Ruang makan terdengar riuh dengan berbagai suara yang saling menyahut, suara Deana dan Shalu paling mendominasi, Keifani, Iis, dan Irvin terkadang menimpanya sekali-sekali. Hanya Darius nampak fokus sama makanannya mengabaikan keluarganya yang asyik bercengkrama satu sama lain.
"Pokoknya De mau ganti warna rambut kayak gini," tunjuk Deana pada wallpaper menampilkan rambut Lisa Black Pink yang berwarna abu-abu campur warna biru.
"Nggak boleh! Mami nggak izinin." Shalu bersikeras bertahan.
"Papi." Deana meminta bantuan pada Irvin.
Shalu pun tak mau kalah. "Kalau Papi berani kasih izin Papi tidur di kamar Darius selama sebulan."
Irvin diam tak berkutik, mau membela putrinya pun tak bisa karena istrinya sudah lebih dulu mengancam. Ancaman yang itu-itu saja tetapi bisa membuatnya sangat ketakutan, istri tercintanya memang tahu kelemahannya.
"Papi kok diam aja sih." Deana sudah tahu pasti akan kalah, sayangnya dia bukan perempuan yang lemah. "Pokoknya De mau ganti warna rambut, titik!"
"Berani kamu ngalawan, Ana! Mau jadi anak durhaka kamu?"
"Ish, Mami! Jangan panggil De kayak gitu, De nggak suka." Deana memasang wajah cemberut, mami paling tahu cara membuat Deana kesal. Apalagi kalau dipanggil dengan nama Ana.
"Nama kamu ada Ana-nya kok, kalau nama kamu Zubaedah baru Mami manggilnya Edah," kata Shalu santai.
Keifani dan Iis tertawa kecil sedangkan Irvin meringis.
Deana semakin cemberut, kalau Darius malah memutar bola matanya, pemandangan seperti ini sudah menjadi rutinitas keluarganya. Walau kadang sedikit menyebalkan tetapi juga sangat menghibur, Darius pernah bilang kan kalau mami dan Deana itu adalah perpaduan yang sempurna.
Paling sering berdebat tetapi saling sayang satu sama lainnya.
Darius ingat sewaktu Deana izin mengikuti acara perpisahan sekolah ke Bali, Mami tetap pada pendiriannya melarang sampai Deana sakit gara-gara mogok makan. Deana dilarikan ke rumah sakit akibat asam lambungnya naik. Mami tentu yang paling merasa bersalah, Mami semalaman menangis melihat putri kesayangannya harus diopname di rumah sakit.
Sampai akhirnya mami mengizinkan Deana ikut perpisahan ke Bali tetapi dengan syarat Mami harus ikut menemani, Deana hanya bisa pasrah. Toh daripada tidak jadi pergi ke Bali, tidak pa-pa juga Mami ikut. Lumayan ada yang jajanin katanya.
Pernah juga, Deana pulang-pulang menangis karena ditolak lelaki yang dicintainya. Mami yang cemas bukan main karena Deana mengurung diri di kamar, Mami beberapa kali membujuk sampai nekat mendobrak pintu kamar kalau Deana tak kunjung membukanya.
Ancaman Mami berhasil, detik itu juga Deana membuka pintu. Mami bahkan sampai menjerit melihat wajah bengkak putri kesayangannya.
"Jangan mau terlihat patah hati, De. Buat dia menyesal karena udah nolak kamu! Hapus air mata kamu, anak Mami cantik gini. Masih banyak cowok di dunia ini, bukan hanya dia doang! Dia pasti sok kegantengan." Begitu kira-kira perkataan Mami.
"Mi, udah dong. Nggak malu apa diliatin sama besan dan menantunya apa?" tegur Irvin mengelus lembut punggung istrinya menenangkan.
"Eh." Shalu sepertinya baru sadar, dia mengelus rambut ombrenya salah tingkah. "Aduh, maaf ya, Is. Ginilah kalau punya anak nggak mau nurut kata orangtua," sindir Shalu melirik Deana, sedangkan yang disindir tampak acuh. "Nggak kayak, Kei. Anaknya nurut banget, kalem lagi. Wajar kalau banyak yang suka, Darius beruntung banget punya istri kayak Kei."
Deana mencibir sedang Darius yang disebut namanya hanya diam.
"Ah, Mbak Shalu terlalu memuji. Deana juga cantik kok, pasti lebih banyak laki-laki yang suka."
"Cantik sih, tapi nggak laku-laku."
***
Hari senin waktunya kembali ke aktivitas masing-masing, kesibukan di kantor tidak hanya dirasakan oleh Keifani dan kawan-kawannya juga untuk sang admin manager. Sejak pagi semuanya penuh dengan pekerjaan yang menguras tenaga dan otak, maka saat jam makan siang tiba, keriuhan mulai terdengar.
"Ah, akhirnya istirahat juga." Karmila merenggangkan ototnya.
"Iya, rasanya pinggang gue sakit semua." Cella menimpali.
"Badan gue jadi kaku kebanyakan duduk," celutuk Bento.
Keifani dan Rahmat hanya menggelengkan kepala, bukannya mereka tak lelah tetapi menurutnya yang namanya kerja itu pasti capek.
Jadi buat apa mengeluh, kan?
"Jadi mau makan apa nih?" tanya Rahmat.
"Pasta," jawab Karmila.
"Seafood," timpal Cella.
"Bakmi Pak Kumis," kata Bento.
Rahmat memutar bola matanya, teman-temannya memang terlalu berbeda. Apalagi soal makanan.
"Lo, Kei?" Rahmat beralih pada Keifani.
"Gue ngikut lo aja deh, Mas."
"Oke, kalau gitu kita makan ayam geprek aja deh."
"Ya kok gitu," protes Cella, Karmila, dan Bento kompak.
Keifani tertawa kecil.
Baru Rahmat akan menyela, pintu ruangan admin manager terbuka, tubuh jangkung Fuad keluar dari sana.
"Kalian sudah ada rencana makan di mana?" tanya Fuad tiba-tiba.
"Kami mau makan ayam geprek aja, Pak," jawab Rahmat mewakili teman-temannya.
"Kami? Lo aja kali, gue nggak!" celutuk Cella membuat Rahmat mendelik padanya.
Fuad terkekeh kecil, matanya beralih pada Keifani yang kini menatap teman-temannya seraya tersenyum.
"Saya sudah pesan steak di restoran teman saya, kita makan itu aja nggak pa-pa, kan?"
Mata keempat manusia itu---kecuali Keifani--- dengan mata berbinar, jelas saja steak adalah makanan mewah bagi pegawai rendahan macam mereka.
"Nggak pa-pa dong, Pak. Kami dengan senang hati menerimanya," jawab Bento semangat.
"Tapi steak-nya gratis kan, Pak?" tanya Cella tak tahu malu.
"Iya, gratis kok. Itung-itung hadiah dari saya karena kalian sudah bekerja keras hari ini."
Karmila, Cella, dan Bento tersenyum malu.
"Ya udah, baru aja driver ojeknya kabarin kalau dia udah dibawa. Kalian tunggu di ruang meeting, saya akan ke bawah mengambil makanannya."
Baru dua langkah Fuad berjalan, Rahmat segera menahannya. "Biar Bento yang ambil, Pak."
Bento yang disebut namanya dengan sigap berdiri dari duduknya. "Iya, Pak. Saya saja yang ambil steak-nya. Bapak dan yang lain silakan tunggu di ruang meeting."
Begitu tubuh gempal Bento menghilang di lift, Cella lantas mencibir. "Tumben si Bento mau disuruh-suruh, biasakan dia malas."
"Ya iyalah rajin, secera makan steak lho. Gratis pula!" sahut Karmila.
"Ya mah kalau Bento asal makanan aja dia bakal gercep." Rahmat ikut-ikutan.
Keifani kembali tertawa.
Semuanya sudah duduk di ruang meeting dengan masing-masing satu porsi steak di hadapannya, langsung saja menyantap dalam diam. Biasanya kalau makan siang bersama, mereka akan membicarakan apa saja, tetapi kali ini berbeda. Semuanya tampak fokus menikmati steak-nya.
Bento bersendawa. "Alhamdulillah," ucapnya.
"Dasar jorok lo!" cibir Cella.
"Bodo!" Bento meleletkan lidah.
"Biarin aja, Cel, sobat misqueen macam Bento mah nggak pernah ngerasain makan makanan sultan."
"Enak aja!" Bento tak terima.
"Jangan salah, Mil. Bento pernah makan steak kok, steak ayam tapi."
Yang lain tertawa mendengar ucapan Rahmat.
Keifani ikut tertawa kecil, bersyukur mereka bisa menikmati jam istirahatnya sejenak sebelum kembali ke pekerjaan yang tak ada habisnya. Sampai matanya tak sengaja jatuh pada netra Fuad hingga mata mereka bertemu sesaat, dengan cepat dia membuang pandangnya.
Tak lama kemudian seruan Cella terdengar, Keifani berdiri dari duduknya bersama yang lainnya. Dia menghembuskan napas lega, bisa terhindar dari tatapan intens admin managernya.
Makin lama Keifani makin takut dengan lelaki itu.
***
BERSAMBUNG
Ayo yang minta up lagi mana suaranya? 😁
Aku usahakan up secepatnya ya, doakan semuanya lancar 😇
Jangan lupa vote dan komennya banyak2 ya 🙏
See you next part