š“š‡š„ š”šš–š€šš“š„šƒ š„š‚ļæ½...

By plethcra

82.2K 8.6K 6.4K

ā š‘–š‘” š‘–š‘  š‘š‘œš‘”ā„Ž š‘Ž š‘š‘™š‘’š‘ š‘ š‘–š‘›š‘” š‘Žš‘›š‘‘ š‘š‘¢š‘Ÿš‘ š‘’ š‘”š‘œ š‘“š‘’š‘’š‘™ š‘’š‘£š‘’š‘Ÿš‘¦š‘”ā„Žš‘–š‘›š‘” š‘ š‘œ š‘£š‘’š‘Ÿš‘¦ š‘‘ļæ½... More

š“£š“±š“® š“‘š“®š“°š“²š“·š“·š“²š“·š“°
š“£š“±š“® š“š“²š“°š“±š“½š“¶š“Ŗš“»š“®
š“£š“±š“® š“Ÿš“®š“·š“¼š“²š“暝“®
š“£š“±š“® š“£š“®š“¼š“½š“Ŗš“¶š“®š“·š“½š“Ŗš“»š”‚
š“£š“±š“® š“›š“²š“«š“»š“Ŗš“»š”‚
š“£š“±š“® š““š“Ŗš“»š““ š“œš“Ŗš“»š““
š“£š“±š“® š“’š“±š“»š“²š“¼š“¶š“Ŗš“¼š“½ š“Ÿš“Ŗš“»š“½š”‚
š“£š“±š“® š“„š“²š“Ŗš“µ
š“£š“±š“® š“š“¼š“½š“»š“øš“·š“øš“¶š”‚ š“£š“øš”€š“®š“»
š“£š“±š“® š“š“¼š“¼š“Ŗš“¼š“²š“·š“Ŗš“½š“²š“øš“·
š“£š“±š“® š“’š“øš“·š“Æš“¾š“¼š“²š“øš“·
š“£š“±š“® š“”š“·š“­ š“øš“Æ š“£š“±š“® š“‘š“®š“°š“²š“·š“·š“²š“·š“° [š˜±š˜¢š˜³š˜µ.1&2]
š“£š“±š“® š“”š“®š“暝“®š“»š“¼š“®
š“£š“±š“®(š“²š“») š“”š“·š“­(š“²š“·š“°)

š“£š“±š“® š“œš“²š“¼š“¼š“²š“øš“·

3.7K 512 186
By plethcra

*ೃ༄ 𝓣𝓱𝓮 𝓤𝓷𝔀𝓪𝓷𝓽𝓮𝓭 𝓔𝓬𝓵𝓲𝓹𝓼𝓮 .ೃ࿐

𝐄𝐩𝐬. 𝟎𝟕



















SEJAK MALAM ITU, malam dimana mereka menemukan kembaran vanishing cabinet, mereka terus berupaya untuk memperbaikinya. Segala cara mereka lakukan, segala objek mereka gunakan. Namun, lemari itu tak kunjung berfungsi.

Draco Malfoy. Pemuda bersurai pirang platina itu kini terduduk di atas lantai kamar mandi yang dingin. Keadaannya kacau. Netra nya merah sembab, surainya berantakan, bahkan terlihat air mata mengering di kedua pipi pucatnya. Ia menyender pada dinding, tangannya memegangi sebuah botol kaca. Disisinya, terduduk si hantu penghuni kamar mandi, Moaning Myrtle, yang hanya bisa membisu menatap Draco antara nanar dan risau.

Akhir-akhir ini, seringkali Draco mendatangi kamar mandi perempuan di lantai dua. Bukan untuk menuntaskan panggilan alam atau hal-hal yang lain, melainkan pemuda ini datang untuk melepas semua beban di bahunya. Sesekali, ia datang dengan membawa sebuah botol ditangannya. Sama seperti di saat ini.

"Don't ... tell me what's wrong ... i can help you,"

Hanya Elizabeth ---Draco memanggilnya demikian--- yang bisa dengan leluasa Draco tumpahkan emosinya.

"No one can help me." Ekspresi wajah Draco kosong, layaknya seseorang yang putus asa. Ia meneguk kembali isi dari botol kaca yang berada di genggamannya.

"I can't do it ... It won't work. And unless I do it soon, he says he'll kill me ..."

Di penjuru kastil Hogwarts yang lain, terduduklah [name] diatas ranjangnya. Menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya diatas lipatan tangannya. Coco ia letakkan di sisinya.

"Cookie ... jangan menangis dong ... lihat, aku jadi ikut menangis ..."

Menangis dalam diam. Itulah yang [name] lakukan di tengah malam buta seperti ini. Berusaha untuk tak mengeluarkan suara terlalu keras mengingat Susan dan Hannah tertidur di ruangan yang sama.

"Aku takut, Coco. Aku takut Draco dan kami semua mati ... aku tidak mau ..."

Seringkali dirinya berkata-kata untuk menenangkan Draco, menyembunyikan perasaan frustasinya yang sebenarnya sama besarnya dengan Draco, berusaha untuk terlihat baik-baik saja dan tetap menebar senyum pada orang-orang disekitarnya. Namun siapa sangka, gadis Pelahap Maut termuda itu seringkali menumpahkan emosinya secara diam-diam seperti ini.

Tugas ini benar-benar berdampak pada kesehatan jiwa dan fisik mereka berdua, Draco dan [name]. Mulai dari turunnya berat badan, kulit yang memucat, sampai kantong mata yang tercetak jelas dibawah mata.

Semuanya menjadi buruk. Sangat buruk.

"I'm tired, Elizabeth."

"I'm tired, Coco."



















✧༺ 🌕 ༻✧



















Jika tidak mau mati, mereka harus keluar dari keterpurukan dan terus melakukan pergerakan, bukan?

"Kau yakin akan memberi kalung ini pada Dumbledore?" [name] menatap kotak berisi kalung itu takjub. Motifnya yang cantik membuat [name] tertarik ingin menyentuhnya.

"Jangan sentuh." ujar Draco yang berhasil membuat [name] menghentikan tangannya.

[name] menatap Draco bingung. "Kenapa?"

"Kau sentuh, kau mati." terang Draco dingin seraya menjauhkan kotak berisi kalung yang ia beli di Borgin and Burkes itu dari [name] dan menutupnya.

"O-oh," [name] menarik kembali tangannya.

"Jadi, apa rencananya?" [name] memulai kembali perbincangan.

Ditataplah gadis itu oleh Draco. "Madam Rosmerta. Kita akan menggunakannya."

Dengan itu, [name] memasang wajah serius sudah siap untuk menyimak. Menunggu Draco melanjutkan perkataannya.

"Aku akan menyihirnya dengan kutukan imperius hingga bersedia mengantar paket ini pada Dumbledore."

Hati [name] sedikit mencelos mendengarnya. Sudah jelas kutukan itu adalah salah satu dari kutukan tak termaafkan. Yang mana itu dilarang dan diharamkan oleh Kementrian Sihir. Namun, [name] tetap berusaha untuk mengerti. Ia juga mungkin harus membiasakan diri dengan ketiga kutukan tak termaafkan itu yang mungkin akan sering ia dengar kedepannya. [name] seorang Pelahap Maut sekarang.

[name] mengangguk paham. "Dan, tugasku?"



















✧༺ 🌕 ༻✧



















The Three Broomsticks. Secara terpisah, Draco dan [name] pun masuk ke dalamnya. Tak secara bersamaan, tentu mereka masih tetap ingin mempertahankan kerahasiaan hubungan mereka. Anggaplah mereka tak saling mengenal dan, kau tahu, mind their own bussiness.

[name] lebih dulu berjalan masuk, mendekat ke ruangan Madam Rosmerta. Ia pun mengambil duduk di kursi meja tepat di samping pintu ruangan Madam Rosmerta.

Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Menunggu momen yang tepat untuk sang pemimpin tugas melancarkan aksinya.

Merasa keadaan telah aman, [name] pun memberi kode pada Draco yang tengah berdiri di dekat tangga. Ibu jarinya terangkat sebagai kode, sedangkan arahan matanya berpura-pura memandangi pemandangan sekitar, sengaja tak beradu pandang dengan Draco.

Telah mendapat ibu jari sebagai kode, Draco pun mulai menjalankan tugasnya. Dengan langkah cepat Draco berjalan dan memasuki ruangan Madam Rosmerta.

Setelah Draco menutup pintu, [name] menghela nafasnya lega. Tugasnya sekarang hanya menunggu dan mengawasi keadaan sekitar.

Tak berselang lama, tiba-tiba seseorang datang menghampiri dan mengetuk pintu ruangan Madam Rosmerta.

Tok tok tok.

"Rosmerta."

Sontak [name] menoleh kearahnya.

Tok tok tok.

"Rosmer-"

"Professor Slughorn." Slughorn hendak membuka kenop pintunya, dengan cepat [name] beranjak dari kursi. Hingga berhasil membuat Slughorn menghentikan aksinya.

Slughorn menoleh. "Ms. Eclipse." sapanya dengan senyuman yang, lumayan aneh. Pandangan [name] beralih pada gelas yang berada di genggaman Slughorn. Rupa-rupanya, Professor tua itu sedang dalam keadaan mabuk.

"Mencari Madam Rosmerta, sir?" [name] tersenyum ramah ---sedikit kaku.

"Iya, iya. Aku mencarinya." Slughorn menjawab.

"Sayang sekali, baru saja aku melihat Madam Rosmerta pergi keluar." [name] memasang wajah menyesalnya.

"Oh, benarkah? Kurasa aku tidak melihatnya tadi." Slughorn celingukan.

"I-iya, itu, lewat pintu belakang." Demi Merlin, [name] mulai grogi sekarang.

"Oh, begitu ... baiklah." Slughorn akhirnya paham. Dalam hati, [name] sungguh merasa lega. Sekarang, ia harus memikirkan bagaimana caranya agar Slughorn cepat-cepat pergi dari sini agar tak melihat Draco keluar dari ruangan Madam Rosmerta.

"Ah, Ms. Eclipse, ngomong-ngomong kau ada di depanku,"

Bukannya pergi, Slughorn malah mengajak [name] berbincang.

"Dulu, aku biasa mengadakan pesta makan malam,"

Seketika atensi [name] teralihkan oleh hal yang dibelakangi oleh Slughorn, yaitu; pintu ruangan Madam Rosmerta yang kini terbuka pelan. Dari celah pintu, bisa [name] lihat itu Draco. Artinya, Draco telah selesai dengan tugasnya.

Tapi, bagaimana ini? Slughorn harus cepat-cepat pergi dari sini.

"Memilih satu atau dua murid,"

[name] mengode pada Draco, tangannya ia kibas-kibaskan kecil. Sedangkan tatapan matanya masih sepenuhnya menyimak Slughorn.

Dengan itu, Draco pun kembali menutup pintu dengan hati-hati agar Slughorn tak dapat mendengar suara pintunya.

"Maukah kau menghadiri pesta makan malamku?" akhir Slughorn.

"O-oh, tentu, sir. Sebuah kehormatan untukku." Well, [name] hanya asal menerima saja. Yang penting Slughorn cepat pergi.

"Bagus! Cari burung hantu ku." ujar Slughorn senang dan akhirnya ia berlalu pergi. Entah yang keberapa kalinya [name] menghela nafas lega, namun kini ia melakukannya lagi.

Setelah mengecek keadaan, [name] pun bergegas membuka pintunya.

"Aman. Ayo cepat pergi,"

Dengan itu, Draco langsung melangkahkan kakinya cepat keluar dari ruangan Madam Rosmerta. Berikut dengan [name] yang menyusul di belakang.

Mereka berhenti sebentar kala baru saja keluar dari bangunan tua itu sebelum berpisah melakukan aktivitas masing-masing.

"Bagaimana?"

"Sesuai rencana." Draco menjawab, tak menatap [name].

"Syukurlah,"

Sekarang, mereka hanya bisa berharap. Berharap bahwa upaya mereka ini berbuah manis.

Well, apa pantaskah kematian disebut hal yang 'manis' ?



















✧༺ 🌕 ༻✧



















"Bagaimana dengan Nenekmu, Ms. Eclipse? Apa beliau masih sering meminum teh vanilla dengan kue jahe di sore hari?"

"Yes, sir. Bagaimana bisa anda tahu?" [name] terbingung. Itu cemilan favorit Madeline.

"Ah, pastinya aku tahu. Dulu Madeline teman dekat ku." Well, mantan pacar, lebih tepatnya. Pada masanya, Madeline Bennet adalah primadona.

"Oh, begitu." [name] mengangguk pelan.

"Bagaimana denganmu, Ms. Granger? Apa yang keluargamu lakukan di dunia muggle?"

"Orang tua ku adalah dokter gigi." Semua menatapnya heran.

"Mereka menangani gigi orang-orang." sambung Hermione.

"Menarik. Apakah itu termasuk pekerjaan berbahaya?" tanya Slughorn polos.

"Tidak. Meskipun begitu, seorang anak bernama Robby Fenwich, pernah menggigit ayah ku sekali. Dia butuh sepuluh jahitan." Hermione terkekeh berusaha agar ceritanya tak terdengar aneh.

Suasana canggung seketika teralihkan oleh kedatangan Ginny Weasley.

"Ah, Ms. Weasley. Mari, mari." sambut Slughorn.

"Maaf, aku tidak biasanya terlambat." Ginny hendak mengambil duduk di sebelah [name], tiba-tiba, Harry ikut berdiri. Suasana canggung kembali melanda. Namun tidak bagi [name] yang kini tersenyum kecil pada Harry.

"What?" tanya Harry tanpa suara kala dirinya dan Ginny telah terduduk di kursi masing-masing.

"Nothing." [name] menggeleng, tak melunturkan senyum kecilnya.

Merasa ditatap, [name] mengalihkan pandangan dari Harry. Rupanya, Cromac McLaggen, tengah memandangi dirinya seraya mengemuti jari kelingkingnya. Dengan itu, [name] memalingkan wajahnya.

Dan, pesta makan malam pun akhirnya selesai. Cukup membosankan bagi [name], sebenarnya. Ditambah lagi dengan Cromac McLaggen yang setia memandanginya disepanjang acara.

"Bye, bye." Slughorn melambai.



















✧༺ 🌕 ༻✧



















Pagi ini [name] terduduk di meja Gryffindor. Sepupunya, Harry, yang meminta.

"Dimana Ron?" tanya [name] kala baru saja mendaratkan bokongnya pada kursi panjang Gryffindor.

"Sedang bersiap untuk tanding Quidditch hari ini." Harry menjawab.

[name] ber-oh-ria, mengangguk paham. "Jadi, mau bicara apa, Harry?"

Harry meminta [name] duduk di meja Gryffindor karena ada yang ingin Harry bicarakan pada sepupunya ini.

"Kau jadi jarang terlihat." ujar Harry penuh makna.

"Maksudmu?" [name] memasang wajah heran, padahal hatinya, tak tenang. Takut-takut sang sepupu mengatakan sesuatu yang tak bisa ia balas.

"Ya ... kau jadi jarang terlihat dan jarang bergabung dengan kami."

Uh-oh. [name] tak punya balasan untuk itu.

"Matamu kenapa?" tanya Harry menyadari.

"Tidak kenapa-napa. Mione, ini milikmu?" [name] melempar pandangannya pada gadis berambut semak yang terduduk disebelah Harry. Tangannya menunjuk buku bersampul menarik yang tergeletak diatas meja panjang.

Hermione yang sedari tadi membungkam, tersenyum sedikit kaku. "Ya. Itu milikku."

Sedari tadi, pikiran Hermione tak menentu. Ia bingung bagaimana harus menyikapi [name] ---maupun Draco--- di saat ini.

"Aku suka sampulnya." puji [name] tersenyum, menghindari tatapan Harry.

"Terima kasih. Ini hadiah natal ku tahun kemarin."

"Benarkah? Dari siapa?"

Hermione terdiam sejenak. "Dari seseorang." Ia tersenyum kaku.

"O-oh, begitu," [name] paham, Hermione tak ingin menyebutkan nama pengirimnya.

"[name]." panggil Harry, meminta kejelasan.

Terpaksa, [name] kembali menatap Harry. "Iya?"

"Ada apa denganmu akhir-akhir ini?" Harry mulai menatapnya menelisik. Pasalnya, sepupunya akhir-akhir ini menjadi aneh. Pernah suatu waktu Harry menanyakan keberadaan [name] pada Susan, namun, Susan bilang tidak tahu.

"Tidak ada apa-apa denganku, Harry." [name] berusaha meyakinkan.

Harry tak ingin mencecar, maka dari itu ia terdiam, namun matanya setia menatap [name] menelisik. Harry merasa, ada yang disembunyikan dari sepupunya ini.

Sepertinya lebih baik untuk [name] kembali ke meja Hufflepuff. Hatinya makin tak tenang saja kala Harry terus menatapnya seperti itu. Baru saja [name] ingin berpamitan,

"[name]."

Mau tak mau, [name] menunda pamitannya. "Iya?"

"Aku mau bertanya sesuatu," Hermione ragu-ragu.

"Um, boleh, tanyakan saja."

Pertanyaan apa yang paling baik untuk saat ini? Pasalnya, Hermione belum mendapat bukti lebih lanjut.

Tidak. Hermione tidak akan bertanya atau berkata apapun perihal yang ia lihat di malam itu sebelum ia mendapat bukti lebih lanjut, dan tentunya harus yang lebih jelas. Untuk saat ini, Hermione akan membungkam terlebih dahulu.

"Bertanya apa, Mione?" [name] bingung. Hatinya lagi-lagi dibuat tak tenang, takut-takut Hermione akan menanyakan hal-hal semacam Harry tadi.

Hermione tersadar. Lantas menggeleng, lagi-lagi, tersenyum kaku. "Tidak jadi. Lupakan saja."

"Oh ... baiklah." [name] mengangguk saja meski bingung.

"Harry, Mione, sepertinya aku harus kembali ke meja Hufflepuff."

Harry mengangguk, masih dengan wajahnya yang seperti berusaha untuk membaca pikiran [name]. Hermione pun ikut mengangguk.

[name] tersenyum ---agak sedikit canggung. "Bye,"

[name] pun beranjak dari duduknya dan berbalik.

"Hi, Ron."

"H-hi, [name]." balas Ron yang baru saja sampai, dalam kondisinya yang grogi.

"Semangat untuk pertandingan nanti."

"T-thanks."

Setelah membalasnya dengan senyuman, [name] pun berjalan sedikit, dan, sampai di meja Hufflepuff.

Well, meja Hufflepuff dan Gryffindor hanya berjarak sekitar tiga sampai lima langkah.

[name] pun mengambil duduk disamping Susan seperti biasanya. "Susan," sapanya.

"Benar kata Harry." ujar Susan tiba-tiba.

[name] mengerutkan alisnya pada Susan, sementara tangannya meraih gelas berisi air. "Benar apanya?"

"[name], kau kenapa akhir-akhir ini?"

Sungguh, sepertinya [name] harus menjauh dari orang-orang seperti yang Draco lakukan agar tak selalu ditanyai hal-hal yang seperti ini.



















✧༺ 🌕 ༻✧



















"Sekali-sekali kau harus ikut aku dan Draco ke ruang kebutuhan, Co."

"Huh? Kenapa memangnya?"

"Ya ... kau bisa jadi kelinci percobaan kami. Kau, 'kan, kelinci."

"Seenaknya saja. Tidak mau. Awas kalau kau membawa ku kesana." ketus Coco.

"Memangnya kau bisa mengancamku apa?" [name] terkekeh kecil.

"Aku akan menjadi boneka biasa se-la-ma-nya."

"Eh? Bukannya kau memang boneka biasa?"

Krieeeet.

Mendengar pintu kamar terbuka, [name] pun menoleh.

"Susan, Hannah." [name] tersenyum simpul.

"[name]." Susan dan Hannah membalas.

"Kenapa tidak menonton Quidditch?" Hannah bertanya. Mereka baru saja kembali dari lapangan Quidditch.

"Itu, tadi kakiku pegal. Jadi, siapa yang menang?"

Hannah mengangguk paham, meski, agak kurang yakin. "Gryffindor, tentunya."

Malam tiba. Kebanyakan murid Hufflepuff kini tengah bersantai dan menghangatkan diri di common room.

Sedangkan [name], ia berada diluar asrama. Melangkahkan kakinya menaikki satu-persatu anak tangga menuju ke tempat tujuannya, hendak melihat salju turun secara langsung, katanya. Alibi. Yang sesungguhnya, [name] hanya ingin menghindari interaksi dengan teman-teman sebayanya.

[name] melangkahkan kakinya menaikki sekitar 5 anak tangga lagi. Dan akhirnya, [name] pun sampai di tempat tujuan. Menara Astronomi.

Melihat keberadaannya seseorang, bahu [name] merosot. Sangat disayangkan, tak jadi ia mendapat ketenangan dan kesendirian. 

Tunggu, tunggu. Dari postur tubuh dan surai iconic nya, sepertinya [name] kenal betul siapa dia---

"Draco?" panggil [name] tak percaya. Pasalnya, pemuda yang terduduk di anak tangga itu terlihat seperti ... berantakan.

Terpanggil, pemuda itu pun menoleh. Sungguh sial. Berniat mendapatkan ketenangan dan kesendirian, ia malah di 'pergoki' seperti ini.

"Pergi." Draco kembali menolehkan wajahnya tak peduli, tak lagi menatap seseorang yang datang yang ia kenali sebagai istri yang tak dicintainya. Draco pun kembali menenggak isi dari botol kaca itu.

Sungguh [name] masih tak percaya melihat Draco dalam kondisi berantakan seperti ini, seperti seseorang yang putus asa. Draco sedang tak baik-baik saja sekarang, mana mungkin [name] bisa pergi. Keputusan akhirnya, [name] melangkahkan kakinya pelan menghampiri dan terduduk disisi Draco.

"Kubilang pergi." Tatapan mata dan nada bicara Draco khas sekali orang mabuk.

"Kalau kau butuh teman bicara, ada aku disini." [name] sedikit menyunggingkan senyumnya.

Draco sedang tak berselera untuk menyingkirkan [name] dari sisinya, jadi, biarkan saja. Toh, Draco tak peduli. Ia kembali menenggak minumannya, menatap kosong hamparan langit gelap berhias salju didepannya.

"Firewhiskey, ya? Dapat darimana?" [name] memiringkan kepalanya menatap Draco. Well, [name] tak berharap Draco akan membalasnya. Ia sudah biasa diacuhkan.

"Blaise." Cukup lama hening, Draco akhirnya memutuskan untuk membuka suara.

[name] tersenyum, senang karena Draco ternyata membalasnya. "Oh, begitu ... untuk apa kau meminumnya?"

"Menenangkan diri." Draco menjawab dingin. Lagi-lagi tak menatap netra lawan bicaranya.

[name] mengangguk paham. Setelah itu, suasana hening.

"Kau tahu, Draco, Madam Rosmerta menitipkan paketnya pada Katie Bell."

Menyangkut tugasnya, akhirnya Draco pun menoleh, menatap gadis yang terduduk disisinya.

Mendapat atensi, [name] tersenyum sebentar. "Madam Rosmerta bilang, dia ada urusan."

"Tahu darimana?" Draco berkata tanpa ekspresi.

"Aku melihat Madam Rosmerta menyerahkan paketnya pada Katie."

Draco mengangkat alisnya. "Dia berhasil?"

"Hm?"

"Bell. Dia berhasil mengantarkannya?"

[name] mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Setelah itu aku langsung pergi."

Mendengarnya, Draco mendengus. Lagi-lagi, keadaan kembali hening. Draco kembali menenggak minumannya. Dan [name] hanya setia menatapnya, tak melarang ataupun berkata apapun perihal sebotol firewhiskey itu.

Hal itu membuat Draco sedikit terheran. Terakhir kali Hermione mendapatinya tengah mabuk dengan teman-teman Slytherin -nya di tahun kemarin, Hermione melarangnya, mengomelinya habis-habisan hingga merajuk beberapa hari. Lantas, kenapa [name] tidak?

"Natal tahun kemarin, kau menghadiahi Hermione buku, ya?"

Draco berdeham sebagai jawaban. "Hm."

Sudah [name] duga.

"Manis sekali. Aku bahkan tidak tahu Hermione menyukai novel mitologi seperti peri."

"Kau tidak mengenalnya jauh." Draco menyenderkan tubuhnya pada anak tangga dibelakangnya.

"Ya, mungkin. Aku hanya mengenal jauh Susan."

"Kau tahu, aku masih tidak menyangka bahwa kau dan Hermione ... berkencan. Setahu ku kalian tidak saling menyukai." [name] beralih sebentar menatap lantai.

"Sejak kapan kalian berkencan?" Kini [name] kembali menatap Draco.

"Tahun ketiga." Draco tak mengalihkan pandangannya dari pemandangan langit gelap bersalju didepannya.

"Awalnya Hermione menemani si bodoh Hagrid membawaku ke Hospital Wing." Nada bicaranya terdengar seperti melantur, padahal, tidak. Kesadaran dan pikiran Draco masih ada dalam tubuhnya. Hanya saja nada bicaranya jadi berbeda seperti itu.

"Waktu tragedi kau dicakar Buckbeak?"

"Hm."

"Manis sekali." [name] sedikit menyunggingkan senyumnya.

Tiba-tiba, Draco menghela nafas berat. Tak lagi menyender pada anak tangga dibelakangnya. "Aku tak pernah lagi mengajaknya bertemu."

Entah pengaruh alkohol atau bagaimana, tak salah Draco menguak hal itu pada ... [name]?

[name] sendiri pun sedikit tak percaya Draco mengatakan hal itu padanya. Namun ia pernah dengar dari sang Kakek, bahwa sebagian orang mabuk akan berani mengambil resiko dan berkata jujur. "Kenapa?"

"Menghindari cecaran pertanyaan." Draco kembali menenggak minumannya.

"Benarkah? Kalau begitu, kita sama."

Tengah menenggak minumannya, pupil Draco melirik kesamping menatap [name] dari ujung matanya.

"Aku juga tak ingin orang-orang mencecariku pertanyaan. Maka dari itu, aku sering berdiam diri di kamar."

Apa? Draco pun juga seperti itu. Kalau tidak di kamar, Draco akan berdiam di kamar mandi lantai dua, ataupun di Menara Astronomi seperti saat ini.

"Aku mulai menghindari semua orang. Mengikutimu."

"Tidakkah kau merasa kesepian?" Kini Draco sempurna menatap [name] dengan tatapan mata khas orang mabuk -nya. Bila [name] bilang ia mengikutinya, apa [name] juga merasakan kesepian seperti dirinya? Draco hanya ingin tahu saja.

"Hmm, terkadang. Tapi aku punya Coco."

"Apa bagusnya boneka jelek seperti dia?" Sungguh, Draco tak habis pikir. Boneka usang itu terlihat lebih cocok berada di tong sampah daripada di sofa kamarnya di Manor.

"Dia boneka pemberian Mother."

Mendengarnya, Draco mengangkat alisnya. Pantas saja. [name] terlihat begitu sayang pada boneka jelek itu. Bahkan, bila Draco bangun lebih dulu ---di Manor--- tak pernah Draco dapati [name] tak tidur memeluk bonekanya.

"Oh, ya. Grandma bilang, waktu kita kecil, kau sempat dititipkan pada Mother."

"Aku tidak ingat." Draco menyahut-nyahut saja.

"Aku pun begitu. Aku juga tidak ingat wajah Mother dan Father. Mereka 'kan meninggal di umur kita yang masih satu tahun,"

Meskipun tak begitu sempurna, Draco masih beruntung memiliki orang tua yang lengkap, tidak seperti [name] yang ditinggal oleh kedua orangtuanya sedari batita.

"Grandma bilang, Mother memberikan Coco pada saat aku berumur dua minggu."

"Mother juga yang memberi nama Coco. Katanya, itu nama kelinci peliharaan Mother waktu kecil."

Entah mengapa, Draco agak merasa berkenan dengan percakapan tak pentingnya dengan gadis ini. Ternyata, rasanya menyenangkan juga memiliki teman bicara sungguhan.

"Kau sendiri, punya teman bicara?" [name] melempar pertanyaan. Rasa-rasanya ia terlalu banyak bercerita tadi. [name] takut Draco tak suka mendengarnya.

Alih-alih menjawab, Draco malah tak bergeming. Hening lagi sejenak sebelum,

"Elizabeth."

[name] kira Draco akan menyebutkan entah itu Zabini, Nott, atau mungkin Crabbe dan Goyle. Namun sebaliknya, Draco malah menyebutkan nama perempuan. Dan [name] rasa ia tak kenal dengan gadis si pemilik nama Elizabeth itu.

"Dia selalu mendengarkan."

Wajah [name] berubah masam. Ia juga bisa mendengarkan. Kenapa harus pada perempuan lain kalau kau punya istri yang siap mendengarkan keluh kesahmu?

Draco menoleh sekilas menatap [name] yang gantian tak bergeming -nya. Jelas dari wajahnya, [name] terlihat cemburu. "Kenapa kau?"

[name] tersadar. Ia menggeleng cepat. "Tidak kenapa-napa."

Draco mengangkat alisnya. Dua detik kemudian ia kembali beralih menatap pemandangan didepannya.

"Draco,"

"Hm."

"Aku tahu yang lebih menenangkan dari firewhiskey."

[name] beranjak dari duduknya. "Sini." Kemudian ia berjalan menuju pagar pembatas.

Merasa tak diikuti, [name] berbalik. "Sebentar saja,"

Draco berdecak malas, ia menaruh botolnya, beranjak dari duduknya lalu berjalan sedikit gontai menghampiri [name] di pagar pembatas.

"Mau apa?"

"Ulurkan tanganmu." pinta [name], namun Draco diam saja dan malah menatapnya antara bingung dan aneh.

"Seperti ini." [name] meraih tangan kanan Draco, dan mengulurkannya kedepan hingga tangan Draco menyentuh salju yang turun.

[name] tersenyum lembut, ia pun ikut mengulurkan tangannya. "Dinginnya salju bisa membuatmu merasa tenang dan damai."

Awalnya Draco tak percaya, namun, kulit pucatnya yang bersentuhan dengan snowflakes yang turun lama-lama membuat suasana hati Draco merasa sedikit lebih tenang, se-tenang salju. Ditambah lagi dengan pemandangan hamparan langit gelap dan keadaan yang hening, membuat suasana semakin khidmat menenangkan pikiran.

Mereka memejamkan mata. Menikmati keheningan yang tercipta. Bersama-sama. Melupakan kejadian buruk yang menimpa mereka berdua.

Sederhana, tapi bermakna. Setidaknya malam ini Draco sedikit melupakan rasa tak suka -nya pada gadis yang telah merusak alur hidupnya ini.























༶•┈┈☾ 𝐓𝐡𝐞 𝐔𝐧𝐰𝐚𝐧𝐭𝐞𝐝 𝐄𝐜𝐩𝐥𝐢𝐬𝐞 ☽┈┈•༶

Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 834 6
āI'm down for the count.āž Bahkan semua yang ia sebut kekurangan tidaklah kurang bagi pemuda surai ambar. āŒ— Ron Weasley x Female!Reader Post 2nd W...
262K 37.1K 52
[C O M P L E T E D] Cover by: @chaoticimpulse [Name] Gracious. Seorang murid Gryffindor yang disukai oleh 2 pangeran dari 2 asrama berbeda. Jadi, sia...
132K 14K 57
FREEN G!P/FUTA ā€¢ peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
994K 144K 61
[Celine Story] Dibalik sifatnya yang ketus, ceplas-ceplos, dan ucapan yang keluar selalu sadis dari mulutnya. Celine termasuk golongan orang-orang bu...