DIA

Per MarentinNiagara

8.7K 1.3K 159

Bercerai, lalu menemukan sahabat baru yang akhirnya bisa dikatakan sebagai keluarga. Berbagi cinta untuk memb... Més

- - 00 --
- - 02 - -
- - 03 - -
- - 04 - -

- - 01 - -

1.5K 305 33
Per MarentinNiagara

• GaLon <==> Gagal Move ON •



------------------------⭐⭐

Pilu masih saja bersahabat dalam keseharianku. Meski tawa Jihan dan Almas seketika menjadi obat yang paling mujarab. Nyatanya efek kesendirian itu memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam kegiatan sehari-hari.

Menjadi sahabat bersama sepi, efek paling terasa kala gundah bersarang di dalam jiwa. Kesepian yang sulit terungkapkan dengan kata-kata. Ah, lama-lama begini aku bisa terserang penyakit gila.

Apa yang sesungguhnya terjadi, benarkah aku telah mengikhlaskan kepergian András dalam kehidupanku dengan sesungguhnya? Nyatanya rasa rindu itu masih menyatu dalam setiap desahan nafas yang sulit sekali diartikan dengan nama apa.

Beberapa kali aku mengecek pesan singkat yang telah kuterima dari semalam. Farheen Zachti, mantan kakak iparku memberitahukan bahwa akan ada pertemuan keluarga rutin. Yah, keluarga András memang mengadakan arisan juga pengajian rutin setiap bulan berputar di keluarga besar mereka. Dan kali ini giliran ibu mertuaku yang mendapatkan giliran menjamu. Ibu mertua, masih benar bukan aku menyebutnya sebagai ibu mertua karena sesungguhnya mantan mertua itu tidak akan pernah ada, kecuali mantan suami atau mantan istri.

Sungguh, keengganan semakin menyeruak di dalam hati namun aku tidak bisa serta merta menolak undangan dari mertua karena menurutku bagi setiap muslim sepertinya kewajiban mendatangi undangan ketika tidak ada uzur adalah satu keharusan. Helaan nafas panjang dan sempurna itu mau tidak mau pada akhirnya mengundang beberapa pasang mata untuk melihat padaku. Keinginan mengetahui lebih lanjut apa gerangan yang terjadi padaku saat ini terlalu besar tersirat dari ujung penglihatan mereka yang aku tahu.

"Kenapa Tata?" Diantara sekat kubikel meja kerja kami Aini memberanikan diri bertanya. Mungkin sudah sejak pagi dia merasa bahwa ada yang tidak beres dengan sikapku hari ini.

"Nggak ada apa-apa. Eh, mengapa memangnya?" Aku malah balik bertanya untuk menutupi semuanya.

"Bohong." Itulah Aini, dia bahkan lebih tahu tentangku dibandingkan dengan diriku sendiri. "Lagi galau, atau jadi galon?" Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, tidak sepenuhnya salah namun bukan berarti 100% benar.

"Ain, aku boleh ajak Jihan pulang nggak?" tanyaku tanpa aba-aba.

"Kamu ingin pulang? Sesuatu terjadi dengan orang tuamu di rumah?" Bagaimana aku menceritakan kepada Aini. Bukan maslaah orang tuaku, meski aku kangen dan ingin bertemu mereka juga.

"Lalu?" tanyanya lagi tanpa melepaskan pandangan dari monitor yang ada di hadapannya.

"Menyebalkan sekali kekepoanmu kali ini." Aku tertawa karena yakin dibalik senyumnya dia sudah paham apa yang akan aku lakukan di kampungku.

"Menjadikan Jihan sebagai alasan untuk bisa bertemu dengan András?" tebaknya tepat pada sasaran.

"Kak Farheen mengundangku di acara keluarga mereka, umi ingin bertemu denganku." Jawabanku akhirnya, aku memang tidak bisa berbohong dengan sahabatku satu ini.

"Hei apa kabar pentheraphobiamu?" Ah iya, aku lupa bercerita. Setahun ini aku menjadi sangat aktif berkonsultasi dengan seorang psikolog. Sebenarnya masalahnya sepele, tremor dan rasa gelisah, ketakutan yang berlebihan saat bertemu atau ditelpon oleh keluarga András membuatku seperti orang linglung yang kehilangan pijakan untuk hidup. Seperti dihakimi terus menerus karena aku belum bisa memberikan keturunan kepada anaknya dan menyematkan nama Zachti sebagai kebesaran nasab yang akan selalu mengalir dalam darah keturunan mereka. "Jangan bilang kamu mengabaikannya setelah satu tahun ini kamu berusaha untuk membuat dirimu kuat. Mereka tidak pernah tahu perjuanganmu, Ta. Mereka hanya tahu kapan kamu akan memberikan keturunan untuk mantan terindahmu itu."

Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar ocehan Aini yang sayangnya memang penuh kebenaran. Keluarga András tidak pernah mau tahu apa yang terjadi padaku. Mereka hanya bisa menuntut, menuntut, dan menuntut tanpa bertanya apa yang menyebabkan semua itu terjadi. Setidaknya memberikan support bukan justru mengiyakan anaknya yang memilih mengambil jalan menceraikan istrinya.

"Itu sebabnya aku butuh Jihan, aku ingin tahu Ain. Aku ingin tahu apakah aku sudah sembuh atau aku perlu datang lagi ke mom Anik untuk melakukan terapi lanjutan." Asumsiku, beberapa waktu yang lalu mom Anik memang memintaku untuk mencoba menghadapi bukan justru berlari menjauh. Dari sana aku akan mengetahui apakah aku masih membutuhkan tangannya untuk menuntunku kembali atau aku memang benar-benar sudah bisa dinyatakan sembuh dari rasa ketakutan yang kubuat sendiri.

Aini menatapku dalam-dalam. Kali ini aku melihat senyum ketulusannya dan anggukan kepalanya membuatku bisa sedikit berbahagia meski ada syarat yang harus kupenuhi untuk bisa mengajak Jihan pergi. "Asal Jihan tidak merasa keberatan, aku mengizinkannya."

"Terima kasih Aini, kamu memang sahabat terbaikku."

Tidak sulit membujuk Jihan karena sejak awal dia memang sangat dekat denganku. Bahkan sampai kedekatan kami ini membuatku kebingungan mencari alasan untuk bisa meninggalkan Almas tetap bersama Aini karena saat mengetahui kegirangan Jihan, Almas pun merengek untuk ikut serta. Awalnya aku mengajak Aini juga supaya Almas juga bisa ikut namun Aini memberikan ruang dan waktu kepadaku untuk bisa berinteraksi dengan keluarga mantan suamiku dengan baik.

"Masih jauh Bunda rumahnya?" suara imut itu mengoceh dengan riang. Beberapa kali bergumam untuk menanyakan apa ini apa itu. Perjalanan jauh pertama kali bagi Jihan, aku sengaja mengemudikan mobil sendiri supaya bisa dengan santai 'berkencan' bersama Jihan.

"Kakak ngantuk? Bobo saja dulu nanti kalau sudah mau sampai rumahnya bunda, bunda bangunin." Perjalanan hampir 5 jam ini tentu saja akan memberikan efek sedikit capek bagi anak seusia Jihan. Sayangnya dia begitu excited pada pengalaman pertamanya untuk menikmati perjalanan jauh ini. "Nanti aku tidak tahu ada apa-apa kalau bobo, Bunda. Bunda setirnya hati-hati atau kita balap saja biar cepat sampai."

Aku tertawa lirih, anakku yang satu ini terlampau menggemaskan untuk dilewatkan setiap celotehnya.

"Ya sudah kalau begitu, kakak menghapal doa-doa saja sekalian doain papa supaya nanti ketemu lagi di surganya Allah." Aku mengalihkan perhatiannya. Empat bulan yang lalu Jihan mengatakan bahwa dia tidak ingin memiliki ayah lagi dan Aini membenarkannya dengan berbagai alasan. Padahal yang aku tahu mereka membutuhkan figur seorang ayah dan Aini juga membutuhkan suami untuk bisa bersama membesarkan mereka. Tapi jawaban ibu dan anak itu cukup kompak, 'sudah cukup kami memiliki bunda Tata saja jadi bunda sebagai gantinya papa.'

Beberapa kali aku membenarkan hafalan Jihan hingga akhirnya kelopak matanya tak lagi sanggup menahan kantuk lalu dia tertidur. Aku menepikan mobil di bahu jalan, merendahkan sandaran kursi di sampingku yang diduduki oleh Jihan supaya dia lebih nyaman tertidur.

Tidak sampai satu jam dari Jihan tertidur aku sudah akan sampai di rumah mertuaku. Sedikit rasa khawatir namun aku berusaha untuk menghalaunya. Menepikan mobil di sebuah toko buah yang ada di pinggir jalan raya dan juga bersebelahan dengan minimarket. Aku bermaksud untuk membawakan buah tangan untuk beliau sekaligus membangunkan Jihan yang sudah hampir satu jam tertidur.

"Sayang, bangun dulu. Bunda mau turun beli buah. Kakak mau buah apa?" Perlahan mata lentik Jihan terbuka dan menguap manja.

"Kita sudah akan sampai di rumah Bunda?" aku menggeleng pelan. Menuntunnya untuk turun dari mobil baru menjawab pertanyaannya. "Kita akan berkunjung ke rumah saudara bunda. Nanti kakak harus jadi anak yang baik, tidak boleh nakal dan harus sopan."

"Iya Bunda." Meski sudah seringkali aku mengingatkan seperti itu tapi Jihan tidak pernah memprotesnya. Dari awal memang aku telah jatuh cinta kepada anak perempuan ini. "Aku mau jeruk yang orange Bunda."

"Ok, bunda ambilkan dulu biar ditimbang."

Halaman rumah mertuaku sudah mulai penuh dengan mobil-mobil mewah yang berjejer di sana. Meski ada ragu yang ada di dalam hatiku namun kedua kakiku sudah melangkah untuk membawaku bertemu dengan mereka. Mereka yang dulu seringkali menyalahkan keadaan dengan memvoniskan kelemahanku.

"Tata__" suara yang jelas aku hafal sekali siapa pemiliknya. "You are__"

"Yes, I accept your sister's invitation that's why I'm here." Aku menjelaskan atas dasar apa aku berada di rumahnya saat ini.

"Who's she?" tanya András lagi.

"She's my daughter."

"Don't kidding me!"

"No, I'm not. She's Jihan, my daughter." Semakin András mempertanyakan hal itu semakin aku kekeh memberitahukan bahwa Jihan adalah anakku.

"Itu tidak mungkin, won't be possible. We were married and during that time you never got pregnant. Then how__"

"I'm getting a pregnant?" Aku memperjelas statementnya. "Allah lebih memiliki kuasa dibandingkan kita. Tidak semua anak yang terlahir dari rahim kita baru bisa dipanggil sebagai anak kita, bukan. Banyak jalan yang Allah berikan untuk kita bisa dipanggil sebagai orang tua meski tidak dengan melahirkannya ke dunia." Aku bergegas meninggalkannya. Meski suaraku masih dalam tone yang cukup bersahabat dengannya aku tidak ingin lepas kontrol di hadapan Jihan. Memberikan contoh yang tidak baik kepadanya, tidak.

"Hallo cantik, siapa namamu?" tiba-tiba saja András bertanya kepada Jihanku dengan suara yang cukup manis.

"Jihan, Om bisa memanggilku Jihan seperti bunda Tata atau teman-temanku yang lain."

"Bunda__?" tanyanya lirih. Namun langsung dijawab oleh  gadis manis yang kini berdiri sambil menggenggam tanganku. "Iya, bunda Tata adalah ibuku. Apa Om tidak mengenalnya, tapi kalian sudah berbicara meski aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Pastinya kalian sudah saling mengenal."

Skakmat !!

Apa yang akan dibicarakan oleh András lagi ketika dia memperoleh jawaban dari seorang gadis kecil segamblang itu.

"Ta, can you explain to me about that?" Suara tanya itu terdengar sedikit meninggi kepadaku namun ternyata gadis kecil yang berdiri di sampingku ini berubah memposisikan diri menjadi bodyguard yang siap melindungiku. "Pelankan suara Om di depan bundaku. Aku tidak suka ada orang membentak bunda atau berbicara kasar kepadanya."

"I have to meet your mother and of course your family, András. Give me a way." Meninggalkannya saat ini adalah keputusan paling benar. Rasanya memalukan sekali, sudah menjadi mantan namun kami masih berseteru. Namun namanya hati tidak akan pernah bisa bohong, aku merindukannya. Merindukan desah nafasnya, merindukan kemanjaannya, merindukan keusilannya dan ternyata rasa rindu itu sanggup melupakan sejenak sesak dan sakit hati akibat dari perbuatan yang pernah dilakukannya kepadaku dulu.

Tidak berbeda jauh dari András, keluarganya juga menatapku penuh dengan tanda tanya. Melihat kemesraan yang tercipta antara aku dan Jihan, tentu saja, apa lagi yang membuat banyak pertanyaan namun enggan diungkapkan dan lebih memilih berbicara di belakang. Ya Rabbi, hidupku ini bukan pertunjukan wayang kulit. Dimana penonton lebih asyik melihat dalang beraksi di belakang kelir dengan sorot penerangan yang minimalis. Lebih sopan rasanya untuk bertanya baik-baik daripada membicarakan di belakang dan sayangnya kedua telingaku menangkap dengar.

"Ternyata Tata sudah menikah lagi, makanya dia sudah langsung memiliki anak."

"Mana suaminya sudah meninggal lagi Tante."

"Tahu darimana, kamu bertanya?"

"Itu tadi anaknya yang bilang, katanya nanti kakak doain papa yang ada di surga juga. Bukankah berarti suaminya mbak Tata sudah meninggal?"

Aku menggelengkan kepala, masih sama ternyata perangai mereka dari jaman Belanda masih berkuasa di Indonesia hingga kemerdekaan yang hampir ke seratus tahun.

"Saya belum menikah, Tante. Itu informasi jika tante membutuhkannya, mengenai Jihan dia memang anak yatim dan saya membantu untuk merawatnya." Cukup, atau bahkan itu sudah terlalu berlebihan. Aku bermurah hati memberitahukan siapa Jihan yang sebenarnya. Ucapan yang aku lontarkan cukup untuk membungkam bibir mereka yang terlalu usil mengomentari apa yang seharusnya tidak menjadi urusan mereka.

"Umi ingin meminta maaf, Tata."

"Maaf untuk apa umi?" Deeptalk antara aku dan umi yang sebenarnya membuatku seolah bermandikan keringat dingin. Meski sudah mempersiapkan mental, rasa takut dan tremor itu belum sepenuhnya hilang. Aku takut disalahkan lagi, aku takut mereka akan menyidangku kembali, seolah aku ini terdakwa yang harus menerima hukuman tanpa bisa mengajukan pledoi.

"Untuk semuanya, Farheen telah menceritakan semuanya kepada umi. Kamu dan András sebenarnya masih saling mencintai bukan?"

"Bukankah András telah memutuskan untuk menikahi wanita lain umi, lalu cinta yang seperti apa yang ditujukan kepada saya?"

"Siapa yang bilang? András masih sendiri hingga saat ini. Dia selalu menolak ketika ada calon yang diperlihatkan kepadanya. Umi yakin dia masih mencintaimu." Aku hanya bisa diam. Bahagia? Sedikit, dan itu cukup diketahui bukan untuk dimaklumi. Karena perasaanku yang sebenarnya juga masih belum bisa terlepas dari bayang-bayang András sialan. "Apa masih tidak ada kemungkinan untuk kalian kembali lagi seperti dulu?"

Mendadak ingatanku kembali pada suatu waktu dimana dengan lantang András mengucapkan kata talak setelah kami memadu cinta. Air mataku sebagai saksi, bahkan saat ini tanpa kuberikan komando buliran bening itu kembali menetes. Sakit hatiku saat mengingatnya, namun jujur ternyata aku juga masih mencintai mantan suamiku.

Ah, benar kata Aini. Dia selalu mengatakan si 'mantan terindah', jika sesuatu itu terindah mengapa juga harus menjadi mantan. Buktinya kami, sama-sama memilih jalan untuk berpisah namun masih saling terikat dalam ikatan cinta tanpa nama.

Aku termenung, berpikir, kira-kira apa alasan ibu mertuaku mengatakan semua ini kepadaku saat ini. Sikapnya juga berubah kepadaku. Apa karena aku sekarang menjadi lebih tegas dalam mengambil sikap dan keputusan atau ada alasan lain yang membuatnya bersikap semanis itu kepadaku.

"Bunda, bunda melamun?" Tangan kecil itu mengguncang lenganku. Menyadarkanku dari lamunan sesaat yang hinggap dari banyaknya pertanyaan atas alasan pembenaran tentang sikap.

"Eh anaknya bunda, tidak, bunda tidak melamun. Kakak ingin apa?"

"Apa kita masih lama ada di sini?" aku mengerutkan dahi, ingin mengetahui apa yang menjadi kelanjutan kalimat dari pertanyaan gadis cantikku kali ini. "Dari tadi aku lihat, om yang tadi bicara dengan bunda memperhatikan bunda terus, aku jadi takut kalau om itu nakalin bunda."

Anak kecil tidak pernah berbohong, anggaplah itu suatu fakta. Jadi András sedari tadi memperhatikanku. Lalu apa maksudnya?

⭐⭐------------------------

• to be continued •

Sorry for typo
Blitar, 26 Juli 2021

Continua llegint

You'll Also Like

10.8K 573 6
BUDIDAYAKAN FOLLOW SEBELUM BACA!!! [bijak dalam berkomentar, tidak menerima hujatan, kalo nggak suka dengan cerita aku, skip aja nggak usah dibaca...
667K 70K 31
Tentang ia yang hanya bayangan di keluarga nya, tentang ia yang harus di paksa kuat oleh keadaan, dan tentang ia yang harus bisa tegar di saat semua...
93.7K 6.3K 47
penasaran sama ceritanya baca aja..... #kim taehyung #jeon jungkook #min yoongi #park jimin #kim seokjin #kim namjoon Vkook gs. Bekerja sama dengan c...
4.4K 537 22
"Adel aku capeee" tangis ashel yang bisa di bilang sangat miris,ashel menangis di dekapan Adel "bertahan kamu kuat" jawab Adel sambil menenangkan ash...