Malam yang cukup sunyi bagi kedua pasangan tanpa status ini. Mereka dikuasai ego untuk tidak berbicara satu sama lain. Marah, kesal dan kecewa bercampur hebat dalam hati keduanya.
"Dalam pandangan Agama, seseorang nggak boleh mendiamkan sesamanya. Itu dosa lho," sahut Dimas, mencoba memberikan sebuah kode agar Nisa peka padanya.
"Itu 'kan kalau udah lewat tiga hari. Ini sehari aja belum cukup!" omelnya.
"Emang harus nunggu tiga hari dulu baru ngomong? Aku suami kamu lho ini, tega kamu diamin aku malam ini sampai malam ketiga? Aku nggak enak tidurnya kalau nggak meluk kamu."
Nisa berusaha keras menahan senyumnya. "Besok nggak usah ke kantor lagi!" tuntutnya.
"Nggak bisa Sayang, aku kerja." tekannya.
"Ganti sekretaris aja kalau gitu! Suruh manajer kamu sendiri buat nyari yang cowok."
"Dalam peraturan perusahaan, sekretaris yang baru aja mulai bekerja, boss nggak bisa semaunya mencarikan pengganti tanpa ada alasan jelas."
"Bilang aja, dia dekatin suami orang."
"Urusan pribadi nggak boleh dibawa sampai ke perusahaan, Sayang. Yang ada aku malah kena demo dari karyawan."
"Terus mau gimana? Lagian kamu nggak bisa bikin jarak sama perempuan! Ngapain tadi peluk-pelukan?"
"Itu cuma melepas rindu aja, udah lama bangat nggak ketemu, dan baru ketemu lagi sekarang."
"Pokoknya aku nggak suka!" teriaknya.
"Terus mau kamu gimana?"
Nisa membuang muka acuh. "Ganti sekretaris! Jangan ketemu dia lagi."
"Aku nggak bisa nurutin permintaan kamu kali ini, Nisa. Perusahaan papa sekarang udah menurun, dan papa mempercayakan aku untuk mengurus kembali perusahaan. Makanya papa cari sekretaris baru buat dampingi aku," terangnya. Ternyata sangat sulit untuk membuat Nisa mengerti mengenai hal yang tidak seharusnya diperdebatkan.
"Kalau emang kamu nggak suka sama perbuatan aku, kamu marah sama Bella, itu hak kamu. Tapi tolong, untuk urusan kerja, kamu nggak boleh ikut campur lagi." Kali ini, Dimas sudah mulai melakukan penegasan.
Merasa lelah dan tidak ingin adu mulut lagi, Nisa menghindar dengan memilih jalan tidur. "Lanjut aja ceramahnya, aku mau tidur."
Dimas tertawa kecil. "Selamat malam." Ia lanjut memainkan alat monitornya.
Nisa berbaring di kasur empuk miliknya, ia sedikit mengangkat badan dan bertanya pada Dimas. "Kamu belum tidur?"
"Belum. Ini masih harus revisi data perusahaan," balasnya tanpa melihat ke arah Nisa.
"Jangan begadang," ingatnya. "Nggak bisa lanjut besok aja?"
Dimas memalingkan wajahnya dari layar monitor dan memandang Nisa yang sedari tadi mengajaknya bicara, entah kapan dia benar-benar akan tidur. "Papa udah ngasih tanggung jawab ini, dan harus aku selesaikan hari ini juga." Nisa lalu beranjak kembali dari pembaringannya, ini membuat Dimas kewalahan.
"Mau kemana?"
"Ngambil air," ucapnya dan berjalan meninggalkan kamar.
Dimas lanjut memainkan jari pada alat keyboard-nya. Menyadari Nisa yang mengambil air lumayan lama, Dimas menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Nisaaa," panggilnya, tapi tak ada jawaban. Ia berpikir untuk menyusul Nisa saja.
Baru melangkah empat langkah dari tempatnya, Nisa sudah menonjolkan tubuhnya di hadapan Dimas.
Berkacak pinggang. "Dari mana?"
"Lho?" Keningnya berkerut. "Dapur," ucapnya singkat, sembari mengangkat secangkir teh tepat pada bola mata Dimas, membuatnya menggelengkan kepala heran.
"Ini teh buat nemanin malam kamu, karena aku lagi nggak bisa." Ia menaruh tehnya di meja. "Ngantuk."
"Sini," tuntun Dimas. Mengajak Nisa berjalan menuju kasur. Nisa tak berkutat, ia hanya diam. Kehangatan napas Dimas begitu terasa, tubuh mereka bersentuhan sangat lekat.
Dimas berbaring perlahan, kemudian menyuruh Nisa ikut berbaring di atas tubuhnya.
"Sekarang tidur, ya," ucapnya pelan di samping telinga Nisa.
"Teh kamu, dingin lho, Mas."
"Ngapain mikirin teh? Tutup mata kamu sekarang, tidur!"
"Kerjaan kamu," ucapnya terpotong oleh Dimas.
"Husst." Dimas mengubah posisinya, kini Nisa berada di bawah tubuhnya, mendekap dan menekannya.
"Dari mana belajar keras kepala ini?" tanyanya. Ia benar-benar baru menyadari, Nisa memang sangat keras kepala. Tidak hanya di matanya, tapi juga dalam pandangan keluarga. Dan mungkin, orang lain.
"Ngapain nanyain keras kepala aku? Jangan salahin aku kalau kamu sampai ketiduran dan kerja kamu nggak kelar-kelar. Ya, Sayang." Ia mengubah posisi telentangnya dan memilih tidur menyamping. Namun tangan Dimas menahannya, ia ingin tetap pada posisi yang sama.
"Cup." Kecupan singkat sekaligus mengagetkan itu, mendarat di bibir Nisa.
"Ini untuk kamu yang banyak ngomel."
"Cup. Untuk yang banyak protes."
"Cup, untuk yang suka bikin khawatir." Jeda, "Dan, cup." Kali ini kecupan yang diberikan agak lama, Nisa memejamkan matanya. "Untuk keras kepala kamu."
"Mas,"
"Sekarang tidur ya, aku mau lanjut kerja," ucapnya yang kemudian meninggalkan Nisa yang masih terpatung, tak berkedip.
Hingga mentari menembus kaca jendela yang dibalut gorden putih nan tipis itu, cahayanya kian membangunkan dua sejoli dari alam mimpi. Posisi keduanya sangat mesra, pemandangan yang harusnya diabadikan bagi setiap pasangan.
Sepanjang malam, Dimas tidur dengan memeluk Nisa dari belakang. Tubuh mereka bertaut sangat lekat. Namun, kemesraan mereka ini harus segera diakhiri oleh tuntutan dunia dalam pekerjaan dan aktivitasnya.
Menyadari sudah pagi, Dimas membuka mata pelan. Melihat Nisa yang begitu tenang dalam dekapannya. Ia tersenyum, hormon bahagia menyelimutinya saat bersama dengan Nisa, yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun selama ini.
"Sayang." Membalik tubuh Nisa agar berhadapan dengannya. Mengecup puncak kepalanya penuh makna. Kini napas mereka saling bertemu.
"Selamat pagi," ucap Dimas kemudian, memberikan sambutan pada wanita yang entah dari mana memasuki hidupnya dalam sekejap.
"Mas." Suara khas bangun tidur itu, semakin membuat Dimas mendekap tubuh Nisa dengan erat.
"Mas, udah pagi lho ini."
"Tahu. Kenapa?"
"Bukannya mau ke kantor? Kamu siap-siap, aku bikin sarapan dulu."
"Ahh Nisa!!" Ia mendengus kesal.
"Kenapa, Mas?" tanya Nisa dengan kening yang mengernyit.
"Nanti aja, ini masih pagi bangat. Aku ke kantor dua jam lagi."
"Ya udah, aku mau masak." Nisa langsung membawa tubuhnya lari dari dekapan Dimas. Namun, Dimas menahannya untuk kembali berbaring.
"Mas." Tangan kekar itu menjalar pada pipi Nisa. Meraba wajahnya. Jari jemarinya menyentuh manis bibir milik Nisa. Perlahan mendekat, dan, "Cup." Kecupan selamat pagi lagi-lagi didaratkan padanya.
Nisa berlari kecil menghindar dari Dimas, lelaki matang itu terus aja mengganggunya. Setelah berhasil kabur pun, Dimas masih saja mengejarnya sampai ke dapur. Memeluk dari belakang dengan posisi berdiri, melingkarkan tangannya pada area perut Nisa, dan memberikan kecupan hangat pada pundaknya.
Sungguh wejangan pagi yang nikmat bagi Dimas, untuk memulai harinya kembali dengan rutinitas kantor. Entah mengapa Nisa begitu menggodanya, hatinya tenang seketika oleh keberadaan Nisa dalam setiap detik harinya. Ia seperti melupakan akan status mereka. Keduanya belum terikat pernikahan, tetapi harus hidup bak pasangan suami istri.
Hai, maaf untuk part yang agak anu ini. Wkwk, ini dibutuhkan dalam hubungan. Tapi bagi yang sudah halal, ya! Agar feel-nya lebih dapet, hehe.