IVORY (SELESAI)

By cinkiaewys

277K 60K 5K

Ketika Ivory kembali berurusan dengan Silver, mantan pacarnya, tanpa sadar perempuan itu harus siap menerima... More

Prolog
SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
DUA PULUH SEMBILAN
TIGA PULUH
TIGA PULUH SATU
TIGA PULUH DUA
TIGA PULUH TIGA
TIGA PULUH EMPAT
TIGA PULUH LIMA
TIGA PULUH ENAM
SEBELUM ENDING, SEBELUM EPILOG (1)

DUA PULUH TIGA

5.2K 1.3K 151
By cinkiaewys

"Jadi udah paham ya. Sekarang, coba kita ganti dengan benda yang lebih cepat ... yaitu cahaya." Slide berisi gambar ilustrasi antara mobil, motor, dan seseorang yang sedang berjalan di trotoar yang sebelumnya ditampilkan itu sudah berubah. Digantikan dengan ilustrasi sebuah mobil dan juga benda bulat seperti bulan yang diberi nama cahaya, di ruang angkasa.

"Misalnya, mobil luar angkasanya Pak Budi lagi kejar-kejaran dengan cahaya. Kecepatan Pak Budi seratus ribu kilometer per detik, dan kecepatan cahaya tiga ratus ribu kilometer per detik. Kecepatannya per detik, ya.

"Jadi, menurut kalian, berapa kecepatan cahaya yang Pak Budi lihat dari mobil ruang angkasanya?"

Dalam waktu sedetik, lebih dari sepuluh tangan teracung. Semangat siswa kelas sebelas IPA 1 untuk berebut menjawab itu sampai membuat Par Ar tertawa. Sempat menimbang-nimbang, dan akhirnya memilih Janeta yang duduk di belakang Ivory.

"Bapak ingetin lagi, kecepatannya sekarang jauh lebih cepat ya daripada contoh sebelumnya. Ya, Janeta?"

"Dua ratus ribu kilometer per detik, Pak!" Janeta menjawab dengan percaya diri.

Namun, sayangnya, Par Ar membantah dengan tidak kalah semangat. "Salah!"

Kelas menjadi ribut. Seolah-olah pernyataan salah dari Pak Ar barusan tidak bisa diterima. Dibiarkan siswa-siswanya itu berdiskusi sendiri selama satu menit, sebelum akhirnya pria itu menambahkan, "Siapa lagi yang mau jawab?"

Ivory yang hanya duduk manis memperhatikan itu sempat melirik ke arah Milo yang ternyata juga meliriknya. Lalu mereka berdua saling memberikan kode agar salah satu dari mereka yang menjawab lebih dulu, hingga akhirnya Milo dan Ivory justru mengangkat tangan bersamaan.

"Iya, Milo?"

"Pak Budi melihat cahaya itu bergerak lebih cepat dari mobilnya tiga ratus ribu kilometer per detik."

Par Ar mengangguk-angguk terkesan. Sedangkan murid-murid lainnya yang tidak mengerti menatap heran. Tidak langsung memuaskan mengapa jawaban Milo benar, Pak Ar sudah mengganti slide presentasinya. "Gimana kalo kasusnya kita ubah. Sekarang, yang ngeliat mereka kejar-kejaran di luar angkasa adalah orang yang ada bumi. Mereka melihat cahaya lebih cepat berapa ratus ribu kilometer per detik dari mobil ruang angkasanya Pak Budi?"

Tidak seperti sebelumnya, kali ini murid kelas sebelas IPA 1 itu membutuhkan waktu untuk berpikir. Jika hanya menggunakan kasus perbandingan biasa, jelas jawabannya adalah cahaya lebih cepat dua ratus ribu kilometer per detik daripada mobil Pak Budi, dan sudah dijawab oleh Janeta yang ternyata salah. Namun, jika melihat dari jawaban Milo yang mana Pak Budi melihat cahaya tersebut bergerak lebih cepat tiga ratus ribu kilometer per detik, dan benar, berarti seharusnya angka yang sama juga menjadi benar. Ya, kan?

Beberapa tangan kembali terangkat. Pak Ar menunjuk salah satunya. Menyebutkan angka yang sama dengan yang Milo sebutkan.

"Tiga ratus ribu kilometer per detik, Pak."

"Salah."

Jika tadi murid-murid masih bergumam masing-masing, kini Pak Ar diprotes terang-terangan.

Sepertinya, Pak Ar memang sengaja sedang menguji kemampuan berpikir anak-anaknya itu. Karena pria itu tertawa pelan, dan duduk bersandar pada meja guru dengan santai. Dan akhirnya menunjuk Ivory.

"Berapa Ivory?"

"Cahaya lebih cepat dua ratus ribu kilometer per detik dari mobil Pak Budi."

Senyum Pak Ar merekah lebar, penuh rasa bangga. "Ya, benar. Tadi kan Bapak bilang, kali ini yang ngeliat itu orang yang ada di bumi. Sedangkan Pak Budi dan cahaya kerjar-kejarannya di ruang angkasa."

"Loh? Kok gitu, Pak?"

"Jadi, ini tugas kalian ...."

Guru fisika mereka itu sering sekali melakukannya. Membuat tugas-tugas aneh, dari pertanyaan yang terkadang tidak ada hubungannya dengan pelajaran yang akan dipelajari.

"Satu kelompok dua orang, harus selain dengan teman sebangku. Tugas kelompoknya dikumpul minggu depan. Seperti biasa, hanya ada satu atau dua kelompok saja yang presentasi. Oh ya, Ivory sama Milo bisa satu kelompok."

Kebiasaan Pak Ar yang lain adalah, dia sangat menyukai murid pintar, dan menyatukannya seolah sedang menunggu keajaiban dari hasil pikiran mereka. Bagi beberapa murid, membiarkan Milo dan Ivory berada dalam satu kelompok adalah hal yang bagus. Apalagi kalau presentasi mereka memuaskan. Kemungkinan kelompok lain dipilih untuk maju hampir mendekati nol.

Sayangnya, kali ini ada murid yang tidak setuju.

"Iya, Diko?"

"Pak, kalo Ivory sama Milo disatuin, yang nggak ngerti malah makin nggak ngerti, Pak. Mereka seharusnya dipisah, biar yang lain juga bisa ikut belajar. Soalnya saya juga nggak ngerti sama sekali."

Pak Ar mengangguk-angguk.

"Kamu mau satu kelompok Ivory?"

Diko yang duduk di deretan kursi paling belakang itu tersenyum lebar.

"Karena nggak bisa nyeret Ivory masuk klub fotografi lo mau pakek plan B?" teman sebangku Diko itu berbisik.

***

Begitu bel pulang berbunyi, Diko menghampiri meja Ivory. Bersandar pada meja guru dengan santai, sambil menahan senyumnya agar tidak terlalu lebar karena senang. "Jadi, kita satu kelompok, ya. Kita mau ngerjainnya kapan, Vo?"

Sebenarnya, Ivory tidak begitu nyaman ketika Pak Ar menawarkan Diko agar satu kelompok dengannya. Namun, Ivory juga tidak bisa menolak. Guru dan teman-teman sekelasnya mungkin berpikir Ivory terlalu pilih-pilih. Meskipun beberapa dari mereka juga yakin, Diko sedang mengambil langkah lebih jauh untuk bisa mendekati Ivory.

Jadi, perempuan itu menerimanya begitu saja. Sempat meminta teman-temannya untuk pulang lebih dulu begitu ia selesai membereskan meja. Selain karena Diko, Fuchsia juga memintanya bertemu. "Hari Sabtu , selesai gue persiapan olim, gimana?"

Diko mengangguk-angguk setuju. "Oke, kebetulan gue juga ada rapat untuk persiapan The Colors of Art Project nanti. Lo selesai jam berapa kira-kira?"

"Jam tiga."

"Kita mau ngerjain di mana?"

"Di sekolah aja."

"Oke."

Ivory mengangguk samar. Merasa tidak ada lagi yang harus mereka bahas, perempuan itu bangkit, dan Diko kembali melanjutkan, "Vo, mau berangkat les bareng nggak?"

Dan belum sempat Ivory menjawab, seseorang yang sudah berdiri di depan pintu kelas itu berhasil mengalihkan pandangan keduanya bersamaan. Fuchsia sudah berdiri di sana, terlihat sedikit tidak nyaman—tidak seperti biasanya.

Maka, Ivory buru-buru menghampiri. Meninggalkan Diko yang masih belum berubah posisi, duduk di meja guru, memperhatikan keduanya.

"Vo."

Ivory membalas senyum sepupunya yang sempat melirik ke arah Diko sebelum kembali menatapnya.

"Ada apa, Sya?"

Sejujurnya, ketika tadi Fuchsia mengirimkan pesan meminta bertemu karena ada yang ingin dikatakan, Ivory sempat menduga-duga jenis obrolan apa yang akan dibicarakannya hingga sepupunya itu ingin bertemu. Mereka perlahan menjadi dekat. Namun, menurutnya belum sampai tahap sekedar bertemu untuk mengobrol basa-basi. Satu-satunya yang bisa Ivory pikirkan kemudian adalah karena pertengkaran Fuchsia dengan Mint, karena dirinya. Itu pun Ivory tahu dari Janeta.

Jadi, perempuan itu mengetikkan balasan dengan cepat. Merasa bersalah karena mungkin seharusnya Ivory yang meminta bertemu lebih dulu. Meskipun Ivory juga enggan untuk membahas Mint lagi.

"Ada fotografer kenalan gue yang liat lo di majalah waktu itu. Dan dia tertarik buat nawarin lo jadi modelnya," ujar Fuchsia tiba-tiba.

Ivory terpaku seolah otaknya itu tidak siap dengan ucapan Fuchsia yang memang sama sekali tidak terduga. Hingga kemudian helaan napas sepupunya dan sodoran sebuah kartu nama berhasil membuat kesadaran Ivory kembali.

"Ini kartu namanya."

Ivory mengerjap beberapa kali. Masih bingung. Masih belum mengerti benar apa yang sedari tadi Fuchsia katakan. Tidak ada ide pula akan diapakan kartu nama itu nanti. Namun, Ivory tetap menerimanya sambil mengangguk samar. "Thanks, Sya."

Bahkan setelah selama ini, kecanggungan masih saja mengikuti mereka. Terdiam keduanya beberapa saat. Ivory sempat menggigiti bibir, mungkin ini waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu soal pertengkaran sepupunya dengan Mint.

Tapi, Ivory harus bilang apa?

"Gue minta maaf." Fuchsia yang lebih dulu mengatakannya. "Maaf gue nggak jadi sepupu lo yang baik, Vo. Harusnya ... gue ada di sana. Tapi, gue malah sibuk sama urusan gue sendiri."

Melihat mata Fuchsia yang tiba-tiba berair, Ivory menyahut cepat, "Lo nggak salah, Sya."

Rasanya aneh pertama kali mendengar sepupunya itu bertengkar dengan Mint karena dirinya. Terasa seperti campuran perasaan senang dan juga bersalah di waktu yang sama. Dan sekarang terasa lebih aneh lagi karena Fuchsia mengatakannya sendiri. Jadi, Ivory segera menambahkan, "Gue yang seharusnya minta maaf, Sya. Nggak seharusnya lo berantem dengan Mint karena gue. Apalagi lo public figure, bahaya kalo lo sampe main tangan."

Fuchsia mendengkus geli. Menunduk, bergumam pelan, "Tapi, gue juga sepupunya Ivory."

Sekarang perasaan aneh tadi sudah didominasi oleh perasaan senang. Rongga dadanya terasa penuh. Menyebarkan perasaan hangat ke sekujur tubuh. Tidak bisa lagi Ivory menahan bibirnya yang bergerak dengan sendirinya membentuk lengkungan.

"Makasih ya, Sya."

Fuchsia yang sedari tadi masih menunduk, mendongak dengan cepat. "Makasih kenapa? Apa yang perlu dimakasihin? Catetan lo dirobek, kok jadi makasih?"

Bahkan, Ivory tidak lagi terlalu sakit hati ketika teringat bagaimana catatannya itu tercerai berai. "Makasih karena udah belain gue." Ivory yang tidak pernah benar-benar bisa mengatakan perasaannya itu, mengatakan dengan tulus.

Melihat bagaimana kemudian Fuchsia tersenyum lebar, Ivory yakin, mereka baru saja melewati dinding tak kasat mata lain yang menghalangi hubungan mereka sebagai sepupu selama ini. Ternyata, kehilangan catatan yang sudah seperti barang berharga baginya itu mungkin tidak terlalu buruk.

Hening beberapa saat. Sebelum canggung kembali menghinggapi mereka, Ivory memeriksa jam di ponsel. Teringat dia harus segera pergi les. "Emm ... Sya, gue masih ada les," ujar Ivory hati-hati.

Seolah Fuchsia juga baru tersadar, perempuan itu mengerjap cepat. Dan segera pergi dari sana.

Sepenuhnya tidak menyadari bahwa Diko masih duduk di meja guru, di dalam kelas. Sudah memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Menggeleng-geleng sambil tertawa pelan. Memperhatikan Ivory dan Fuchsia hingga menghilang dari pandangan.

***

Ivory baru benar-benar menyadari apa yang sepupunya katakan pertama kali ketika mereka bertemu tadi, saat perempuan itu kembali membaca kartu nama yang Fuchsia berikan. Ivory harus membacanya beberapa kali sambil memastikan ia tidak akan terjatuh karena salah menginjak anak tangga. Begitu keduanya sampai di lantai bawah, barulah Ivory berujar pelan nyaris seperti gumaman. "Sya ... kayaknya ... gue nggak bisa."

"Hm?"

Ivory mengangkat kartu nama fotografer kenalan Fuchsia yang ada di tangannya.

Melihat bagaimana ekspresi Fuchsia, mungkin sebenarnya sepupunya itu sudah tahu mengapa Ivory menolak tawaran yang belum tentu bisa datang dua kali tersebut. Namun, perempuan yang berjalan di sisinya itu tetap bertanya. "Kenapa?"

Ivory tersenyum masam. Menunduk. Jari telunjuknya menelusuri pinggiran kertas berbentuk persegi panjang tersebut. Ada beberapa jenak yang terlewat. Seolah Ivory sedang menimbang apakah ia perlu jujur atau tidak. Sebelum akhirnya berujar, "Gue takut, Sya. Gimana kalo gue ternyata nggak sesuai dengan ekspetasi fotografer kenalan lo? Gimana kalo akhirnya dia nyesel karena udah nawarin gue? Gimana kalo nanti lo malah kena imbasnya karena gue sepupu lo?"

Ivory tahu, Fuchsia pasti menganggap bodoh ketakutannya yang bahkan jika dibayangkan saja mampu membuat perempuan itu keringat dingin dan mual. Ivory mengerti. Maka, Ivory tertawa pelan setelahnya. Mencoba tidak menyesal karena mengatakan itu semua.

"Vo, coba deh jangan terlalu overthinking. Kadang apa yang kita takutin itu belum tentu bakal terjadi. Lagian, kalo belum dicoba kan, belum tau, Vo. Mungkin aja malah kebalikannya, kan?" Fuchsia tersenyum menenangkan.

"Tapi gue ngerti sih apa yang lo cemasin. Soalnya, dulu gue juga sama kayak lo. Waktu pertama kali syuting, gue panik banget, take berkali-kali, diomelin sutradara, jadwal syutingnya jadi lama, kacau banget. Terus waktu break, gue nenangin diri sendirian. Gue bilang sama diri gue, gue nggak boleh panik. Gue harus tenang. Kalo gue tenang, mungkin aja gue bisa mikir," ada jeda sejenak, "Dan bener. Semuanya jadi lebih lancar kalo kita tenang."

Fuchsia kemudian tersenyum lebar sampai matanya berubah bak bulan sabit. "Terus tau nggak, Vo, pas pertama kali gue liat muka gue di tv? Terlepas dari alasan gue lakuin ini semua, ya, gue seneng banget liat hasil kerja keras gue di sana. Gue waktu itu belum tau apa yang gue suka, tapi saat itu, gue akhirnya tau." Fuchsia menatap ke depan.

"Gue suka akting."

Dan Fuchsia menyatakannya begitu jelas dan tegas.

Ivory mengulas senyum. Sangat iri.

Jadi, apakah Ivory harus menghubungi fotografer tersebut dan mencobanya? 

27 Juli 2021

Terima kasih sudah membaca.

Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan.

Semoga lekas diberikan kesehatan untuk teman-teman atau keluarganya yang sedang sakit. 

Continue Reading

You'll Also Like

410K 87K 38
Fuchsia cinta akting, tidak cinta yang lain, sampai Fuchsia mengenal Aatreya, anak IPA pendiam yang diam-diam jago nyanyi. Fuchsia yakin Aatreya aka...
Sandi's Style By fly

Teen Fiction

4.7M 231K 36
SELESAI ✔️ "Lo tahu percepatan gravitasi bumi berapa? Sembilan koma delapan meter per sekon kuadrat. Dan gue butuh lebih dari angka itu di diri gue...
1.1M 152K 25
Series Pertama #2A3Series Semenjak ada murid baru itu, Jevon memberi usul pada sang ketua kelas untuk membuat grup chat kelas. Pada nyatanya i...
2.5M 147K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...