ANDROMEDA

By ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... More

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 02
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

Epilog; Juna

1.4K 275 36
By ssebeuntinn

"Manusia akan selalu punya dua muka untuk ditampilkan pada manusia-manusia lainnya, atau bahkan lebih." 



Sebagai pembuka cerita, gue akan bicara seputar hal acak terkait kehidupan gue sebelum mendarat di Andromeda secara gak terduga. Bukan hal yang terlalu penting, hanya saja gue rasa cerita ini perlu gue ungkap karena... ya pengin cerita aja. Kebanyakan anak kontrakan, atau bisa dibilang semuanya, kenal gue di saat gue lagi ada di atas alias jadi artis. Padahal dari dulu gue memang udah terkenal, cuman mereka aja yang kayak hidup di goa dan jauh dari era perubahan dunia yang semakin cepat.

Coba tanya ibu-ibu di Komplek Melati apa kenal dengan bocah yang namanya Abid Arjuna Reja, pasti yang akan lo dengar hanya berupa sanjungan tentang anak calon artis di masa depan.

Gue gak bohong, sebab dari usia menginjak taman kanak-kanak, mama gue udah memberikan bekal bagaimana jadi seseorang yang tampak mempesona di depan kamera. Gue diikutkan di sebuah ajang fashion show tingkat kecamatan, kabupaten sampai provinsi. Hadiah menang dari sekolah berupa shooting video klip khusus untuk pembuatan album musik mini sekolah, di mana di situ ada gue nyanyi lagu anak-anak bareng murid yang menang di kategori lomba lain.

Gue masih ingat betul muka gue dibedakin supaya lebih ganteng, padahal udah ganteng maksimal. Pakai celana jins, sepatu boots cokelat, kemeja kotak-kotak, kacamata gagang merah dengan lensa hitam, plus topi yang letaknya dimiringin. Dulu gue kebagian lagu Cicak Cicak di Dinding dan Kring Kring Bunyi Sepeda yang harus gue hafal betul nadanya selama seminggu. Juga pas nyanyi gaya gue selalu nunjuk tembok bagian atas dan sepeda butut gue dicat ulang sama papa karena waktunya mepet, gak bisa beli yang baru buat properti shooting.

"Kring, kring, kring, bunyi sepeda. Sepedaku roda dua. Kudapat dari ayah, karena rajin bekerja."

Liriknya gitu... Padahal yang gue pakai rekaman sepedanya roda empat. Bukan roda dua karena gue masih belum bisa naik sendiri tanpa dipegangi. Mana roda kecilnya yang sebelah kanan agak meleyot pula habis ketabrak pagar tetangga, jadinya kalau dipakai gak balance sama sekali.

Bisa lo bayangin gue seeksis apa, kan?

TMI lagi... nama belakang aslinya pakai huruf 'Z', bukan 'J'. Gara-gara hasil akta kelahiran salah tapi udah keburu dicetak, jadilah nama Reja, bukan Reza. Gak terlalu ekstrem daripada nama temen komplek gue, dari Fikri hampir jadi Fitri.

Kadang gue ketawa kalau ingat kenangan zaman bahula. Gue yang masih jadi bocil dan pikirannya masihlah seputar PR, makan, tidur dan kejar layang-layang putus. Yang setiap harinya disuapin mama sebelum berangkat sekolah sambil nonton kartun dari jam lima pagi dan dalam kondisi belum mandi. Yang permasalahan hidup paling beratnya ketika duel di perosotan lalu jatuh kejengkang atau kalah cepat beli permen karet yang isi di dalamnya ada stiker huruf yang harus disusun supaya dapat hadiah.

Terus, sekarang umur gue udah menginjak dua puluh tahun lebih, nyaris seperempat abad malahan. Ada begitu banyak hal yang gue lalui dan gak sedikit pula hal-hal yang harus gue korbankan seiring waktu berjalan. Pundak berasa banget bawa beban yang bahkan kalau mau tidur kepala seolah selalu terisi dengan pemikiran yang belum tentu kejadian.

Hari ini ada jadwal foto produk dadakan yang dibuat oleh Fadlan si kunyuk sialan. Bisa-bisanya dia hubungi gue dan nyuruh ke studio pemotretan tepat semenit setelah kelas gue selesai, bahkan kaki gue belum sampai ke parkiran ambil motor dan jemput Chandra pula di tempat renang. Gini, nih, risiko jadi abang kontrakan yang baiknya tiada dua. Di antara bujang-bujang, kita gantian antar jemput Chandra selama semingguan karena sepeda punya dia dipinjam temannya buat ajang sepeda hias. Itu loh... buat karnaval sepesial ulang tahun negara. Jadinya gak ada kendaraan yang bisa dia gunakan untuk sekolah.

Pada akhirnya, gue harus bikin huru-hara di antara para bujang buat gantiin gue jemput si bontot kontrakan karena jadwal dadakan. Gue vidcall tuh anak-anak, yang angkat cuman sebiji dua biji aja, sisanya kayaknya musnah ditelan lubang hitam.

"Nu, jemput Chandra dong di tempat renang biasa. Bawain bekal mi kek atau gorengan juga."

Ucapan tanpa salam gue dibalas dengan Danu yang nunjukin kalau dia lagi banyak urusan. "Gue lagi keliling Yunani cari artefak," katanya sambil kasih tahu buku apaan itu gue gak ngerti. Dilihat dari suasanya, sih, dia lagi di taman kota, duduk di pojok kayak lagi nunggu jin peliharaan datang bawa duit curian.

Kemudian Dika muncul dengan wajah yang memenuhi layar. "Berisik. Gue lagi pacaran."

Dan... gak tahu kenapa kita bertiga langsung diem. Kayaknya Dika baru sadar kalau Danu juga ada di sambungan panggilan dan gak sengaja keceplosan mungkin? Hawanya mendadak jadi gak enak banget karena baik Danu sama Dika langsung berubah raut mukanya.Cukup ngeselin karena yang kembar mereka, sedangkan gue hanya orang asing yang gak bisa baca isi pikiran mereka pakai telepati.

"Woi!" tukas gue kemudian memecah keheningan. Mana matahari lagi terik banget hari ini. Jalan ke parkiran kampus udah kayak lagi jalan di gurun. "Kalian lagi tengkar rebutan cewek, ya? Buset... kaku banget kek kanebo Haikal di jemuran."

"Gue bisa jemput Chandra, Jun. Lo selesein urusan lo dulu aja." Danu menimpali dan kemudian sambungan panggilan video terputus, menyisakan gue dan Dika yang mulutnya terkatup rapat.

Sesaat kemudian, gue yang justru jadi bahan sasaran amukan. "Mulut lo pengin gue sumbat pakai pipa kran?" Dika tiba-tiba saja membentak dengan nada tanpa candaan dan kemudian panggilan sungguhan berakhir. Gue jadi ngeri sedap gimana gitu kalau Dika sampai kelihatan badmood begitu, terlebih lagi Danu juga menampilkan emosi yang serupa dan gue yakin itu merupakan pertanda keduanya sedang menghadapi sesuatu yang hanya mereka berdua tahu, tanpa anak-anak lain ikut campur.

Di sisi lain, panggilan video barusan seolah memberikan gue pemikiran acak, kalau sebenarnya manusia itu gak pernah sungguhan tahu mengenai banyak perkara. Selalu ada rahasia, baik itu takdir yang Tuhan rencanakan atau dari manusia itu sendiri yang menganggap dirinya tahu segalanya. Selalu ada kejutan gak terduga hadir memenuhi lika-liku kehidupan.

Padahal gue tipe orang yang suka banget menerima surprise, yang kalau ulang tahun bahagia banget dikasih kado atau tart pakai semburan confetti. Tapi, kalau kejutan dari Tuhan... gue gak sanggup kalau harus selalu menerimanya dengan lapang dada.

Kemudian semesta memainkan perannya yang misterius dalam roda kehidupan gue.

Di sana, di balik pagar pembatas antara parkiran dan jalan raya, gue malah lihat Tasya lagi jajan es doger.

Iya... Tasya anaknya Athaya alias Tata. Gimana bisa gue gak kenal, orang dia pakai baju ulang tahun nyentrik warna pink cerah, plus bando tanduk unicorn di kepala dan juga sepatu yang ada bulu-bulunya. Tentu saja, sebagai orang yang katanya muka gue mirip papanya dan dianggap sebagai teman mamanya, ada inisiatif untuk menghampirinya. Sekadar memastikan kalau dia aman karena ini lingkungan yang ramai, takut diculik kayak di TV. Kalau ketemu mamanya, sih, jadi nilai bonus juga.

Gue langsung cabut tanpa menunggu mesin motor panas dulu demi si bocil Tasya yang sejujurnya bisa gue katakan jadi penghalang gue sama Tata. Karena eksistensi Tasya memberikan ketakutan tersendiri untuk mempercayai orang baru yang ingin masuk di dalam hidup Tata. Seolah semuanya memberikan trauma dan rasa sakit yang gak ada obatnya. Tata dan dunianya begitu sulit gue raih, terutama ketika perbedaan di antara kita berdua jelas terlihat kentara.

Tata memberikan batas pada gue yang berusaha tanpa batas.

"Tasya!" Gue panggil anaknya pakai suara keras meskipun gue baru keluar dari gerbang kampus, seolah gue bapaknya yang kaget lihat dia jajan sendirian. "Beli apa kamu?"

Dia menoleh dan walaupun gue pakai masker, anaknya ternyata masih kenal dan sadar kalau gue temen mamanya yang ganteng waktu itu. "Om!" Dia berteriak lalu melambai. "Om gak tau kalau ini namanya es?"

Bodohnya gue... padahal udah jelas tertulis di gerobak mamangnya "Es Doger" pakai cat merah segede itu. Malah gue tanya dia lagi beli apaan.

Gue turun dari motor, masih pakai helm sambil celingukan. "Mana mamamu? Kenapa sendiri?" Ya... walaupun gue tahu mustahil rasanya Tata bakalan biarin anaknya keluyuran tanpa pengawasan.

"Mama beli itu," jawab Tasya sambil mengarahkan telunjuknya lurus ke arah kanan tempat motor gue yang diparkir di sebelah trotoar.

Subhanallah... kadang suka lupa kalau mantan istri orang aduhai betul...

Terus rasanya gue kayak mau roboh goleran di trotoar sewaktu nih bocil panggil mamanya lantang. "Mamaaa! Ini Om yang mirip Papa dibeliin esnya juga?" Kemudian harga diri gue udah menggelinding ke tengah jalan, karena Tasya pada dasarnya ingat gue karena mirip papanya doang.

Gue otomatis membatu. Juna yang biasanya pede di mana pun mendadak jadi gak berdaya, lemah, letih, lesu, lunglai kayak orang yang anemianya kambuh. Pusing gue mencium bau-bau Tata yang kayaknya sebentar lagi bakalan mendekat dan bisa lo bayangin setegang apa perasaan gue sekarang. Sejak pertemuan pertama dengan Tata, gue jadi deactive. Akun rahasia gue udah gak pernah gue buka lagi sejak itu dan hanya menyisakan akun utama yang buat endorse. Gue udah jarang sambat atau misuh di sosial media dan beralih lebih suka bersemedi di kamar hitung pengeluaran dan pemasukan. Serius... Gue gak bohong kalau gue berniat alokasiin dana gue untuk kebutuhan tambahan.

Kebutuhan tambahan Tasya sekolah nanti misalnya...

Iya, gak usah protes. Gue tau gue halu. Gue juga tahu kalau gue terlalu jauh.

"Om Juna, sayang. Jangan panggil Om mirip papamu dong. Gantengan Om juga."

"Iya, gantengan Om. Rapi. Soalnya kalau Papa punya kumis."

Gemes banget, huhu. Jadi pengin milikin mamanya.

"Arjuna."

Waduh! Gawat. Jantung gue. Gue menoleh sedikit ke kanan dan mamanya nih bocil sekarang berdiri tepat di sebelah gue sembari menenteng kantong plastik berisi molen mini. "Halo, Ta. Apa kabar?"

"Baik, setidaknya buat hari ini."

"Lah, emang kemarin-kemarin lagi gak baik?" Yuk, kawan. Doain modus basi ala gue berhasil. Biar cepat dapat pacar terus pamer ke anak kontrakan. Biar motor gue boncengannya gak berdebu juga. "Ada masalah?"

"Banyak pesenan di kafe, terus hari ini Tasya minta dianter ke toko kue. Padahal aku bisa bikin yang dia mau kayak gimana, tinggal bilang aja. Dianya tetep gak mau."

Insting gue tumpul. Baru sadar gue kalau ini bocil sekarang pakai baju yang kelewat ramai kayak tenda pasar malam. "Ih, kamu lagi ulang tahun ya? Tasya lagi pengin kue tart?" Gue menunjuk Tasya dengan setengah jongkok. Dianya malah ketawa.

"Om, minta kuda-kudaan dong. Papa gak kasih kado. Om aja yang kasih aku. Mama kasih kue pakai lilin."

Gue bukannya gak mau dimintain sesuatu sama Tasya, tapi cara dia minta ke gue yang selalu ungkit papanya membuat gue sedikit merasa kalau semesta ini kurang mendukung gue. Seolah gue dikutuk sungguhan dan dilarang mendekati Tata hanya karena anaknya yang masih belum move on dari papanya. Iya, gue tahu dia masih bocah dan gak ngerti dunia orang dewasa kayak apa. Tapi, untuk kali ini entah kenapa Tata gak berkomentar sama sekali. Dia malah mengalihkan pandang dan membayar mamang es doger lalu menggendong Tasya.

"Gak ada kelas hari ini?"

"Udah, Ta. Barusan kelar." Pengin deh sesekali gue bisa jawab ketus. Supaya Tata tahu kalau gue gak suka cara anaknya panggil gue pakai modelan begitu. Yang keluar dari mulut gue justru kalimat manis doang. "Hari ini mau makan siang bareng? Tasya lagi ulang tahun, minta kuda-kudaan. Sekalian rayain kecil-kecilan."

Dan lagi... Tata selalu menolak ajakan gue yang gak ada hubungannya sama bisnis atau pesanan di kafenya. "Eh? Mau makan siang di kafe aja, sih. Ada bekal dan palingan nanti undang temen-temen Tasya di komplek aja, makanya ini beli sedikit camilan buat kudapan nanti"

"Emangnya acaranya jam berapa?"

"Jam empat."

Gue menoleh jam tangan. Masih jam satu lewat belasan menit. "Masih ada sisa waktu. Entar aku bisa bantuin dekor seadanya kalau misal belum dihias."

"Gak perlu, Arjuna."

"Kamu gak pernah mau aku ajak. Apa aku harus pesen dulu semua menu di kafe kamu biar kita bisa ketemu dan ngobrol?"

Gue gak bermaksud sombong dengan berkata demikian. Gue hanya bermaksud kalau Tata selalu menghindar pakai alasan yang serupa. Dia mau datang ke kontrakan ketika gue pesan beberapa menu di kafenya ketika gak dapat mamang ojol buat anterin, tapi dia gak pernah mau gue ajak boncengan. Minimal gue jemput, deh... dari mana menuju ke mana gitu. Kalau pun gue nongkrong di kafenya, dia bakalan ada di dapur terus dan gak menunjukkan diri.

Hmmm... jangan-jangan ini trik marketing terselubung supaya dagangannya laris manis?

Canda.

Maksud gue... salah gak, sih, misal dia kasih batasan ke gue kayak gini? Apa cara dia menjauh dari gue yang mulai tertarik gak berlebihan, kah? Apa gue gak boleh mencoba jadi lebih sekadar teman?

"Kemarin temenmu ada yang mampir ke kafe," katanya dan itu cukup membuat gue terkejut. Tanpa konteks dan tanpa jawaban atas pertanyaan gue tadi, tiba-tiba Tata bilang kayak gitu di saat kita berdua masih berdiri di trotoar. 

"Ya, biarin. Kafe kamu tempat umum, lagipula aku gak pernah ngelarang mereka main ke situ sekalipun mereka tau pemiliknya kenal aku."

Tapi, ya... gue mikir lagi. Siapa kiranya yang main ke situ? Mau tanya, tapi tadi gue duluan acuh. Gue hanya takut siapapun itu main ke sana cuman buat minta diskon karena tahu yang punya itu kenalan gue. Citra baik gue akan tercoreng mampus.

"Kamu ke sini pakai apa? Motor, kan?" tanya gue lagi. "Kalau pakai motor biar aku titipin motor kamu di kos temen aku dulu. Kita makan siang bareng hari ini dan tolong jangan nolak. Tunggu sini sama Tasya."

Gue sekalinya sebel tanpa bacot langsung bertindak. Gue raih kunci motor yang ada di genggamannya dan langsung mencari titik di mana sekiranya motor Tata yang berwarna abu-abu itu diparkir. Hafal gue di luar kepala karena gue juga mengamati apa saja yang ada di sekeliling Tata tanpa dia tahu. Gak butuh waktu lama dan motor Tata pun gue temukan dan langsung gue bawa ke kos temen gue yang ada di dekat area kampus.

Jatuhnya hal nekat kayak gini dihitung sebagai usaha gak, sih?

Gue melolong kayak singa ketika sampai depan gerbang kos Pram, salah satu temen di kelas mata kuliah semantik yang cukup terkenal karena sering ikut kompetisi dance cover di alun-alun sama mall gitu.

"Woiii! Praaam! Nitip motor ye, sore gue ambil lagi. Awas sampai lo jual. Gue kebiri lo ya tiga kali!" Terus gue ngibrit balik ke kampus setengah lari dengan helm di kepala tanpa dilepas dan helm Tata di tangan kiri. Bisa gue dengar ucapan kebun binatang Pram dari dalam kos yang gue tebak kayaknya dia lagi koloran doang di kamar sambil rebahan karena kelas tadi dia bolos dan gak ada jejak.

Kemudian waktu berlalu begitu lama, tapi juga begitu cepat. Lama karena gue capek lari ke kampus, terus Tata juga melempem lebih banyak diamnya, pun Tasya yang sepanjang perjalanan menyanyikan lagu Old MacDonald Had A Farm berkali-kali. Tau, kan... yang liriknya ada 'eeyaa-eeyaa-woo' itu loh... Terus cepatnya karena gue sadar kalau gue belum tentu dapat kesempatan lagi untuk berada sedekat ini dengan Tata dan dunianya, si Tasya.

Gue hanya mengikuti insting gue nyetir motor sampai ke mana. Entah kenapa gue justru memilih kedai kwetiau seafood padahal gue alergi udang.

"Kenapa ke sini? Kamu alergi sama udang, kan?" Tata tanya dan rasanya gue seolah melambung ke udara menembus langit tanpa batas.

"Kamu... tanya temenku apa gimana? Kok bisa tau?"

"Kamu yang bikin postingan sendiri kapan hari, bentol-bentol merah karena dikasih nugget yang ada campuran udangnya."

"Aku pesen menu lain aja, Ta," tukas gue lalu mendorong pelan tubuh Tata. "Ayo! Itu Tasya udah di depan."

Kemudian gue mikir... bijak gak, sih, untuk menyuarakan segala pemikiran lewat sosial media kayak yang gue lakukan? Di sisi lain, sekali lagi, gue merasa ada untungnya, karena gue bisa jadi diri gue sendiri tanpa perlu menyebutkan identitas diri gue yang asli. Tapi, kadang gue juga berasumsi lain. Kenapa gue belum bisa seterbuka itu sama dunia gue yang real? Dunia yang sungguhan ada dan nyata, dekat dan lingkupnya juga gue kenali?

Jatuhnya setiap manusia itu akan selalu sama. Manusia akan selalu punya dua muka untuk ditampilkan pada manusia-manusia lainnya, atau bahkan lebih. Gak ada yang sepenuhnya nyata karena gue sendiri pun merasakan betul seberapa takutnya gue sama ekspektasi diri sendiri lawan pandangan orang lain. Manusia akan selalu membutuhkan dua tempat untuk berekspresi dan menunjukkan jati diri serta menjadi apa yang orang lain yakini.

Kalau orang-orang menganggap gue sebagai Juna si artis yang punya penghasilan mumpuni sambil kuliah, maka gue juga perlu tempat untuk jadi Juna yang suka sama perempuan beranak satu. Kalau orang-orang bisa melihat gue sebagai Juna yang jual tampang untuk menghasilkan uang, maka gue juga butuh jadi Juna yang hanya sebatas salah satu penghuni kontrakan berisik berisi tiga belas orang punya Pak Bima. Kalau orang bisa memandang gue sebagai Juna yang keren, maka gue juga perlu jadi Juna si bujang yang hatinya patah sebelum terbentuk utuh.

Ini, nih... kebanyakan baca tulisan Danu gue jadi menjelma jadi pujangga ngawur.

Parahnya lagi mata gue susah untuk berpaling. Dari awal masuk sampai kita bertiga duduk di kursi dan berlanjut memakan makanan masing-masing, gue tetap suka curi-curi pandang sama Tata yang juga sedikit sibuk mengurus Tasya yang kewalahan karena meja yang kita pilih terlalu tinggi. Gak sampai tuh tangan si bocil makan kwetiau pakai garpunya sendiri, harus disuapin.

"Mama, Om suapin juga."

Tuhan... apakah Engkau mengirim kemurahan hati-Mu lewat bocah mungil ini supaya perempuan di seberang meja bisa tahu isi hati hamba-Mu ini?

"Kalau aku jadi gantinya papanya Tasya, pasti bakalan minta suapin," celetuk gue yang kemudian hanya ditatap oleh Tata dengan dingin, padahal gue hanya bercanda.

"Arjuna, kita udah bahas hal ini kapan hari. Jadi tolong jangan kasih kode aneh lagi karena aku gak ada niatan untuk itu sama sekali."

Gue jadi penasaran sama satu hal, daripada kepikiran mending gue tanyakan langsung dengan perasaan sedikit sungkan. "Apa kamu beneran kuat untuk jadi single parent buat Tasya? Aku ngerti kamu bisa hidupin dia dari usaha yang kamu jalani, tapi untuk sosok papanya? Kamu yakin bisa jadi dua figur di waktu yang bersamaan?"

"Aku belum tau, tapi aku akan nyoba."

"Kalau kamu gak mau dunia kamu aku masuki, setidaknya jangan kasih harapan apa-apa."

"Aku gak pernah kasih harapan. Kita temenan dekat di sosial media tanpa tau latar belakang masing-masing. Apa aku yang salah kalau kamu terbawa sampai sini sewaktu kita udah ketemu?"

Lalu percakapan itu menggantung, gak ada respon yang patut gue ajukan lagi selain persutujuan dan validasi. Orang yang gue temui di dunia maya terlalu memenuhi ekspektasi gue sampai gue lupa kalau pada kenyataannya, gue juga susah menembus batas yang tercipta di antara kita walaupun udah saling ketemu. Ini sangat keliru karena gue terlalu bergantung dengan afeksi yang diberikan Tata lewat untaian pesan yang saling berbalas, tanpa sadar hal itu membuat gue terperosok lalu terbuai dengan hal-hal semu semata.

But maybe in another time, eh?

Gue dengar dan percaya kalau Tuhan selalu adil. Gue mungkin mujur di dunia bisnis dengan jalan mulus buat menghasilkan uang sendiri di usia cukup muda, tapi gue buntung di dunia asmara. Sama kayak Bang Aksa yang pekerjaannya juga mumpuni dan mapan, tapi hatinya belum sembuh sampai sekarang. Bang Jovi yang cintanya mulus, tapi untuk keadaan yang menyangkut harta, dia gak semujur Bang Aksa. Selalu saja ada kata adil dan imbang kalau mau melihat dari sudut yang berlainan.

Mari beranggapan kalau gue bisa dapetin Tata ketika waktunya tepat, atau mungkin bertemu penggantinya di waktu yang sudah ditentukan. Untuk saat ini gue hanya perlu bersikap baik, entah sama keadaan atau sama orang-orang yang ada di dekat gue terutama anak kontrakan juga. Mari kembali yakini kalau pepatah lama itu benar adanya, sesuatu yang dipaksakan gak akan pernah berujung baik.

Gue berbisik kecil sembari setengah tertawa. "Semoga aku yang masih suka berkeliaran gini gak pernah buat kamu bosan. Tetep singgah aja ya, bahkan di saat kamu udah jelas menolak."

Bersamaan dengan gula cair yang gue aduk di dalam gelas es teh gue, tawa gue dan Tata akhirnya perlahan mulai melebur dan memecah kecanggungan di antara kita berdua. Sedikit senang juga karena tadi ada orang yang bisik-bisik dan bilang kita keluarga yang sempurna. Padahal gue hanya bujang yang lagi mencari celah untuk dapat kesempatan.

Gimana, ya... jadi garda terdepan padahal bertepuk sebelah tangan dan cuman jadi teman. Biar saja menanti, tanpa batas dan tanpa balas.

Cielah. Sekarang gue dengan pintarnya kutip sebagian lirik lagu Fiersa layaknya Bang Aksa yang putus cinta.



ㅡ e p i l o g ㅡ



Selamat malam, temen-temen!
Terima kasih banyak buat yang masih keep in touch sama cerita ini sampai bagian epilog Juna. But honestly, a lot of things happened. Jadi penyebab cerita ini sedikit susah untuk kutamatkan bertumpu pada kegiatan di real life. Terkesan seperti banyak alasan, tapi makin gede itu makin ngga enak beneran wkwk😂

Aku mau kabarin tentang kelanjutan penerbitan buku ini juga.

Setelah melalui perundingan bersama pihak penerbit yang meminang naskah ini kapan hari, keputusan yang kedua belah pihak ambil yaitu ANDROMEDA mundur dari kesempatan emas ini karena beberapa hal. Secara teknisnya ada kendala yang bikin ANDROMEDA batal diterbitkan.

Tapi gak apa-apa lah yaa. ANDROMEDA akan stay di Wattpad sampai menemukan kesempatan lainnya. Semoga chapter terakhir bisa segera tuntas supaya bisa mikir ide cerita baru lagi huhu😭

Sekadar pencerahan juga kalau info tawaran terbit di bagian author's note di chapter Epilog Ardika akan aku hapus ya supaya ngga bikin bingung. Have a nice day everyone! Jangan lupa putar playlist di bawah untuk bagian Juna!

Continue Reading

You'll Also Like

67.1K 10.6K 15
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
1.3K 185 12
Gemintang yang baru lulus SMA di tahun 2024 mengalami time travel ke tahun 2001. Terbangun menjadi Abimanyu, pelajar yang harusnya sudah meninggal di...
30.6K 7.4K 34
Pada tahun 2800, wilayah kekuasaan terakhir manusia terbagi menjadi lima klan utama untuk mempertahankan bumi mereka yang terjajah.
191 71 17
Salah satu mahasiswa kedokteran--Soni, didapati meninggal di ladang penelitian Fakultas Pertanian dan pelaku yang dicurigai adalah Fernandes, pemilik...