XABIRU [END]

By SiskaWdr10

54.8K 4K 603

[Series stories F.2 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Hilangnya satu malaikat Tuhan kembali memberikan malaik... More

01.Kita yang sama
02.Si gadis sempurna
03.Apa itu ayah?
04.Mata yang sama
05.Mindset yang buruk
06.Dia iblis pembunuh!
07.Jagoan sedang sakit
8.Rai, kita jadi dukun ya.
9.Malaikat dan kehidupan
10.Anti bucin garis keras
11.Semesta & Rai milik Biru
12.Silsilah darah Ricardo
13.Ru, bumi udah bersyukur.
14.Si biang kerok menang
15.Masa-masa dengan Ra
16.Selamat hari Rai sedunia
17.Biru lebih berhak bahagia.
18.Prioritaskan diri sendiri
19.Puisi punya pemiliknya
20.Gess gadis bintang rock
21.Yang berkuasa atas rasa
22.Satu-satu nanti cape Ra
23.Insiden naas di rooftop
24.Duplikat dari sang ayah
25.Momen khusus ruang hati
26.Mengulang sejarah silam
27.Sejatinya rumah berpulang
28.Revolusi seorang Xabiru
29.Siap patah berkali-kali
30.Bad rumor, real hickey?!
31.Mengalir darah malaikat
32.Dua pemeran yang buruk
33.Selamanya tetap pelanggar
34.Dari si pemberi luka
35.Kita pake kerja cerdas
36.Hukum kekekalan hati
37.Biru, you are not alone.
38.Dasar pengingkar janji
39.Bandung adalah kamu
41.Kejutan paling mahal
42.Petualangan telah usai
43.Pulang untuk menetap
44.Pemenang dari takdir
45.Penikmat alur tengah
46.Lekung pemulih luka
47.Si netra hijau [akhir]
Hiii

40.Ra selamat bahagia ya.

833 74 3
By SiskaWdr10

"Semua cerita tentangnya yang membuatku selalu teringat akan cinta yang dulu hidupkanku." -Stevan Pasaribu-

40.Ra selamat bahagia ya.

Mau tidak mau, bisa tidak bisa hidup terus berjalan. Empat bulan terakhir di Jakarta keadaan Rai tidak baik-baik saja, ia semakin kacau. Pipi chabinya berubah tirus dengan tumbuh ramping yang jadi mengurus, kecil. Banyak melamun, dan lebih suka menyendiri.

Raga tanpa jiwa cocok menggambarkan dirinya saat ini.

"Enak, pa?" Aurora bertanya cadel pada Kale. Ya, dia anak Abang Rai yang usianya memasuki tiga tahun.

Semenyakinkan mungkin Kale mengangguk, kembali menyesap kopi yang rasanya asin. "Pa lagi apa sih?" mata bundar bercahaya lucu tersebut melihat pada layar laptop yang akhir-akhir ini sibuk dimainkan Papanya.

Kale menyimpan laptop ke meja, menggendong putrinya. "Ah itu cuma urusan kerja sayang, nda di dapur sama nenek?" Aurora mengangguk. "Ayo kita recokin," ajak Kale membuat anaknya kegirangan.

Aurora itu tipe anak yang sangat aktif, kakeknya yakin besar nanti Aurora pasti akan jadi jagoan sekolah, katanya. "Ya ampun Aurora nanti jatoh!" omel Anya saat putrinya naik ke pantri untuk ikut mengocek-ngocek adonan. Anya adalah Istri Kale.

"Yang nambahin gula di kopi ku Aurora?" tanya Kale sambil mengusap lembut tepung di pipi sang istri.

"Yeahh, kenapa emangnya? kemanisan?"

Mendengarnya Kale terkekeh geli. "Keasinan."

"Eh?"

"Udah nanti-nanti kalau mau mesra-mesraaan di rumah kalian aja, jangan disini," kata Risa tersenyum geli -Bunda Rai dan Kale- pada pasangan suami istri itu. "Nya tolong tambahin garam---aduh Aurora jangan di icip itu bumbu lada sayang!"

Orangtuanya langsung panik mengambil air minum, rengengan Aurora terdengar mememakan telinga, rusuh, ditambah dapur mengepul debu terigu dari siku Anya yang menyenggol baskom berisi tepung.

Saat debu dari tepung mulai hilang di udara serempak memekik kaget melihat Rai yang berdiri tegak, mirip hantu. Pakai kaos putih oversize, rambut panjanganya berantakan dan wajah datar yang sudah menjadi khasnya. Menghiraukan tatapan kaget dari orang rumah, Rai memilih pada tujuannya. Mengambil air di gelas lalu melengos pergi, naik kembali ke atas.

"Nda kok hantu ada ciang-ciang?" tanya Aurora membuat mereka saling lirik, seperkian detik kemudian tertawa renyah.

Ini memang hari libur jadi seluruh keluarga hadir, kecuali ayah Febrianto tentunya.

Menjelang malam Bunda dan Anya kembali menyiapkan masakan. Ditata rapi ke meja makan. Anya berjalan ke sofa, tersenyum simpul melihat suaminya masih sibuk dengan laptop.

"Makan dulu papanya Aurora," kata Anya lembut duduk di sebelah Kale.

Tanpa menoleh Kale bersuara. "Papanya Aurora suaminya siapa?"

"Tetangga," balas Anya bergurau diakhir tawa. Kale menoleh dan mencium pipi Anya kilat.

"Ayah belum pulang? sebentar deh," katanya kembali pada layar laptop.

"Ayah Anto lagi mandi, bentar lagi turun. Mas, ca aku yang panggil boleh?" mendengar nama itu Kale kembali menoleh, mengangguk sedikit lesu.

Suana riang di meja makan tidak membuat Rai mau bersuara, ia tetap bungkam. Fokus pada makan malamnya.

"Sepeda Aurora rusak sama ayah lagi?" Kale membuka obrolan, menatap ayahnya yang mengiris daging pura-pura tidak tahu.

"Iya, masa ayah yang naik Aurora yang dorong!" omel Risa. Semua tertawa, kecuali Rai.

Febrianto berdehem. "Dimaklum atuh hadirin hadiroh, masa kecil ayah kurang duit. Dulu di Bandung ayah nggak punya sepeda, naik itu tuh daun pisang. Itu juga daun dari pohon pisang punya tetangga."

Tawa kembali terdengar. Febrianto melirik Rai, hati seoarang ayah jelas sedih melihat putrinya hanya diam tanpa ekspresi. 

Di Jakarta suara dengkingan jangkrik jarang-jarang terdengar, bahkan Rai yakin capung dan jenis hewan terbang lainnya sudah langka.

Seperti malam sebelumnya, di kamar yang lampunya sengaja ia matikan semua Rai melamun, menatap atap langit dengan pandangan kosong.

Sikap drastisnya ini berdampak besar bagi orang sekitar. Mata Rai terpejam, membuang nafas panjang, ia tidak boleh terus-terusan seperti ini.

Jam dinding menunjukan pukul satu malam. Rai bangkit dari ranjang berjalan keluar mencari abangnya.

"Abang...." Kale menoleh, membuka kacamata baca dan tersenyum.

"Belum tidur?"

"Maaf, bang."

"Siapa yang gangguin kamu tidur, nyamuk?" Kale mengalihkan topik.

"Maaf aku susahin selama ini," lirih Rai. "Maaf udah biarin Abang pusing sendiri ngerjain skripsi aku yang malah sibuk sedih sendiri."

"Ca udah capek kalau nangis lagi. Nanti kepala kamu pusing," balas Kale mengusap air mata adiknya. "Nggak ada yang kamu susahin, Abang seneng ngerjain skripsian kamu. Nggak papa."

Walau terlihat cuek Rai tahu semua, senang bagaimana? Kale lulusan sarjana ekonomi sedangkan yang ia kerjakan materi hukum. Melenceng jauh dari perekonomian.

Kepala Rai menggeleng-geleng. Menggenggam erat tangan abangnya. "Aku janji besok bakalan berubah, nggak mau nyusahin siapapun lagi. Janji bang janji."

Senyum Kale terbit laksamana mentari pagi, menghangatkan hati. Menarik Rai dalam dekapannya, memberikan apresiasi atas niat yang baik tersebut. "Abang bener, biru di atas nggak akan seneng liat aku sedih."

*******

Pagi cerah kali ini satu keluarga tersebut sibuk. Rai tersenyum manis melihat pantulan dirinya dikaca. "Cantik anaknya Bunda!" puji Risa yang selesai memakaikan anting.

Ia akan menghadiri acara pernikahan teman abangnya -si jawa-, tiga teman Kale dulu cukup dekat dengan dirinya.

Pujian kembali terdengar saat ia turun ke bawah, mereka tidak bohong. Kebaya warna biru tua dengan polesan make-up tipis di wajah Rai membuat kecantikannya bertambah. Betul, kebaya ini adalah kebaya wisuda yang gagal ia kenakan bersama Xabiru. Sesuai janjinya Rai akan berubah. Berdamai dengan rasa sakit.

Balas tersenyum ramah pada mereka. "Ni papa hantu yang kemayin?" iseng Aurora yang ada di gendongan Kale menggoda kakaknya.

Semua tertawa. Rai memelototi Aurora galak, mereka jarang sekali akur. "Awas kamu, kakak gigit semut!" ancam Rai, anggunnya hilang beberapa detik.

Sampai di tempat resepsi kediaman rumah mempelai Kale menarik adiknya untuk menemui Abang-abang Rai di ruangan pengantin laki-laki.

"E-yo wazap maba!" sapa Epot ramah, menyengir.

"Beuh, gila cakep bener bini gue?" goda Bule, mengedipkan satu mata.

Jawa tersenyum kalem. "Eh duduk ca, le," kata Jawa tidak kalah ramah. "Pot anjing yang bener kipasin gue, pengantin nih."

Rai terkekeh geli, teman-teman abangnya tidak pernah berubah. "Biasa aja napa Jawa nggak usah ditegasin pengantin, lo nyindir gue?" cetus Bule yang masih menyendiri.

Hal tersebut membuat tawa menggema. Dilanjut obrolan ringan tanpa membahas Xabiru sedikitpun, mereka berempat kenal Xabiru dari Xaviera. Mahasiswi yang dulu tersesat di Jakarta.

"Bang Jawa?" Rai buka suara.

"Eh kenapa, ca?" Jawa menoleh cepat.

"Tinggal di Bandung atau disini udah nikah?" Kale dan yang lain menoleh, ikut topik obrolan terbaru dari Rai. Kebetulan Jawa asli Bandung.

Topik yang Jawa langsung paham intinya. "Disini ca, Bandung emang jahat udah ngambil Mama Abang juga Najwa tapi bukan karena itu Abang nggak mau netap di Bandung, bukan. Alasannya karena Abang nyaman disini sama kalian. Orang-orang tersayang itu penguat terbesar yang kita butuhin saat terpuruk, sampe dititik kamu bisa berdamai sama kota itu baru kamu kembali, nggak usah dipaksain. Bertahap ca."

Nasihat yang telontar tulus tersebut membuat hati Rai merasakan tentram. Ia mengangguk, berterima kasih.

*******

Ketukan palu dari sang hakim memenuhi penjuru atap ruangan sidang. Khasus yang prosesnya berjalan satu bulan lebih tersebut dimenangi oleh Rai selaku jaksa pembela dari korban yang dituduh menggelapkan uang pembangunan sekolah. Terdakwa yang memberikan tuduhan tersebut adalah pelaku aslinya dan dia dijatuhi hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun (pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukup Pidana/KUHP).

Bukti-bukti yang Rai dan para timnya dapat terus dipotret oleh wartawan yang silih berganti memasuki ruang sidang. Melihat korban tuduhan menghela nafas lega membuat Rai ikut senang. Berkali-kali si korban mengucap terima kasih. Rai membalas dengan senyum ramah, menghangatkan hati.

Lulus dari Universitas Indonesia dengan pendidikan gelar S3 sarjana bidang ilmu hukum menjadikan Rai j
Jaksa terhormat yang telah banyak mengusut khusus secara adil, bijak dan dekomratis.

Juna:
Bu jaksa saya udh karatan nih. Saya jemput ksna ya?

Rai menepuk jidat, cepat membalas.

Rai:
OTWWW BOSSSS.

Sepatu pentopelnya berjalan gesit keluar gedung, ia sudah ada janji dengan 'tunangannya' yang tidak lain adalah Arjuna maharaja. Teman SMA-nya kala di Bandung.

Sedang di kejar waktupun Rai masih terlihat elegan penuh wibawa, penampilannya sudah cukup untuk di bilang anak dewasa. Potongan rambut sebahu yang diikat agar memudahkan aktivitas, tinggi tubuh yang ideal dan make-up yang lebih naik level tentunya.

"Lancar?" Juna bertanya saat Rai sudah duduk di depannya sambil meminum jus mangga yang dari tiga puluh menit lalu sudah ia pesan.

"Seperti biasanya," jawab Rai dibumbui senyum.

"Yeahh, good girl. Mau cerita?" pertanyaan tersebut yang membuat Rai banyak bersyukur, keluh kesahnya bisa ditampung oleh Juna dan dirinya. Ia mengoceh panjang lebar, rasa letihnya bekerja perlahan terkikis.

Sambil menopang pipinya menggunkan dua tangan Juna khidmat mendengarkan, merespon baik, juga ikut tertawa saat pembicaraan mulai menggelikan.

Juna berhasil mengambil hati Rai dengan membuatnya nyaman seperti ini, selama hampir jalan dua tahun menjalin hubungan keduanya jarang sekali diguncang masalah, mereka berdua sama-sama selalu saling mengerti satu sama lain dan menurunkan ego yang coba menguasai.

Omong-omong hubungan mereka tujuh hari kedepan akan naik ke jenjang yang lebih serius, yaps! pernikahan. Jadi untuk satu hari ini sebelum keduanya di larang bertemu karena ketentuan adat pernikahan mereka akan menghabiskan waktu bersama.

Berjalan-jalan keliling kota Jakarta, mencicipi segala jajajan yang ada sampai langit senja mulai terlihat. Sunset sepertinya selalu indah dimanapun itu, termasuk di taman kota yang sekarang jadi tempat pemberhentian mereka, duduk di kursi besi, menatap senja di umur mereka yang benar-benar sudah dewasa.

Kalian harus tahu tentang Juna, si laki-laki paling gantle yang Rai miliki, ia berhasil menyandang gelar lulusan S3 fakultas kedokteran umum di universitas gajah mada, Yogyakarta . Mendapatkan pekerjaan dan langsung melamar Rai ke Jakarta, percaya diri tinggi dengan semua pembekalan yang sudah ia raih susah payah, hasilnya tidak mengecewakan, Rai berhasil jatuh dalam dekapannya.

Diumur-umur remaja usia belasan tahunan yang kita sukai pastilah laki-laki seperti Xabiru yang selalu membuat jantung berdebar kencang dengan segala tindakan konyolnya tapi beranjak umur puluhan tahun percayalah laki-laki seperti Juna yang paling kita butuhkan, dia memenuhi standar sebagai pasangan hidup yang amat bertanggung jawab tinggi. Dari segi visual dan paling penting finansial.

Tangan Juna mengaitkan anak rambut Rai ke daun telinga. "Aku boleh minta sesuatu sebelum nikah?"

"Sebanyaknya," balas Juna mengunci pandangannya pada bola mata Rai.

Rai tersenyum, ada keraguan yang mencuat. Berdehem beberapa detik. "Kalau nggak mau juga nggak papa, kamu boleh nolak."

"Ra?"

"Aku nggak maksa serius, kamu boleh nolak kalau nggak mau."

Juna menggenggam tangan Rai, coba membuat tunangannya tenang. "Oke, bilang dulu apa?"

"Nanti setelah nikah kita ke Berlin ngunjungin makam biru," kata Rai takut-takut membahas hal ini. "Aku ... aku ngerasa nggak enak aja selama ini nggak pernah sekalipun kesana."

"Dan?"

"Dan?" tanya balik Rai dengan kening berkerut.

"Kamu kangen juga sama dia?" Rai balas dengan gelengan kukuh. "Mata kamu nggak bisa bohong Ra."

"Nggak, Jun. Oke jangan kesana, lupain yang----"

"Ra, hei? it's oke, kamu boleh kangen sama dia. Aku nggak marah. Kita kesana nanti ya?" potong Juna dengan nada kalem yang seperti biasanya.

Membahas Xabiru selalu menjadi topik yang membuat Rai jadi wanita paling cengeng. Ia menunduk, berkata pelan, "Jun maaf."

"Kita udah janji buat nggak terlalu banyak pake kata maaf bua hal yang nggak perlu, Ra." Juna sungguhan tidak marah, ia bahkan paham selama ini hati Rai tidak hanya terisi dirinya tapi juga Xabiru.

"Maaf aku selama ini masih cinta sama biru," kata Rai serak. Di dengar langsung ternyata lebih menusuk hati Juna.

"Ya, aku tau Ra."

"Maaf, Jun."

"Maaf kalau aku juga cemburu, Ra."

Rai mendongkak. "Maaf----"

"Dari awal aku datang ke rumah kamu buat ngelamar dari situ aku tau segala kesekuensinya kalau harus naruh hati ke kamu, termasuk yang kamu tadi bilang. Itu nggak masalah buat aku Ra, stop minta maaf. Cinta ke biru itu bukan suatu kesalahan yang harus kamu takutin," tutur Juna sangat lembut.

Seutas senyum lega mewarnai wajah Rai. "Aku nggak salah pilih calon suami," kata Rai yang mendapatkan kekehan geli dari Juna.

*******

Rutinitas Rai setiap malam sebelum tidur adalah skin care-an. Tepat selesai memakai serum wajah ada telpon, Rai berjalan ke nakas. Alisnya terangkat satu melihat panggilan dari nomer yang tidak dikenal.

Namanya Rai, gadis yang dari dulu selalu berpikir positif itu mengangkat, ia mengira rekan kerja atau temannya.

"Hallo?"

"Eh, ini siapa ya?" tanya Rai bernada santai.

Seseorang di seberang sana tersenyum tipis. "Gess Ra, geisha Amora."

Tentu repon Rai riang, Geisha adalah orang baik yang dipandang sebelah mata. "Oh hai, gimana kabarnya, gess?"

"Baik, Ra. Lo gimana?"

"Baik. Masih di Bandung? sini gess ke Jakarta."

"Lo sendiri kapan ke Bandung?" hening beberapa detik, Rai tersenyum kecut.

Ia tidak tahu bagaimana caranya berhenti sakit jika harus membahas hal yang bersangkutan dengan Xabiru.

"Ra?"

"Eh ya, gess?"

"Maaf sebelumnya," nada Geisha terdengar pelan. "Gue nggak maksud bikin lo sedih tapi--- kaya harus aja gue sampein ini ke lo."

"Apa, gess?" perasaan Rai mulai tidak enak.

"Minggu depan lo mau nikah ya sama Juna?"

Rai menggigit bibir bawah, mengangguk walau Geisha tidak dapat melihat. "Ra undang temen-temen di Bandung kok, geisha kalau bisa datang ya."

"Maaf gue nggak bisa datang Ra, ada kerjaan. Titip salam ke keluarga besar lo sama Juna ya."

Kenapa sih harus selalu ada kata maaf. Rai benci sekali seakan mereka bersalah pada dirinya. "It's oke gess, nanti Ra salamin."

Lenggang, suara derik jangkrik sayup-sayup terdengar.

"Ra...."

"Iya, Ra masih denger kok gess."

"Bisa janji jangan nangis?"

"Nangis?"

"Janji dulu Ra, biru ... biru benci lo nangis," balasnya terbata-bata.

Rai menghembuskan nafas perlahan. Mengangguk mantap. "Oke Ra janji, kenapa gess?"

Geisha menatap langit malam, tersenyum simpul sebelum bersuara. "Dulu saat di masa biru pura-pura benci sama lo dia suka merhatiin lo dari jauh, interaksi lo sama temen-temen lo tawa lo sama temen-temen lo dan hal sepele lain tentang lo. Terus dia selalu liat Juna kasih perhatian kecil ke lo, Juna selalu usaha ngehibur lo, ada saat lo butuh dan jadi orang pertama yang bantu lo berdiri saat jatoh. Biru seneng banget Ra liatnya, Juna berhasil ngelakuin tugas-tugas yang seharusnya dia kerjain. Berkali-kali dia ngucapin syukur sambil senyum bersamaan dengan itu hatinya juga sakit harus ngerelain lo sama orang lain, tapi setidaknya kebahagian Rai jauh lebih berharga dari pada kebahagiannya sendiri," paparnya serak.

Rai melupakan janjinya, ia sekuat tenaga menahan agar tangisannya tidak terdengar. "Dia selalu berharap lo nikah sama orang sebaik dan setulus Juna nanti, harapannya sekarang terkabul. Rai pantes dapetin yang terbaik, karna Ra lo inget kotak rapan? salah satu isi di dalamnya ada harapan 'tuhan jika Rai tidak bersamaku kelak sandingan lah dia dengan laki-laki yang jauh lebih baik dari ku' Tuhan denger do'anya. Percaya sama gue biru jadi orang pertama yang paling seneng saat lo nikah sama Juna. Bahagia ya Ra, bahagia sama Junanya," air mata Geisha pun ikut turun mengingat saat Xabiru berkata ia ingin Rai menikah dengan orang yang jauh lebih baik dari dirinya

"Selamat dari gue, Ra ... dan ... dan...."

"Selamat dari biru, selamat Rainya biru."

Sambungannya langsung Rai putus, ia menutup wajah menggunkan bantal dan terisak tanpa suara, dadanya langsung dipenuhi sesak.

Waktu yang berjalan sekian lama masih saja tidak membuat satupun kenangan tentang Xabiru hilang di kepalanya, melekat lengkap tak ada yang berkurang.

Padahal sudah seribu orang yang Rai jumpai, seribu tempat Rai datangi dan seribu kenangan baru yang ia buat, terkalahkan oleh satu tahun dengan Xabiru, begitu abadi membuatnya sedih dan senang secara bersamaan.

Itu juga yang sekarang menjadi titik terlemah Rai, mengingatnya akan membuat Rai menggila, semua seolah langsung gelap, ia terasa jatuh ke jurang paling dalam dan berakhir sepi, menyendiri. Rai selalu takut ada di masa itu, sangat.

Dan sekarang kembali terjadi.

Abaikan tentang skin care yang sia-sia terpakai karena jadi terhapus oleh air mata Rai. Lampu genting mulai menyala di kepala, ia bangkit lalu menepuk-nepuk dadanya sangat kencang hingga menimbulkan bunyi bedebam.

Nafasnya tercekat di tenggorokan, sesak napas ini diakibatkan oleh gejala dari gangguan psikis seseorang. Ya, mental Rai memang sudah lama terganggu semenjak Xabiru pergi.

Bunda yang ikatan Ibunya kuat mengedor-ngedor pintu Rai. Seperti punya koneksi tak kasat mata tahu anak perempuannya butuh pertolongan. "CAAAA!" Bunda berteriak sambil mendekat, mengambil alat bantu pernafasan di laci dan memakaikannya.

"ABANG! BANG ADIK MU!"

Tubuh lemas Rai jatuh di dekapan Kale. Orang yang sejauh ini sama terangnya dengan Xabiru, terang dalam artian sama-sama bisa membuat tenang.

Kondisi mental Rai yang masih seperti ini membuat satu keluarga cemas.

Bunda yang paling sakit, tengah malam selepas shalat selalu berdo'a pada Tuhan mampukan lah puterinya untuk bisa menerima kehilangan. Hanya itu.

******

Guys ini masa-masa SMA Rai sama Juna(灬º‿º灬)♡

Pas debat b.inggris(´∩。• ᵕ •。∩')

Ini first date>3

Bab selanjutnya gila bgt gila, HHHH TUNGGU YA!🤠 tugas sekolah ku numpuk:(((

Continue Reading

You'll Also Like

710K 155 2
Author note : cerita ini bakal aku unpublish dulu sementara, karena ceritanya mau aku rombak. Berhubung kontrak kerja sama udah habis, stay tune ya d...
16.8K 2.5K 41
[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒂𝒉𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒋𝒖𝒏𝒈 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒕𝒊𝒂𝒏... "Tidak perlu melirik ke kanan ata...
512K 38.6K 45
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...
6.1K 1.2K 31
Askhala Ragenthara, terkenal sebagai Mostwanted SMA GALAKSA karena kenakalannya. Banyak sekali ulah yang ia lakukan selama hampir 3 tahun di GALAKSA...