BERTEDUH

By amellidong

61K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... More

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
3. HANYA AKU
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN
9. MERASA BERSALAH
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
13. KHAYALAN SAJA?
14. KITA TAK KEMANA-MANA
15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA
16. MASA DEPAN YANG FANA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

10. KAU YANG KUBUTUHKAN

2.1K 438 49
By amellidong

Aira meregangkan otot-otot tubuhnya saat merasa sinar matahari mengganggu kedua matanya yang masih terpejam. Tidurnya cukup nyenyak semalam, karena ia tak terbangun sama sekali seperti malam-malam biasanya. Perlahan tapi pasti, otaknya memproses apa yang ia lihat saat ini.

Ternyata Tombak sudah tak ada di sampingnya sejak ia membuka mata.

Setelah menghela napas, Aira bangun dan berdiri. Ia mengikat rambut seraya berjalan dengan langkah menyeret keluar kamar.

"Baru bangun?"

Aira segera menoleh sumber suara dari dapur. "Kamu belum pergi?" tanyanya tanpa pikir panjang.

Tombak menegakkan tubuh dan memandang Aira sesaat, sebelum senyumnya terukir tipis. "Aku di sini selama beberapa hari."

"Serius?" Kedua mata Aira melebar memancarkan binar ceria.

"Hm." Tombak lanjut menuangkan susu hangat ke dalam gelas. "Cuci muka, lalu duduk di sini. Aku tunggu."

.

.

Secangkir susu dan kopi hitam tersaji di atas meja makan saat Aira kembali. Tombak lalu meletakkan sepiring pisang goreng hangat sebelum duduk di samping Aira.

"Kamu beli di mana?" tanya Aira.

"Aku buat sendiri."

Bibir Aira berkedut menahan tawa.

"Kamu nggak percaya?"

Aira menggeleng.

Tombak menghela napas, lalu mengangguk. "Aku titip Bu Giman."

"Bentuknya aja profesional banget." Aira meraih satu pisang goreng dan menggigitnya. "Mana percaya aku kalau kamu yang buat?"

Tak ada tanggapan dari Tombak. Pria itu lebih memilih menyesap kopinya, sebelum memangku dagu memperhatikan dengan seksama bagaimana Aira menghabiskan satu buah pisang goreng yang ia bawa.

Menyadari tengah diperhatikan, Aira melihat gaun tidur panjangnya. "Mukaku aneh ya?" tanyanya sebelum meminum isi gelasnya.

Tombak menunggu Aira menaruh kembali gelas susunya terlebih dahulu. Pria itu mendekatkan kepala, dan mengusap setitik minyak di ujung bibir istrinya. "Setelah ini ke psikiater ya? Aku temani."

Butuh sepersekian detik Aira mencerna perkataan Tombak. Perempuan itu pun berdehem dan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Oh... ini sebenarnya nggak separah dulu sih. Aku nggak-"

"Tetap saja, Aira," potong Tombak lirih. "Kamu harus periksa."

Aira memandang kedua tangannya yang bertautan di pangkuan. "Mungkin cuma kambuh biasa."

Saat Aira tak melanjutkan kalimatnya, Tombak menarik perlahan tangan perempuan itu agar duduk di pangkuannya. "Apapun itu, harus kita obati di tangan yang tepat. Oke?"

Kedua mata Aira menatap ke dalam dua mutiara hitam nan tajam milik Tombak. Seluruh rasa rindunya untuk pria itu pun tiba-tiba mengalir deras hingga membuat relung dadanya terasa sakit.

"Aku..." Tombak menghela napas dan memejamkan mata sesaat. "Aku nggak bisa lihat kamu seperti ini, Ra."

Aira mengangkat kedua tangannya, merangkum kedua pipi Tombak dan mengusapkan ibu jarinya dengan lembut di dagu pria itu. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, melainkan hanya sorot penuh luka menatap suaminya. "Aku kan pernah bilang kalau cuma butuh kamu."

Tak ada sahutan dari Tombak.

"Aku kangen kamu, Tombak."

Tombak menurunkan tangan Aira. Sebagai gantinya, ia mendekap tubuh tubuh perempuan itu.

"Apakah setelah ini kita masih akan susah untuk bertemu?"

Pelukan Tombak mengerat.

"Aku nggak butuh psikiater-"

"Sssssttttt." Tombak membelai lembut kepala istrinya. "Jangan bicara seperti itu."

Aira mulai terisak. "Aku nggak mau ke psikiater."

"Aira..." Tombak memejamkan mata saat mendengar isakan istrinya yang mengeras. "Oke. Kita cuma akan jalan-jalan hari ini."

***

Arthur memandang adik bungsunya yang menghampirinya saat sarapan. Dilihat dari penampilannya, satu-satu saudara perempuannya itu nampak mau pergi. "Mau ke mana kamu sepagi ini?"

Amdrea menghela napas dan memandang kolam renang rumahnya. "Aku mau pulang."

"Kamu sudah pulang."

"Pulang ke rumahku sendiri, Bang."

Selama beberapa detik Arthur memandang Andrea yang menghindari tatapannya. "Kenapa nggak tinggal di sini aja?"

Dengusan Andrea meluncur mulus. "Bang Arthur kaya' baru pertama kali aja lihat aku ninggalin rumah. Aku kan terbiasa diusir."

Pegangan Arthur di garpu dan pisau menguat. Pria itu membuang muka seraya menghela napas, sebelum meraih ponselnya. "Kalau begitu pulang sama Gembul."

Kedua mata Andrea melotot tak terima. "Ngapain sih, Bang? Aku bisa pulang sendiri!"

"Keadaan lagi nggak kondusif, Ndre!" Intonasi Arthur meninggi. "Cukup Tombak aja yang buat Abang stress. Kamu harus nurut!"

Andrea mengerutkan alisnya. "Kenapa bawa-bawa Bang Tombak, sih?"

Tak ada sahutan dari Arthur yang tengah mencari kontak Gembul di ponselnya.

"Yang harusnya stress itu Bang Tombak, bukan Bang Arthur. Hidupnya tertekan sekarang karena permintaan Papa."

"Permintaan terakhir, Ndre. Garis bawahi!" sahut Arthur dingin.

"Lalu?" Tanpa sadar Andrea menaikkan intonasinya. "Kalau Papa minta Bang Tombak ninggalin keluarganya juga harus dituruti? Apa itu termasuk tugas organisasi? Bang Tombak bahkan sudah bukan anggota-"

"ANDREA!" Tatapan kedua mata Arthur nampak tajam menegur adiknya. "Cukup! Kamu nggak tahu apa-apa."

"Aku ngga tahu karena memang kalian nggak pernah mau melibatkan aku." Satu sudut bibir Andrea terangkat sinis saat menghela napas. "Dari sini sudah jelas kan bagaimana aku dianggap?"

Arthur tak menyanggah apa-apa, hanya memandang kepergian adik bungsunya dengan ekspresi tak terbaca.

***

Saat baru saja masuk ke dalam mobil, Tombak memperhatikan Aira yang tengah melamun menatap jendela.

"Berangkat sekarang?" tanya Tombak seraya memasang sabuk pengaman.

Aira sedikit terkejut sebelum menegakkan punggungnya. "Yuk."

Tombak menyalakan mesin mobil dan kembali menoleh istrinya. "Kita makan siang dulu, ya?"

"Boleh."

"Ke restorannya Delvi mau?"

"Boleh, ke sana aja. Sup iga di sana enak."

.

.

"Pegawainya bilang, kalau Delvi lagi ke bandara mengantar tamu," ucap Tombak seraya menarik kursi di hadapan Aira.

Aira menengok sudut meja bar yang kini dijaga oleh orang lain.

"Rambut kamu sudah panjang lagi."

Kedua mata Aira masih terpaku di sudut yang sama.

"Aira?"

Kali ini Aira menoleh. "Ya?"

Tombak menatap Aira dengan sendu. Pria itu pun menggenggam lembut tangan perempuan itu yang bertautan di atas meja. "Mau ke mana setelah ini?" tanyanya.

"Terserah."

"Mau ke kebun bunga?"

Aira tersenyum. "Yuk."

***

Dari balik bilik kaca smooking room bandara, Delvi yakin betul perempuan berkacamata hitam yang berjalan membawa ransel di hadapannya adalah perempuan yang akhir-akhir ini menyita perhatiannya.

"Apa aku sekarang cuma ngayal, ya?" gumamnya setelah menghembuskan asap rokok.

Mengikuti insting, Delvi mematikan rokoknya dan setengah berlari meninggalkan ruangan kaca tersebut.

"Andrea? Ndre?"

Perempuan di hadapannya berhenti, dan Delvi senang bukan main mengetahui ia tidak sedang berkhayal saat ini.

"Beneran kamu ternyata," ucap Delvi tanpa bisa menahan senyumnya.

Andrea melepas kaca matanya. "Mas Delvi?"

Delvi mengangguk antusias. "Kuantar sekalian, yuk?"

"Um..." Andrea menengok arah belakang Delvi. "Mas Delvi kalau ada urusan lain-"

"Urusanku udah selesai," potong Delvi semangat. "Aku nggak nyangka lihat kamu di sini setelah lama nggak ketemu."

Andrea tak tahu harus bereaksi apa selain hanya tersenyum kaku.

"Kuantar ya, Ndre?" Senyum Delvi tampak begitu tulus. "Hitung-hitung lepas kangen karena lama nggak ketemu kamu."

.

.

"Kamu dari mana, Ndre?"

Mau tak mau Andrea harus menoleh lawan bicaranya walau sekilas. "Jakarta, Mas."

"Oh..." Delvi yang tengah menyetir, mengangguk pelan. "Kapan hari aku lewat depan rumah kamu. Sekedar info aja, bunga kamu udah pada layu. Hahaha."

"Mas Delvi tahu rumahku?"

Delvi mengangguk. "Aku ke sana sama Aira."

"Oh..." Lagi-lagi Andrea tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Setelah ini... kamu nggak ada niatan untuk pergi lama lagi, kan?"

Andrea mendadak hilang kata-kata. Ia pun hanya bisa menatap Delvi yang kini menyembunyikan senyum samarnya.

Sadar sedang ditatap, Delvi pun tertawa kecil. "Berarti emang mau pergi lagi, ya? Hahaha, padahal aku berharap sebaliknya."

Entah berapa detik yang terlewat setelah itu. Yang jelas, Andrea masih berada di tempatnya memandang pria berkacamata yang tengah menyetir di sampingnya.

"Mau cari makan dulu, Ndre?"

"Aku nggak akan pergi lagi, Mas."

Delvi menoleh Andrea sepenuhnya. Laju mobil yang ia kendarai pun menjadi lebih pelan.

"Aku mau jalani hidupku dengan sepenuhnya di sini," sambung Andrea.

Senyum Delvi terukir lebar. Bahkan setelah Andrea memalingkan muka menghadap ke depan, pria itu tak sedikit pun menyurutkan senyumnya.

***

Gembul melangkah ringan di halaman depan rumah keluarga mendiang Bosnya. Sinar matahari sore yang kekuningan, menghiasi semua tanaman hias dan bunga yang tertata cantik. Sebuah bangku putih panjang di tengah halaman, reflek memunculkan ide di kepalanya untuk mengajak Andrea bertengkar di sana. Tak pelak, Gembul pun tertawa dengan rencananya sendiri.

Beberapa orang yang berpapasan, menyapanya dengan hangat seiring menuju bangunan utama rumah mewah itu. Terbiasa keluar masuk rumah itu membuatnya cukup dikenal oleh hampir semua pegawai dari berbagai usia.

"Pagi-pagi udah kelihatan ganteng kamu."

Tawa Gembul mengalir renyah. "Saya emang ganteng, Bu Siska," sahutnya mengimbangi celetukan salah satu pegawai yang membersihkan ruang tamu. "Arthur ada?"

"Den Arthur di ruang tengah lantai dua. Barusan aja kelar sarapan sama anak istrinya."

Setelah mengucapkan terima kasih, Gembul menuju tangga dan langsung berbelok ke area yang dituju. Samar-samar suara dua orang pria berbicara, terdengar saat ia hampir tiba.

"Mau sampai kapan, Bang? Organisasi nggak akan berkembang kalau cara pimpinnya seperti ini."

Gembul memutuskan untuk berhenti dan menajamkan pendengarannya.

"Ganti pemimpin nggak semudah itu, Lex."

"Apanya yang susah? Gue bisa gantiin Tombak!"

"Lo tahu ini permintaan terakhir Papa, kan? Para tetua yang lain pasti nggak bakal semudah itu ngebantah Papa."

"Tombak cuma menang populer, Bang. Lagian dia harusnya udah bukan anggota lagi, kan?"

"Dan orang yang lo bilang cuma menang populer itu, tetap disetujuin para tetua untuk menyandang status pemimpin walau udah bukan anggota. Sampai sini lo paham seberapa kuat pengaruh dia, kan?"

Keheningan beberapa detik itu dihiasi deru napas Alex yang terdengar memburu. "Kalau alasannya hanya sekedar menurut Papa gue nggak siap, gue nggak terima."

"Emang lo mau ngelakuin apa? Bisa lo geser posisi Tombak? Bisa lo yakinin para orang tua?"

"Gue bisa kalau lo mau bantu gue, Bang."

"Udah gila lo, Lex!"

"Coba lo pikir, Bang! Kenapa harus orang lain untuk pimpin organisasi Bokap kita sendiri?" Nada suara Alex meninggi. "Sampai kapan lo mau harga diri kita diinjek-injek dan diremehin karena dianggap nggak mampu? Sampai kapan?"

"Lo terlalu jauh, Lex."

"Nggak. Gue harus lakuin sesuatu."

"Jangan aneh-aneh, Lex!"

Gembul menyadari langkah kaki kecil yang berjalan menuju ke arahnya. Dengan sigap ia menghampiri balita laki-laki itu dan menggendongnya. "Yoooo... Gio," serunya sengaja meninggikan suara.

Seorang perempuan yang mengikuti balita itu tersenyum melihat Gembul. "Hei, Mbul. Mau ketemu Arthur?"

"Iya." Gembul menatap anak Arthur yang ada di gendongannya. "Gio udah mulai kelihatan mirip Arthur, ya?"

Lagi-lagi perempuan itu tertawa. Ia meraih tubuh anaknya. "Arthur ada di ruang tengah. Mungkin lagi baca buku. Yuk kuantar ke sana."

"Oke."

Gembul pun kembali berjalan di belakang istri Arthur menuju ruang tengah. Namun jelas, suasana hatinya tak bisa kembali seperti sedia kala.

***

Entah sudah berapa lama Aira termenung di atas sofa menatap langit-langit rumah. Tetesan air hujan yang terdengar ringan, serta suara samar dari kamar mandi berhasil membuatnya terdiam memikirkan apa yang ia alami akhir-akhir ini.

Aira sadar, selain banyak melamun, ia merasa bahwa emosinya secara perlahan menjadi tak stabil. Ia lebih mudah resah karena hal-hal kecil, ia juga lebih mudah merasa sedih ketika sendiri. Semakin ke sini, ia merasa seperti bukan menjadi dirinya lagi.

"Aira?"

Panggilan Tombak dan suara langkah kaki yang mendekat tak membuat Aira mengalihkan pandangannya barang sejenak.

"Kamu ngantuk?"

Kedua bola mata Aira bergerak melihat sejenak Tombak yang ada di atasnya, sebelum tertutup. "Tiba-tiba malas ngapa-ngapain," gumamnya.

"Jadi jalan-jalan hari ini batal?"

Aira kembali membuka mata dan mengulurkan tangan membelai lengan suaminya yang masih menyisakan dingin karena baru selesai mandi. "Di luar hujan, kita di rumah saja, ya?"

Kening Tombak mengernyit samar. Pria itu lalu duduk di sisa ruang sofa yang sama dengan istrinya. "Kamu lelah karena masak sarapan?"

Kekehan Aira meluncur begitu saja. Ia membelai janggut suaminya yang baru dicukur. "Aku cuma ingin di rumah. Berdua sama kamu. Berpelukan sampai besok."

Tombak semakin mengerutkan kening, sedangkan Aira malah tertawa melihat perubahan wajah suaminya.

"Kenapa ini dicukur sih?"

Kedua mata Tombak menatap tangan Aira yang masih berada di wajahnya. "Kenapa memangnya?"

Aira menipiskan bibir sebelum menggigitnya. "Nggak seksi."

Satu sudut bibir Tombak terangkat. Pria itu mendekat dan menyurukkan wajahnya ke leher Aira. "Manfaatnya tetap sama, kok."

Tawa Aira pecah. "Tombak geli!"

.

.

Hujan telah sepenuhnya berhenti. Sesuai kesepakatan pasangan suami istri itu beberapa saat lalu di atas sofa, mereka memutuskan untuk berkebun ketika hujan sudah reda.

Di sela membersihkan kebun kecil yang dihiasi tanaman Aira, Tombak berkali-kali memperhatikan ekspresi perempuan itu. Tombak sedikit lega melihat istrinya tak banyak melamun hari ini. Aira nampak lebih ekspresif dan bersemangat ketika mengerjakan sesuatu, sungguh berbeda dari kemarin saat Tombak membawanya jalan-jalan seharian.

"Sore nanti mau sepedahan ke bukit?" tanya Tombak.

Raut wajah Aira berubah cerah. "Mau sekalian piknik?"

"Mau sekalian camping juga boleh."

Kedua mata Aira menyipit menatap suaminya.

Telepon rumah berdering. Tombak meletakkan alat berkebunnya dan berjalan ke dalam rumah.

"Halo?"

"Boy! Lo kapan balik?"

Tombak dengan cepat melihat Aira lewat jendela dapur besar rumahnya. "Gue udah pernah bilang jangan telepon ke rumah!" ucap Tombak pelan namun penuh penekanan.

"Hp lo nggak bisa dihubungin bego! Harus gimana lagi gue bisa ngehubungin lo?"

"Ada apa?" Tombak langsung menuju intinya.

"Jawab dulu! Kapan lo balik?"

Tombak membelakangi jendela dapur. "Lusa," ucapnya seraya menutup mata. "Kenapa?"

"Setelah balik, lo jangan langsung ke markas! Kita ketemu di apartemen gue."

Kening Tombak mengerut tanpa sadar.

"Dan jangan kasih kabar siapapun kalau lo pulang."

Tombak menghela napas. "Ada lagi?"

"Ada." Gembul menjeda perkatannya. "Arthur bilang kalau Andrea udah pulang."

"Lo nggak amnesia waktu kita bertiga semobil berangkat ke Jakarta, kan?"

"Bukan. Maksud gue pulang ke rumah Andrea sendiri, di kota yang sama dengan lo sekarang."

"Terus?"

Gembul diam sejenak. "Nggak. Lupain yang itu. Kasih kabar aja kalau lo udah di apartemen."

Sambungan tertutup. Dengan perlahan Tombak meletakkan gagang telepon. Kepalanya kini dipenuhi pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi selama ia absen dari tugasnya.

"Siapa yang telepon?"

Tombak menarik napas dan berbalik. "Pak Herman," dustanya. "Kamu udah selesai?"

Aira berjalan menuju kamar. "Belum, aku mau cari kuncir rambut dulu."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Tombak kembali berjalan ke halaman belakang rumahnya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.


Happy satnight ❤
S

emoga setelah ini Olan kebagian tampil, yak? Wkwkwkwk

Sehat-sehat semua... Bismillah pandemi tahun depan kelar 🙌🏼

.

.

.

"Orang secantik ini kok ya tega ditinggal sendirian di rumah toh, Bang Tom?" :')

Continue Reading

You'll Also Like

17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
620K 27K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
557K 21.4K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
355K 27.6K 58
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...