Memories || Kimetsu no Yaiba

Par Mizuraaaa

90.5K 12.1K 4.6K

Highest Rank: #1 in mitsuri (13/2/21) #1 in kyoujuro (6/2/21) #1 in kimetsu (2/4/21) #1 in yaiba (2/4/21)... Plus

Author Note!
Prolog
1.A new world?
2.Pelatihan
3.Kisatsutai
4.Rapat Pilar
5.Uzui's Family
6.Become Stronger
7.Natagumo
8.Tanjirou
9.No Tittle
10.Mugen Train(1)
11.Mugen Train(2)
12.Datang lagi
13.Pertemuan Pertama
14.Keputusan
15.Alasan
INFO!!!
Flashback Moment
16.Tidak Terduga
17.Hubungannya
18.Kerinduan
19.Berita Buruk
20.Menyadarinya
21.Yuki no Hashira
22.Maksud Sebenarnya
23.Memburuk
24.Percobaan
25.Permintaan
26.Misi Bersama
27.Penyerangan
Flashback Moment
28.Pemburu Iblis vs Iblis
29.Lemah
30.Kesembuhan
31.Keinginan untuk Mati
32.Takut untuk Mati
33.Keluarga
34.Penyelesaian Masalah
35.Festival Kembang Api
36.Iblis Es
37.Memperbaiki
38.Uji Coba
39.Penangkapan
Pengumuman
40.Terjebak
41.Teman Lama
42.Penyelamatan Diri
43.Rasa Bimbang
44.Tanpa Dirinya
45.Setelahnya
46.Diskusi
46.Diskusi (bag 2)
47.Rasa Bersalah
49.Tanpa jejak
50.Yuri tanpa Sahabatnya
51. Sudahkah, berakhir?
52. Kejahilan Bertambah
53.Seragam SMA

48.Rasa yang Nyata

423 62 12
Par Mizuraaaa

Warning⚠: Author tidak membaca manga sehingga cerita akan berbeda jauh dengan alur aslinya!

Angin berhembus kencang melewati keduanya, membawa serta surai berbeda warna untuk beterbangan menghalau pandang. Kala bibir saling menahan kata, pula mata yang menghindari tatap, sunyi hadir mengisi jarak.

Lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat. Semua kata yang telah tersusun dengan indah menguap, dibawa pergi seiring hembusan nafas dikeluarkan, menjauh hingga kosong telah menguasai benak.

Lucunya, setelah sekian lama tak bertukar kata, atau sekedar bersitatap, tak ada rasa senang yang bisa terungkap. Gadis itu, merasa tidak pantas untuk berada di sana, berhadapan dengan seseorang yang telah ia sakiti.

Kedua tangannya mengepal kuat, pula mata tertutup erat. Menahan. Tak ingin rasa sedih menguasai, atau air mata yang mencair menjadi tangis. Bibir yang mengering telah terbuka, mengucap kata dengan intonasi yang sedikit bergetar.

"Giyuu," jedanya sejenak, menelan saliva susah payah seiring menggigit bibir kecil. "Gomen ...."

Tubuh gadis itu bergetar, meringis menahan semua rasa. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menghentikan getaran yang terus melanda. "Gomennasai ..., aku ... aku tidak—"

Tap

"Syukurlah. Aku— benar-benar takut."

Iris violetnya melebar seiring degup jantung yang semakin cepat. Dengan mengambil satu langkah ke depan, pria itu langsung memeluk dirinya erat, menyembunyikan wajah putus asanya pada bahu sang gadis.

"Sempat terlintas dalam pikiranku, saat di mana aku tak akan pernah bisa melihatmu lagi, aku sangat takut ...."

(Y/n) hanya termenung, mencoba mencerna semua perkataan yang memasuki pendengarannya, mencoba percaya, ia tak mampu mengatakan apapun. Pada akhirnya diri tersadar, kelopak menipis dalam sekejap dan menumpahkan air mata yang mengalir deras.

Inikah? Ini yang ia cari selama ini? Kehangatan yang begitu ia rindukan, telah kembali dalam pelukan. Tuhan, apalagi yang dia inginkan? Mengapa dalam sesaat ia merasa, bahwa hanya ini yang ia cari selama ini. Sesosok pria dingin yang penuh kelembutan dalam tatapannya.

Semua keraguan telah terhapus, dalam seketika membalas peluk penuh haru. Gadis itu terisak, air mata terus mengalir tanpa izin, menolak perintah untuk berhenti dari sang diri.

"Giyuu, gomen, hontou ni gomennasai, a-aku tidak bermaksud melukai kepercayaanmu." suaranya bergetar, terhalang oleh isak tangis yang berlomba-lomba mengeluarkan diri.

"A-aku— aku hanya— aku tau ini salahku, ini salahku, aku mohon maafkan aku."

Dalam sekejap hangat dalam peluk sirna, kala sang pria melepasnya dengan sengaja. Ditatapi olehnya wajah gadis yang tengah berantakan itu, lalu menggeleng kuat. "Tidak, aku yang seharusnya minta maaf." Giyuu menahan nafas, tidak sanggup melanjutkan.

Tangannya terangkat, menyentuh dan mengelus pipi yang basah itu lembut. "Maaf karena kau harus melihatku yang begitu kekanak-kanakan, aku masih terlalu bodoh untuk memahami dirimu, padahal seharusnya aku tau kau menanggung beban yang berat."

(Y/n) menggigit bibir bawahnya sebagai pelampiasan. Entah mengapa melihat Giyuu meminta maaf seperti ini begitu membuatnya tersiksa. (Y/n) menggenggam tangan Giyuu yang berada di pipinya, erat, teramat malah.

"Ini salahku juga." (Y/n) menunduk untuk menguatkan dirinya sendiri, lalu kembali mengangkat wajah. "Padahal kau sudah sangat terbuka padaku, tetapi aku masih belum bisa memberi seluruh kepercayaanku." matanya terpejam erat, menetralkan nafas kala dadanya begitu sesak. "Aku minta maaf. Aku— aku hanya takut, Giyuu."

"Aku mohon." (Y/n) mulai menggenggam sebelah tangan Giyuu dengan kedua tangannya di depan wajah. "Aku tau aku sangat sering melakukan kesalahan. Tapi tolong, jangan menjauhiku seperti ini, jangan lagi." (Y/n) menunduk pasrah, menyimpan tangan Giyuu di dahinya. "Kau tidak tau seberapa terlukanya aku saat kau menjauhiku seperti itu."

Dada Giyuu berdenyut sakit. Bibir Giyuu yang tak mengucap sepatah katapun bergetar, meringis. Pria itu merasa begitu jahat, mengapa (Y/n) harus menanggung akibat dari keegoisannya?

Giyuu melepaskan diri dari genggaman tangan (Y/n). Gadis itu mendongak terkejut, hingga sepersekian detik kemudian, ia sudah berada dalam pelukan lagi, pelukan hangat yang sempat ia rindukan.

"Jangan khawatir, aku tidak akan meninggalkanmu lagi, tidak akan."

Sementara ia menyembunyikan wajahnya pada dada Giyuu, (Y/n) meremas haori dua motif itu. (Y/n) sangat ingin Giyuu memegang perkataannya, karena dia masih butuh Giyuu di sisinya.

"Aku berjanji. Aku yakin aku bisa menepatinya, tetapi mungkin tidak untukmu."

Perkataan Giyuu selanjutnya tak dapat dicerna oleh otak, sebab itu ia sesegera mungkin melepas pelukan. Kepala mendongak karena perbedaan tinggi, lantas mengernyitkan alis. "Apa ... maksudmu?"

Giyuu memiringkan kepala kecil, menyunggingkan senyum tipis. Keempat jarinya menyelipkan surai coklat gadis itu ke belakang telinganya, lalu mengusap pipi menggunakan jempol untuk menghilangkan jejak tangis. "Kau. Kau akan segera pulang, kan?"

Tangannya kembali turun ke bawah, sementara tatapan aneh (Y/n) yang terarah padanya tak kunjung hilang. "Oyakata-sama bilang kita akan segera bertindak. Entah berlatih atau menyusun rencana, tak lama lagi akan datang waktu di mana kita mengalahkan Kibutsuji Muzan."

(Y/n) menggelengkan kepala tidak paham, sejenak mengalihkan tatap untuk memahami. Namun, apapun itu tak bisa dimengerti. "Lalu apa yang salah jika kita mengalahkan Muzan?"

"Kau akan pulang," jawab Giyuu cepat, tanpa memberi jeda waktu. "Kau akan kembali ke tempatmu berasal." Giyuu mengepalkan kedua tangannya erat, lalu membuang wajah, menghindari tatapan gadis itu. "Itu yang selama ini menjadi tujuanmu, kan?"

(Y/n) mematung di tempat, tak mampu memberi reaksi apapun selain tatapan yang tak beralih dari orang di hadapannya. Pada akhirnya ia mengambil langkah ke belakang, satu kali.

"Bukankah satu-satunya cara yang paling masuk akal agar kau kembali adalah dengan membunuh Muzan? Saat itu kau akan kembali, kau senang, bukan?"

"Tentu saja aku— senang ...?"

Kenapa ia, merasa ragu?

(Y/n) menunduk cepat, meringis menahan denyutan nyeri pada kepala. Sebelah tangannya meremas rambut kuat, kenapa rasa sakit ini datang tiba-tiba?

Tentu saja. (Y/n) sadar, baru saja. Terlalu banyak hal yang (Y/n) pikirkan hingga tak mengingatnya sama sekali. Mengalahkan Muzan, adalah satu-satunya cara yang Muzan bicarakan sebelumnya, bagaimana bisa ia melupakannya?!

Itu benar! (Y/n) akan kembali! Pada dunia di mana ia dilahirkan, pada dunia di mana ia tinggal selama tujuh belas tahun, dia akan pulang! Akhirnya, akhirnya (Y/n) menemukan cara untuk pulang.

Kepalanya terangkat, menatap Giyuu dengan tatapan yang lebih memancarkan cahaya. "Giyuu, aku akan pulang! Aku bisa kembali ke dunia ku sendiri!" ia melangkah lebih dekat, lalu menggenggam kedua tangan Giyuu. "Aku senang! Aku bisa pulang, Giyuu!"

"Tunggu!" (Y/n) berbalik, bertanya pada dirinya sendiri, "Aku, aku senang, kan? Aku senang? Aku memang ingin pulang, bukan?" (Y/n) menyisir rambutnya yang menghalangi wajah menggunakan jari-jari. "Benar, kan? Aku, aku senang? Aku akhirnya bisa lepas dari semua penderitaanku. Aku, aku bisa kembali pada kehidupanku yang normal. Bukankah, aku, harus senang?"

(Y/n) meringis, lalu menggigit pipi bagian dalamnya kuat, sangat kuat. Kenapa hatinya tidak tenang? Bukankah ini yang selama ini (Y/n) perjuangkan? Berlatih untuk semakin kuat, dan kembali ke dunianya. Lantas apa-apaan rasa ragu ini?! (Y/n) kesal, mengapa semua ini terasa membingungkan?!

Giyuu membalikkan tubuh (Y/n) agar kembali menghadapnya. Dengan kedua tangan yang masih menggenggam lengan atas gadis itu, ia menatap tepat pada netra violet di hadapannya. "Apapun itu, pada akhirnya kau akan pergi, bukan? Kau akan meninggalkanku."

Kedua tangannya turun, Giyuu menundukkan kepala dalam saat (Y/n) memberi tatapan heran. "Aku— aku sendiri tidak mengerti, aku memang tidak memahami apapun tentang hal ini. Mungkin seharusnya tidak perlu aku katakan, tapi aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi!"

Kepala Giyuu terangkat mantap, menatap (Y/n) dengan percaya diri. Tetapi sebelum apa yang ingin diucapkannya keluar, rasa percaya dirinya pudar dengan cepat. Cahaya dalam matanya, padam.

"(Y/n),"

"Daisuki da."

Kala diri berdiam membatu, angin berhembus kencang tanpa tau waktu, menerbangkan surai serta kain yang membalut tubuh, seiring dirinya berlalu. Sunyi telah bosan menemani, akan tetapi harus berdiam diri hingga bibir berucap pasti, sebab kini, seluruh gerakan tubuh terhenti.

"Giyuu ...," lirihnya pelan, sempat tidak menyangka akan apa yang didengar.

Kini kepala melemas, menunduk penuh sesal, seraya mengepalkan kedua tangan erat. "Giyuu, maaf, aku— minta maaf." suaranya terputus-putus, tercekat oleh sesuatu yang menempel di tenggorokan. Haruskah ia kembali mengalirkan tangis?

Kenapa, rasanya begitu sesak? (Y/n) tidak mengerti, bukankah harusnya ia senang dengan pernyataan ini? Bukankah ini yang sebelumnya ia harapkan? Tetapi mengapa (Y/n) merasa sakit?

"Aku mengerti." (Y/n) mengangkat kepala terkejut, menatap wajah polos Giyuu yang kini mengulas senyum tulus. "Aku tidak pernah berharap kau akan balik mencintaiku, jadi kau tidak perlu menjawabnya. Aku hanya ingin kau tau, aku selalu mencintaimu."

Hah? Apa-apaan?

"Bukan begitu, bodoh!" (Y/n) meninju dada Giyuu emosi, tetapi yang dirasakan pria itu hanya pukulan kecil, tenaga (Y/n) melemah. Gadis itu terisak, bukan itu yang ia maksud, kata maafnya bukan untuk itu!

(Y/n) menyandarkan ujung kepalanya pada dada Giyuu, membiarkan pria itu menatapnya yang begitu lemah dari atas. "Kenapa? Kenapa kau harus mengatakan hal semacam ini?!" bentaknya, meninggikan suara.

"Kenapa ...? Padahal kau tau aku akan pergi! Padahal kau tau kita akan segera berpisah! Kenapa kau membuatku semakin bingung?!!" ia mengeluarkan segalanya, termasuk air mata yang semula mengering pada pipi.

(Y/n) bahkan belum selesai memahami perasaannya sendiri, kenapa Giyuu membuatnya tambah membingungkan?! Sebenarnya untuk apa semua ini? Kenapa takdir mempermainkannya seperti ini?

Pria itu mengangkat tangannya, lalu mengelus surai sewarna karamel itu lembut. Dalam senyumnya mengandung kesedihan, walau disembunyikan sedemikian rupa. "(Y/n), aku berusaha untuk tidak egois dengan memaksamu tinggal di sini."

"Tetapi sejujurnya, jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin kau menetap, aku ingin kita terus bersama." Giyuu menahan nafasnya, mendongakkan kepala untuk menahan air mata kembali merembes keluar. "Terlepas dari hubungan yang terjalin di antara kita, aku ingin selalu melihatmu. Melihatmu tumbuh, berjuang, bahagia, bahkan jika itu bukan denganku."

"Sialan!!" bentak (Y/n) keras. "Kenapa kau berkata seperti itu?!" (Y/n) meringis, menahan air mata yang terus mengalir deras, meski suara tangis telah tertahankan. "Kenapa— kenapa kau membuat semuanya menjadi semakin rumit?!"

"Tolong ..., tolong mengerti keadaanku, aku bukan berasal dari sini, ini bukan tempatku." suaranya mengecil, sudah lelah untuk membentak pria yang ada di hadapannya ini. "Sebesar apapun aku mencari alasan untuk tetap bertahan di dunia ini, semuanya tetap berbeda. Aku punya tempat untuk pulang, dan itu bukan disini."

Pada akhirnya ia menemukan cara untuk melepas luka yang selama ini menyiksanya di dunia ini, tetapi dengan pernyataan Giyuu membuat (Y/n) kehilangan akal, tak sedikitpun otaknya bekerja.

"Aku harus pulang," lirihnya pelan, ia menurunkan tangannya yang semula berada pada dada Giyuu. "Jati diriku ada di duniaku, bukan di sini."

"(Y/n) sebenarnya apa yang membuatmu sekeras kepala itu untuk kembali? Apa yang menunggumu di sana?"

"Yuri," jawab (Y/n) kilat. "Dia memang bodoh, bego, tolol, tidak punya otak. Tapi seburuk apapun dia, dia tetaplah sahabatku." tak ada keraguan sedikitpun dalam ucapannya, karena semua itu memang benar.

Yuri adalah orang yang melepaskan (Y/n) dari belenggu kesendirian. Dia satu-satunya orang yang ingin menemaninya, keduanya telah melewati suka duka bersama, ini lebih dari sekedar pertemanan biasa.

"Persahabatan kami terlalu erat untuk diputuskan oleh sebelah pihak, aku ingin kembali bersama Yuri ke dunia kami dan menjalani hari dengan normal. Hanya itu, itu saja, kenapa kau malah mempersulitnya dengan pernyataanmu."

Giyuu menatap gadis itu dalam diam. Ia tidak tau harus membalas apa, entah kenapa jalan yang dipilihnya selalu salah. Bahkan sekarang, hanya dengan pernyataan cintanya, ia telah membuat seseorang tersiksa.

Kedua tangannya terangkat, lalu menyentuh pipi (Y/n) lembut. (Y/n) mengerjap kaget, kala kepalanya terangkat oleh dorongan tangan Giyuu. Pria itu menatapnya dalam, meski tersirat kesedihan yang tak kalah mendalam pada wajahnya.

"Jika apa yang aku ucapkan melukaimu, lupakan saja." (Y/n) melebarkan mata atas apa yang Giyuu ucapkan. Dalam satu hari, ia harus melupakan dua pernyataan cinta sekaligus? Apa-apaan semua ini?!

"Aku ingin melihatmu selalu bahagia. Oleh karena itu, lupakan yang tadi, bahagialah, dengan apapun pilihanmu." Giyuu terkekeh lembut dengan senyum yang terpatri indah, membuat wajahnya begitu mempesona untuk ditatap lama. "Jangan lagi, aku tidak ingin melihat wajahmu basah oleh air mata." ia menggeleng.

Kecupan ringan mendarat pada dahinya. Begitu lembut, membuatnya dipenuhi oleh rasa yang asing. Senang, tetapi juga menyesakkan. "Aku menyukai senyumanmu, selalu. Jadi tolong, tersenyumlah."

Gadis itu menatap kepergian Giyuu dengan mata berkaca-kaca, sisa dari cairan bening yang sempat meluncurkan diri. Semua yang pernah ia inginkan telah terwujud. Cara untuk pulang dan dicintai balik oleh Giyuu. Tetapi saat keduanya datang bersamaan, mana bahagia yang ia harapkan?

Tuhan, bukan ini yang ia inginkan.

.
.
.

"(Y/n)-san?"

Kepala terangkat penuh, mengerjapkan mata kala menyadari di mana kini ia berada. "E-eh? Kanao-chan." ia balas memanggil, masih bingung dengan keadaan sekitar.

"Kau melamun," tebak Kanao tepat sasaran. Ia berjalan mendekat, lalu menepuk bahu gadis yang lebih tua darinya. "Ada apa? Apa kau sakit? Mau aku panggilkan Shinobu-san?" tanyanya khawatir.

Ia menggelengkan kepala, melepaskan tangan Kanao dari pundaknya. "Iie, arigatou, mungkin terlalu banyak yang aku pikirkan, tapi aku baik." gadis itu terkekeh untuk meyakinkan, meski wajah Kanao terlihat tidak puas untuk sesaat.

(Y/n) mengalihkan pandang, tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat pintu yang menghubungkan lorong dan ruang perawatan bagi laki-laki. Senyum kecil terpatri pada bibir, lantas menatap sang lawan bicara dengan jahil.

"(Y/n)-san, k-kenapa kau menatapku begitu?" tanya Kanao gugup, terlebih melihat senyum yang tersirat sesuatu di dalamnya itu.

"Kau baru keluar dari ruang perawatan, sedang apa?" (Y/n) bertanya seraya menaik turunkan alisnya, menggoda Kanao yang sekarang salah tingkah sendiri dibuatnya.

Kanao membuang wajahnya, menghindari tatapan intimidasi (Y/n) yang memaksanya untuk bicara. "Tidak ada, a-aku hanya memberikan obat untuk Tanjirou-kun dari Shinobu-san, dia baru pulang menjalankan misi, dan dia terluka."

"Hoo~, sou ka?" nada suara (Y/n) yang terdengar tidak percaya membuat Kanao sebal, dan itu menjadi hiburan tersendiri bagi (Y/n), Kanao sangat lucu. Dengan jahilnya, (Y/n) memajukan wajah lebih dekat, lalu bertanya, "Aku dengar akhir-akhir ini kau dekat dengan Tanjirou-kun, apa ada sesuatu, ya~?"

Kanao menoleh kaget dengan semburat tipis pada kedua sisi pipinya. "A-apa?! T-tidak pernah ada gosip seperti itu, (Y/n)-san!" ujarnya kesal, menutupi sebagian wajahnya menggunakan tangan karena malu.

(Y/n) tergelak melihat ekspresi wajah itu. Kanao yang pada dasarnya jarang berbicara, berhasil dibuat salah tingkah seperti itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi (Y/n). Kanao sangat imut, gadis itu selalu membuatnya ingin memiliki adik perempuan.

Dijadikan adik ipar sabi lah ya.

"Hahahah!! Aku bercanda, tenang saja!" meskipun berkata seperti itu, tawanya masih tak kunjung berhenti, membuat wajah Kanao seketika cemberut dan hampir menangis. (Y/n) menepuk kepala gadis itu berkali-kali itu menenangkannya, tapi malah membuat Kanao semakin kesal.

"Terserah (Y/n)-san saja! Intinya aku tidak ada hubungan apapun dengannya!"

(Y/n) menahan tawanya untuk tidak keluar, mendengar suara tegas Kanao membuatnya tidak tega jika ingin menjahili lebih jauh lagi. "Hai' hai', gomen ne." mendengar permintaan maaf itu membuat Kanao menghembuskan nafas pelan, lalu mengulas senyum kecil. "Baiklah, aku harus segera pergi, jaa ne, (Y/n)-san!"

(Y/n) melambaikan tangannya saat Kanao mulai melenggang pergi. "Jaa, Kanao-chan!" teriaknya diiringi kikikan kecil.

Setelah kepergian Kanao, (Y/n) memutuskan masuk ke ruang perawatan. Terlanjur pula, dia melamun hingga mendatangi kediaman kupu-kupu tanpa sadar. Memang kediaman ini adalah rumah terbaik, sampai selalu reflek datang ke sini.

Dan ketika dia masuk, apa yang ia lihat membuatnya sweatdrop.

Selimut di mana-mana, ranjang yang terguling, bantal terlempar ke sana kemari, juga tiga pasang mata yang menatap polos ke arahnya. Terdiam, semuanya berubah menjadi patung untuk sesaat.

"A-are? (Y/n)-neesan?" panggil salah satu orang dengan gugup, keringat mengucur dari pelipisnya ragu.

Gadis itu mengangkat telunjuknya setinggi kepala. "Kalian sedang—"

BRUKK

Pertanyaannya terputus begitu saja, kala sebuah bantal putih melayang dan menghantam wajahnya diikuti tawa yang menggelegar dari seseorang. "HUAHAHAH! Darimana saja kau?! Kau sembunyi karena takut bertarung dengan Inosuke-sama, bukan?! Hahaha!!"

(Y/n) tersenyum.

Iya, tersenyum. Namun, dihiasi dengan perempatan imajiner yang timbul di wajahnya. Kesal. Kakinya melangkah cepat menghampiri sang pelaku, membuat Inosuke merasakan sinyal bahaya dan mulai waspada. "Hoya! Apa?! Kau mengajak bertarung?!"

Di luar perkiraan, (Y/n) merebut topeng babi yang Inosuke pakai hingga memperlihatkan wajah imutnya. "Hei!" pekik Inosuke kaget. (Y/n) segera menjauhkan topeng itu ketika Inosuke berusaha meraihnya, lalu berseru, "Tanjirou-kun, tolong buang ini ke tempat sampah, biarkan benda ini terbakar sampai hangus dan angin membawa abunya sejauh mungkin."

"OI SINTING! KEMBALIKAN BENDA ITU!"

(Y/n) tidak mendengarkan, malah mengangkat tangannya sehingga topeng babi itu semakin sulit di raih. Padahal niatnya ke sini untuk berdamai, karena dia merindukan tiga serangkai yang sering membuat keributan ini, tetapi semua niat baiknya lenyap seketika.

"Aku tidak akan—"

"(Y/n)-CHAN!!!"

BRUKKK

(Y/n) meringis pelan kala punggungnya menghantam lantai kayu dengan keras, terlebih beban yang menimpa tubuh bagian atasnya menyulitkan gadis itu kembali bangkit.

"(Y/n)-chan! Kau kemana saja?!! Kau jarang menemuiku, aku pikir kau sudah membenciku! HUAAAA!!"

(Y/n) menutup telinganya yang berdenging karena teriakan full volume Zenitsu, jika mendengarnya setiap hari mungkin telinga (Y/n) akan segera tuli, gadis itu jadi mengkhawatirkan kondisi Tanjirou yang selalu memisahkan pertengkaran Zenitsu dan Inosuke.

"Hoi! Menjauh dari (Y/n)-nee!" Tanjirou menarik Zenitsu agar bangkit dari tubuh (Y/n). Zenitsu meronta tidak setuju, tetapi karena perbedaan kekuatan membuat Tanjirou berhasil menariknya.

"(Y/n)-nee, kau tidak apa-apa?" Tanjirou mengulurkan tangannya, dengan senang hati diterima oleh (Y/n) agar bisa mendudukkan diri. Seraya mengelus kepalanya yang sempat terbentur, ia bergumam, "Aku baik-baik saja, aku malah mengkhawatirkanmu yang harus menghadapi mereka setiap hari," keluhnya, beralih menggosok telinga yang sedikit berdengung.

Saat menyadari dengan siapa ia berbicara, (Y/n) mengerjap kaget. Matanya melebar seketika, lalu meraih kedua lengan atas Tanjirou untuk mendekat. "Hee?! Tanjirou-kun! Kita sudah lama sekali tidak bertemu, ya! Aku merindukanmu!"

Tanpa aba-aba, (Y/n) menarik Tanjirou ke dalam pelukannya. Terlalu erat, Tanjirou nyaris kehabisan nafas karena pelukan itu. (Y/n) sibuk menggesekkan penciumannya pada rambut Tanjirou, wangi laki-laki muda ini sangat ia sukai!

Pelukan keduanya berlangsung beberapa saat, tak mempedulikan mata Zenitsu yang sudah berkaca-kaca karena iri dengan apa yang Tanjirou dapatkan.

Setelah Tanjirou terlepas dari pelukan, ia bisa mengambil nafas dengan rakus, kenapa kekuatan kakaknya ini begitu kuat? Tanjirou pikir dia akan mati konyol karena dipeluk kakak angkatnya.

Kepalanya kini terangkat, lantas teringat, ada yang harus ia bicarakan dengan gadis ini. Tatapannya pun bergulir pada kedua teman, lalu memiringkan kepala seraya tersenyum kikuk. "Anoo, kalian bisa keluar sebentar? Aku ingin bicara berdua dengan (Y/n)-neesan."

Zenitsu tampak tidak setuju, tetapi kemudian seseorang menarik kerah belakangnya kasar. Inosuke yang baru selesai memasang topengnya mulai berjalan ke arah pintu seraya menyeret Zenitsu paksa. "Ayo kita keluar! Aku sudah muak dengan siscon brocon akut ini!"

Brakk

Inosuke membanting pintu setelah kepergiannya dengan Zenitsu. (Y/n) hanya bisa sweatdrop dengan kelakuan anak itu, jika pintunya rusak belum tentu dia mau tanggung jawab, dasar!

Fokusnya kini kembali pada Tanjirou yang berada di hadapan. Sebelum memulai, ia tersenyum tipis. "Nah, ada apa? Tumben sekali kau ingin berdua dengan oneesanmu yang cantik ini," ujarnya kegeeran, yang ditanggapi gelak tawa oleh Tanjirou.

Tanjirou segera berdiri, lalu mengulurkan tangannya lagi. "Jangan duduk di bawah, neesan, dingin." (Y/n) terkekeh sesaat, lalu meraih tangan Tanjirou untuk bangkit berdiri. "Aku hanya ingin mengobrol dengan neesan, sudah lama kita tidak mengobrol berdua, kan?"

(Y/n) mengangguk-angguk kecil seraya mengikuti langkah Tanjirou. Remaja muda itu mendudukkan diri di atas ranjangnya, sementara (Y/n) memutuskan duduk di ranjang sebelahnya, sehingga posisi mereka berhadapan sekarang ini.

"(Y/n)-nee, kau juga baru keluar kediaman kupu-kupu, ya? Aku dengar kau terluka parah karena sempat diculik Kibutsuji Muzan."

Gadis itu mengendikkan bahu tak acuh, lalu mengibaskan tangannya. "Bukan masalah besar. Hanya beberapa tulang patah, terkena racun, tulang telapak tangan hancur karena tertusuk, dan sebagainya lagi."

Tanjirou speechless. "Neesan, bisa-bisanya kau mengatakan semua itu dengan mudahnya." (Y/n) terkekeh geli melihat reaksi Tanjirou yang begitu menggemaskan, tersirat rasa ngeri dan takut dalam matanya.

"Haha, aku bercanda! Aku baik-baik saja," ujarnya menenangkan, hingga akhirnya Tanjirou menghembuskan nafas lelah. Kakaknya ini memang aneh, jika dirinya berganti posisi dengan (Y/n), mungkin ia tidak akan sanggup.

"Begini, neesan."

Tanjirou mengalihkan tatap, memandangi pemandangan luar dari kaca jendela yang terbuka lebar, membuat angin bisa masuk keluar seenaknya. (Y/n) hanya memberi tatapan tanya seraya memiringkan kepala, menunggu dengan setia.

"Sebelumnya aku minta maaf." Tanjirou menatap (Y/n) ragu, lalu terkekeh canggung. "A-aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Giyuu-san." ia menunduk takut, khawatir apabila (Y/n) marah kepadanya.

"T-tenang saja! Aku tidak mendengar semuanya! A-aku segera pergi ketika tau kalian sedang membicarakan hal penting!" Tanjirou menjelaskan dengan gerakan tangan, menjadi panik tak terkendali.

Padahal, (Y/n) tak bereaksi apa-apa.

Selain bibir yang tak melunturkan senyuman, kini kepala yang semula memiring ke kanan berganti arah. Tatapannya di buang ke sembarang arah, Tanjirou mungkin bisa melihat sirat sendu di dalamnya, tetapi ia lebih memilih diam.

"Tidak apa, katakan saja."

Tanjirou mengerjap pelan, tidak menyangka bahwa (Y/n) tidak memarahinya sama sekali. Sekarang ia menjadi merasa bersalah sudah menguping obrolan kakaknya. "Sekali lagi maaf, tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan."

"Apa itu?" tanya (Y/n) riang, mengayunkan kakinya bergantian seraya memajukan tubuhnya agar lebih dekat. Tanjirou kagum, (Y/n) bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi sebelumnya.

"(Y/n)-nee, apa yang kau maksud dengan dunia berbeda?" tanya Tanjirou penuh harap, sangat menginginkan jawaban dari kakaknya. "Aku tidak mengerti, duniaku dan duniamu apa yang kalian maksud, neesan?"

Sejenak (Y/n) mematung tanpa mengalihkan tatapannya dari Tanjirou. Hingga sesaat kemudian, ia terkekeh seiring menjatuhkan wajahnya ke bawah. Memandangi jendela yang sama yang membawa angin berhembus menerbangkan surainya, ia mengulas senyum kecil.

"Tanjirou, sebenarnya aku," iris violet itu bergulir pada sosok adiknya.

"Tidak benar-benar berasal dari sini."

.
.
.
.
.
TBC

Mohon maaf atas keterlambatan update-nya!

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

79.6K 7.7K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
49.8K 6.5K 41
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
333K 27.7K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
182K 15.4K 26
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...