Di Balik Awan

By imaginayii

6.5K 943 147

Awan ingin selalu ada untuk membuat Angin mengerti seberapa keberadaannya masih berarti. Tetapi sulit bagi Aw... More

☁️Prolog☁️
☁️1: Di Balik Semalam☁️
☁️2: Di Balik Mereka☁️
☁️3: Di Balik Pertandingan Itu☁️
☁️4: Di Balik Entah Perasaan Apa☁️
☁️5: Di Balik SMA☁️
☁️6: Di Balik Yang Belum Waktunya☁️
☁️7: Di Balik Impresi Pertama☁️
☁️8: Di Balik 5370☁️
☁️9: Di Balik Yang Masih Tersimpan☁️
☁️10: Di Balik Intensinya☁️
☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️
☁️12: Di Balik The Overdramatic One☁️
☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️
☁️14: Di Balik Peter Pan☁️
☁️15: Di Balik Instagram Story☁️
☁️16: Di Balik Bintang Kesepian☁️
☁️17: Di Balik Angkringan Hujan☁️
☁️18: Di Balik Midnight Cinema☁️
☁️19: Di Balik Unit 307☁️
☁️20: Di Balik Timezone☁️
☁️22(A) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️22(B) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️
☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️
☁️25(A): Di Balik Gerhana☁️
☁️25(B) : Di Balik Gerhana☁️
☁️26: Di Balik Kita☁️
☁️27: Di Balik Kesedihan Yang Mengering☁️

☁️21: Di Balik Skenarionya☁️

184 38 14
By imaginayii

Lying is lying
It's never okay

- From a song: Closure -

Di Balik: Bintang⭐

Aku yang meminta agar kami masing-masing. Aku juga yang memulainya. Tapi bukan berarti aku suka seperti ini. Tiba-tiba menjadi asing.

Kalau bisa, aku mau seperti tempo hari saja. Ketika bicara dengannya adalah perkara mudah.

Lebih baik, tiba-tiba ia datang dan menggangguku. Daripada tidak lagi datang dan membuatku diam-diam menunggu.

Aku masih mau dibonceng lagi. Biarpun tidak setiap hari setidaknya sekali atau dua kali. Mungkin waktu malam minggu nanti?

Aku tidak dengannya setiap hari. Tapi ternyata aku tidak bisa kalau harus tanpanya sama sekali.

Lucu memang. Ia belum lama datang namun sudah menjadi kebiasaan yang terlambat hilang.

“Toilet yok!”

Memang nggak bisa banget aku mau galau-galauan kalau di dekatku ada Andari. Padahal aku sudah menelungkupkan kepala sebagai tanda peringatan ‘jangan ganggu’, tapi masih ada saja usahanya buat merecoki aku.

“Ngapain?” aku menyahut seperti orang berkumur-kumur karena mencoba bicara sementara bibirku menempel di punggung tangan. Biar saja. Buat apa juga repot-repot mengubah posisi untuk meladeni hal yang pasti nggak ada penting-pentingnya ini.

“Poto-poto depan kaca. Mumpung gue lagi cakep nih.”

Nah, aku bilang juga apa.

Pasti kalian heran mengenai Andari yang bersikap biasa saja kepadaku, kan? Sebetulnya, aku juga sedang sama herannya dengan kalian. Mengingat lagi cek-cok pagi itu, caraku memungkas cukup membuktikan kalau aku memang kepala batu. Wajar jika Andari marah karena merasa tidak dihargai. Soal sebungkus siomay Bandung yang begitu saja aku tolak juga cukup keterlaluan. Padahal Anfal dan Andari sudah seperhatian itu mau mampir sepulang CFD demi membawakan aku sarapan. Aku benar-benar seperti orang tidak tahu terima kasih dan mereka memang berhak tersinggung. Jadi selama belum ada kata maaf yang kuutarakan, aku tidak berani memulai komunikasi apapun dengan kedua sahabatku terutama Andari. Makanya aku terpaksa menghubungi Kak Ge meski cerita padanya seringkali malah membuatku lebih frustrasi. Seenggaknya, aku masih punya satu teman untuk melalui sejumlah hari yang berubah rumit karena faktanya aku tidak siap akan keputusanku sendiri. Hal-hal tidak berjalan senormal pikirku saat Awan betulan menghilang dari peredaran.

Tapi aku lega karena ternyata situasi di antara aku, Anfal dan Andari tidak seburuk bayanganku. Ketika kami bertemu di kampus hari ini, Andari menyediakanku satu bangku kosong di sebelahnya. Kekanakan sekali kalau aku tetap mempertahankan ego sementara Andari sudah menunjukkan gestur yang demikian baik. Jadi setelah duduk aku langsung minta maaf sampai berkaca-kaca saking merasa bersalahnya. Andari dan aku sama-sama larut dalam suasana sebelum tawa geledek Anfal bikin momen mellow kami buyar seketika.

“Buruuuuu, Biiii!” dengan kurang ajarnya Andari menarik paksa tas yang sejak tadi aku gunakan untuk bantal darurat. Otomatis aku langsung mengangkat wajah demi menuntut pengakuan dosa dari Andari yang sudah bikin dagu dan jidatku terantuk meja.

“Ayo ayo baku hantam! Jangan diselesaikan secara kekeluargaan karena kalian bukan keluarga!” Bukan malah menengahi, Anfal menyalakan kamera bersiap me-record kegaduhan dua sahabatnya. Mau tidak mau aku membuang keinginan untuk melempar tasku ke muka Andari lantas berbalik menerjang Anfal untuk merebut ponselnya. Daripada amukanku dijadikan bahan Instagram story sama si manusia nggak ada akhlak ini.

“Woi hape gue mau dikemanain!!” Anfal koar-koar melihatku kabur keluar kelas.

Aku berhenti di depan jendela lalu berjinjit menyelipkan kepala lewat celah bukaan, “Mau gue tuker sama cilok!” ancamku sambil menjulurkan lidah.

“Yeeey jajan!” Andari bersorak girang. Sejurus kemudian ia meninggalkan bangku dan segera ambil langkah seribu untuk menyusulku.

Tiba-tiba aku sudah lupa dengan kekesalanku tadi. Aku dan Andari saling menautkan lengan, sekarang kami malah bersekongkol mengerjai Anfal. Tawa cekikikan kami memenuhi sepanjang koridor, diiringi peraduan ubin dengan hak sepatu yang menghasilkan bunyi tuk… tuk… tuk… Anfal mengikuti kedua suara tersebut untuk mengejar jejak kami. Sayangnya Anfal sedikit kurang cepat. Andari dan aku berhasil menemukan gerobak cilok tidak jauh dari gerbang kampus. Alhasil, Anfal harus merelakan uang sakunya buat bayarin pesanan kami demi menyelamatkan ponselnya yang benar-benar mau aku gadaikan pada Mamang Cilok.

“Ga ikut jajan, Pal?” Pipi kiriku menggembung terisi sebutir cilok yang baru kusuap ke dalam mulut. Anfal mencibir karena aku sengaja tidak menelan makananku dulu sebelum bicara. Juga karena pertanyaanku yang lebih terdengar sebagai ledekan baginya. Jelas-jelas aku lihat sendiri kalau Anfal cuma mendapat sekeping uang koin lima ratus rupiah sebagai kembalian, alias seharga satu butir cilok.

“Mau?” di tengah kegondokan Anfal, tahu-tahu Andari mengangkat plastik ciloknya.

Tawaran itu kontan membuat Anfal berbinar-binar, merasa tersentuh oleh kepedulian Andari. “Boleh?” tanya Anfal memastikan.

Andari mengangguk mantap. Ia minta satu tusukan bambu baru dari Mamang Cilok lalu menjejalkan benda tersebut ke dalam plastik. Setelah ujung tusukan tercelup bumbu, Andari lantas menyodorkannya pada Anfal dengan murah hati, “Nih…”

Aku bersyukur sudah menelan cilokku beberapa saat lalu sehingga aku bisa meledakkan tawa tanpa khawatir bakal tersedak aci seukuran bola bekel.

Kami nggak tahu apa kami sudah ketuaan untuk receh-receh begini. Menurutku kami hanya bertingkah manusiawi dan nggak ada salahnya kan menghibur diri? Biar adil. Biar nggak hanya hidup yang melulu bercanda pada kami. Tapi biar sesekali kami yang bercanda untuk merasa hidup. Biar lebih kuat juga. Biarpun selalu ada patah hati yang bikin nggak baik-baik saja, memangnya kata siapa kami nggak boleh tertawa meski sedang nggak baik-baik saja?

“Jangan nengok ke kiri kalau nggak mau patah hati!”

Aku menengok ke kiri, mengikuti refleksku yang setiap mendengar larangan malah memprosesnya sebagai anjuran. Tapi mungkin membantah memang nggak pernah baik akibatnya. Aku menemukan Awan di lajur jalan yang tepat berada di dekatku. Kendaraan roda empat yang ia kemudikan berhenti sebentar untuk memberi kesempatan pada sekelompok mahasiswa yang perlu melintasi garis penyebrangan. Kaca mobil Awan turun, cowok itu mengembangkan senyum sembari mengangkat sebelah tangan untuk membalas sapaan salah seorang penyebrang jalan yang ia kenali. Aku bisa melihat Windi duduk di sebelah kursi kemudi.

Tidak ada yang salah. Kecuali tentang Awan yang langsung menaikkan kaca mobil sejurus setelah pandangan kami beradu. Tanpa ada senyum simpul apalagi serangkai sapa perhatian, Awan melaju menjauh, sepenuhnya mengabaikanku.

“Ups, kok sama si itu lagi?”

Aku mulai membiasakan diri menghadapi sindiran Andari setelah tahu dia tidak begitu mendukung kedekatanku dengan Awan. Tidak sekalipun nada pedasnya tertangkap telingaku sebagai sesuatu yang menyenangkan buat didengar. Kadang-kadang itu seperti sentilan kecil, mengganggu tapi masih bisa kuabaikan. Masalahnya ketika kondisi mood-ku tidak terlalu bagus, kalimat yang singkat sekalipun bakal terasa mencubit bukan main. Nggak ubahnya sebuah dinamit sumbu pendek, sedikit saja aku dipantik, reaksi sensitifku bakal meledak-ledak.

“Apa yang ini nggak jadi dipilih?”

Kutepis kasar tangan Andari dari pundakku. Aku tidak bisa menatap wajahku sendiri tapi aku yakin sudah tidak ada lagi aura bersahabat yang terpancar dari sana, sehingga Andari sontak bungkam.

Aku kembali tertegun. Menatap jalanan lamat-lamat walaupun Awan sudah hilang dari pandangan. Tinggal aku, bersama jejak-jejak debu. Tinggal batinku, dan tanda tanya yang berebut menyerbu. Aku tidak mengerti, apa yang sedang terjadi? Bukannya Awan menjauh hanya demi menuruti kemauanku? Bukannya jeda ini disetujui sebatas agar ia leluasa mencari jawaban yang aku minta? Bukannya yang salah cuma urusan waktu sementara kita baik-baik saja? Aku tidak mungkin salah mengira, bukan?

Kubuang napas lewat mulut. Apa pikiranku berlebihan? Mungkin Awan begitu cuma gara-gara Windi sedang bersamanya?

Windi cuma sahabat gue, Bi.

Tidak. Aku tidak bisa mentah-mentah menganggap keberadaan Windi sebagai alasan gestur dingin Awan tadi. Maksudku, kalau benar cuma sahabat, bukankah seharusnya tidak jadi penghambat?

We’re nothing but friends.”

Lagipula, ibarat cerita kami hampir mencapai klimaks. Dan berlagak tidak mengenalku seperti di awal-awal pertemuan kami tidak akan membuat semuanya kembali sederhana. Lalu untuk apa masih pura-pura di depan gadis itu? Kupikir Windi juga pasti tidak sepenuhnya bodoh dengan masih percaya kalau tidak ada sesuatu di antara Awan dan aku. Tidak setelah ia memergoki kami jalan berdua dengan matanya sendiri.

Terlambat, Awan. Tidak ada gunanya memakai skenario lama karena sahabatmu sudah terlalu banyak tahu.

Dapat kurasakan kepal tanganku perlahan mengeras. Semakin aku berkeras mengartikan maksud di balik sikap Awan semakin rongga dadaku terasa diperas. Saat ini, aku yang sedang marah. Wajarnya aku pula yang memalingkan wajah. Sedangkan Awan semestinya jadi pembantah. Tetap menelepon walaupun aku tidak membalas pesan, terus datang mencariku meski kubilang jangan, berusaha bicara padaku tanpa peduli kalau akan kuabaikan juga mendekat dengan kukuh sampai aku kehabisan cara untuk menghindarinya—seperti usaha yang pernah ia lakukan sebelumnya untuk mengembalikan keyakinan dan penerimaanku.

Tapi kenyataannya Awan bahkan tidak mencoba sedikit pun.

Apa yang ini nggak jadi dipilih?

Andari belum berani bicara apapun lagi namun kalimatnya tadi berdengung berulang-ulang membuat sistem kendaliku mendadak kacau. Aku menunduk, mengedarkan mata ke sekitar pijakanku layaknya orang bingung. Sampai kemudian lengkingan klakson motor memberi efek kejut yang membuatku terhuyung mundur. Detik itu aku berhasil menguasai fokusku kembali. Pekikan Anfal dan Andari menyerbu telingaku dan seketika badanku lemas menyadari aku hampir terserempet motor.

“Biiiii! Lo nggak apa-apa?” Andari melompat untuk menjangkauku. Ia memegangi bahuku erat lalu meneliti dengan hati-hati barangkali aku terluka.

Aku hanya menggeleng dan segera menarik diri dari sahabatku. Aku sempat menyerahkan plastik cilok miliku yang masih setengah penuh pada Anfal sebelum pergi ke seberang tanpa penjelasan. Terus kulebarkan langkah kaki menyusuri trotoar hingga kutemukan gang menuju kostku yang bertugu merah. Tasku tertinggal di kampus. Aku tidak memusingkannya mengingat Anfal dan Andari pasti kembali ke kelas karena masih tersisa satu sesi mata kuliah Correspondence yang harus diikuti. Biar mereka yang mengurus tasku sekalian Mam Elin—kalau-kalau Ibu Dosen berkacamata itu iseng menanyakan keberadaanku.

Untungnya ponsel dan kunci kostku ada di saku blazer. Aku masuk ke kamar hanya untuk berganti sepatu. Setelah mendapat alas kaki yang tidak menyusahkanku menginjak pedal, aku mengkayuh sepeda ke arah jalan besar. Sengaja mengambil rute tercepat menuju kompleks perumahan Puri Citra. Bukan mau mendatangi rumah seseorang, melainkan pergi ke taman yang sore itu aku kunjungi bersama Awan.

Rem tangan pada kedua sisi stir berfungsi baik, tapi aku memilih menggesekan sol sepatu ke tanah untuk menghentikan laju sepedaku. Ide buruk. Aku gagal berhenti tepat waktu sehingga roda depanku menabrak tepian lapangan basket yang memang lebih tinggi dari tanah berumput di sekelilingnya. Tapi aku tidak peduli. Sepedaku yang roboh kubiarkan tergeletak tanah sedangkan aku buru-buru mengejar ring basket yang hanya diam saja. Di bawah bayangan ring, aku mengeluarkan ponsel dan menjepret gambar lapangan seadanya.

Gambar tersebut terkirim pada Awan dua detik kemudian. Hanya saja, mendadak aku tidak yakin dengan apa yang aku lakukan.

Mengambil jeda membuat aku sadar tentang napasku yang tersenggal-senggal. Aku terlanjur bolos kelas. Juga sudah capek-capek mengkayuh sepeda di siang bolong yang panas. Sekarang aku disini, berdiri sendirian seperti orang tidak jelas. Kuintip sekilas ruang obrolanku dengan Awan, gambar yang baru kukirim belum dilihat. Aku mendengkus. Mementahkan keraguanku sendiri. Nggak, setelah serangkai kekonyolan itu aku nggak bisa tiba-tiba berubah pikiran apalagi ingin berbalik pulang lalu mencoba mengurai semuanya sendiri. Nggak. Itu nggak pernah berhasil.

Ibu jari kananku mengetuk balok putih tempat menulis pesan dan keyboard default aplikasi Whatsapp langsung muncul. Aku mengetik cepat. Mengirimkan dua pesan sekaligus tanpa pikir-pikir.

Bisa kesini?

Gue mau ngomong sesuatu

Bisa jadi, karena pesan itu Awan bakal menganggap aku benar-benar plin plan. Habis bersikeras ingin masing-masing, sekejap kemudian minta ditemui. Tapi saat ini bukan anggapannya yang penting. Aku hanya mau diberi pengertian kalau tadi ia berpaling untuk menghargai keputusanku. Bukan karena tidak memilihku.

☁️⭐☁️⭐

Di Balik: 🌬Angin

“Kamu kira aku percaya kamu sama Bintang cuma kebetulan ketemu di mall waktu itu?”

Sudah tahu kuajak bicara, Awan malah sengaja menyumpal telinga. Aku curiga Awan juga menyiapkan earphone putih itu sejak dari rumah.

Tidak mau mengalah, aku tarik saja kabel earphone-nya. Cuma berhasil lepas sebelah tapi aku tetap nggak menyia-nyiakan kesempatan, “Terus kamu kira aku nggak tahu kalau sebelum-sebelumnya kamu sama Bintang udah sering jalan?” sambungku, tetap dengan pembahasan yang sama.

Kupikir Awan sedang ingin menguji kesabaranku dengan memasang kembali pengalir suara itu ke telinga. Masih sempat pula Awan memutar Earpads beberapa kali seperti ingin memastikan bagian tersebut terpasang lebih rapat.

Aku tidak tahu ada orang yang bisa demikian keras kepala hanya demi mempertahankan sikap diamnya. Iya, Awan memang memutuskan diam tentang rahasia kecilnya yang terbongkar. Setelah tanpa rasa bersalah ia meninggalkan aku dan Angkasa di mall hari itu, tengah malam Awan akhirnya muncul. Beruntung Bibi membangunkanku dan bukan Angkasa.

Kami duduk di sofa, menyalakan TV tanpa suara dan hanya memanfaatkan nyala layar sebagai penerangan. Aku kira Awan datang untuk menjelaskan. Tapi bermenit-menit aku tunggu, cowok itu tidak kunjung buka suara. Bisa ditebak, akhirnya harus aku yang memulai. Mula-mula aku coba bertanya pelan-pelan agar tidak membuatnya tersudutkan. Tidak satu pun pertanyaanku mendapat jawaban. Nadaku tambah menuntut. Aku menanyakan apapun yang muncul di kepalaku, acak, tidak lagi secara urut. Awan tetap tutup mulut.

Kemudian aku mulai terisak, tidak tahan. Dengan kalut aku mengajukan lebih banyak pertanyaan. Tapi Awan benar-benar seperti arca tanpa nyawa. Bertahan dengan keputusannya. Tidak menyahut, tidak membenarkan atau menyalahkan, tidak menyanggah, tidak juga membela diri. Termasuk saat aku mulai menggunakan tanganku untuk sedikit menyakitinya, Awan sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia benar-benar cuma diam menerima segala yang aku luapkan. Menjelang pukul dua, aku lelah, berakhir roboh ke dekapannya. Meski begitu, aku makin tersedu-sedu layaknya gadis kecil yang keinginannya belum terpenuhi. Namun saat Awan menggunakan satu tangannya untuk mengusap-usap punggungku, entah bagaimana itu seolah memantrai aku. Kefrustrasianku menghadapi Awan perlahan susut digulung kantuk. Kami tertidur dengan posisi yang tidak berubah hingga pagi.

Setelah tidak berhasil malam itu, hari-hari berikutnya hingga hari ini, aku masih berusaha memancing reaksinya.

“Awan!” kepalang geram, aku membuang earphone Awan ke belakang. Karena tengah memagang kemudi, cowok itu tidak dapat berbuat lebih selain memprotesku bertubi-tubi.

“Dengerin!” sergahku, enggan mengurusi earphone bodoh itu lagi. “Nggak usah lagi pura-pura di depan aku!”

Aku memastikan lawan bicaraku tidak sedang mengalihkan diri pada hal lain sebelum melanjutkan, “Aku sudah tahu, Awan! Kalau mau sapa Bintang, ya sapa saja. Ngapain tadi kamu sok buang muka segala?”

“Menurut kamu?” seloroh Awan. Badanku terdorong maju karena cara cowok itu menginjak rem yang sangat tidak halus. Kami sampai di pekarangan rumah, tapi aku masih terpaku di kursiku. Sedikit terkejut mendapati Awan tahu-tahu mau memberi tanggapan. “Aku peduli sama perasaanmu, Di.”

Lucunya Awan tampak tidak sadar jika perkataannya barusan malah membeberkan skenario yang ia mainkan—berpura-pura menepikan Bintang ketika di depanku kemudian menjadi sepenuhnya berbeda saat di belakangku.

Tidak, aku tidak terkejut. Seperti yang aku bilang, aku sudah tahu. Dengan serentet kebohongan yang Awan buat, gelagatnya jadi semakin mudah untuk dibaca. Aku hanya benar-benar kecewa karena ternyata Awan sengaja melakukan itu untuk membodohiku. Dan memikirkan bagaimana skenarionya mungkin sudah dimainkan dari awal sekali, aku rasa sekarang semuanya jelas. Bagian-bagian rumpang dari cerita semasa SMP-nya dengan Bintang, yang selalu Awan sembunyikan dariku selama ini, tidak lain berisi hal-hal yang lebih dari pertemanan. Awan memiliki perasaan untuk Bintang yang tidak pernah bisa ia tepikan. Yang menjadi satu-satunya alasan mengapa ia terus mengelak dari perasaanku.

Bibirku melengkung sumir. Tidak habis pikir. Bukankah semua kenyataan yang aku temukan malah membuktikan kalau Awan hanya peduli tentang perasaannya sendiri?
 
“Kalau kamu peduli sama perasaan aku, sejak awal kamu nggak akan bohongin aku.”

Awan tertegun dalam kuncian mataku.

Tok! Tok! Tok! Tok!

Keheningan yang sempat mengisi mobil sontak terpecah karena ketukan yang menuntut itu. Awan dan aku beralih mencari sumber suara. Kami sama-sama tidak sadar kapan tepatnya Angkasa melewati pintu rumah, ia tahu-tahu muncul dan tidak mau berhenti mengetuk kaca di samping Awan.

Awan melucuti seatbelt dengan kebingungan. Ia sepertinya tahu aku juga tidak mengerti ada apa sebenarnya, jadi Awan putuskan membuka pintu tanpa menanyaiku.

“Keluar lo!” Angkasa mencengkeram kerah pakaian Awan menggunakan satu tangan. Penuh emosi ia menarik paksa Awan untuk keluar mobil sampai cowok itu hampir tersungkur.

“Lo kenapa hah?!” sentak Awan tidak terima. Ia berkelit-kelit berupaya membebaskan diri tapi Angkasa enggan mengendurkan cengkraman.

Melihat ketegangan di depan mata, instingku memberi sinyal agar aku cepat bertindak. Tergopoh-gopoh aku mencari kait seatbelt yang masih membelitku. Hanya saja gara-gara itu situasi terlambat kukondisikan.

Bugh!

“Anjing!"

Sebuah pukulan keras mendarat di sudut bibir Awan dan seketika darah merembes keluar. Refleks aku memundurkan tubuh hingga punggungku terbentur pintu mobil. Mulutku setengah terbuka tapi aku sepenuhnya kehilangan kata-kata. Ada apa sebenarnya?!

Aku tahu kemarahan Angkasa mengenai sikap Awan sewaktu di mall belum mereda. Mereka berdua juga belum saling menyapa karena masih sama-sama keras kepala. Yang satu merasa tidak memulai apapun sehingga dirinya tidak bersalah, dan yang satu lagi menganggap sahabatnya keterlaluan tidak tahu diri. Belakangan tensi di antara Awan dan Angkasa memang masih tinggi. Tapi sepanjang aku mengenal mereka, ini bukanlah cara yang akan mereka pilih untuk menyelesaikan masalah.

“Mulai sekarang, lo jauhin Windi!” tekan Angkasa dengan garis wajah yang keras.

Awan menggeleng-geleng. Menunjukkan kalau dirinya semakin tidak dapat mencerna maksud Angkasa. “Kalau ini masih soal yang kemarin. Pukulin gue semau lo, gue nggak peduli. Tapi jangan pernah mikir lo punya hak buat nentuin apa yang boleh dan nggak boleh gue lakuin. Terutama menyangkut Windi.” balas cowok itu sambil menekan ibu jari pada lukanya.

Angkasa tertawa muak. “Lo tahu, Wan? Terserah lo mau lakuin apa aja. Gue juga nggak sepeduli itu sama lo. Satu-satunya yang gue peduliin di sini cuma Windi.” Sorot nyalang Angkasa perlahan melemah ketika ia menatapku, “Kalau lo nggak mampu jagain dia paling enggak lo harus berhenti nyakitin dia.”

Sadar Angkasa sedang teralih, Awan menyentak tangan Angkasa lalu mengambil jarak selangkah. “Just say it to my face! Maksud lo apa sebenernya?!”

“Menurut lo Windi begini bukan karena kelakuan lo?”

Napasku tersekat di kerongkongan melihat sekepal rambut hitam yang ada di genggaman Angkasa. Aku coba mengingat lagi perbuatanku semalam di tengah ritme jantungku yang kacau. Seingatku semua sampah rambut itu sudah kulempar ke pembuangan belakang rumah seperti biasa. Bagaimana bisa Angkasa menemukannya?

“Ini apa, Di?”

Tidak memperoleh jawabanku, Awan merangsek masuk ke dalam mobil. Aku memeluk badanku menghalangi usaha Awan meraih lenganku. Ia tetap tidak mau menyerah, sekalipun perut dan kakinya habis terserang kakiku yang sengaja kujejak-jejakan. Sialnya aku terpojok. Pintu mobil menahanku di belakang dan Awan berhasil mengurungku dalam kungkungannya. Sekali tarik ia melepas ikat rambutku, sejurus kemudian jemari Awan menyugari rambutku dan ia baru berhenti setelah menemukan daerah pitak sedikit di atas telinga kiriku. Awan bergeming. Menatapku tidak percaya.

Tangisku seketika pecah. Ini sungguh kacau. Aku tidak ingin siapa pun tahu kalau belakangan aku sering berperilaku bodoh lagi. Termasuk kedua sahabatku dan terutama Awan. Bertahun-tahun aku sudah menyeretnya ke dalam traumaku. Menyusahkannya dengan ketidakwarasanku yang sering tiba-tiba di luar kendali sehingga ia perlu mengawasiku hampir dua puluh empat jam penuh. Aku bahkan membuat Awan harus merelakan sebagian besar hari-hari menyenangkan yang wajarnya ia miliki sebagai seorang remaja hanya agar aku tidak sendirian melalui hari-hari terburuk. Sementara aku sendiri berkali-kali berpikiran untuk menyerah, Awan mati-matian membantuku sembuh sampai terkadang tidak punya waktu untuk mengurus dirinya.

Pada saat itu aku sampai tidak pernah berani menatap cermin karena tidak kuat menghadapi suara-suara dalam kepalaku yang terus mengatakan kalau diriku tidak lagi punya arti. Kedengarannya pasti tidak normal hanya saja setiap kali bercermin aku tidak dapat melihat pantulan bayanganku. Tidak ada lagi Windi yang cemerlang. Yang tersisa tinggal sesuatu yang tembus pandang. Seperti angin. Tapi Awan tidak pernah berhenti datang. Menatapku lekat-lekat untuk memberitahu seberapa jelas keberadaanku. Awan tidak akan mau pergi kemana-mana tanpa aku. Seolah aku adalah satu-satunya hal yang mampu membuatnya bergerak.

Mengerti, Di? Angin yang tembus pandang itu punya arti yang sangat besar untuk Awan. Tanpa angin, gerak kehidupan Awan juga akan ikut terhenti.”

Puluhan kali sesi terapi dan akhirnya aku menemukan kekuatanku lagi dari Filosofi Angin dan Awan yang diceritakan Psikiaterku. Aku benar-benar bahagia karena keberhasilanku sembuh membuat Awan bisa merasakan hidup kembali. Bersama kesadaran yang kutemukan pada terbit senyumnya, aku berjanji akan selalu baik-baik saja agar Awan juga baik-baik saja. Tapi aku ternyata selemah ini. Aku mengecewakannya dengan membiarkan diriku kembali lepas kendali.

“Di... kenapa kamu begini lagi?”

Aku terisak. Tidak mampu mendengar suara Awan yang seperti kehilangan nyawanya, “Maaf, Awan... belakangan aku benar-benar kesepian.”

“KELUAR!” dari belakang Angkasa membentak keras. Ia menarik Awan tanpa menerima bantahan, “Udah gue bilang jauhin Windi!”

“Lepasin, Bangsat! Gue perlu bicara sama Windi!”

“Gue tegasin sekali lagi! Nggak usah sok peduli sama apa yang nggak bener-bener lo peduliin!”

Bugh!

“Tutup mulut lo! Lo nggak tahu apa-apa!”

Kepalaku terasa pengang. Aku meluruskan duduk agar pandanganku tidak terarah keluar di mana Awan dan Angkasa tengah saling memukul dengan brutal. Sekujur badanku gemetar dan buku-buku jariku bertambah tegang sampai garis-garis pembuluh darah di punggung tanganku tampak menonjol. Aku ingin menjambak rambutku sampai tercabut agar lega. Tetapi dentingan ponsel Awan yang tergeletak di dashboard lebih dulu mengalihkanku. Aku mungkin akan mengabaikan pesan masuk tersebut kalau saja nama pengirimnya bukan Bintang.

Bisa kesini?

Gue mau ngomong sesuatu

Entah apa yang kupikirkan. Ketika melihat kunci mobil masih tertancap, aku pindah ke kursi kemudi. Braak! Sesaat setelah pintu di sebelahku tertutup, kunyalakan mesin lantas mengoper ke persneling mundur. Awan dan Angkasa panik bukan main saat tersadar, sayangnya mereka sudah tidak sempat  menghalangi mobil yang kubawa meluncur.

Aku belum tahu pasti apa yang kurencanakan. Tapi aku tahu lapangan basket itu, lokasinya di taman perumahan salah satu teman kampusku. Lapangan yang sama yang aku lihat di Instagram story Bintang tempo hari.

🌬☁️🌬☁️

Di Balik: Bintang⭐

Aku bisa dengar langkah kaki itu mendekat dari belakangku. Tapi senyum yang baru saja terlukis di wajahku seketika luntur karena yang datang bukan orang yang aku tunggu.

“Apa?” Windi mengangkat dagunya. Aku sedikit ingin tahu apa yang baru terjadi pada gadis itu sampai matanya sembab dan kemerahan.

“Katanya mau ngomong?” ternyata ponsel Awan ada padanya. Ekspresiku berubah masam. Kurang senang memikirkan pesanku tadi yang malah dibaca Windi. Dan lebih nggak senang lagi mengetahui Windi bisa sebebas ini mengakses ponsel Awan. Terserah namanya sahabat atau apa, tapi masa nggak ada privasi sama sekali?

Windi berhenti tepat ketika selangkah lagi kakinya menginjak semen. Dari jarak yang cukup dekat begini ia terlihat lebih berantakan. Jauh dari kesan ceria yang biasa dirinya pancarkan. Apakah termasuk besar kepala kalau aku berpikir kekacauan Windi ini ada hubungannya denganku?

“Kok malah diam? Ayo kasih tahu aku! Sudah sejauh apa kalian di belakangku?”

Mataku melebar karena tangisnya tiba-tiba pecah. Hanya saja pilihan kata dan nada bicara Windi terlanjur membuat aku hilang simpati. Nggak. Aku nggak bisa menerima perlakuan ini lagi saat aku bahkan belum sepenuhnya membaik dan melupakan ketersinggunganku akan sikap kasar Angkasa.

Lagipula aku nggak bisa terima-terima saja mendengar Windi bicara begitu gamblang melabeli aku sebagai orang bermuka dua. Di depan Windi atau di belakangnya, aku tidak merasa sikapku berubah-ubah. Yang aku lakukan hanya mengimbangi Awan. Saat ia biasa saja aku juga hanya merespon seadanya. Ia ramah maka aku balas ramah. Kadangkala ia tidak menyapa tapi aku pun nggak pernah mendahului menyapanya. Lalu ketika selanjutnya cowok itu mendekat dengan hangat, yang kulakukan juga tidak berbeda. Aku sebatas membalas dengan takaran yang sama.

Bagaimana Windi bisa seenaknya menganggap aku mencuranginya sedangkan Awan saja bukan pacarnya?

“Harusnya kamu nggak izinkan Awan mendekat. Dan kamu harusnya tetap jauh. Kami baik-baik saja sebelum ada kamu!”

Jujur, aku tersinggung dengan cara Windi mempermasalahkan keberadaanku. Maksudnya, kenapa jadi aku yang dirundung habis-habisan? Toh bukannya aku dengan sengaja menempatkan diri di tengah-tengah. Aku menegakkan batas sebagaimana mestinya ketika kupikir Awan sudah milik Windi. Sebelum cowok itu sendiri yang lantas membongkar pagar-pagar yang kudirikan dengan berkata yang sebaliknya. Sehingga kemudian, kupikir tidak ada salahnya.

Ini nggak adil. Kesalahan atau bukan, apapun yang ada di antara aku dan Awan melibatkan kami berdua. Tapi kenapa selalu menaruh keberatan di satu pihak saja? Harusnya tidak hanya sikapku yang dipertanyakan. Sekali-kali, harusnya...

“Harusnya lo paham kenapa Awan sampai ngorbanin semua yang baik-baik saja di antara kalian cuma buat menjangkau satu orang.”

☁️⭐☁️⭐

Ay's: Meng-hadeeeeeeehhh
Tapi ciyus mpot-mpotan banget nulis part ini😩😩 selain puanjang, gonta-ganti pov juga penuh esmosi ((yeu salah sendiri dah tau ceritanya ribet tetep ditulis))

Meng-hadeeeeeeeeeehhh ((sambatan sekali lagi))

Btw, aku taw ada kurang lebih 10 orang pembaca setia cerita ini. Keluar kalian!
Aku pengen tahu sampai di chapter ini kalian tim siapa?😆😆

Apakah kalian tetap di kapal yang sama sejak awal? Atau terombang-ambing membazing-bazingkan authornya karena bikin tokoh kok pada labil semua?😆😆
((Kecuali Kak Ge sad boi kita))

Yaudah, segitu aja. Jangan lupa minum setelah membaca!

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 258K 58
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
2.3M 156K 49
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻𝓸𝓼 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪�...
2.4M 129K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
812K 70.7K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...