewek-cewek pada ngejauhin gue semua. Tapi pas kelas sembilan tiba-tiba Dimas ngejauhin gue juga. Nyebelin kan? Apalagi pas SMA gue pindah kota. Dia susaaaah banget dikabarin, padahal gue sama nyokapnya masih sering kontak-kontakan. Eh taunya pas kuliah ketemu lagi. Liat aja, kali ini bakal gue kejar sampe dia gak bisa lepas!" lanjut Luna dengan semangat yang menggebu, lagi-lagi tanpa diminta.

Cerewet banget, aku membatin.

"Walaupun Dimas pura-pura gak kenalーeh, sssst, mereka udah mau mulai."

Aku mengernyit bingung. Who's the one she told to shut up? Daritadi kan dia yang heboh sendiri.

Tapi ya sudahlah, aku gak mau memikirkan lebih jauh soal Luna dan tingkah ajaibnya. Sebab, seperti yang dia bilang, SunDay di depan sana tampak sudah siap untuk mengisi sesi live music malam ini.

"Selamat malam semuanya," Kak Sandri menyapa melalui mikrofon, dibalas oleh seruan 'selamat malam' kalem dari para audiens termasuk diriku dan Luna. "Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri dulu. Kami adalah SunDay, band iseng-iseng yang isinya semua mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni dari universitas ..."

"Mas, Mas! Saya mau minta buku menu ya," kudengar Luna berbisik pada seorang pelayan.

Di meja lain, Tante Rhea dan Om Ryan saling bergandengan dengan senyum bangga. Mata mereka fokus pada anak semata wayangnya. Mungkin sedang memberikan dukungan melalui telepati.

Perhatianku baru kembali ke panggung ketika opening speech dari Kak Sandri berakhir. Kelimanya memosisikan diri di tempat masing-masing. Ketukan pelan drum dari Dimas disusul genjrengan gitar dari Kak Sandri perlahan-lahan terdengar. Seluruh audiens berubah sunyi, masing-masing fokus pada kelima pemuda di depan sana

"This town is colder now

I think it's sick of us

It's time to make our move

I'm shakin' off the rust ..."

Kak Brian menjadi orang yang menyanyikan bait pertama. Kedua matanya terpejam, alisnya menyatu. Entah apakah ia sedang berusaha fokus mengatur vokal, atau justru sedang berusaha mengusir beban pikiran yang bakal menggangu performanya. Bahkan setelah gilirannya berakhir, ia lebih sering menunduk dengan mata yang masih terpejam.

Aku bingung bagaimana menjelaskannya, tapi rasanya momen seperti ini adalah kesempatan emas buatku; untuk memandanginya selama mungkin tanpa orang itu ketahui.

"Serius lo ke sini buat nonton Kak Juan? Kayaknya mata lo nggak tertuju ke sana deh ..." Luna berbisik. Aku nggak menggubrisnya sama sekali. Terserah ia mau berpikir apa. Fokusku sekarang adalah prioritas.

"Stop and stare

I think I'm moving but I go nowhere ..."

Kak Brian dengan matanya yang terpejam. Kak Brian dan kaki kirinya yang menghentak pelan. Kak Brian dan vokalnya yang memabukkan. Kak Brian dan jemarinya yang lihai memainkan senar bass.

Peluh di dahinya.

Kerutan di sekitar bibirnya.

The crisp in his voice.

Sial.

"Yeah, I know that everyone get scared

But I've become what I can't be ..."

Sial. Aku bahkan nggak sadar sudah berapa lama aku menahan napas. Tiba-tiba suasana di sekitarku terasa panas. Lagi-lagi ritme jantungku menjadi berantakan.

Remember what I said about how good he'd be on stage?

Yeah, it's right there, arousing something in me and I don't even know what it is.

"Oh ... do you see what I see?"

What the hell is he doing with me?

Continue Reading

You'll Also Like

1M 83K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
126K 1K 6
isinya jimin dan kelakuan gilanya
36.3K 5.3K 34
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
440K 44.8K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...