GIBRAN DIRGANTARA

By fafayy_

19.8M 2M 1.2M

Sudah terbit dan tersebar di seluruh Gramedia Indonesia -Satu dari seratus sekian hati yang pernah singgah. K... More

01. GIBRAN DIRGANTARA REYNAND
02- KOLOR POLKADOT
03-BERITA HOT
04-BENDAHARA CANTIK
05-PIZZA MALAM
06-NODA MERAH
07-ADA YANG TURUN
08-GAK BOLEH BAIK
09- GIBRAN SADBOY
10- ADA YANG LEPAS
11- KAUS KAKI
12-HARGA DIRI ABEL
13- TENTANG MASA DEPAN GIBRAN
14- TAMPARAN MANTAN
15- MALAIKAT PELINDUNG
16- KECEBONG VS RENTENIR KELAS
17- KECUPAN SINGKAT
18- SURAT KEHILANGAN
19. I LIKE YOU
20- RINDU YANG AKAN DATANG
21- UNGKAPAN HATI
22- SETITIK LUKA & SETITIK RASA
23- CEMBURU TANPA MEMILIKI
24- OFFICIAL HIS
25- KESAYANGAN GIBRAN
26- BAHAGIAMU BAHAGIAKU
27- AKU, KAMU, DAN BAHAGIA
28- CANTIKNYA GIBRAN
29- GIBRAN, ABEL, DAN KENZO
30- RATUNYA GIBRAN & GUGURNYA PAHLAWAN
GC KE 2 AGBEROS TEAM (BUKAN UPDATE)
31- RATU CANTIK VS PARASIT CANTIK
32- HADIAH UNTUK ABEL & BENTENG PERTAHANAN
PENJELASAN!
33- SUATU PERBEDAAN & TIGA PARASIT
34- GAGALNYA KENCAN
35- PERMINTAAN MAAF
36- MURID BARU
TYSM FOR ARGANTARA (BUKAN UPDATE)
37- SYARAT BERSAMA
38- TERIMAKASIH LUKA
39- PUTUS ATAU TERUS
40- HUJAN DAN USAI
41- LINTAS KENANGAN
42- MERINDUKANNYA
43- BUKAN PURA-PURA
44- DI BAWAH RINTIK HUJAN
46- TITIK TERAKHIR
47- KEMBALI
coming Soon
price list
Vip order
Special Offer Po ke 2
SPIN OFF GIBRAN DIRGANTARA

45- GORESAN LUKA

279K 38K 37.3K
By fafayy_


GIBRAN DIRGANTARA
AZZURA ARABELA

Hai temen-temen semua.... Halo Giblovers dan Gibelship yang selalu nungguin Gibran update. So im sorry geng hari kemarin aku sibuk banget dan baru kegarap sekarang. Semoga kalian enggak bosan yaa dengan cerita ini.

Aku selalu kasih yang terbaik untuk kalian. Ketikan rapih, alur nggak berantakan, dan bab panjang. Semoga enggak bosan yaa.

Oh iya, pasukan Gibelship udah pada nabung belum untuk persiapan PO Gibran di bulan Oktober nanti?

*********

Untuk bab ini putar mulmed dari :

Acha Septriasa :
(Kalian pilih aja. Dan yang aku cantumin mulmednya cuma satu di atas. Tapi kalau kalian punya dua-duanya. Putar aja secara bergiliran)

- My heart
- Sampai menutup mata

Untuk bab ini jangan lupa ramaikan yaa..

45- Goresan Luka

"Ikhlas itu bohong. Melepaskan karena keterpaksaan itu menyakitkan. Dan dia juga masih ada hanya tak lagi bersamanya. Aku berhenti mengharapkannya bukan berarti berhenti mencintainya."

-Azzura Arabela

Malam itu, hujan kembali turun dengan derasnya. Mengguyur jalanan di malam hari. Gibran sedari tadi berdiri menghadap luar jendela, menatap rintik hujan yang membasahi balkon kamarnya. Hujan ini, membuat memori otaknya berputar mengingat kembali ucapan Abel yang begitu jelas tadi sore. Gibran tahu apa yang di ucapkan Abel, namun ia tak bisa mencernanya.

Cowok itu sudah berusaha untuk mengingatnya, namun yang ia dapat rasa sakit yang luar biasa pada kepalanya.

"Gue nggak tau apa yang terjadi sama diri gue. Tapi gue sadar, kalau gue lagi nggak baik-baik aja." Ucapnya.

Gibran memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Cowok itu mendudukkan dirinya di tepi kasurnya. Menatap layar ponsel yang sedari tadi menyala. Tak ada notifikasi satu pun yang masuk pada layar ponselnya.

Entah karena apa, jarinya tertarik menyentuh nama Abel pada kontaknya.

Gibran : Lo dimana?
Gibran : Udah pulang?

Tak ada balasan apapun dari gadis itu. Kontaknya pun terlihat aktif, namun entah karena apa ia tak membalasnya. Biasanya gadis itu selalu membalas pesannya dengan cepat. Gibran mendongak menatap langit-langit kamarnya. Dari awal, ia memang merasa tak asing dengan Abel. Namun, ketika Gibran menanyakan tentang siapa Abel, gadis itu selalu bungkam.

Manik mata cowok itu menatap bungkus permen dengan tulisan 'Fighting dear'. permen yang di berikan Abel tadi di sekolah, namun Gibran lebih memilih bungkusnya saja untuk ia simpan.

Deringan pada ponselnya mengalihkan atensi Gibran. Tertera nama Abel di sana yang menelponnya. Gibran meneguk salivanya, jarinya sangat ragu untuk sekedar menarik ke atas tombol hijau.

"H-halo?"

Terdengar kekehan kecil di seberang sana. "Kenapa? Tumben nanyain kabar. Emang kamu tau aku siapa?"

"Gue---"

"Nggak usah di jawab. Aku udah tau jawabannya kok. Kamu lagi ngapain?"

"Nggak lagi ngapa-ngapain,"

"Jangan lupa belajar, ya. Besok ujian terakhir kita. Aku harap kamu dapat nilai baik."

Samar-samar Gibran mengangguk. "Thanks."

Keduanya saling diam, Gibran tak membuka suara begitupun Abel di seberang sana. Gadis itu tak mengucapkan kata-kata apapun lagi. Namun, Gibran memilih untuk tidak mematikan sambungannya.

"Gibran,"

"Kenapa?"

"Aku tunggu kamu di hari kelulusan, ya?"

Dahi Gibran mengernyit bingung. "Ada apa----" sambungan terputus sebelum Gibran menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap ponselnya dan menampilkan kontak WhatsApp Abel yang tiba-tiba tidak aktif.

Gibran tidak mengerti dengan ucapan Abel. Hari kelulusan? Cowok itu melempar ponselnya di atas tumpukkan bantal, kemudian cowok itu menjambak kuat rambutnya sendiri saat merasakan kepalanya berdengung sangat sakit.

Sekelebat bayangan tentang rumah sakit membuat kepala Gibran kembali terasa sakit. Ia melihat sosok cowok yang terbaring di rumah sakit dan melihat sosok perempuan yang menunggu di sampingnya. Hal ini membuat kepala Gibran seperti ingin pecah.

Sekilas suara perempuan yang terngiang di kepalanya membuat Gibran berteriak kesakitan.

"Aku nggak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya. Setelah kehilangan hati kamu, aku nggak mau kehilangan orang yang berhasil ambil hati aku. Kamu orangnya."

"Kamu nggak mau bangun dan ujian bareng aku? Aku harap, kamu segera buka mata kamu dan kita rayain hari kelulusan bareng."

Tubuh Gibran terduduk di lantai. Cowok itu menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan serta lututnya. Napasnya tersengal-sengal saat ia berhasil keluar dari bayangan tersebut. Mencoba mengingatnya siapa dua orang yang berada di rumah sakit tersebut.

"Abel?" gumam Gibran.

"Kenapa harus lo? Kenapa harus lo yang selalu muncul di kepala gue?" lirihnya.

Suara ketukan pada jendela kamarnya membuat Gibran mendongak. Ia melihat kotak putih yang terlempar di depan kakinya. Gibran segera berdiri dari duduknya dan mengambil kotak tersebut. Ia tak membukanya, namun cowok itu mencari keberadaan sang pengirim kotak ini. Ia melihat seorang dengan Hoodie hitam, Gibran hendak berteriak namun ia urungkan saat melihat orang itu sudah keluar dari pekarangan rumahnya.

Jemari cowok itu segera membuka kotak tersebut. Matanya tertuju pada beberapa kertas di sana, ia terdiam cukup lama serta jantungnya berdetak sangat kencang.

Gibran menggeleng cukup kuat kemudian cowok itu melempar asal kotak itu berserta isinya hingga berserakan di lantai.

UJIAN NASIONAL TERAKHIR SMA GALAKSI!

Seperti itulah tulisan besar di kertas HVS yang tertempel di setiap kelas XII. Hari ini, menit ini, dan detik ini, merupakan babak terakhir untuk menentukan mereka lulus atau tidaknya dan hari terakhir mereka melepas beban di SMA ini.

Terlihat di sepanjang koridor SMA Galaksi banyaknya siswa-siswi yang duduk melingkar di depan kelasnya. Mereka fokus dengan buku latihannya.

"Nggak kerasa sebentar lagi kita mau lulus. Padahal kemarin kita baru MPLS sekarang udah mau lulus aja." Ujar Algerian yang duduk di depan kelasnya sembari menatap siswa-siswi yang sibuk dengan bukunya.

"Gue kangen suasana awal," celetuk Kenzo membuat Algerian menoleh.

"Bisa kangen juga lo?" ledek Algerian.

Kenzo tak menggubrisnya. "Gue kangen sama kalian. Terutama Gibran. Udah mau hari kelulusan, tapi dia belum pulih," ujar Kenzo.

Algerian sempat terdiam dengan ucapan Kenzo. Sudah lebih dari seminggu ini Gibran belum sadar dari amnesianya. Sudah banyak cara ia dan Kenzo bahkan Abel serta teman sekelasnya membantu Gibran perlahan untuk mengingat semuanya. Namun Gagal, Gibran sama sekali tidak mengingat apapun tentang dirinya dan orang terdekatnya.

"Usaha kita sia-sia buat pulihin Gibran. Gue kadang juga pengen nyerah buat pulihin semua ingatannya. Tapi gue sadar," Algerian menoleh ke arah Kenzo kemudian berkata, "kalau bukan kita siapa lagi yang bisa pulihin dia pelan-pelan?"

Algerian menyandarkan punggungnya. "Walaupun nggak ada hasil sama sekali."

Algerian mengusap sudut matanya yang hampir saja mengeluarkan air mata. Ia sebisa mungkin menjaga jati dirinya untuk tidak menangis di situasi seperti dan di keramaian seperti ini. Cowok itu terkekeh dengan pelan saat mengingat kenangannya dengan Gibran dulu.

Bersama sejak kecil, bertiga sejak kecil, besar bersama dan berjuang bersama. Kini Gibran seperti orang asing baginya.

"ALGERIANJING! KELUAR LO ANAK HARAM!"

"Lo jangan mati di mobil gue! Kalau lo mau mati gue gelindingin dari mobil gue ya, Al?!"

"OMO! OMO! OMO! CEBONG!"

"Berbeda dari yang lain itu indah."

"Kalau ada yang susah kenapa harus yang mudah?"

"WOY! ANAK ANJ----!"

"Lo----" Gibran menunjuk wajah Algerian lalu mengangkat jari tengahnya. "Muka lo kaya anjing!"

"Berisik!"

Algerian tertawa pelan, ia menunduk saat bulir air matanya berhasil turun dari pelupuk matanya. Tak bisa di pungkiri seberapa besar Algerian rindu dengan kebersamaannya dulu bersama Gibran dan juga Kenzo. Meskipun persahabatan mereka hanya tiga orang saja, namun itu semua lebih dari cukup.

"Hari senin pengumuman kelulusan kita. Gue harap Gibran pulih dan rayain kelulusan bareng kita," ujar Kenzo.

Suara derap langkah yang terdengar di telinga mereka membuat dua cowok itu mendongak dan segera berdiri dari tempatnya. Gibran, cowok itu baru saja menginjakkan kakinya di lantai koridor tepat di jam 06:50.

"Gib----"

"GIBRAN!"

Algerian menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri Gibran dan memilih untuk menyaksikan Gibran dengan seorang gadis yang mengejarnya.

Abel berlari kecil menghampiri Gibran. Sebenarnya dari depan sekolahan tadi ia melihat Gibran yang baru saja datang, ia memanggilnya dengan keras namun sepertinya Gibran menulikan telinganya. Abel menarik lengan Gibran membuat langkah cowok itu terhenti.

Gibran membalikkan badannya dan melihat Abel yang menatapnya dengan berseri. Pandangannya turun menatap tangan kecil yang menahan tangannya. Gibran menyentaknya dengan cukup kuat. Abel sempat terkejut namun ia berusaha untuk terlihat biasa saja.

Sudah banyak kali Gibran menolaknya seperti ini. Namun Abel sudah terbiasa dengan itu. Rasa sakit, kekecewaan dan kelu pada hatinya seolah menjadi makanan setiap harinya. Yang ia tunjukkan bukan amarah, namun senyum tulus di bibirnya lah yang meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa.

"Kamu kenapa sih, aku panggilin dari tadi nggak nyaut?" tanya Abel sedikit kesal.

Gibran memalingkan wajahnya dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Seolah ia muak dengan wajah serta Abel yang terus mengganggunya.

"Gue nggak denger." Jawab Gibran.

"Bohong!" tuduh Abel, Gibran menoleh dan menatap Abel dengan tatapan datar.

"Nggak mungkin kamu nggak denger. Padahal aku teriak kenceng banget." Ujarnya.

"Yaudah," kata Gibran.

"Apa?"

"Terserah." Jawab Gibran.

Abel tertawa hingga matanya sedikit menyipit. Gadis itu memukul pelan lengan Gibran. "Baru satu kali ini aku denger kamu ngomong terserah. Biasanya nggak pernah,"

Menggaruk tengkuknya tak enak hati saat manik mata Gibran menatapnya dengan bingung. Apa perkataannya ada yang salah? Abel berdeham pelan memecahkan kecanggungan.

"Kamu----" ucapan Abel terpotong saat Gibran berjalan meninggalkan Abel.

Abel tak berhenti di situ saja. Gadis itu berlari mengejar Gibran. Gadis itu menyeimbangi langkah Gibran yang lumayan cepat.

"Pelan-pelan jalannya, Gibran!" suruhnya kesal.

Gibran menghentikan langkahnya membuat langkah Abel juga ikut terhenti. Abel mendongak dan menaikkan sebelah alisnya. Seolah bertanya, kenapa?

"Apalagi?" tanya Gibran.

Abel menggeleng. "Enggak. Aku cuma mau jalan bareng kamu aja. Kamu mau aku ajak ke suatu tempat nggak?"

"Kalau mau, aku mau ajak kamu ke gubuk---"

"Gue sibuk." Potong Gibran cepat. Lalu, langkah kaki jenjang cowok itu kembali melangkah meninggalkan Abel.

"Sekali aja, plis...." Mohon Abel menyatukan kedua telapak tangannya.

Gibran tak mengindahkan ucapan Abel, cowok itu terus berjalan tak memperdulikan Abel yang selalu mengganggunya.

"Sekali aja, sebelum aku bener-bener pergi dari sini," ucap Abel tiba-tiba membuat langkah Gibran terhenti.

"Mau, ya?" pintanya sekali lagi.

"Oke." kata Gibran.

Senyum Abel mengembang, rasa sakit yang ia rasakan tergantingan bahagia yang amat dalam. "Yaudah. Nanti aku tunggu---"

"Oke, Silahkan pergi. Dari gue dan dari kehidupan gue." Ucapnya.

Abel tertegun dengan ucapan Gibran, senyum yang terbit di bibirnya perlahan memudar. Tak menyangka cowok yang ia harap untuk mencegahnya pergi malah mengusirnya. "K-kamu----"

"Lo bisa mulai saat ini nggak ganggu gue? Mulai saat ini dan seterusnya nggak usah muncul di hadapan gue, bisa?" Abel menggeleng, itu bukan pertanyaan namun usiran.

Gadis itu tertawa pelan, menganggap itu semua hanya lelucon. Sebelumnya Gibran belum pernah mengusirnya sedalam ini. Gadis itu mengeluarkan bekal dari dalam tasnya. Senyuman tulus selalu terbit di bibirnya. Ia ingin menangis, gadis itu kembali merasakan sakit setelah rasa itu mulai meredam.

Abel memejamkan matanya sejenak menghalau air matanya yang akan meluncur.

"Buat kamu." Abel memberikan bekal kepada Gibran. "Kamu belum sarapan 'kan? Buat kamu sarapan di kelas. Hitung-hitung buat----"

"Gue bisa beli makan sendiri." Tolak Gibran.

"Nggak. Ini udah mau masuk, Gib. Kamu bisa telat kalau beli makan sendiri di kantin. Makan ini aja, ya?" tawarnya, menyodorkan kembali kotak bekal itu.

Gibran menerimanya hingga membuat senyuman senang terbit di bibir Abel.

Gibran mengangkat kotak bekal yang di pegangnya, hal itu membuat senyum Abel memudar. Selanjutnya, kotak bekal itu di lempar ke dalam kotak sampah oleh Gibran. Setelah itu Gibran melenggang meninggalkan Abel.

Abel menatap punggung tegap Gibran tak percaya. Ia tak menyangka Gibran akan membuang bekalnya dengan kasar. Gadis itu mengusap air matanya dengan kasar dan mengambil bekalnya dari kotak sampah.

Abel berlari mengejar Gibran. "GIBRAN, TUNGGU!"

Sedangkan Algerian dan Kenzo yang menyaksikan itu semua terdiam menatapnya. Merasa kasihan dengan Abel yang selalu di tolak Gibran. Algerian hendak berlari mengejar Gibran, namun Kenzo menahannya.

"Mau ngapain? Jangan ikut campur urusan mereka."

"Gue kasihan sama Abel. Mungkin kalau bukan karena Gibran amnesia, gue orang pertama yang bakal pukul wajah dia." Ucap Algerian.

°°°°

Kelas XII IPS 3 yang mula-mula ramai akan keributan penghuni kelas ini, mendadak hening saat kedatangan Gibran. Tak lama dari itu, pintu terbuka dengan kencang dan menampilkan Abel di sana.

Abel tersenyum tak enak hati kepada teman-temannya yang menatapnya dengan sebal. "S-sorry,"

"Kaya di kejar setan lo, Bel!" kata Mori.

"Abel 'kan lagi berjuang buat ngejar cintanya kembali!" Ando bersiul menggoda Abel. "Iya nggak, Bel?"

Abel melempar spidol yang ia ambil dari papan tulis ke arah Ando. "Diem lo, Ando! Nggak usah sok tau!"

"Galak banget. Nggak berubah-ubah ternyata lo dari awal," ucap Ando.

"Wajar. Namanya juga rentenir. Yang namanya rentenir jarang ada yang baik," sahut Kris.

Abel memutar bola matanya malas. Dari awal ia memang tidak ada akur-akurnya dengan Ando. Ketua kelas yang seharusnya membawa kebaikan malah mengajarkan keburukan kepada anak buahnya.

"Mimpi apa kelas ini di pimpin sama ketua kelas jamet kaya lo!" ejeknya. Kemudian, gadis dengan tas warna biru itu mendudukkan dirinya di bangkunya. Ia ingin menoleh menatap Gibran, namun ia urungkan.

Sedangkan Gibran, cowok itu sibuk mengeluarkan isi tas serta loker mejanya. Mencari pulpennya yang entah hilang kemana. Padahal selama ujian ia tak pernah mengeluarkan pulpennya sama sekali.

Gibran menoleh saat menyadari Algerian yang baru saja mendudukkan dirinya di sampingnya. Seperti ada yang berbeda pada diri Algerian. Tak sepertinya ia diam saja, biasanya selalu menyapa dan selalu menegurnya.

"Al," panggil Gibran.

Algerian menoleh. "Kenapa?"

"Lo bawa pulpen du---"

"Nggak." Potongnya cepat.

Gibran terdiam sebentar sebelum akhirnya ia mengangguk. Ia menoleh kebelakang. "Ken, bawa pulpen dua?"

"Gue cuma bawa satu. Maaf, lo bisa pinjem Abel." Kata Kenzo melirik Abel sekilas.

Gibran menoleh, menatap Abel sejenak yang juga menatapnya. Cowok itu memutuskan kontak matanya. Entah sebab apa ia malas menatap wajah serta manik mata itu. Manik matanya tertuju pada gadis yang duduk di meja paling belakang, Nadin Sabrina.

"Nadin," panggil Gibran. Nadin mendongak, ia meneguk salivanya dengan kelu. Tak bisa menatap manik mata itu terlalu lama. Sampai sekarang pun ia masih sangat merasa bersalah.

"Lo bawa----"

"Kamu butuh pulpen 'kan? Nih," Abel menyodorkan sebuah pulpen ke arah Gibran. "Pake aja,"

Gibran melirik pulpen Abel tanpa menerimanya. Seolah sadar apa yang ada di pikiran Gibran, Abel menarik telapak tangan Gibran dan menaruh pulpennya di atas telapak tangan Gibran.

"Nggak usah di pikirin yang di koridor tadi. Aku nggak apa-apa. Kamu butuh itu 'kan? Pake aja. Semangat ujian terakhirnya." Support Abel sambil menepuk-nepuk bahu Gibran.

"Abel, kenapa kamu jalan-jalan di meja orang lain?" Abel menoleh sedikit kaget. Di depan sana, terdapat Pak Agus yang berdiri dengan membawa map di tangannya.

Abel menggaruk telinganya yang tak gatal. "Kapan datengnya?" batinnya.

"Duduk di meja kamu sendiri, Abel. Apa mau Bapak suruh kamu ujian di luar kelas?" ancam Pak Agus.

"Iya-iya, Pak." Jawab Abel kesal.

"Hari ini, hari terakhir kalian ujian dan hari dimana babak penentu kalian lulus atau enggaknya. Bapak harap kalian semua kerjakan soal-soal ujian dengan sungguh-sungguh. Jangan terlalu buru-buru," ucap Pak Agus.

"Dan satu lagi," Pak Agus menatap Gibran sebentar. "Semoga di hari kelulusan dan perayaan kelulusan nanti, salah satu dari kalian semoga cepet pulih. Dan bisa merasakan kebersamaan untuk yang terakhir kalinya," ucapnya.

Seluruh mata seketika tertuju kepada Gibran. Terutama Abel, gadis itu menatap sendu ke arah Gibran.

"Aku tunggu kamu di hari kelulusan, Gibran." Gumam Abel.

"Algerian. Tumben kamu diem aja?" tanya Pak Agus menyadari Algerian yang hari ini sangat tumben tak mengeluarkan terompetnya.

"Mau latihan jadi coolboy. Biar di kampus nanti banyak yang naksir." Jawab Algerian.

"Sok-sokan kamu ngomongin kampus. Nilai kamu tuh banyak yang merah!" ujar Pak Agus meledek.

Algerian berdecak kesal. Mungkin jika ia sedang tidak badmood seperti ini bisa saja Algerian mengeluarkan suara terompetnya.
"Bisa aja, Pak. Sekarang apa yang nggak bisa kalau ada uang?"

"Masuk surga. Nggak bisa di sogok pake uang." Jawab Kenzo.

"Itu beda ya, anjing!"

Seorang gadis yang sedari tadi menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangannya, mendongak dan mengerjapkan matanya lantaran sinar matahari begitu menghunus masuk ke dalam indera penglihatannya.

Abel mengerjapkan matanya berkali-kali, melihat suasana kelas ini tmyang sudah tidak ada penghuninya sama sekali. Selesai ujian mata pelajaran pertama tadi ia memang ketiduran. Akhir-akhir ini Abel sering kelelahan. Bahkan Abel akhir-akhir ini sering tidur larut malam.

"Kok udah sepi? Apa udah pulang?" gumam Abel bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian Abel menepuk dahinya. "Gue ketinggalan ujian terakhir dong!"

"KU INGIN KAU TAU---- WAIT! BEL, LO KENAPA PLONGA-PLONGO KAYA ORANG BEGO SIH?!" ujar Mori yang baru saja datang membawa dua bungkus roti.

"Udah pulang ya, Mor? Gue ketinggalan ujian mata pel---"

"Makanya jangan tidur lo!" Mori menoyor kepala Abel. "Ini istirahat bukannya pulang. Makanya sepi."

Mendengar itu Abel bernapas dengan lega. Gadis itu menoleh ke arah meja Gibran, cowok itu sudah tidak ada di tempatnya. Apa dia pergi bersama Algerian dan juga Kenzo? Pikir Abel.

"Gibran dimana?" tanya Abel.

"Kayanya tadi gue lihat Gibran di lapangan basket. Gue nggak tau sama siapa, soalnya----"

"Oke makasih. Gue duluan." Ucap Abel menepuk pundak Mori kemudian gadis itu melenggang pergi meninggalkan Mori.

Mori mendengus sebal, padahal ia pengen bersama dengan Abel lagi. Semenjak Abel pacaran dengan Gibran, gadis itu seolah melupakannya dan sangat jarang untuk sekedar jalan berdua. Dan sekarang---- Abel sibuk mengejar cintanya lagi.

Mori tersenyum tipis. "Semoga berhasil, Bel. Gue nggak tega lihat lo menderita begini."

Sedangkan Abel, gadis itu menyusuri lorong kelas X menuju lapangan basket. Ia ingin menemui Gibran untuk terakhir kalinya sebelum libur datang serta kelulusan yang mengharuskan mereka berpisah.

Langkah kakinya terhenti serta ia terpaku cukup lama lantaran matanya menangkap seorang cowok dengan seorang gadis yang duduk berdua di salah satu kursi di lapangan basket. Jarak keduanya sangat dekat. Sebisa mungkin Abel membuang pikirannya jika dua orang itu adalah Gibran dan----dia.

Abel berjalan menghampiri keduanya. Ia berdiri di hadapan keduanya.

Mereka sontak mendongak. "A-Abel?" ucap Rani kaget.

Abel tak menjawab, justru matanya menatap Rani sekilas kemudian menatap cowok di sampingnya----Gibran.

"Kamu kenapa bisa sama dia? Setau aku kamu nggak pernah mau dan nggak akan pernah mau kalau sama dia. Jangankan duduk berdua, sekedar buat jawab sapaannya pun kamu nggak pernah." Ujar Abel sedikit kecewa.

Rani berdiri dari duduknya dan meraih tangan Abel."Bel. Gue----"

"Lo bisa diem?" tanya Abel menusuk. Kemudian ia kembali menatap Gibran.

"Aku tau kamu lupa semuanya, termasuk orang tua kamu dan juga aku." Ucap Abel dengan suara bergetar. "Tapi kenapa harus Rani, Gib?"

"Abel. Nggak gitu," kata Rani.

Abel menoleh. "Apapun alasan lo, gue nggak mau denger. Lo lupa sama permintaan maaf lo waktu di rumah sakit lalu? Terus kenapa sekarang lo seolah munafik sama kata maaf lo sendiri? Kenapa lo sekarang malah deketin Gibran lagi?" tanya Abel mengambil asumsi jika Rani memanfaatkan keadaan. 

"Apa karena obsesi lo yang belum lo dapat itu sampe buat lo bertindak lagi di tengah-tengah kesempatan gini? Lo manfaatin Gibran yang keadaannya lagi kaya gini buat lo dapetin kembali 'kan?" Abel terkekeh pelan.

Mendengar ucapan Abel yang menurut Gibran ngawur, cowok itu menatap dua gadis di hadapannya dengan bingung. Seolah tak mengerti apa yang terjadi dan apa yang di katakannya.

"Apa lo belum puas buat Gibran seperti ini? Gue nggak nentang takdir, dan gue nggak salahkan nasib. Tapi kalau bukan karena lo, Gibran nggak bakal kaya gini." Lanjutnya.

"M-maaf." Lirih Rani menunduk.

"Sekarang lo pergi. Gue nggak butuh kata maaf lo, kata maaf lo nggak bisa balikin semuanya." Ucap Abel memalingkan wajahnya.

Merasa tak ada pergerakan dari Rani, Abel menoleh. "Lo nggak denger?"

Rani mengangguk menyetujui usiran Abel. Gadis itu tak bermaksud untuk mendekati Gibran lagi. Ia hanya tak sengaja melihat Gibran yang berada disini dan mencoba untuk meminta maaf meskipun Gibran tak ingat semuanya.

Gadis itu menatap Gibran yang turut menatapnya juga. Rani tersenyum tipis dan di balas seulas senyuman tipis juga oleh Gibran.

"Gue ke kelas duluan, Gibran----Abel." Pamitnya. Setelah itu, Rani melenggang pergi menyisakan keduanya di lapangan basket ini.

Gibran berdiri dari duduknya. Cowok itu menatap Abel sekilas sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan Abel. Namun, cekalan tangan yang Abel lakukan membuat langkahnya terhenti.

"Mau kemana?" tanya Abel. "Aku kesini buat kamu. Jangan pergi," pintanya.

Gibran menarik tangannya sedikit kuat hingga cekalan tangan Abel terlepas. Abel tersentak pelan, ini sangat menyakitkan namun sebisa mungkin Abel terlihat biasa saja.

"Maaf." Ucap Abel.

Gibran hendak meninggalkan Abel, namun gadis itu mengejarnya dan menghadang jalannya. "Kamu nggak denger aku bilang apa tadi? Jangan pergi!" sentaknya refleks.

Teriakan Abel yang cukup keras itu menghentikan siswa-siswi yang sedang sibuk dengan aktifitasnya. Terutama mereka yang sedang asyik belajar di salah satu kantin. Banyaknya siswa-siswi yang menghentikan langkahnya dan terfokus kepada dua insan yang menurutnya sedang bertengkar di tengah lapangan basket.

"Dan lo nggak denger apa yang gue bilang di koridor?" tanya Gibran mengingatkan.

"Nggak. Aku nggak denger." Kata Abel pura-pura. Ia hanya tak mau mengingatnya dan kembali menggores hatinya.

"Perlu gue ulangi?"

Abel menggeleng. "Enggak-----"

"Pergi dari gue. Jangan pernah muncul di hadapan gue lagi dan jangan pernah hadir di dalam hidup gue lagi. Segini kurang jelas buat lo cerna?" tanya Gibran jujur membuat Abel tertegun dengan mata yang berkaca-kaca.

"Dan satu lagi," Gibran menundukkan badannya. "Berhenti seolah-olah lo kenal gue."

Abel menarik tangan Gibran saat cowok itu lagi-lagi berusaha menghindarinya. Sedangkan Gibran menghempas tangan Abel hingga membuat gadis itu sedikit mundur beberapa langkah.

"Nggak. Aku nggak mau pergi dari kamu dan aku nggak bakal berhenti buat kamu." Ucap Abel menolak.

"Gue yang bakal pergi." Abel menggeleng menolak tutur kata Gibran.

"Aku mohon jangan. Tetap disini, nggak apa-apa kamu nggak inget aku siapa. Nggak apa-apa kamu nggak inget tentang kita. Tapi tolong, jangan pergi." Abel menguap sudut air matanya.

"Aku janji nggak ungkit semua kejadian yang udah kamu lupain. Tapi aku mohon, jangan pergi." Lirihnya.

"Jelasin. Lo siapa gue?"

Abel menarik napasnya. "Aku Abel, pacar kamu. Orang yang kamu perjuangkan kemarin, orang yang kamu pertahankan kemarin, dan orang yang kamu tangisin kemarin," jelasnya. Abel yakin, Gibran tidak akan mempercayainya. Mengingat kemarin Gibran menanyakan ini dan tidak percaya dengan jawaban Abel.

"Gue nggak tau lo siapa, gue nggak tau tentang lo dan gue nggak tau apa yang terjadi sama diri gue," ucap Gibran.

"Dan kalau semua itu benar. Hari ini, dan detik ini," Gibran menatap Abel dengan dalam. "Kita selesai."  Lanjutnya.

Abel memalingkan wajahnya, tertawa pelan menganggap ucapan Gibran hanyalah lelucon. "K-kamu ngomong apa? Kita emang selesai di waktu itu, sebelum kamu kaya gini. Tapi kamu belum setuju sama kata putus dari aku,"

"Dan---" Abel menoleh menatap Gibran dengan bibir yang sedikit bergetar. "Kita masih ada hubungan sampe sekarang walaupun kamu nggak inget tentang aku dan tentang kita."

Gibran menatap Abel dengan datar, berpikir jika Abel tuli dengan ucapan yang terlontar dari bibirnya tadi.

"Apa ucapan gue tadi kurang jelas? Kalau lo bener-bener ada hubungan sama gue. Gue mau----"

"Iya tapi alasannya apa?!" tanya Abel emosi.

Siswa-siswi yang berdiri menyaksikan itu pun sedikit tertegun dengan Abel. Seolah bisa merasakan apa yang di rasakannya.

"Gue benci lihat wajah lo. Gue muak selalu lo yang muncul di hadapan gue. Dan gue muak selalu lo yang muncul di pikiran gue. Dan gue minta lo jangan egois, pergi dari gue dan jangan pernah muncul di hadapan gue lagi." Kata Gibran sarkas.

"Dan satu lagi," Gibran mengambil beberapa kertas yang dari saku bajunya. Cowok itu menunjukkannya kepada Abel.

"Gue nggak tau siapa pengirim foto ini semalam. Dan gue nggak tau kenapa lo dan gue yang ada di dalam foto ini,"

Dengan satu gerakan, cowok itu berhasil merobek lima lembar foto kebersamaannya dengan Abel dulu. Hal itu membuat hati Abel berdesir sangat ngilu. Tak memperdulikan siswa-siswi yang saling berbisik, Abel meneteskan air matanya.

"Puas?" Gibran melempar sobekan-sobekan kertas tersebut tepat di wajah Abel. Kemudian cowok itu melenggang pergi meninggalkan Abel.

Abel meremas kuat roknya, dengan kepala yang menunduk gadis itu menatap robekan-robekan kertas yang menunjukkan fotonya dengan foto Gibran dulu. Ini jauh lebih menyakitkan dibandingkan sikap Gibran yang selalu menolak dan mengusirnya.

Ia berusaha untuk tidak menangis. Namun ia gagal menahannya. Air matanya begitu deras membanjiri pipinya. Bulir air matanya terjun menetesi beberapa lembar kertas foto tersebut.

Abel mengusap air matanya kasar, berjongkok mengumpulkan lembar-lembar foto yang sudah robek itu. Kemudian gadis itu berlari mengejar Gibran. Ia menarik tangan Gibran hingga membuat tubuh cowok itu menghadap ke arahnya.

"Kamu boleh marah sama aku, kamu boleh usir aku, dan kamu boleh pergi dari aku sejauh mungkin. Tapi apa harus kamu robek foto ini di depan aku? Apa harus kamu robek foto ini di depan umum? Apa segitu bencinya kamu sama aku?" Abel terisak pelan. Siswa-siswi yang tadinya berada di dalam kelas pun keluar lantaran penasaran apa yang terjadi di luar kelasnya.

"K-kenapa kamu jadi kaya gini? Kamu bukan Gibran yang aku kenal. Aku maklumi  itu semua karena kondisi kamu lagi kaya gini. Tapi apa harus dengan cara seperti ini, Gibran?"

"Tolong, kasih aku kesempatan sekali lagi buat balikin semuanya. Tolong kasih aku ruang lagi," lirihnya.

Gibran memalingkan wajahnya, ia menggertakkan giginya dengan kuat hingga otot lehernya tercetak jelas di sana. Ia lemah, cowok itu lemah melihat Abel menangis seperti ini. Namun disisi lain ia sangat muak dengan Abel yang selalu muncul di kepalanya yang membuat rasa sakit itu kembali muncul di kepalanya untuk kesekian kalinya.

"Belum cukup apa yang gue jelasin tadi?" tanya Gibran tanpa menatap manik mata itu.

Abel menggeleng lemah menolak Gibran untuk tak mengatakan itu lagi.

Gibran mengepalkan tangannya dengan kuat. "Pergi dari gue!" usirnya membentak.

Gibran menyentak tangan Abel dengan kencang hingga membuat tubuh Abel sedikit terpental dan tersungkur di atas lantai yang kasar itu. Lutut, serta sikunya sedikit mengeluarkan darah.

"ABEL!" teriak Kenzo yang baru saja datang.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Kenzo memastikan, cowok itu mengusap-usap kaki Abel yang sedikit kotor.

Abel menggeleng, ia menolak bantuan Kenzo saat matanya menangkap Algerian yang mencengkram kuat kerah baju Gibran.

"Buka mata lo! Buka pikiran lo! Dia Abel, cewek lo! Gue nggak peduli keadaan lo yang kaya gini, gue nggak peduli lo lupa segalanya. Tapi tindakan lo berlebihan, Gib!" bentak Algerian penuh amarah.

"Dimana hati lo sebagai seorang cowok?! Kemana jati diri Gibran yang gue kenal?! Lo sadar, udah berapa banyak lo sakiti hati Abel?" tanpa melepaskan cengkramannya. Algerian mendorong tubuh Gibran cukup kuat.

"Kemana Gibran yang gue kenal?!" bentak Algerian menggebu.

"Lo," Algerian menunjuk wajah Gibran. "Gue pastiin setelah lo sadar dari semuanya. Lo bakal nyesel bahkan lo nangis setelah tau apa yang lo lakuin di hari ini." Ucapnya.

"Lo jangan ikut campur!" ucap Gibran.

"Gue nggak ikut campur!" sentak Algerian.

"Abel cewek, dan lo cowok. Nggak seharusnya lo kaya gini. Apalagi dia cewek lo. Gue tau lo nggak inget semuanya karena keadaan lo yang kaya gini. Tapi lo bisa suruh Abel dengan cara baik-baik?"

Algerian melangkah, cowok itu menepuk pundak Gibran. "Gue nggak peduli lo sahabat gue. Maaf, urusan hati dan hubungan lo nanti, gue nggak bisa bantu."

Kemudian, Algerian membalikkan badannya. Membantu Abel yang tengah di bopong Kenzo. "Bawa Abel ke UKS."

Abel berdesis ngilu saat cairan alkohol yang Kenzo teteskan tepat di lukanya. Luka pada lutut serta sikunya tak begitu parah, namun rasanya begitu sangat perih. Untuk sekedar berjalan saja tadi sedikit pincang.

"Tahan. Apa yang sakit?" tanya Kenzo tetap fokus mengobati luka Abel.

Abel menggeleng. "Nggak ada."

Kenzo mendongak. "Jangan bohong." 

"Gue nggak bohong, gue nggak kenapa-kenapa," jawab Abel.

"Hati lo?"

Abel memalingkan wajahnya. Mengingat ucapan serta perilaku Gibran terhadapnya membuat hatinya kembali berdesir sangat ngilu. Terkadang ia ingin menyerah, namun ia urungkan itu semua.

"Angkat tangan lo, Bel," suruh Algerian yang baru saja datang membawa satu mangkok air bersih. "Biar gue enak bersihin luka di siku lo,"

Abel mengangguk dan menuruti perintah Algerian.

"Walaupun Gibran amnesia, dan lupa tentang semuanya termasuk lo. Gue rasa itu berlebihan buat lo," ucap Algerian.

Abel tersenyum menanggapinya. "Gue nggak apa-apa. Mungkin itu wajar karena kondisi Gibran lagi kaya gini dan mungkin dia juga bosen gue selalu muncul di depan dia."

"Bel," panggil Algerian. Abel menoleh mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya, ada apa?

Cowok dengan dasi yang hanya tersampir di pundaknya itu menaruh mangkok yang di pegangnya. "Sebenernya gue yang ngirim foto itu. Gue sengaja print foto kalian berdua dan gue kirim ke Gibran,"

Kenzo mendongak dan menghentikan aktifitasnya. Ucapan Algerian sepertinya sangat penting untuk di simak. "Apa alasan lo?"

"Gue pikir dengan cara itu, bisa buat Gibran inget dikit-dikit tentang Abel dan perlahan inget semuanya. Ternyata salah, yang ada hubungan Gibran sama Abel makin runyam," ucapnya menjelaskan.

Algerian menatap Abel tak enak hati. "Semuanya gara-gara gue. Mungkin kalau gue nggak----"

"Bukan salah lo, Al. Justru gue yang terimakasih sama usaha lo. Lo nggak salah. Sebelumya Gibran juga sering usir gue," ujar Abel jujur.

Algerian dan Kenzo menatap Abel dengan sendu. Mereka kasihan dengan Abel, juga merasa kasihan dengan Gibran lantaran keadaannya seperti ini. Namun mereka juga marah dengan perilaku Gibran yang sangat jauh mereka kenal.

Bel masuk baru saja berbunyi, membuat Abel bangkit dari duduknya.

Abel tersenyum dan menunjuk ke arah luar. "Udah masuk. Ayo ke kelas." Ajaknya.

"Kaki lo nggak apa-apa? Bisa jalan? Mau gue bantu----"

"Gue nggak lumpuh, Ken. Ayo."

Seluruh siswa-siswi SMA Galaksi bisa bernapas dengan lega. Hari ini dan detik ini ujian nasional sudah selesai. Soal-soal mematikan berhasil mereka lewati. Dan semoga nilai-nilai ujian mereka sangat memuaskan nantinya, sebanding dengan usahanya.

Saat ini, seluruh siswa-siswi kelas XII berhamburan menuju parkiran dan ada yang menuju halte untuk menunggu bus sekolah dan sebagian ada yang di jemput keluarganya.

Abel tak sengaja berdampingan dengan Gibran saat di gerbang sekolah. Gadis itu menoleh sebentar lalu akhirnya ia memutuskan kontak matanya. Di depan sana, sudah ada Satria atau kakaknya yang menunggunya.

"Kenapa jalan lo aneh begitu? Lo habis kenapa? Siapa yang lukai lo?" tanya Satria khawatir.

Abel menggeleng. "Nggak apa-apa. Gue nggak di apa-apain sama siapapun, Bang. Jangan berpikir yang aneh-aneh!"

Satria mengangguk, namun pandangan matanya tertuju ke arah cowok yang berdiri di depan gerbang. "Apa dia yang habis---"

"Gue bilang jangan salahin siapapun, Bang!" sentaknya refleks. Abel menoleh menatap Gibran sebentar. "Bukan salah Gibran. Gue yang ceroboh jalan nggak hati-hati."

"Buruan naik, keburu hujan turun lagi." Suruh Satria.

Saat sudah memastikan Abel naik di atas motornya. Satria melajukan motornya meninggalkan sekolahan ini.

Sedangkan Gibran, cowok itu masih berdiri di tempatnya sembari menatap Abel yang mulai menjauh dari pandangannya. Cowok itu meremas kuat tali tasnya, ia memalingkan wajahnya dan melenggang pergi.

To be continued.....

Lanjut lagi atau berhenti sampai disini?

Kalau lanjut kalian harus sabar ya seperti kemarin kamu nungguin Gibran.

Untuk bab ini apa yang mau di sampaikan?

Dan untuk bab selanjutnya apa yang mau di sampaikan.

Untuk Gibran dan Abel, mau bilang apa?

Di bulan oktober nanti, aku tunggu antusias kalian dalam jemput novel Gibran. Untuk kemungkinan nanti harganya ada yang di bawah 100k dan ada yang lebih dari 100-200k. Siapin aja ya dari sekarang.

Oh iya karena ada peran disini yang aku hilangkan. Dari mulai bab 1-11/12. Nanti aku rombak semua yaa. Aku sempurnakan biar pantas untuk di novelkan dan nggak ada penolakan nantinya.

Siapa yang setuju merchandise Gibran di kasih boneka katak nih? 💚

*Disini aku mau umumkan kalau Argantara nanti bakal aku tulis untuk Argantara Season 2. Di akhir tahun yaa. Siap comeback lagi?

Untuk sampai sini aku banyak-banyak terimakasih buat kalian semua yang selalu setia dan selalu suka dengan Gibran💙💙

Siap ketemu Trio Kecebong di versi novel nanti ya💙💙

Eh cuap-cuap dikit yuuk. Entah kalian turut merasakan atau enggak. Vibes story Gibran makin kesini makin berasa kayak film 💙 makanya suka banget aku nulisnya. Apalagi pas hujan-hujanan kemarin 💙 enggak sia-sia juga lama nyusun outline✨💙

Follow Instagram all roleplayer Gibran untuk mengenal lebih lanjut :

@gibrandirgantara.rey 
@azzura_arabela
@algerianmahatma 
@almiratunggadewi_
@kenzo.galaksa
@satria_anuraga

Untuk mengenal aku lebih lanjut follow Instagram @falistyn_1 dan tiktok @fafay48

All visualisasi story Gibran :

Gibran Dirgantara

Algerian Mahatma

Kenzo Galaksa

Azzura Arabela

Almira Tunggadewi/Mori

Nadin Sabrina

Maharani

See you last next part💙
Fafay, Lampung 15 Agustus 2021.

Share ke temen-temen kamu, share bab ini ke media tiktok, Instagram maupun sosmed lainnya. So aku bakal happy banget💙

Thank you so much 💙

Continue Reading

You'll Also Like

17.1K 297 16
Ternyata orang kita anggap tidak akan pernah menyakiti kita, sebenarnya dialah yang paling menyakitkan buat diri kita sendiri. - Reina "udah gue bil...
408K 50.9K 35
Ini cerita tentang dua remaja yang saling berbeda perasaan. Yang satu menjatuhkan hatinya kepada sosok laki-laki pujaannya dan yang satu menutup hati...
629K 22.3K 42
"SEBENARNYA MAU LO ITU APA?,GW CAPE SAMA SIFAT LO" "mau gw itu, LO PERGI JAUH DARI HIDUP GW!!"
20K 2.9K 49
[SUDAH TERBIT] Untuk pemesanan buku hubungi WA : 081774845134 Dear Pembaca ... kisah ini bukan kisah edukasi yang bisa membuat wawasan kali...