BELAMOUR 3.0

By Min_iren

9.5K 1K 9.8K

Bila daksamu terlampau tenat, atma diselimuti masygul muluk-muluk, singgahlah pada tempat yang menurutmu pali... More

Foreword
Letters To A Sacred Soul
Dezamăgire
Woebegone
Continue de t'attendre
Magnolia's Penumbra
Floricide - Smell of the Death from Asphodel
Sacrifice
Trailer
Eccedentesiast - Hides pain behind a smile
Psithurism
Endlose Sehnsucht
Lypámai
Absquatulate
엑스트라

Caraphernelia

460 48 703
By Min_iren

"Haluku adalah dirimu, mimpiku adalah bersamamu, realitaku adalah kepergianmu."

Malang, 28 Juli 2021.

---

Hujan tak kunjung reda, yang paling menyedihkan adalah kau telah tiada. Ada kenangan yang telah membeku pada miliaran detik yang berlalu. Aneh, memang; selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melakoninya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan. Membuatku terpaksa menutup payung, menghentikan tujuanku pulang ke apartemen dan singgah ke dalam kafe yang berada di sampingku akibat hujan tidak ingin menghentikan guyuran airnya tanpa jeda.

Baru menarik gagang pintu, belum juga masuk sepenuhnya, sorot mata semua orang teralih padaku. Entah itu kekaguman ataupun hanya sekadar penasaran siapa yang datang. Tak ingin unjuk diri, namun, orang-orang di Jerman mengenalku dengan gadis berparas ayu bak titisan Dewi Afrodit dengan tambahan bola mata berwarna amber yang melengkapi.

Aku hanya menundukkan kepala, pun mengulas senyum ketika ada seorang pria melempar senyuman padaku. Ah, ternyata mereka sangat ramah. Tidak sia-sia aku memilih kabur ke negara kaya ginseng ini. Selain banyak suguhan wisata apik, sajian sedap di sini amat sukar ditampik.

Sebelum menetapkan pesanan, agaknya tanganku tergerak untuk memangku dagu di atas meja barista. Mata amber-ku bergulir dari satu menu ke menu lainnya. Sial, puluhan varian kopi dan dessert di kafe rumahan ini sukses membuatku kebingungan. Kelihatannya enak, semua patut dicoba. Sayangnya tidak, karena sedang tanggal tua.

Sejemang, aku terdiam. Mengunci tatapanku pada satu objek yang lebih mengesankan. Si barista tampan.

"Hi, welcome. What would you like to order?" sapanya ringan, begitu lembut menelisik rungu. Senyum kelewat manis dengan lesung pipi yang menghiasi kedua pipinya mampu membuatku tidak berkedip selama lima detik.

"I'd like an affogato coffee and a banoffee pie with extra caramel."

Barista itu mengerutkan keningnya, membentuk tiga buah lipatan yang kuyakin sedang kebingungan. "Suka kopi dingin, ya, ketimbang kopi panas? Padahal di luar hujan, suhu juga tidak bisa diajak kompromi."

"Melawan arus sebenarnya—yang dibutuhkan kopi panas, tetapi aku lebih suka kopi dingin di saat hujan begini."

Kekehan kecil berhasil kami udarakan bersama. Begitu hangat saat berinteraksi dengan barista semanis dia. Walaupun hanya sekilas, barista itu mampu membuat suasana yang berbeda. Suasana yang selama ini kuinginkan. Suasana yang telah hilang satu tahun lalu. Suasana yang mampu membuatku kembali menghangat seperti sebelumnya.

Rasanya tidak bisa dipungkiri, setiap rintik hujan turun—aku kembali mengenang apa yang seharusnya tak kukenang. Amat menyesakkan dan menyakitkan. Hujan membuatku membuka ruang penyesalan. Hujan membuatku kehilangan orang yang kusayang. Nahasnya, nyawa calon tunanganku terenggut di derasnya hujan melanda.

Tanpa sadar mataku mulai memanas dipenuhi cairan bening yang siap terjang bebas. Aku kalah. Aku menangis. Beberapa kali menyeka, tetap tidak bisa ditahan. Aku tahu ini salah, seharusnya tidak menangis di keramaian.

Kesadaranku kembali ketika pesananku sudah di atas meja. Saat menengadahkan kepala, aku dibuat terkejut dengan kehadiran presensi barista itu.

"Pesananmu, Nona. Spesial, karena aku sendiri yang membawakannya."

Buru-buru aku menyeka air mata yang masih tersisa. "Kenapa ada dua gelas?" tanyaku agak heran.

Si barista tampan itu mengulas senyumnya, lagi. "Karena hari ini hujan, maka aku membuatkanmu kopi panas juga. Kasihan tubuhmu jika tidak mendapatkan kehangatan, nanti bisa sakit. Tenang saja, gratis kok."

"Whoa, terima kasih telah memberiku satu kopi gratis, Tuan ...?"

"Gwan Namjoon." Dia mengulurkan tangan.

Aku menjabat tangannya. "Vallery Graziella Kannert. Asli berdarah Jerman tanpa di-mix sama sekali."

Kekehan kecil Namjoon mengudara dari celah bibirnya. "Ah, Vallery Graziella Kannert?"

"Oh my God! Selama dua minggu di Korea, baru kali ini ada yang menyebut namaku dengan benar. Rupanya kau memang fasih berbahasa Inggris." Aku bertepuk tangan guna mengapresiasi sosok Namjoon ini. Dia langkah—lantaran memanggil namaku tanpa ada salah kata.

"Jadi, selama dua minggu, bagaimana orang-orang memanggilmu?"

Kutaruh jari telunjuk di bibir, seperti sedang berpikir untuk menjawab pertanyaannya. "Kalau tidak salah— Valleurieu, Palleorieu, Valluri, dan ... ah! Paleri. Bedanya jauh sekali tau ...."

Alih-alih menanggapi ceritaku tadi, Gwan Namjoon merogoh kantung kemejanya—mengambil kain kecil yang disebut sapu tangan. Dia memberikannya kepadaku. Aku menaikkan satu alis, tidak mengerti apa maksudnya. "Jangan menangis lagi, jangan biarkan air matamu jatuh sia-sia, dan jangan biarkan dirimu berlarut dalam kesedihan. Adakalanya kita harus mengikhlaskan apa yang harus kita ikhlaskan. Aku tidak tega melihat wanita menangis di depanku. Pertahankan senyum cantikmu, aku menyukainya."

Huh, aku mengembuskan napas pelan, lalu mengusapkan sapu tangan ke pipi yang masih terasa basah. Inginku—sapu tangan ini kugunakan nanti, tapi tidak ingin membuat hati Gwan Namjoon kecewa. Karena kebiasaan di Jerman mengajarkan— jika kita diberi sesuatu, sebaiknya langsung digunakan agar menghargai si pemberi. Begitulah Jerman, saling menghargai selalu diprioritaskan.

Tersenyum sendu, itu yang kutunjukkan sekarang. "Kenapa kau peduli kepadaku?"

Gwan Namjoon menghela napas. "Karena aku tahu rasanya kehilangan."

"Hey! Kau ini sok tau sekali! Bagaimana bisa kau menyimpulkan bahwa aku merasa kehilangan, huh? Bisa saja aku habis jatuh atau mungkin aku sedang menangis bahagia, 'kan?"

Tawa Namjoon mengudara. "Habis jatuh sama saja kehilangan separuh tenaga, bukan? Tenagamu sedikit terkuras untuk menahan rasa sakit. Lagi pula jika kamu menangis bahagia, raut wajahmu tidak akan menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kamu bisa mengatakan baik-baik saja kepada orang lain. Tetapi, kamu tidak bisa mengatakan baik-baik saja pada dirimu sendiri."

Sial, ucapan Namjoon sukses membuatku terdiam. Kutatap iris cokelat gelapnya lamat-lamat. Begitu teduh, penuh ketulusan, aku bisa merasakannya. Agaknya Gwan Namjoon mengucapkan untaian kalimat itu dari lubuk hati terdalam. Mungkin rasa kehilangan yang dia alami lebih besar ketimbang rasa kehilanganku. Cukup lama aku terdiam, hingga Namjoon mengembalikan kesadaranku untuk kedua kalinya dengan menggoyangkan telapak tangan di depan wajahku. Dia tersenyum manis. Aku sangat terkesima.

Inilah pertemuan manisku dengannya, di tempat dia bekerja, karena hujan yang membawaku menemuinya—Gwan Namjoon, sosok barista tampan pemilik kedua lesung pipi yang menawan.

---

Ketika kutadahkan telapak tangan ke atas langit, detik itu juga kutekuk wajahku. Aku mendesah pasrah karena tanganku basah. Hari ini hujan, padahal masih siang. Aku juga baru saja turun dari lantai tiga, dan harus kembali ke kamar demi mengambil payung?

Kutebar pandanganku ke sekeliling, mengamati satu per satu sudut ruangan. Ternyata hari ini Tuhan berpihak kepadaku. Ada satu payung berada di bawah mading, pun aku mengambilnya.

Tanpa kusadari—saat payung terbuka sempurna, agaknya sosok pria sedikit tidak asing di penglihatanku sedang menutup payungnya dan berjalan masuk. Bahkan kurasa dia sekilas menoleh padaku ketika aku mulai berjalan menjauh. Sayangnya, saat aku berbalik, sudah tidak menemukan siapa pun—dia menghilang.

Sambil menunggu bus datang, aku duduk tenang di halte dengan mendengarkan lagu melalui AirPods yang terpasang rapi di telinga, sampai tidak sadar kakiku turut mengayun juga. Cukup lama terpejam, hingga aku membuka mata perlahan, masih saja bus belum datang.

"OH GOSH!"

Jelas aku berteriak menggelegar saat melihat Namjoon duduk di sampingku. Tunggu, ini bukan mimpi, 'kan? Kutampar pipiku dua kali, berharap aku tidak ketiduran di halte dan memimpikan barista tampan semalam. Valid. Ini realita. Dia benar Namjoon yang sedang menatapku dengan senyum mengembang di wajahnya.

Aku tersentak saat jari tangannya menumpu pada pundakku. "Vallery, sedang apa kamu di sini?" Oh, pertanyaan macam apa ini? Sudah jelas kalau berada di halte pasti sedang menunggu bus, bodoh! Sayangnya, aku hanya berani mengumpat dalam hati tanpa mau menyeletukkan kalimat kasar secara terang-terangan.

"Ah, maksudku, apa yang sedang kamu lakukan di daerah ini?" imbuhnya, dengan menggaruk pelipis.

"Tadi dari apartemen, lalu duduk di halte bus, kalau bus datang nanti mau ke kafemu. Kalau kamu, sedang apa di sini?"

"Apartemenku di daerah ini." Menjeda sejenak untuk mengambil napas. "Kalau begitu, berangkat bersamaku saja. Bus juga sudah datang," ajak Namjoon sambil menarik tanganku.

Entah kenapa, tiba-tiba suasana canggung meliputi kami berdua. Hening. Tidak ada yang berbicara. Apalagi bus sepi penumpang, dan kami duduk paling belakang. Sebenarnya aku ingin mengajak dia berbicara, namun, terkalahkan oleh gengsiku. Sumpah. Padahal di dalam hati sudah bersorak agar aku cepat basa-basi dengannya.

Nyatanya, tanpa mau mengurai kalimat dari celah bibirku, aku hanya mampu menyodorkan satu AirPods kepadanya. "Mau mendengarkan lagu bersamaku? Aku jamin kamu tidak akan kecewa mendengar lagu favoritku."

Dia memakainya. Setelah itu hening kembali menyelimuti. Nyaliku amat ciut untuk bertanya ini itu kepada Namjoon yang baru kukenal kemarin malam. Namjoon juga nampak kurang minat untuk diajak mengobrol, matanya terpejam, kedua tangannya melipat di depan dada. Mungkin sedang mencoba untuk beristirahat selama perjalanan. Jadi, hanya musik yang menemani kami menuju tempat yang sama-sama ingin kami kunjungi.

Rasanya malu sendiri ketika tanganku bertengger di lengan Namjoon. Begini, bukan aku yang genit—tiba-tiba menggandeng lengannya. Tetapi, dia sendiri yang mengambil tanganku untuk digandengkan ke lengannya. Jadilah sorot mata para pelanggan tertuju pada kami ketika baru saja memasuki kafe.

"Maaf ya, karena tiba-tiba menggandeng tanganmu. Aku takut kamu tersesat," kata Namjoon diimbuhi kekehan kecil. Aku tahu itu hanya candaan.

"Tidak apa-apa, kok. Aku suka," ucapku spontan.

Namjoon membolakan mata. "Serius, suka? Kalau begitu, bergandengan saja denganku setiap hari. Tidak lepas setiap detik juga tidak apa-apa."

"Jangan mengada-ada, Joon. Sudah sana, bekerjalah dengan baik. Ah, aku pesan seperti kemarin. Kali ini kamu tidak perlu memberiku kopi gratis lagi."

Namjoon mengedipkan sebelah matanya. "Alright, girl from Germany."

Setelah dia lenyap dari balik pintu, aku mengambil duduk di tempat kemarin yang kebetulan kosong. Kali ini aku senyum-senyum sendiri seperti baru jatuh cinta. Nyatanya, memang iya. Mau bagaimanapun, aku tidak bisa dusta kalau ada secuil rasa suka kepada Namjoon. Sebab, apa pun yang pernah kudapatkan dari calon tunanganku, telah Namjoon berikan. Bukan materi, tetapi kehangatan dan kenyamanan.

"Aduh ... kamu menunggu terlalu lama, ya? Tadi di belakang ada sedikit kendala."

"Kendala apa?"

Dia menggigit bibir bawahnya samar sekaligus menggaruk tengkuk. "Aku tadi salah memencet tombol dan mesin kopinya bermasalah."

Aku tertawa kecil melihat Namjoon mengerucutkan bibirnya gemas seakan habis membuat kesalahan besar. "Sini, temani aku melihat hujan. Mungkin kita bisa bertukar cerita, kalau kamu tidak keberatan tentunya."

"Tidak ada kata keberatan untukmu. Mau mendengar ceritaku, tidak? Tentang merasakan kehilangan yang pernah aku katakan kemarin malam." Aku mengangguk antusias.

Sebelum bercerita, Namjoon membasahi bibir bawahnya. "Aku pernah terpuruk begitu dalam. Kehilangan sosok yang kusayangi berturut-turut. Setelah ayahku meninggal, lima hari kemudian—ibuku menyusul kepergian ayah. Dua hari setelah itu, saat malam gelap menurunkan hujan yang begitu deras, kekasihku mengalami kecelakaan parah hingga nyawanya tidak bisa diselamatkan. Aku benar-benar sendirian pada masa itu, tidak ada yang memberiku semangat sekecil apa pun. Jujur saja, aku sedikit tidak terima pada Tuhan yang memberikan takdir buruk kepadaku. Bagiku tidak adil, kehilangan seseorang istimewa secara beruntun."

Namjoon menyeka sudut matanya agar tidak menangis. Mencoba tegar dengan menampakkan senyuman. "Aku sudah ikhlas," tambahnya.

"Aku tidak menyangka kita memiliki nasib sama. Kehilangan sosok kekasih yang begitu kusayangi. Seandainya dulu aku tidak meminta calon tunanganku untuk menjemputku selesai kelas balet, mungkin dia masih ada sampai detik ini. Dia meninggal karena hujan juga, saat malam hari, dan jalanan sunyi. Aku sangat menyesal sekali. Itulah alasanku kabur ke sini, ingin mengubur masa lalu dalam-dalam."

Namjoon menarik napas dalam. "Bukan salahmu, Vallery. Jangan menyalahkan diri sendiri karena takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Perlahan, coba ikhlaskan. Buka lembaran baru yang lebih baik ke depannya."

---

"Huh ...," desahku lega karena sudah di depan apartemen. Hari ini aku pulang larut malam. Setelah dari kafe Namjoon, aku menelusuri tempat-tempat indah untuk merelaksasikan pikiran agar tenang. Baru saja memencet tombol lantai tiga, ada seorang pria yang menghentikan pintu lift untuk tetap terbuka.

"Loh, Namjoon?"

"Vallery?!"

Kami sama-sama terkejut.

"Apartemenmu di sini?"

"Kamu juga?"

Kami saling bertanya.

"Iya," jawab kami kompak.

Aku terdiam. Namjoon membuka suara, "Ternyata kita tinggal satu atap, beda lantai, dan beda kamar. Kamu lantai berapa?"

"Tiga, Joon. Kalau kamu?"

"Di atasmu, lantai empat."

Mataku otomatis membulat. "Whoa, ternyata kita bertetangga. Kamu mau berkunjung ke kamarku, tidak?" Namjoon mengacungkan ibu jari, pertanda menyetujui tawaranku.

Awalnya tidak ada niatan untuk minum, tetapi aku sudah terlanjur mengambil dua botol soju untuk disuguhkan ke Namjoon. Pada akhirnya kami bersulang beberapa kali sambil membicarakan hal-hal spontan lainnya.

"Kamu masih kuliah?" Aku mengangguk spontan, "di Universitas mana dan mengambil jurusan apa?"

"Ludwig Maximilian University, di kota Munich, dan aku mengambil jurusan Astronomi."

"Wow, keren! Sebenarnya, dulu aku juga punya niatan untuk memahami seluk beluk alam semesta. Tetapi, entah kenapa, instingku menuntun untuk berkuliah di manajemen bisnis. Dan berakhirlah aku mengambil kerja paruh waktu di kafe temanku," jelas Namjoon memberi informasi lebih.

Dari sekian panjang Namjoon bercerita, aku hanya menanggapi dengan anggukan kepala, pun sesekali meminum soju. Mungkin mulutku bingung ingin bertanya tentang apa. Sebab, diriku ini tidak pandai mencari topik pembicaraan yang lebih luas.

Pada akhirnya Namjoon benar-benar menutup mulutnya dengan meneguk soju. Setelah beberapa menit kami bungkam, dia berucap, "Vallery, bagaimana tanggapanmu kalau seandainya aku menyukaimu?"

Kaget dan nyaris tersedak. Kalau seandainya itu benar, aku malah bahagia. "Aku akan mengizinkannya. Kalau aku menyukaimu juga, bagaimana?" Aku balik bertanya.

"Sangat diperbolehkan kalau kamu menyukaiku, apalagi sampai mencintaiku. Percaya atau tidak, aku menyukaimu karena senyum cantik itu—sama persis dengan senyuman milik ibuku."

Aku tersenyum sendu, kagum kepada Namjoon yang begitu menyayangi sosok ibunya.

Namjoon menarik napasnya. Memejamkan kedua matanya selama tujuh detik. "Kau tahu tidak—perempuan itu ibaratnya seperti apa?"

Aku menggeleng. Jujur, aku memang tidak tahu.

Namjoon membuka matanya. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. "Perempuan itu ibarat buku yang tebal, hanya lelaki sabar yang mampu membacanya sampai halaman terakhir. Dan aku, adalah lelaki yang mencoba membaca buku tebal itu sampai halaman terakhir dengan cara memahamimu sedalam-dalamnya, sekaligus menghadapimu penuh kesabaran dan kelembutan."

"Dan laki-laki itu ibarat dosen yang memberikan revisi, memperbaiki kekurangan untuk menjadi lebih baik lagi. Aku harap—kau bisa melakukannya untukku," imbuhku.

Namjoon menarik senyum tulusnya, pun mengacak rambutku gemas, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya. Sangat erat. Aku bisa merasakan pelukan hangat itu. Aku bahagia, bisa mendapatkan hati Namjoon untuk kumiliki selama-lamanya.

Itu pun kalau Tuhan mengizinkan kita tetap bersama.

---

Semenjak dua bulan lalu kami menjalin hubungan, lebih dari sekadar teman—aku rasa akan berjalan mulus untuk ke depannya. Ternyata tidak. Akhir-akhir ini, sikap Namjoon dingin dari biasanya. Aku sendiri bingung. Sumpah.

"Aku pernah berbuat salah apa ya, ke Namjoon?" gumamku pelan. Pernah berpikir seperti ini berulang kali.

Tadi siang saat aku naik ke lantai empat untuk menemui Namjoon, dia tidak ada. Sandi di pintunya tidak terbuka, padahal aku hapal di luar kepala. Ternyata sandinya sudah diubah, Namjoon tidak bilang kepadaku.

Hari ini kami belum saling bertatap muka, pun kemarin aku bertemu dengannya saat malam hari dia mengunjungi kamarku, memberikan makanan yang dibeli dari restoran. Waktu itu aku menyuruhnya untuk masuk sebentar, Namjoon menolak, katanya lelah—mau langsung tidur. Well, aku memahami jika pria itu kelelahan, raut mukanya begitu kentara. Jadi, aku membiarkan dia untuk kembali ke lantai atas, meskipun aku sangat merindukannya.

Aku mengembuskan napas kasar. Entah sejak kapan, kedua tanganku sudah mengepal erat. "Kurang ajar!" Tidak bisa menampik, aku memang sekesal itu pada Namjoon.

Dia tidak merindukanku, 'kah?

Bahkan, kemarin dan hari ini pun Namjoon belum memberikanku morning kiss. Dan malam tadi, dia tidak sempat memberiku night hug plus night kiss. Aku menggerutu dalam batin, ralat—lebih tepatnya mengumpat terlampau kasar.

Lagi, aku mengembuskan napas kasar. Membuka mataku perlahan, tidak ada gunanya merenung sambil mengumpat dengan tiduran. Lebih baik aku bersiap dan segera menyusulnya ke kafe, pasti dia ada di sana.

"Haha ...." Tertawa hambar, itu yang kulakukan sekarang di depan Jeong Jaehyun, teman Namjoon sekaligus pemilik kafe rumahan ini. Namjoon juga tidak ada di sini. Entah ke mana pria itu pergi. Kata Jaehyun—Namjoon masuk sif malam. Jadinya aku menunggu di sini untuk dua jam ke depan.

Tetap sama, tidak mau berubah, walau mengambil duduk di samping tempatku biasanya. Seperti biasa, aku duduk di tempat ini lagi—sebelah jendela yang menjadi pembatas dalam dan luar ruangan kafe selama dua bulan lebih. Tidak bosan. Dan akan tetap seperti ini seterusnya.

Sebelum bulan depan aku kembali ke Jerman untuk melanjutkan kuliah karena masa cutiku hampir habis, dari hati terdalam, amat ingin memperbaiki hubunganku dulu dengan Namjoon sebelum lepas landas ke negara asalku untuk beberapa waktu.

Aku ingin semuanya berakhir. Begini maksudku—perang dingin di antara kami berakhir. Padahal, penyebab dan awal mula Namjoon seperti menghindar dariku, aku juga tidak tahu. Sampai saat ini pun, beribu pertanyaan masih berkelebat di otakku. Aku harus memastikan dahulu sebelum pergi. Hari ini harus sudah clear, dan kami kembali membaik.

Ternyata Namjoon datang satu jam lebih cepat. Dia tahu keberadaanku, bahkan menatapku sekilas sebelum pergi ke ruang ganti pakaian. Kualihkan pandanganku ke luar, menatap jalanan basah karena hujan kembali mengguyur sejak sepuluh menit yang lalu.

Akhirnya, setelah lima belas menit menunggu, Namjoon keluar dari dapur—bukan dari ruang ganti. Di tangannya sudah ada segelas kopi panas yang dia bawa menuju tempatku berada. Anehnya, Namjoon tidak memakai apron kali ini.

Namjoon duduk di depanku. Dia tersenyum manis, lalu mengulurkan tangan untuk mengacak rambutku. "Sudah makan, hm?" Bahkan tangannya masih setia di atas kepalaku.

"Jangan berdeham seperti itu. Nanti aku jadi candu," jawabku sambil mengerucutkan bibir.

"Pertanyaannya; sudah makan, hm?" Sekarang tangannya turun di pipi kananku, mengusapnya perlahan, alhasil aku tersipu, pipiku merona.

"Sudah. Kalau kamu?"

"Sudah juga."

Diam sejenak. Aku menarik napas pelan, sedangkan Namjoon mengehela napasnya. "Ada yang mau aku bicarakan. Penting." Seketika suasana berubah jadi tegang. Pernyataan Namjoon sukes membuatku mengangkat satu alis.

Aku menggigit bibir bawah samar, lalu menatap iris cokelat gelap itu seksama. Namjoon nampak serius, raut mukanya sangat kentara sekali.

"Ini." Namjoon menyodorkan sebuah kartu apik terbungkus plastik bening. "Aku mengundangmu untuk datang ke pernikahanku Minggu depan. Aku harap, kamu datang."

Nyatanya, aku tetap diam, karena hanya mampu menjerit dalam batin. Tatapanku masih setia menatap iris gelap itu, sulit untuk kualihkan meski pelupuk mataku sudah terasa penuh cairan. Aku masih menahannya untuk tidak menangis detik ini juga.

"K-kamu b-bercanda, 'k-kan?"

"I am serious, I hope you understand."

"Don't give me that baloney!" Tidak sanggup lagi, turunlah satu tetes air mata yang tadi coba kutahan.

"Selama ini aku hanya main-main saja. Sama sekali tidak memiliki secuil rasa padamu. Aku tahu aku jahat, kamu pantas membenciku. Kalau kamu ingin memaki sekaligus menamparku, silakan, aku tidak keberatan." Namjoon menggeser duduknya mendekat ke arahku, bahkan wajahnya sudah mendekat ke wajahku.

Aku tersenyum hambar. "Oh, kukira kamu orang yang tepat untuk menata hidupku ke depannya. Sekarang aku bisa menyimpulkan, kalau selama ini semua ucapanmu hanyalah omong kosong belaka."

"Tidak sepenuhnya aku berbohong. Satu hal yang kusukai dari dirimu—senyummu sama persis dengan milik ibuku." Namjoon menarik napas dalam. "Aku tidak akan meminta maaf karena membuatmu patah hati. Aku tidak akan meminta maaf karena telah mengundangmu ke pernikahanku. Dan aku tidak akan berterima kasih karena kamu sudah menjadi milikku selama dua bulan ini. Tetapi, aku akan berterima kasih jika kamu datang untuk menyaksikan hari bahagiaku bersamanya. Aku memang orang yang jahat." Setelah kalimat terakhir, Namjoon berdiri. "Selamat tinggal. Aku berharap kamu menjalani hidup dengan tidak baik-baik saja."

Sesakit itu mendengar ucapan yang sama sekali tidak ada belas kasihan.

Aku bodoh. Masih sempat memeluk Namjoon dari belakang tanpa mempedulikan hujan yang sama-sama membasahi tubuh kami berdua. "Jangan pergi, kumohon ...."

Namjoon mencoba melepaskan pelukan eratku. Namun, sebisa mungkin aku tetap menahannya. "Kamu pernah berkata untuk membaca buku sampai halaman terakhir. Kamu juga pernah berkata akan memahamiku sedalam-dalamnya, dan akan memperlakukanku penuh kesabaran. Ke mana semua ucapanmu yang berhasil membuatku takluk dalam sekejap, Joon?"

"Sudah kubilang, aku hanya main-main saja. Aku bercanda padamu, Vallery!"

"Apa alasanmu melakukan ini padaku?!" teriakku sekeras mungkin, melawan derasnya hujan. Tanganku tak berhenti memukul dada bidang Namjoon berkali-kali.

"Aku harus pergi, tidak ada waktu untuk mendengarkanmu lagi. Selamat patah hati untuk yang kedua kalinya. Pria ini akan bahagia bersama wanita lain secepatnya. Aku benar-benar mengharapkanmu datang." Namjoon pergi. Aku menangis sekencang-kencangnya.

"Joon, mencintaimu kini hanyalah kenangan yang tak dapat terulang," ucapku pelan, seiring dengan punggung Namjoon yang mulai menghilang.

Keputusanku salah—diam-diam menitipkan harapan besar kepada pria yang membuatku patah hati untuk kedua kalinya. Aku menyesal. Seharusnya tidak pernah kabur ke Korea Selatan dan bertemu dengannya. Mungkin, seandainya tidak ke sini, ini tidak akan terjadi. Hatiku tidak akan patah berkali-kali.

Sekarang berakhir dengan aku yang berjalan di derasnya hujan agar tak ada satu orang pun tahu kalau aku sedang menangis saat ini. Sudah cukup hatiku tersakiti, aku butuh sembuh seutuhnya. Siapa menyangka baru kemarin aku adalah segalanya, dan hari ini aku bukan siapa-siapa.

Memiliki nasib sama, tidak menentu ditakdirkan untuk bersama. Anggap saja seperti ini;

[TAMATEUUUUU]

Thanks, khusunya buat Kim Namjoon.

Teruntuk Kak @min_iren yang sudah menampung seluruh cerita kita semua, dan Kak RanEsta13  yang mau membantu merevisi naskah, serta ketiga belas penulis lainnya yang mau berkontribusi untuk Belamour ini, aku ucapkan terima kasih banyak.

Ah, buat para pembaca, kami semua juga berterima kasih karena sudah mau meluangkan sedikit waktunya untuk berkunjung. Sayang banyak-banyak🥰🌚



















🧚vinsaass🧚

Continue Reading

You'll Also Like

873K 24.5K 63
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
399K 1.6K 5
ONE SHOOT 21+ If you found this story, u clearly identified as a horny person. So find ur wildest fantasy here and just let's fvck, yall. Underage ki...
247K 583 5
52K 5.1K 28
DOSA TANGGUNG SENDIRI!!! CERITA INI HANYA FIKTIF TIDAK ADA SANGKUT PAUT NYA DENGAN CERITA ASLI. Area B×B & G×G & B×G!!! Berbijaklah dalam memilih bac...