Am I Antagonist?

Από luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... Περισσότερα

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

tiga puluh empat

47.1K 6.1K 695
Από luckybbgrl

Pada akhirnya usaha Rea menampilkan yang terbaik bahkan sampai membuat kakinya sakit lagi sia-sia. Pensi kelas mereka tidak menang bahkan masuk tiga besar pun tidak. Berbeda dengan kegagalan mereka, Vanya dan Agam menjadi best-couple dalam perlombaan fashion show.

Tentu saja mereka nampak cocok bersama. Mereka sama-sama merupakan pemeran utama dalam novel, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu.

Sebenarnya ia tidak pernah mengharapkan menang karena dari awal ia hanya fokus pada prinsipnya, yang penting tampil dengan percaya diri. Tapi entah kenapa ia tetap merasa kecewa saat tahu bahwa usahanya sia-sia.

Tingg

Suara notifikasi yang berasal dari handphone-nya mengalihkan perhatian gadis itu. Kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat notifikasi pesan whats app dari Bara, dengan cepat ia membukanya.

jadi kan?

ya jadilah

udah siap kan?

udah

oke
gue otw

iya

cuek bgt

iya baraa

tunggu ya cantik

"IH ANJIR!" Rea memekik setelah membaca pesan balasan terakhir dari Bara. Tubuhnya yang tadi duduk di pinggir ranjang merosot ke bawah dengan senyuman lebar di bibir.

Rea mengangkat handphone-nya lagi yang layarnya masih membuka room chat-nya dengan Bara, membaca lagi balasan terakhir cowok itu.

"BUSET, GAK KUAT GUE!!" Rea membalikkan tubuhnya menghadap ranjang dan memukul-mukul kasurnya berkali-kali.

Gadis itu menghentikan tingkahnya, mulai berdiri dan melangkah ke depan cermin untuk mematut penampilannya hari ini sekali lagi. Celana jeans dan kaos berwarna krem berbalut kemeja kebesaran bermotif kotak-kotak dengan rambut tergerai bebas.

Rea yang melihat anakan rambutnya sedikit berantakan merapikannya dengan cepat sambil maju agar lebih dekat dengan kaca. Setelah puas merapikan rambutnya, gadis itu juga menoleh-nolehkan kepalanya dengan tatapan terfokus di cermin untuk memperhatikan riasannya.

"Udah cakep," ucapnya diakhiri tersenyum ke arah pantulan dirinya sendiri saat sudah merasa puas dengan penampilannya.

Ia tidak ingin terlihat seperti gembel di depan Bara.

Kemudian Rea langsung berjalan ke arah kasurnya lagi untuk meraih tas selempangnya, meyampirkan tali tasnya ke pundak dan mulai berjalan ke luar kamar menuju ruang tamu untuk menunggu Bara.

Tidak menunggu terlalu lama, suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Dengan segera ia berdiri dari duduknya.

"BI IMAH, REA BERANGKAT DULU!" teriakan gadis itu menggelegar memenuhi seisi rumah. Kakinya yang belum sepenuhnya sembuh itu melangkah pelan keluar dari rumah setelah mendapat sahutan dari Bi Imah.

Dengan susah payah Rea harus menahan senyumannya saat menyadari Bara menunggu di samping mobilnya sambil menatap ke arahnya. Ia tidak boleh terlihat senang ataupun bahagia di hadapan cowok itu, harus terlihat biasa aja.

"Nunggu lama?" tanya Rea begitu jarak keduanya telah dekat.

"Enggak," Bara menggeleng pelan. "Berangkat sekarang?" tanya cowok itu sambil menaikkan kedua alisnya, Rea mengangguk sebagai jawaban. "Yaudah, masuk gih!" Bara memberi kode pada gadis itu dengan gerakan kepala agar segera masuk ke dalam mobil.

Bara langsung memutari mobil dan duduk di jok kemudi, Rea yang melihat cowok itu masuk sendiri tanpa membukakannya pintu seperti biasanya melongo dengan kening berkerut.

"Dih, anjir. Kemarin-kemarin aja perhatian, sekarang begitu. Awas aja," gerutunya dengan raut wajah kesal sebelum akhirnya membuka pintu penumpang bagian belakang. "Ayo Pak, jalan!" ucap Rea memerintah saat ia sudah duduk di jok belakang dan menutup pintunya.

Selamat menjadi supir hari ini, Bara!

"Kok gak jalan-jalan, Pak?" Rea menaikkan kedua alisnya menatap heran yang dibuat-buat ke arah Bara yang menoleh ke arahnya bingung. Cowok itu mengerutkan keningnya kesal saat melihat Rea tampak merasa tidak bersalah. Bisa-bisanya gadis itu duduk di jok belakang seolah-olah sengaja menjadikannya supir. Bara tidak terima. Dia kan bukan supir, ia adalah calon pacar Rea.

"Ngapain duduk di situ?" tanya Bara kesal karena Rea tidak kunjung paham dengan maksudnya dan malah duduk dengan nyaman di sana. Rea yang mendengar pertanyaan Bara mengendikkan bahu acuh dan membuang mukanya. "Pindah ke depan! Gue bukan supir lo."

"Gak mau, enak di sini," Rea semakin menyamankan duduknya dengan menyenderkan punggungnya.

"Gue bukan supir lo, Rea," Rea melirik ke arah Bara saat mendengar nada cowok itu terdengar kesal.

"Emang bukan," meski sedikit heran karena dengan mudah Bara kesal tidak seperti biasanya, Rea melanjutkan aksinya. Ia tidak kesal karena Bara tidak membukakan pintu untuknya, kok. Ia hanya ingin membuat Bara kesal dengan mengerjainya.

"Makanya pindah."

Rea menghela nafasnya keras-keras sebelum akhirnya membuka pintu di sampingnya dan beralih ke pintu penumpang depan. Gadis itu duduk di sana kemudian menutup pintunya sedikit keras.

"Mentang-mentang gue udah bisa jalan normal lagi aja gak dibukain pintunya," Rea berkata sembari membenarkan posisi duduknya. Bara yang hanya memperhatikan gadis itu sedari tadi menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapannya.

"Lo mau gue bukain pintu terus?" Bara bertanya dengan sudut bibir terangkat sebelah. Rea yang mendenga perkataan dengan nada meremehkan itu langsung menoleh dengan kening berkerut ke arah Bara.

"Gue gak ada ngomong gitu, kok," Rea menggelengkan kepalanya sebelum menghadap ke arah depan.

"Terus?" Bara masih setia menoleh ke arah Rea.

"Ya terus jalanlah," Rea menunjuk ke arah depan, memberi isyarat untuk melajukan mobilnya pada Bara sembari menoleh sekilas ke arah cowok itu.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Pertanyaan lo gak penting."

"Tapi lo tadi sampe ngambek?"

"Siapa yang ngambek?" Rea menoleh ke arah Bara lagi dengan kening berkerut kesal.

"Lo."

"Dih, enggak."

"Terus ngapain tadi duduk di belakang?"

"Terserah gue dong."

"Tapi ini kan mobil gue?"

"Yaudah, gue make mobil gue sendiri," Rea mendelik ke arah Bara sebentar sebelum tangannya meraih pintu mobil hendak membukanya.

"Iya iya, enggak," ucap Bara sembari menahan tangan Rea. Gadis itu menatap tangannya yang dicekal oleh Bara sebentar sebelum melepaskan tangannya dari pintu dan duduk dengan tenang kembali. Bara melapaskan cekalannya. "Ntar gue bukain terus kalo udah jadi pacar."

"Apa?"

••••

"Ayo, Yah. Makan dulu," Rea menyodorkan sendok yang berisi bubur ke mulut Wijaya, mulutnya ikut terbuka saat Wijaya mulai membuka mulutnya. "Enak, kan?" tanya Rea dengan wajah sumringah sembari menyendokkan bubur lagi.

Wijaya mengangguk pelan, matanya melirik ke arah Bara yang berdiri di belakang Rea dengan sinis, keningnya berkerut. Rea menatap Ayahnya hendak mengecek apakah bubur di dalam mulutnya sudah ditelan atau belum, tapi ia menyadari bahwa Ayahnya tidak menatapnya.

Gadis itu menoleh ke belakang, mencoba mencari tahu apa yang tengah ditatap Ayahnya dengan sinis seperti itu.

"Kenapa, Yah?" tanya Rea kembali menatap Ayahnya dengan pandangan bingung. Wijaya menatap balik Rea tanpa menjawabnya.

"Ayah gak suka ya sama Bara?" Rea menatap Wijaya dengan wajah meneliti. Wijaya membalas tatapan Rea tapi hanya diam saja. 

Bara yang sejak tadi sadar ditatap oleh Wijaya mulai mendekat, berjongkok di samping Rea yang duduk di kursi kecil sebelah kanan agak depan kursi roda Wijaya. 

"Om..?" tanya Bara dengan nada hati-hati, Wijaya yang mendengar panggilan Bara melirik cowok itu sinis.  Bara tersenyum sambil mengulum bibirnya mendapat tatapan itu, ia menarik nafasnya dan menghembuskannya sebelum kembali buka suara. "Minggu kemarin udah saya gendong masa Om tetep gak suka sama saya?" 

Wijaya mengalihkan pandangannya mendengar perkataan Bara, membuat cowok itu sedikit cemas. Apakah tadi dia salah bicara?

"Om gak boleh loh gak suka sama saya," perkataan Bara selanjutnya tidak hanya mengundang tatapan Wijaya, tetapi juga mengundang tatapan heran Rea.

"Ha? Kenapa juga coba? Lo siapa?" bukan Wijaya, tapi Rea yang secara otomatis mensuarakan ketidakterimaannya atas kepercayadiriannya Bara yang kini hampir menyamai Nathan dan Agam, overload.

Bara tetap setia menatap Wijaya, tidak memedulikan Rea yang menatapnya dengan kening berkerut tidak percaya. Cowok itu diam sebentar, sambil menunggu reaksi dari Wijaya.

"Iya, Om. Om gak boleh gak suka sama saya. Soalnya saya itu calon pacarnya anak Om," Rea melotot mendengar perkataan Bara yang sangat tidak mencerminkan kepribadiannya yang ia tahu selama ini. Apalagi apa tadi? Calon pacarnya? Awas saja kalau cowok itu tidak segera menembaknya dalam waktu dekat.

Maksudnya, bukan ia berharap. Tetapi kan cowok itu sendiri yang bilang ia adalah calon pacarnya.

"O-om, ngerestuin, kan?" Bara mengutuk dalam hati karena di awal kalimat ia sempat gugup. Oke, sekarang siapa yang tidak akan gugup jika menghadapi Ayah orang yang ia sukai? Apalagi ia tadi mengaku-ngaku sebagai calon pacarnya Rea.

Sekarang Bara jadi berpikir dua kali.

Memangnya Rea pasti akan menerimanya jika ia tembak? Jawabnnya belum tentu.

Lalu....

Lalu apa yang ia ucapkan tadi?

Tidak masalah, Bara. Ini namanya berusaha.

Wijaya menatap Bara dalam, ia bisa melihat bahwa cowok itu mau bersusah payah untuk Rea. Buktinya, dulu ia menuruti permintaannya untuk menggendongnya menuju kamar rawat, dan sekarang bahkan ia mengantarkan Rea untuk menjenguknya.

Wijaya juga yakin, Rea juga menyukai Bara meski tidak terlihat. Buktinya, gadis itu sekarang tengah menahan senyum sambil memainkan sendok yang ada di atas mangkok buburnya.

Dilihat dari aura-nya, warna biru. Pastinya dia akan menjadi sosok yang perhatian dan pengertian terutama pada Rea. Fakta bahwa Bara bahkan menerima kondisinya yang dirawat di rumah sakit jiwa juga sepertinya tidak menggoyahkan perasaan cowok itu.

Tanpa menjawab perkataan Bara, Wijaya menoleh ke arah Rea dengan mulut terbuka. Rea yang sadar akan itu langsung menyuapinya, sedangkan Bara mengulum bibirnya tabah. Berusaha menguatkan hati bahwa diamnya Wijaya adalah tanda persetujuan.

Harusnya iya, kan? Kalau Ayah Rea tidak setuju pasti ia sudah mengamuk dan menyerangnya.

Iya, harusnya seperti itu.

Setelah selesai menyuapi Wijaya bubur sebagai sarapannya, Rea dan Bara memilih untuk mengajak pria yang ketergantungan dengan kursi roda itu berjalan-jalan. Bara yang merasa tidak pantas membiarkan Rea yang seorang gadis keberatan mendorong kursi roda Ayahnya, memilih mengambil alih. Sedangkan Rea berjalan di samping cowok itu.

Cukup lama berjalan-jalan mengelilingi taman yang ada di rumah sakit jiwa itu, akhirnya Wijaya diantar menuju kamar rawatnya. Bara dan Rea setelahnya juga memilih untuk segera pulang saat sudah waktunya Wijaya istirahat siang.

"Nanti ke rumah gue dulu bentar ya," Rea menoleh ke samping, membalas tatapan Bara yang juga menoleh ke arahnya.

"Kenapa emang?" tanyanya dengan kening berkerut heran.

"Ada yang ketinggalan tadi," kerutan di kening Rea semakin dalam mendengar jawaban cowok itu yang sedikit tidak masuk akal. Kalaupun memang ada yang ketinggalan di rumahnya tidak perlu diambil sebelum mengantarnya pulang, kan?

"Hah? Terus kenapa harus ke rumah lo dulu? Kan abis nganter gue lo pulang," Rea menatap Bara tidak mengerti, telunjuk tangan kanannya sekilas menunujuk cowok itu saat mengatakan kalimat terakhir.

"Gak papa."

"Apaan sih? Aneh," Rea menatap Bara aneh sebelum akhirnya mengendikkan bahu acuh, menatap ke depan lagi dan melangkah dengan cepat meninggalkan cowok itu.

Bara mempehatikan punggung Rea yang berada di depannya, kening cowok itu mengerut dalam saat kepalanya mulai terasa berdenyut. Sosok Rea yang dari belakang terlihat memakai kemeja kotak-kotak berkali-kali berubah dengan punggung sosok gadis yang memakai sweater navy secara cepat.

Bara memejamkan matanya dan memegang kepalanya saat denyutan itu terasa makin menjadi. Ia tidak kuasa merasakan denyutan dan pergantian cepat bayangan yang ia lihat meski tengah menutup mata itu.

"Hahhh," Bara menghela nafas lega saat bayangan berulang tadi berhenti dan denyutan di kepalanya juga mulai berkurang.

"Kak, kakak gak papa?"

Bara menoleh ke sampingnya saat mendengar suara anak kecil diikuti sentuhan lembut di tangan kirinya yang menggantung bebas di samping badan. Di sana ada anak perempuan berumur sekitar tujuh tahun yang menatapnya khawatir.

"Oh, ga-gak papa kok, dek," Bara tersenyum tipis sambil mengelus kepala anak kecil itu pelan.

"Bagus deh. Kalo gitu saya balik ke Papa sama Mama dulu ya, Kak. Dadah!" anak kecil itu mulai menjauh setelah melambaikan tangan kecilnya ke arah Bara dengan senyuman lebar.

"Papa sama Mama..," Bara bergumam pelan sambil memperhatikan anak kecil itu yang berjalan menjauhinya dan mendekati ke arah seorang pria yang tengah berdiri di samping seorang wanita paruh baya berpakaian layaknya pasien yang terus berbicara dengan boneka di gendongannya.

Bara memperhatikan betapa sabarnya pria itu menghadapi wanita yang pastinya adalah istrinya itu, dan juga anak kecil yang tadinya mengkhawatirkannya kini terus berusaha mengajak bicara wanita yang adalah Ibunya meski tidak mendapatkan respon apapun.

Lagi-lagi Bara merasakan kepalanya berdenyut hebat, dengan cepat cowok itu memejamkan matanya saat bayangan seorang wanita duduk di atas kursi roda kembali terlintas. Bedanya kali ini, wajah wanita itu sedikit terlihat. Rambut panjangnya yang menjuntai bebas menutupi sebagain wajahnya, hingga mengharuskan orang lain melihat dari depan agar dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Wajah putih pucat dengan hidung yang mancung, bibir tipis yang kering dan pucat serta mata yang menatap kosong ke arah depan. Menandakan bahwa jiwanya terganggu.

Rea yang sedari tadi berjalan di depan baru menyadari bahwa Bara tidak mengikutinya saat jaraknya sudah lumayan jauh. Gadis itu menoleh ke belakang dan menemukan Bara tengah mengobrol dengan anak perempuan, ia reflek tersenyum saat melihat cowok itu mengelus kepala anak itu dengan lembut.

Pasti Bara akan jadi Ayah yang hebat untuk anaknya nanti.

Pasti Rea juga lebih beruntung jika Bara jadi Ayah dari anaknya.

"HEH!"

Plakk

Rea reflek menampar pipinya sendiri dengan kencang menyadari apa yang ia pikirkan sudah kelewatan. Maksudnya, Bara itu bukan siapa-siapanya, tapi berani-beraninya ia memikirkan hal yang sejauh itu.

"Otak goblok!" Rea mengetuk-ngetuk pelipisnya pelan dengan tangan kanannya yang mengepal, berusaha agar otaknya sedikit normal dan tidak memikirkan hal seperti itu lagi.

Setelah puas merutuki kebodohannya sendiri, Rea menggelengkan kepalanya pelan dan memperhatikan Bara lagi. Keningnya berkerut saat melihat cowok itu memegangi kepalanya seolah tengah kesakitan. Dengan cepat ia segera menghampiri cowok itu.

"Bar. Bar. Bara!" panggil Rea dengan nada khawatir sambil menepuk-nepuk pundak cowok itu. "Lo kenapa?"

Seolah disadarkan, Bara langsung membuka matanya dan menatap Rea dengan terkejut. Membuat gadis itu makin khawatir. "Lo gak papa?" tanyanya lagi meski pertanyaan sebelumnya belum dijawab dengan kening berkerut.

Bara menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban.

"Tadi siapa ya?"

Rea mengerutkan keningnya bingung mendengar pertanyaan Bara. Siapa yang cowok itu maksud? Anak kecil tadi?

"Siapa? Anak tadi?" tanyanya dengan kedua alis terangkat. Setelahnya dengan reflek ia menoleh ke belakang untuk melihat anak kecil yang menghampiri Bara tadi, matanya juga tanpa sengaja jadi memperhatikan orang tuanya. Sedikit terbesit rasa iri melihatnya, membuat sebuah pertanyaan terlintas juga di benaknya.

Pertanyaan yang mungkin pernah atau sering kali terlintas di benak Rea asli.

Apakah keluarganya akan seperti itu, jika Mamanya memilih setia pada Ayahnya?

Bukankah jawabannya sudah jelas?

Kalaupun itu terjadi, itu hanya dalam mimpinya saja kan?

To be continue...

•••••

saya merasa sangat berdosa sekali ya....
silahkan yg marah, saya siap:)

jika ingin tahu alasan saya tidak update bisa dicek pada kolom komentar, saya akan komentar di line ini
yg tidak ingin tahu tidak usah dibuka ya

saya minta maaf pada semuanya dengan sebesar-besarnya
atas keterlambatan update dan atas update yg pendek ini

hadeh, saya jg pengennya update terus tapi ya gmn yak😊🙏

saya sekalian mau jawab komentar ini yaa

iya, Ara gak dapet ingetan dari Rea yg asli. dia cuma ngandelin kesimpulan diri sendiri yg ia simpulkan setelah baca novelnya. jadi dia cuma pengen jauh dari Agam, Nathan, dan Vera yang bahaya dan ia tahu buruk buat karakter Rea.

buat soal mamanya yg nikah lagi bukannya sudah lusi jelaskan di chapter berapa itu ya? yg mamanya milih agung (masa lalunya) itu? apa kurang jelas ya?

iya mungkin di next chapter bakal lusi kasih penggalan penggalan ingatannya Rea asli ya. terima kasih atas sarannya🤗

terus buat yg nanyain link tele-nya
https://t.me/amiantagonist

yg mau join silahkan ya, disana masih sepii banget anggotanya cuma 10 termasuk saya. dan jujur aja, ada kepikiran buat bubarin😭🙏

oke tengs segitu sj

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

Iridescent Από Ara

Φαντασίας

2.1M 195K 37
Aurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tany...
533K 80.4K 44
[Special Réincarnation Series] Aku terjebak di dalam tubuh pemeran penjahat dari cerita yang pernah kubaca sebelumnya. Tubuh seorang putri palsu yan...
537K 34.9K 62
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...
383K 44.2K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...