XABIRU [END]

By SiskaWdr10

49.5K 3.8K 601

[Series stories F.2 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Hilangnya satu malaikat Tuhan kembali memberikan malaik... More

01.Kita yang sama
02.Si gadis sempurna
03.Apa itu ayah?
04.Mata yang sama
05.Mindset yang buruk
06.Dia iblis pembunuh!
07.Jagoan sedang sakit
8.Rai, kita jadi dukun ya.
9.Malaikat dan kehidupan
10.Anti bucin garis keras
11.Semesta & Rai milik Biru
12.Silsilah darah Ricardo
13.Ru, bumi udah bersyukur.
14.Si biang kerok menang
15.Masa-masa dengan Ra
16.Selamat hari Rai sedunia
17.Biru lebih berhak bahagia.
18.Prioritaskan diri sendiri
19.Puisi punya pemiliknya
20.Gess gadis bintang rock
21.Yang berkuasa atas rasa
22.Satu-satu nanti cape Ra
23.Insiden naas di rooftop
24.Duplikat dari sang ayah
25.Momen khusus ruang hati
26.Mengulang sejarah silam
27.Sejatinya rumah berpulang
28.Revolusi seorang Xabiru
29.Siap patah berkali-kali
30.Bad rumor, real hickey?!
31.Mengalir darah malaikat
32.Dua pemeran yang buruk
33.Selamanya tetap pelanggar
34.Dari si pemberi luka
35.Kita pake kerja cerdas
37.Biru, you are not alone.
38.Dasar pengingkar janji
39.Bandung adalah kamu
40.Ra selamat bahagia ya.
41.Kejutan paling mahal
42.Petualangan telah usai
43.Pulang untuk menetap
44.Pemenang dari takdir
45.Penikmat alur tengah
46.Lekung pemulih luka
47.Si netra hijau [akhir]
Hiii

36.Hukum kekekalan hati

660 60 3
By SiskaWdr10

⚠️Aku bener2 rekomendasiin kalian buat denger lagu di atas, setiap liriknya ngena bgt sma bab ini apa lgi pas lirik, dibagian yang:

"Dan kau harus temukan sebuah cinta yang pasti yang tak seperti aku yang jauh dari harapanmu." -Last Child:'

36.Hukum kekekalan hati

Xabiru selalu merasa jadi manusia paling beruntung semuka bumi saat berada di dekat Rai, manusia paling bahagia saat bisa jatuh dalam dekapan gadis itu dan berakhir jadi manusia yang paling hancur saat itu semua sudah jadi ilusi.

"Gue selalu ngerasa gagal dalam segala hal gess, bahkan buat jadi diri sendiri pun gue gagal," kata Xabiru parau, ia tengah ada dalam pengaruh alkohol.

"Semua orang pasti pernah ada di fase  itu ru, lo pikir gue berhasil? nggak. Kita semua maksain," balas Geisha menegak botol alkoholnya. Kedua manusia ini ada di kamar hotel, bersandar pada punggung ranjang.

"Gue nggak punya siapa-siapa ru, di bumi yang penduduknya bemiliyar-miliyar gue selalu ngerasa sendiri," lanjut Geisha lalu tersenyum kecut.

Terus saja kedunya sama-sama mencurahkan isi hati sampai tengah malam tiba. Tubuh Xabiru kembali bergetar dengan wajah yang pucat.

"Gess, sakit," ucap Xabiru tercekat. Getaran tangannya semakin bertambah.

Melihat wajah malang Xabiru air mata Geisha dengan mudah luruh. "Ru udah ya? lo nggak bisa terus-terusan gini."

"Tapi ini yang daddy mau gess."

"Ru kenapa sih?" Geisha mengusap air matanya kasar. "Kenapa ada orang sebajingan ayah lo?"

Xabiru menjawab patah-patah, nafasnya menderu lebih cepat. "Daddy hebat gess, cuma dia yang bisa bikin luka sehebat ini."

Geisha menunduk diam. Sekali lagi Xabiru berucap lirih. "Gess, sakit...."

*******

Beberapa Minggu lagi akan ujian ke lulusan, Rai terlihat semakin sibuk memantapkan nilai-nilai untuk masuk ke perguruan tinggi impiannya.

Bu Desi tersenyum hangat pada Rai, mengusap pundak sambil berkata, "Ra semoga nanti dapet suami yang baik ya."

Rai terperajat oleh ucapan gamblang tersebut, tidak lama ia balas tersenyum. "Aamiin, Bu."

"Makasih Ra udah mau bantu rekap nilai," kata Bu Desi bernada ramah. Rai jawab sama-sama sambil coba bangkit untuk keluar kantor sebab ini sudah jam istirahat.

Di tengah jalan ia berpapasan dengan Pak Wendi, membicarakan hal yang cukup serius bagi Rai. "Kehitung tiga hari sama hari ini biru nggak masuk tanpa alasan yang jelas Ra, bapak kira kamu tau dia kemana?"

Kepala Rai menggeleng kukuh. "Iya sih, Ra juga udah beberapa hari nggak liat."

"Kamu sama dua temennya bapak perhatiin udah nggak deket biru lagi ya, Ra? Zergan sana Calvin juga bapak tanya geleng-geleng kepala, nggak tau," ucap Pak Wendi bertanya serius. Rai membuang nafas panjang, raut wajah sedih Rai sudah menjawab 'iya' untuk pertanyaan bapak.

"Bapak udah kerumahnya?"

"Tante-nya bilang dia sekolah, bapak rencana hari ini mau ke rumahnya lagi, bapak nanya Ra kirain tau," ujar Pak Wendi. "Masalahnya ini bukan hanya di Minggu ini biru nggak masuk, satu bulan terakhir satu kantor bilang biru suka nggak hadir tanpa keterangan. Aduh Ra, ini menyangkut kelulusannya."

Air muka Rai langsung cemas, menghela nafas lagi. Walau sudah tidak bertegur sapa peduli Rai tetap mengalir tanpa diminta. "Tapi kabar baiknya nilai-nilai UPH biru selalu  tinggi, tinggi dalam artian pas KKM. Nggak kaya sebelumnya yang selalu dapet dua puluh atau paling tinggi empat puluh."

Bapak benar, itu kabar baik. Rai tanpa sadar tersenyum. "Syukur deh, nanti kalau Ra tau pasti kabarin bapak."

Sesampainya di kelas Rai mengerutkan kening. "Eh dimana?"

"Kantin, bangku paling pojok. Ngapain coba, Ra?" tanya balik Nara penasaran.

Feeling Rai langsung tertuju pada Xabiru.

"RAAAA!" teriak Nara pada Rai yang langsung berlari ke luar menuju meja paling pojok di kantin.

Tidak terlihat wajah angkuh seperti biasanya, Geisha malah terlihat letih. Kantung matanya hitam pekat, ketara kurang tidur. Setelah nafas teratur Rai duduk, pandanganya dipenuhi seribu pertanyaan pada Geisha.

"Kenapa, gess?" Rai bertanya lebih dulu.

Bukan menjawab Geisha malah memberikan Rai amplop coklat ukuran besar, Rai menatap bergantian pada wajah Geisha dan amplop di tangannya. "Buka, Ra."

Tangan Rai memutar-mutar tali kunci amplop untuk dapat terbuka. Di dalamnya terdapat foto hasil rontgen tengkorak kepala bagian belakang, diperhatikan lamat-lamat oleh Rai.

"Xabiru kena edema serebri," ucap Geisha membuat Rai mendongkak. "Pembengkakan otak karena benturan fatal."

Mulut Rai terbuka lebar, wajahnya meminta penjelasan lebih. "Gue nggak bisa jelasin lenkap kaya dokter, cuma itu yang gue paham Ra," katanya lalu menegakan cara duduk dan menatap takzim pada bola mata Rai. "Cedera fatal awalnya terjadi di hari ke matian mommy-nya, saat dia benturin kepalanya sendiri dan berakhir koma. Disusul benturan-benturan kecil karena dia suka berantem. Cedera fatal keduanya saat dia dituduh bersetubuh sama mantan pacarnya yang nggak lain istri ayahnya sendiri, pagi itu biru dipukulin sampe kepalnya belakangnya kebentur ujung ranjang. Dan cedera fatal ketiga...." Geisha membuang nafas panjang.

"Ketiga apa, gess?" Rai mendesak Geisha untuk segera menjawab.

"Terjadi di malam saat dia minta mutusin hubungan darah ayah-anak, biru sempet berantem sama ayahnya, dia dibenturin ke sisi meja kerja. Terus dia nyamperin lo dan pingsan, lo Inget itu, Ra?" secepat kilat Rai mengangguk.

"Paginya dia periksa dan dokter bilang ini bukan cedera biasa, harus segera dioperasi kalau nggak aliran darah dan oksigen yang harusnya diterima otak jadi menurun, sel-sel otak bisa rusak, menyebabkan hal yang lebih serius ... kematian," Rai langsung mematung di tempat. "Iya mungkin bisa aja operasi tapi uang dari mana Ra? malem itu dia udah mutusin apapun ke ayahnya termasuk duit, gue udah nawarin buat pinjemin ke dia pake duit jual motor tapi dia nggak mau Ra. Ribuan kali gue paksa dia tetep nggak mau, dan lo tau alasannya?" mata Geisha berkaca-kaca. "Karna ayahnya Ra, di malam yang masih sama ayahnya bilang lantang 'kau seharusnya pergi dengan wanita pelacur itu' ucapan singkat yang terus biru pikirin, biru bilang 'mommy dulu minta gue buat janji untuk nurut sama daddy jadi apapun yang daddy mau harus gue turutin' termasuk lenyap dari bumi, Ra. Sesayang itu biru sama mommy-nya sampai berkali-kali ngorbanin diri sendiri."

"Karna tau hidupnya nggak akan lama, tiga hari saat sakit dia mutusin buat ngejauh dari semua orang yang dia sayang, bikin benci mereka yang peduli, jadi bajingan dan jahat sama lo," papar Geisha bergetar.

"Tapi kenapa gess, kenapa?"

"Karna dia mau kalian terbiasa tanpa dia untuk nantinya Ra, juga supaya nanti saat dia pergi kalian sedihnya nggak lama, Ra ... biru nggak mau bikin kita semua sedih saat dia udah di atas, lebih baik dia yang dibenci abis-abisan dari pada harus liat kalian nangis. Dia mau lo bisa nemuin bahagia yang bertahan lama, yang bisa jagain lo setiap saat, yang bisa di ajak tua sama-sama, yang nggak selemah dia sekarang," katanya lirih. "Biru sembunyiiin ini semua bahkan ke aunty-nya sendiri. Narkoba? nggak Ra, sakau yang lo kira aslinya rasa kambuh sakitnya biru. Dan suntikan yang Zergan temuin di tas itu adalah bius pereda nyeri, iya emang sesakit itu rasanya. Lo juga salah kalau gue sama dia ngapa-ngapain di hotel, di hotel gue cuma bantuin dia saat kambuh nyerang."

"Obat bius pereda itu yang bikin dia masih bertahan, dimasa-masa sulitnya bertahan dia selalu merhatiin aktivitas lo diem-diem, mastiin kalau lo udah bisa terbiasa tanpa dia. Senyum lo yang dia liat dari jauh bener-bener penguatnya, dia selalu bayangin Rainya biru bisa senyum setelah dia pergi. Biru sayang banget Ra sama lo, lebih dari apapun," ungkap Geisha tidak berbohong.

"Dia yang bikin rencana jadian sama gue, narkoba sama semuanya supaya nggak ada yang curiga. Dia juga minta gue rahasiain ini sampe titik terakhir, tapi gue nggak bisa Ra. Liat dia bilang sakit bikin saraf gue rusak total, hati gue sakit. Kondisi dia makin buruk sekarang makannya gue pilih kasih tau ini semua ke lo," Rai mencerna semuanya dengan perasaan campur aduk.

"Dalam kambuhnya nama lo yang sering dia sebut, senyum lo yang dia inget, bayang-bayang pelukan lo yang dia harapan, dan kata maaf yang terlontar karena harus bohong, bohong yang dia bilang demi kebaikan bersama. Biru sakit Ra, biru hancur, hancur dalam segala hal."

Kenapa Alex sejahat itu pada puteranya? seolah Xabiru tidak boleh sedikitpun bahagia. Kenapa ... kenapa ... kenapa, terus banyak pertanyaan di benak Rai.

Ia tersenyum manis, menggenggam erat penuh getaran pada tangan Geisha. "Makasih ya gess, makasih udah jagain biru. Makasih udah ada disaat dia nggak punya siapa-siapa," ucap Rai serak.

Senyum yang Geisha tahu itu adalah sebuah kebohongan terbesar. Rai mendekat pada Geisha dan memeluknya penuh terima kasih yang harganya amat mahal.

Di jam pelajaran terakhir Rai banyak melamun di kelas. "Gess ngomong apa si Ra bikin lo ngelamun?" tanya Nara curiga. Rai tersadar, tersenyum tipis dan menggeleng. Menahan sesak yang tidak henti menyerang.

*******

Lamunan Rai yang membayangkan betapa luar biasanya Xabiru berlangsung sampai rumah. Tangannya mungkin bekerja memetik cabe, memisahkan dari tangkainya, tapi matanya kosong.

Selin menyipitkan mata, "neng ca? kenapa atuh?"

Diberikan pertanyaan air mata Rai malah menetes, segera ia usap. Menggeleng dengan lekung senyumnya. "Ini gara-gara nonton series teh, eh ca ke atas dulu ya ngerjain tugas sekolah teh."

Meja makan malam lenggang saat Selin dan Eyang sadar Rai belum datang karena anak itu tengah sedih, sedih yang Eyang pun Selin tidak tahu, tapi setau mereka Rai tidak pernah sesedih sekarang.

Eyang mengetuk tiga kali pintu kamar sang cucu. Rai mengusap air matanya menggunkan selimut, menjawab parau. "Masuk aja eyang, nggak ca kunci."

Mata Rai sudah menunjukan bahwa dirinya habis menangis. "Udah siap eyang makan malemnya?" tanya Rai coba mengukir senyum simpul. Eyang yang duduk di sisi ranjang mengangguk dengan senyuman hangat. Menatap sendu bola mata Rai yang masih memerah.

"Neng," panggil Eyang lembut. Mata Rai mulai kembali berkaca-kaca. Eyang membentangkan tangannya. "Sini atuh."

Pecah, Rai kembali menangis. Terisak hebat dalam dekapan Eyang yang mengusap-ngusap surai Rai. "Cucu paling cantik eyang teh udah gede ya sekarang mah, udah bisa pura-pura tegar. Neng padahal di mata eyang mah neng teh masih kecil. Atuh nggak papa mau nangis mah."

Rai tidak menjawab ia hanya menangis semakin deras, memanggil samar berulang-ulang nama biru.

Di mata Eyang Rai tetaplah anak kecil, yang wajib bagi dirinya untuk memanjakan saat sedih melanda. Rai mengeluarkan ingusnya lalu lanjut memakan suapan dari Eyang. Bercerita dengan hidung yang kendat tentang masalah yang terjadi.

"Percaya ka eyang, si biru pasti sembuh sok. Neng sagala masalah tong hilap amparkeun sajadah," nasihat Eyang ikut merasakan sedih. "Ngadu ka pangeran sing tulus, ke dijaba do'a-do'ana."

Si cantik Rai:
Mamanya Fira, besok Ra mau ketemu bisa?

Sarah yang tengah didandani asal oleh Syafira cepat membalas.

Mama Fira:
Bisa sayang, agak sore nggak papa ya? mau apa Ra, shoping bareng kah sebelum ujian?

Rai sedikit tersenyum membaca balasan pesan, Sarah pun Xaviera benar-benar menganggap dirinya bagian keluarga Ricardo.

Si cantik Rai:
Ini perihal biru Mamanya Fira.

********

Ketukan suara dari sepatu high heels yang Sarah kenakan terdengar teratur menghiasi lorong lobi gedung perusahaan dengan interior elok serba warna hitam, tubuh idealnya berjalan tegak sambil terus tersenyum tipis pada orang-orang yang menyapa. Di belakangnya terdapat dua laki-laki berperawakan tinggi besar mengenakan pakian jas hitam formal.

Alex tersenyum kiri kedatangan tamu terhormat. Wajah keduanya sam-sama angkuh dengan netra tajam yang berkilat dan senyum tipis misterius. "Aku sudah membuat janji sebelum datang kemari, dan ku harap waktu berharga mu tidak akan terbuang sedetik pun sebab aku akan langsung bicara ke pokok pembicraan."

Tubuh gagah Alex yang bersandar di kuris putar terangkat, "ya, memang seharusnya begitu," balasnya dengan suara berat.

Sarah membuka tasnya dan menyodorkan surat, ia buka dan menunjuk di tempat tanda tangan. "Aku tidak meminta persetujuan atau omong kosong mu, tanda tangani surat ini setelahnya aku bergegas pergi." Alex melirik pada wajah sang adik lalu pada kertas.

Tawa sarkas terdengar teratur dari bibir Alex. "Kau ingin mengadopsi anak tidak tahu diri itu? apa dia berguna di rumah mu, untuk tukang mencuci piring, atau apa? bisa kah kita lakukan negosiasi lebih dulu?"

"Sudah ku bilang, aku tidak butuh omong kosong mu," sarkas Sarah dengan tatapan dingin. Alex tertawa merendahkan.

"Baik-baik, serius sekali rupanya urusan ini," ujar Alex sok berkata serius. Melonggarkan dasi seraya mengambil pena. Ragu-ragu untuk tanda tangan, berdecak dan menatap wajah sarah. "Ayolah Sarah beri satu alasan kenapa kau ingin mengadopsi anak pembangkang itu?"

"Agar dia tidak memiliki ayah buruk seperti mu," balas Sarah mantap. Alex terkekeh kecut.

"Buruk? bukan kah dia selalu mengatakan aku yang paling hebat?"

"Ya, hebat dalam segala hal buruk."

Jawaban yang membuat Alex kembali terkekeh mengejek, mengusap-ngusap perlahan rahang yang terdapat bulu-bulu halus. "Kau sungguhan ingin mengadopsinya atau menyinggung ku untuk membayar sewa karena dia tinggal di rumah kecil mu itu?" tanya Alex memiringkan kepalanya membuat urat leher Sarah mencuat.

SRENG!

Dari belakang rok sepan panjangnya Sarah mengeluarkan pedang samurai panjang, dengan keberanian penuh ia arahkan tepat di jantung Alex. Nafasnya bergemuruh dengan mata berapi-api.

Dua pengacara di belakang terlonjak melihat hal nekat tersebut, beda dengan wajah Alex yang tetap tenang. "XABIRU TIDAK BUTUH AYAH BAJINGAN SEPERTI MU! ANAK SETULUS DIA AKAN HINA JIKA DUNIA TAHU MEMILIKI DARAH MU! PUTUSKAN IKATAN ANAKNYA, DIA HANYA ANAK KAK GRACE BUKAN DIRIMU!" sentak Sarah menggema di udara. "AKU YANG AKAN BERSAKSI ATAS SEMUA RASA SAKITNYA PADA TUHAN, BERJANJI UNTUK MANJAUHKANNYA DARI MU!"

Lenggang beberapa detik, muncung tajamnya masih berpusat di jantung Alex.

Hati Sarah terasa di remat-remat mengingat percakapan kemarin dengan Rai, kembali berkata lantang. "Tanda tangani atau tidak ku bunuh kau sekarang!"

"XABIRU BERHAK BAHAGIA!"

Keputusan Sarah kali ini ia rasa sudah paling benar, karna semua luka yang Xabiru dapat bersumber utama dari Alex, kakak kandungnya sendiri.

*******

"Aunty kotak P3K dimana?" tanya Xabiru pada Sarah yang memindahkan chenel televisi. Mendongkak ke belakang.

"Ambil saja di kamar ku, sebelah lukisan air terjun," balasnya. "Berkelahi dengan siapa lagi kau?" tanya Sarah berteriak karena Xabiru sudah memasuki kamar.

"Biasalah," sahut Xabiru yang juga berteriak. Tidak, Xabiru berbohong. Ia bukan berkelahi tapi dipukuli oleh pemilik bengkel dimana tempat ia bekerja.

Mang Aceng murka karena bengkelnya diobrak-abrik oleh anak buah ayah Xabiru, memaksa untuk memecat Xabiru sebab baginya anak konglomerat tidak pantas bekerja semacam itu, merusak reputasi.

Duduk di sisi ranjang, meringis jeri sambil membuka kotak P3K. Mengobati luka tangan yang penerangannya hanya di bantu oleh lampu di nakas, cahayanya redup. Sengaja tidak menghidupkan lampu sentral utama, saat sakit Xabiru lebih suka berteman dengan gelap, hawanya terasa tenang.

"Biru apakah aunty boleh masuk?" Sarah berbicara dengan tangan yang memegang kenop pintu.

"Masuk saja."

Sebelum membuka pintu Sarah memejamkan mata seraya menghembuskan nafas panjang, ia mulai memasuki kamar Xabiru. alisnya mengernyit karena gelap.

Sarah duduk di sebelah Xabiru, mengambil alih kampas betadin. "Ini yang sakit?" Sarah bertanya serak tanpa menoleh.

"Ya?" Xabiru menjawab dengan nada bertanya, bingung kenapa suara Sarah terdengar beda.

"Hanya ini, mana lagi biru?"

"Wajah ku juga sedikit memar." Sarah menatap wajah Xabiru, memegang pelan bagian yang sobek.

"Ya, lalu mana lagi yang sakit?"

Kening Xabiru berkerut. "Hanya itu."

"Sungguh?" Xabiru mengangguk kikuk. "Tidak ada yang lain?"

"Tidak, aunty."

Sarah mengangguk-ngangguk seolah percaya, kembali mengobati luka tangan Xabiru. "Bilang pada ku jika ada sakit yang lain biru, aku ingin kau anggap diriku seperti Ibu kandung mu sendiri."

"Ya aunty, dari dulu memang aku menganggap kau seperti mommy ku sendiri, ada apa?" Xabiru sadar ada yang janggal.

"Bukan seharusnya aku yang bertanya itu?"

"Aku? aku tidak apa-apa."

Bersaman dengan kepala yang mengangguk air mata Sarah menetes mengenai tangan Xabiru. "Bisa kah aku sedikit meminta rasa sakit mu? kita bagi sama rata, boleh kah biru?"

Xabiru mulai paham. "Aunty...."

"Katakan apa salah ku? kenapa ibu mu ini tidak boleh tahu rasa sakit mu?" Xabiru diam, mendengar suara tangisan Sarah hatinya tambah hancur. Sarah menutup wajahnya mengunakan telapak tangan, terisak hebat.

"Kak maafkan aku kak, aku tidak bisa menjaga biru, maafkan aku membuatnya sakit sendiri, kau boleh marah pada ku atau bahkan mengutuk ku untuk hidup sial, aku ibu yang buruk."

"Aunty stop..."

"Apapun akan ku lakukan untuk menebus rasa bersalah ku, tolong Kak maafkan aku," kata Sarah menusuk ke jantung Xabiru. Ia berbicara seolah Grace berada di dekatnya.

"Ini bukan salah mu aunty, stop."

"Bahkan nyawaku sekalipun ikhlas aku serahkan asal sakit biru hilang," imbuh Sarah semakin parau.

Xabiru menggelengkan kepalanya. Sarah meremat-remat bagian dadanya yang sesak. "Hati ku sakit sekali biru, sakit sekali," kata Sarah berulang-ulang.

Kepala Xabiru tertunduk, ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan rasa sakit yang selama ini ia simpan, ini yang biru tidak ingin, melihat orang tersayangnya menangis. "Ya aunty, aku sakit. Aku boleh jujur lebih banyak?"

Tangan Sarah menangkup wajah Xabiru, memberikan tatapan hangat. "Katakan semua, semuanya biru."

"Sakit sekali aunty, setiap kambuh rasanya aku ingin menyerah. Mommy, apa mommy juga sesakit ku? tidak sebanding, itu yang membuat ku bertahan," kata Xabiru lirih membuat tubuh Sarah langsung lemas. "Aku selalu bertanya-tanya kenapa harus sesulit ini mencintai Ibu sendiri? hanya mencintainya aku harus terus-terusan berperang dengan daddy, apa aku betulan sebuah kesalahan yang hadir di bumi? anak pelacur yang tidak diinginkan?" tegas kepala Sarah menggeleng-geleng.

"Daddy mu berbual biru, dia sebenarnya menyayangimu tapi karna kau terus mencintai mommy mu lebih besar membuat ia iri, kau bukan kesalahan. Bukan."

"Harus sebesar apa lagi rasa sayang ku padanya? setelah semua yang ku korbankan itu tetap kurang? sekali saja aku ingin berkata padanya, dia ... dia ... dia egois aunty," ucap Xabiru bersamaan dengan air matanya yang menetes. "Selama ini aku memendam semua sendiri, berpura-pura tumbuh sama seperti anak lain yang cukup kasih sayang. Dia tidak pernah tau aku iri pada anak yang lain."

Air mata Sarah terus berlinang deras. "Daddy sekali saja tidak pernah aunty, tidak pernah mengerti perasaan ku. Sederhana saja, apa dia pernah tau rasa sakit ku saat harus menyewa wali murid untuk datang kesekolah? orang yang ku sewa selalu bertanya, orang tua mu memangnya kemana? di hari wisuda kelulusan sekolah dasar sampai SMP aku selalu berpura-pura sakit, karena aku tidak ingin melihat teman-teman ku berfoto dengan keluarga mereka menampilkan senyuman paling bangga bahwa anak mereka berhasil lulus, apa daddy tau itu itu? ingin sekali saja aku merasakan daddy memegang bahuku, tersenyum dan berkata 'selamat lulus biru, daddy bangga pada mu', yang ku dapat selalu 'dasar anak pelacur, anak tidak tahu diri, anak pembangkang' setinggi itu ya aunty harapanku?" tanyanya parau. "Paling sederhana, apa daddy pernah mengerti sulitnya aku harus mengerjakan tugas mendeskripsikan sang 'ayah', ayah yang di mata semua anaknya selalu hebat ... tapi tidak untukku, kertas ku selalu kosong. Lantas akan ku katakan dengan lantang pada guru Indonesia ku 'ayah ku terlalu hebat Bu, tidak pernah bisa dideskripsikan', atau ... atau apakah daddy tau sakitnya aku saat di hukum harus membacakan puisi tentang ibu?  tidak aunty, bagi daddy hal yang ku jabarkan bukan masalah besar."

Keduanya terdiam, hanya isakan yang terdengar. "baginya itu masalah kecil, yeahhh ... sangat kecil sampai membuat ku setiap malam harus minum obat tidur agar bisa terlelap."

Sarah mengusap air matanya, duduk lebih dekat dan memeluk Xabiru yang menumpahkan sakitnya lewat air mata. "Sakit aunty, mau dipeluk mommy."

Demi apapun terlalu sakit membuat Sarah kehabisan kata-kata, anak umur 18 tahun yang selalu tertawa di depannya ini mengalami sakit yang begitu besar.

*******

Alex mencopot earphone yang terpasang di telinganya, ia bangkit dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar, menampilkan kaki tangannya yang menunduk hormat.

"Batalkan semua rapat dengan klien, ada hal yang jauh lebih penting, aku akan mengurus sendiri, kemarikan kunci mobil ku," perintahnya lugas, Prayoga langsung memberikan dengan badan sedikit membungkuk.

Sebelum sempat Prayoga bertanya tubuh Alex sudah menjauh, kembali melangkah cepat keluar pintu utama. Para karyawan dan staff mengerutkan kening, berbisik-bisik ada apa dengan bos mereka yang wajahnya begitu terlihat kalut, tidak tenang penuh arogan seperti biasanya. Yang lebih mengejutkan di sisi kanan-kirinya tidak ada satupun anak buah.

Memang sedari satu jam yang lalu hujan deras turun tanpa henti, udara terasa dingin dan lembab. Satu kantor dibuat ricuh saat Alex keluar mengambil mobil tidak dipakaikan payung, ia menerobos miliyaran tetes air hujan tanpa peduli dirinya basah kuyup. Mobil BMW yang di kemudikannya gagah membelah jalanan kota, berdesing dengan kecepatan paling tinggi. Menghiraukan suara guntur petir yang memekakan telinga, susul-menyusul dengan gemuruh angin kencang yang berkesiur.

Pupil mata Rai yang meyipit terbuka lebar kala melihat kedatangan sosok tinggi besar tengah malam berdiri tegak di depan pintu rumahnya. "Sebelumnya saya meminta maaf, bapak mungkin salah alamat. Silakan pergi dari pekarangan rumah saya," sarkas Rai dengan tatapan dingin. Mengusir sopan Alex yang rambutnya basah berantakan kena air hujan.

"Tidak ada yang salah, saya datang ke tempat yang tepat," jawab Alex bersuara berat. "Hanya kau yang bisa membantuku."

"Sekali lagi saya memohon maaf pada bapak, saya bukan orang yang mau dimintai bantuan," tegas Rai mengalahkan ingar-bingar kilat petir yang menggelegar. Membuat suasana semakin mencekam.

Alex paham mengapa Rai begitu terlihat membencinya. "Ini meyangkut seseorang yang berarti untuk mu."

Tatapan Rai yang tajam berkilat gelap. "Dia Xabiru, puteraku," lanjut Alex membuat Rai tersenyum kecut.

"Ya, dia anak bapak. Lantas kenapa saya harus ikut campur? bapak jauh lebih berhak mengurusnya ketimbang saya!" intonasi Rai meninggi, nafasnya menderu tak teratur.

Bola mata Alex tertutup beberapa detik, baru kali ini ia dibentak serta diusir anak yang usianya jauh lebih muda. Menyisakan suara hujan yang makin deras tidak berkesudahan. "Saya tidak mau mengulang ucapan yang sama untuk yang kesekian kalinya ," Rai membuka suara lebih dulu.

Tidak sedikitpun memberikan jeda untuk Alex menjawab. "PERGI DARI RUMAH SAYA!"

"PERGI!"

"SAYA TIDAK PEDULI, PERGI!" tangan kekar Alex menahan pintu yang akan Rai tutup. Rai yang sudah kepalang emosi menggeram galak.

"Jika pendengaran bapak masih berfungsi dengan baik, tolong cerna perintah saya untuk pergi dari sini!" bentak Rai semakin menjadi-jadi. Alex diam, membiarkan gadis kecil di depannya mengeluarkan semua amarah. "Biru bukan urusan saya! bapak seharusnya lebih tau itu!" kata Rai lantang, untuk menatap mata mengerikan Alex kepala Rai harus mendongkak ke atas.

"Kenapa hanya diam? oh saya mengerti," kepala Rai melihat ke luar, pura-pura mencari sesuatu. "Berapa truk uang yang bapak bawa untuk membujuk saya? belum datang truk-truknya?" ucapan sarkastik Rai masih tidak mendapatkan jawaban. "Ah bukan uang? pasti barang-barang mahal yang hanya ada satu di galaksi Bima sakti, ya-- jika saya tidak keliru pasti benar bukan?" mata Rai mulai memanas. "Sekali saja izinkan saya untuk mengatakan satu hal."

Di pelupuk mata Rai mulai berkumpul air. Bersamaan dengan bunyi gelagar petir Rai berteriak. "SAYA BENCI BAPAK! BENCI!"

"BAPAK ADALAH AYAH TERBURUK YANG PERNAH SAYA KENAL, XABIRU KURANG APA SELAMA INI? BERTAHUN-TAHUN HARUS MENANGGUNG SAKIT MASIH BELUM CUKUP? BAPAK MERENGGUT MASA KECILNYA YANG HARUS BISA BAHAGIA TANPA BEBAN, MERENGGUT MASA MUDANYA DENGAN MENGAMBIL ORANG YANG DIA SAYANG, DAN ... DAN APA LAGI MAU BAPAK?" derai air mata Rai tidak membuat suaranya tercekat. "Bahkan sekarang bapak ingin dia pergi pun, dia turuti. Dia mengorbankan hidupnya untuk bapak, hanya untuk BAPAK. BAPAK ALEX SMITH RICARDO!"

Rai tidak kuasa untuk tak terisak pilu, jika saja membunuh dibolehkan sudah Rai potong-potong semua organ tubuh Alex, tidak peduli apapun kesekuensinya, ia amat benci Alex. BENCI.

Seumur-umur dalam kamus hidup Alex bertekuk lutut atau memohon pada orang itu dilarang keras, masuk dalam kasta paling rendah, menurunkan drastis harga diri.

Kamus tersebut detik ini tidak lagi berlaku, ia tanpa ragu bersimpuh, menjadikan dua lututnya tumpuan untuk berdiri dengan tangan yang menangkup, memohon.

Tidak ada wajah arogan, air mukanya terlihat benar-benar butuh pertolongan, berkata lirih mengiris hati. "Tolong, untuk kali ini bersedialah untuk menolongku. Kau adalah wanita yang amat dicintai puteraku, wanita yang membuatnya bisa bertahan setiap hari, wanita yang membuatnya selalu merasa dekat dengan sosok Ibu. Sosok yang tanpa hati ku jauhkan sejauh-jauhnya dari hidup dia. Puteraku sekarang tengah sakit akibat ulah ku sendiri, ya. Aku memang ayah yang buruk, predikat ayah bahkan tidak pernah pantas ku sandang, aku iblis. Iblis yang menusuk berulang-ulang hati anak laki-laki tulus yang berulang kali mengorbankan kebahagiannya," untaian kata Alex membuat Rai dilanda sesak, ia membuang pandangan ke langit, wajahnya cemerlang terkena paparan cahaya petir yang satu dua kali masih menggelegar di langit.

"Aku tahu gadis sebaik mu tidak pernah tertarik dengan harta dan kekuasaan, maka jika detik ini kau ingin aku bersujud di kaki mu, dengan senang hati ku lakukan," ujar Alex dengan tatapan kosong, mengingat suara rekaman lemah Xabiru saat bercengkrama dengan Sarah membuat ia dikutuk rasa bersalah.

Sarah memang sengaja merekam lalu ia berikan pada Alex, hukum hati orangtua mau sekeras apapun jika sudah mendengar isakan dari anak pasti tersentuh. Karna darah yang mengalir di tubuh Xabiru adalah darah yang sama seperti miliknya.

"Mungkin telat untuk berkata maaf, maaf aku gagal jadi ayah yang hebat, berkata jika aku begitu menyayanginya. Hati ku hancur saat mendengarnya terisak, mendengarnya merindukan Ibu, mendengarnya merintih kesakitan," suara Alex terdengar serak. Tangannya masih memohon.

"Aku tidak pernah sadar bahwa apa yang selama ini ia lakukan adalah gambaran dari diriku ku sendiri, ulah ku sendiri. Mulutku terus menyakitinya dengan berkata dia anak pelacur, anak nakal, pembangkang, tidak tahu diri. Tanpa ku sadar dia setiap harinya susah payah untuk bangkit akibat luka yang ku beri, Xabiru ...  Xabiru puteraku adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan pada ku." Rai sekuat tenaga menarik lengan Alex saat dirinya akan sujud. Kepala Rai menggeleng-geleng tegas, tidak usah.

"Tolong putera ku Ra, dia kesakitan Ra," imbuhnya bergetar. Berulang-ulang Alex mengatakan hal demikian, ketakutan Rai menolak begitu terlihat.

Sorot mata kelam Alex yang meredup lemah sudah menunjukan besarnya rasa sesal yang nyata.

Rai kalah lagi.

*********

BAPAK ALEX

AUNTY SARAH BADAS

[Pembengkakan otak kalau ke anak bakalan membesar di kepala tapi kalau seumur Xabiru nggak, nahan sakitnya sama kaya nahan sakau.]

GUYSSS, TUNGGU KELANJUTANNYA YA! BAKALAN ADA KEJUTAN!🤠💙

Continue Reading

You'll Also Like

39.1K 4.7K 83
"Kal. Definisi kebahagiaan itu berbeda -beda, dan aku akan bahagia kalau kamu bahagia." 📌𝐺𝑒𝑟𝑖, ᴛᴇʀᴀᴋʜɪʀ (NCT U, NCT 127, NCT Dream, WayV.) ⚠️War...
1.6M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
62K 7.4K 25
[YANG BACA MASUK SURGA] ⚠SEMUA GAMBAR YANG ADA BERSUMBER DARI PINTERES. Sebuah berlian yang harus dijaga, sebuah api yang tidak boleh padam oleh air...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.9M 91.5K 40
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...