Di Balik Awan

By imaginayii

6.5K 943 147

Awan ingin selalu ada untuk membuat Angin mengerti seberapa keberadaannya masih berarti. Tetapi sulit bagi Aw... More

☁️Prolog☁️
☁️1: Di Balik Semalam☁️
☁️2: Di Balik Mereka☁️
☁️3: Di Balik Pertandingan Itu☁️
☁️4: Di Balik Entah Perasaan Apa☁️
☁️5: Di Balik SMA☁️
☁️6: Di Balik Yang Belum Waktunya☁️
☁️7: Di Balik Impresi Pertama☁️
☁️8: Di Balik 5370☁️
☁️9: Di Balik Yang Masih Tersimpan☁️
☁️10: Di Balik Intensinya☁️
☁️11: Di Balik Ketidaktahuan☁️
☁️12: Di Balik The Overdramatic One☁️
☁️13: Di Balik Keluh Kesah☁️
☁️14: Di Balik Peter Pan☁️
☁️15: Di Balik Instagram Story☁️
☁️17: Di Balik Angkringan Hujan☁️
☁️18: Di Balik Midnight Cinema☁️
☁️19: Di Balik Unit 307☁️
☁️20: Di Balik Timezone☁️
☁️21: Di Balik Skenarionya☁️
☁️22(A) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️22(B) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️
☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️
☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️
☁️25(A): Di Balik Gerhana☁️
☁️25(B) : Di Balik Gerhana☁️
☁️26: Di Balik Kita☁️
☁️27: Di Balik Kesedihan Yang Mengering☁️

☁️16: Di Balik Bintang Kesepian☁️

135 30 7
By imaginayii

Go on and take my heart and break it
Go on and own it then corrupt it
Because i miss being in love before i watch it all slowly fall apart

-From a song: Break It -

Di Balik: Bintang⭐

Gedung kampus kami cuma dua tingkat. Tapi kalau naik tangga lagi ke rooftop, ada mushola kecil dan ruang organisasi-organisasi kampus. Biasanya di rooftop terik, jadi ketika siang hari mahasiswa-mahasiswa jarang berkunjung kecuali ada kepentingan, entah untuk menunaikan ibadah atau rapat organisasi.

Anfal, Andari dan aku di rooftop sekarang, lesehan di lantai balkon sambil senderan ke tembok mushola. Nggak ada kepentingan sebenarnya, hanya ingin cari suasana baru buat mengerjakan revisi. Karena disini kami bisa sesekali melihat langit yang berawan. Kan siapa tahu dapat inspirasi buat mem-balance-kan tabel.

"Ekhem... ekhem..." dengan random Andari menyenggol bahuku sambil mengeluarkan suara batuk yang dibuat-buat.

Aku menyorot Andari aneh, "Batuk Pak Haji?" komentarku tidak begitu tertarik.

Bukan Andari namanya kalau langsung menyerah, "Sapa tuch yang kmaren?"

"Apaan-apaan?" seperti dapat mencium bau gosip, Anfal langsung nimbrung. Bertanya dengan penasaran.

"Itu loh Bund... yang Mba Bi post di story kemarin."

"Yang mana nih, Bund?"

"Ish, Bunda kok kudet sih!" percakapan ala rumpi itu terjeda sebentar karena Andari harus merogoh ponsel demi menunjukkan pada Anfal story instagramku yang mana yang dia maksud. "Perhatiin perhatiin! Sepatunya bukan sepatu Mba Bi loh ini." ujar Andari menyaingi sebuah kompor gas.

Anfal menangkup pipi seolah tercengang mendengar teori Andari yang mind blowing, "Ya ampun Bunda!" ujung jari cowok itu mentowel lututku, "Habis having fun sama siapa hayo?"

Aku mendengkus geram. Umpama nggak punya revisi yang masih harus dikebut, aku benar-benar bakal menjejalkan sepatu ke mulut dua biang rumpi itu. "Lo pada jangan gangguin dulu bisa nggak sih? Bikin tambah mumet aja!"

Untungnya setelah kusemprot Anfal dan Andari langsung diam. Tidak lagi melanjutkan ulah kepo mereka melihat targetnya yang belum apa-apa sudah sensi betulan.

"Windi apa kabar ya, Dar?" celetuk Anfal yang kemudian memilih mengganti topik. Ia berusaha menormalkan suasana dengan mulai mencamil makaroni pedas.

"Mana gue tahu!" Andari bersungut-sungut, "Nanya ke gue, emang gue bapaknya!" masih sama seperti waktu itu, Andari tampak malas membicarakan Windi.

Anfal berdecak melihat Andari kembali meluruskan wajah pada laptop dengan sinis, "Tapi lo kan temennya..."

"Mantan temen ya Gopal! Mantan. Temen. Catet!"

"Dih, ada gitu mantan temen?"

Sementara mereka berdua ribut-ribut, aku sedang panik karena baru saja mendapat peringatan baterai lemah dari sistem macbook Awan. Yang jadi masalah, kemarin aku tidak menemukan charger di dalam tas macbook-entah Awan lupa memasukkannya atau bagaimana. Sebelum macbook habis daya total, buru-buru kugunakan kombinasi CTRL+S untuk mengamankan dokumen yang sudah kuedit. Selisih pada tabelku tinggal lima ribu sekian ratus rupiah saja, bisa nangis dua hari aku kalau hasil revisi seharian ini sampai nggak tersimpan.

Aku mengirim pesan pada Awan. Tidak terpikir solusi lain kecuali menanyakan charger yang kubutuhkan pada si pemilik macbook. Tentu saja aku nggak tahu apakah Awan punya jadwal kelas yang harus dihadiri atau tidak. Tapi semoga cowok itu ada di kampus sekarang. Nggak enak juga misal harus memintanya jauh-jauh datang cuma buat mengantar charger. Masa sudah dikasih pinjem masih mau bikin repot lagi.

Peter Pan☁️

Iya Bi

Masih di tas gue ternyata, sori banget ya

Gapapa

Namanya juga lupa wkwk

Lo di kampus nggak sih Wan?

Di kampus kok

Wait gue kesana

Aku mengetikkan balasan 'ok' dengan lega. Tepat setelah itu layar macbook berubah hitam sehingga mau tidak mau aku menutupnya.

Andari menoleh saat aku merenggangkan badan dengan bergerak berlebihan. Cewek itu tiba-tiba heboh saat pandangan matanya tanpa sengaja jatuh ke benda dipangkuanku, "HEH! Dapet nge-rental dimana ini Macbook?!"

Pekikan nyaring itu langsung mengundang perhatian Anfal. Dia dan Andari kompak pasang muka terkesima bercampur heran yang kalau diterjemahkan mungkin bunyinya begini, "Gila-sangar-banget-lo! Tapi-gimana-ceritanya-woi?!"

Aku mendecak untuk dua alasan. Pertama untuk mempertanyakan kemana saja mereka daritadi kok bisa baru sadar sekarang? Kedua untuk ungkapan kesal karena aku harus menepok punggung tangan Andari dan Anfal yang sekarang berebut menyentuh Macbook Awan. Ampun...! Aku pasti ketularan norak dari dua sahabatku ini.

Pergulatan kami bertiga baru tersudahi sewaktu ponselku berdering. Awan mengabari kalau dia sudah di depan gerbang, jadi aku bergegas menyusulnya. Tapi sebelum itu, nggak lupa kulayangkan tatapan sengit sebagai peringatan agar Anfal dan Andari tetap menjauhkan tangan-tangan penuh bubuk micin mereka dari Macbook selama aku tidak mengawasi.

Ketika menemukan Awan, aku melambai dengan wajah berseri-seri. Cowok itu terkekeh sembari mengangkat tangan kanannya yang memegang charger.

"Kenapa nggak masuk aja?" mengatakan itu sedikit membuatku merasa Dejavu. Awan juga mengatakan kalimat yang sama ketika menemukanku di pos satpam kampusnya.

"Tau tuh, nggak diizinin sama Pak Satpam." Tentu saja aku langsung tertawa. Ternyata Awan juga masih ingat percakapan kami. Walaupun aslinya situasi kami berbeda. Aku baru mengintip ke pos satpam dan sedang tidak ada siapapun yang berjaga.

"Gue ada kelas sepuluh menit lagi." sambung Awan mengatakan yang sebenarnya.

Aku menerima chager yang Awan ulurkan sambil ber-oh ria. "Makasih udah mau direpotin."

"Sering-sering aja. Gue seneng."

"Apa?"

Aku membeo bukan karena tidak dengar. Melainkan karena Awan bicara kelewat cepat sehingga aku takut salah dengar. Tapi dilihat dari senyum usil yang kini dipasang Awan, sepertinya benar kalau dia baru saja menggombal. Aku membuang muka merasakan gelayar panas pada kedua pipiku. Sial. Sekarang ganti aku yang dibuat repot mengkondisikan gelagatku sendiri saking salah tingkahnya.

"Bi? Gue langsung ya?"

"E-o-iya iya. Makasih sekali lagi!"

Aku belum meninggalkan pijakan setelah Awan memunggungiku. Cowok itu baru menjauh empat langkah, tapi aku gagal menahan diri untuk tidak memanggilnya kembali. "Awan?"

"Ya?" awan berhenti berjalan dan berbalik padaku sambil menautkan alisnya.

"Nanti pulangnya jam berapa?"

"Sekitar jam tiga. Kenapa?"

"Ng..." sejujurnya aku juga tidak tahu kenapa, "Gapapa..." jadi aku putuskan kabur tanpa mau bertanggung jawab atas kebingungan yang kuciptakan.

☁️⭐☁️⭐

/Sekolah Menengah Pertama/

Anak basket yang tadi menguntitku berjongkok mengotak-atik rantai dan aku menemaninya di sisi berlainan untuk memastikan agar sepedaku tidak sampai rubuh mengenai cowok itu. Meski aku tahu bagian bawah rok spanku akan kotor jika dipakai berjongkok, aku tetap mengambil posisi yang sama untuk menghargainya.

"Jadi kenapa selalu pulang sendiri?"

"Apa urusannya sama lo?"

"Kan biar ada yang bantu misal rantai sepeda lo lepas begini."

"Sebenernya gue benerin sendiri juga bisa." Awan geleng-geleng kepala dan terkekeh ringan menanggapi nada ketusku.

Oh iya, saat ia menyusulku untuk menepi di bawah pohon mangga pinggir jalan, aku memang sempat lihat tulisan yang tersablon pada bagian belakang Jersey basketnya. Awan, nomor 5. Tidak tahu sih sebetulnya itu nama asli atau julukan saja. Tapi biar gampang ya sudah aku sebut saja dia Awan. Lagian ada benarnya juga, cowok ini punya satu kesamaan dengan segumpal kapas putih yang menggantung di langit. Sama-sama suka mengikutiku tanpa alasan yang jelas.

"Kalau ada yang bisa temani, kenapa harus pulang sendiri?"

"Gue nggak punya temen." Kataku sekenanya.

Tangan Awan menjauh sebentar dari rantai, "Nggak mungkin lah?" ia menyanggah tidak percaya. Ya ampun ternyata dia cukup banyak omong buat ukuran orang yang bahkan belum benar-benar kenal denganku.

"Udah belum sih?! Kalau lo nggak bisa biar gue aja."

Ia akhirnya mengalah. Sebelum aku benar-benar mendorongnya untuk menyingkir dan mencoba-coba memperbaiki masalahku sendiri. Cowok itu menunduk fokus berusaha mengaitkan sela-sela rantai pada gerigi gear. Tidak mempermasalahkan kedua tangannya yang jadi berlumuran oli. Aku menepuk saku berharap punya sesuatu yang bisa kutawarkan sebagai lap, tapi yang aku punya cuma satu koin 500 rupiah. Yah... pokoknya aku sudah punya niat baik.

"Beres!" berhasil membuat roda belakang sepedaku bergerak ketika pedal diputar, Awan bangkit dengan senyum lebar. Membanggakan hasil kerjanya.

"Makasih." Kupaksakan sedikit senyum sambil merebut sepedaku.

"Nama lo?"

"Bintang."

"Berarti lo beneran bohong."

"Hah? Apa sih?!"

"Nggak mungkin lo nggak punya temen. Setahu gue Bintang nggak pernah sendirian."

"Nggak percaya ya udah." Serius. Kalau Awan masih membantah lagi setelah ini, aku bakal langsung mengkayuh sepeda dan memelesat kabur meski perbuatan itu sangat nggak sopan untuk kulakukan setelah menerima bantuan darinya. Nggak peduli! Habisnya cowok ini nyebelin!

"Astaga! Bola basket gue ketinggalan!" teringat sesuatu yang penting, Awan meloncat naik ke sepeda. Ia buru-buru sekali bahkan sampai lupa pamit.

Mataku mengekori gerakan lincah Awan saat menyebrang, sepeda gunung putih kerennya memang sangat bisa diandalkan untuk dipakai melaju cepat. Kalau sepedaku yang dijajal buat kebut-kebutan begitu, pasti baut-bautnya bakal copot bertebaran sehingga dapat dipastikan si pengendaranya bakal terjungkal dengan posisi paling mengenaskan.

Tapi syukurlah bola basket yang tertinggal itu bisa menjauhkannya dariku. Paling tidak sampai awal minggu dimulai.

Yang menjengkelkan di hari Senin adalah aku harus mengikuti pelajaran olahraga setelah bubar upacara. Lebih buruk lagi karena antri ganti baju di kamar mandi sering bikin aku kena hukum lari dua putaran perkara telat datang ke lapangan. Derita anggota kelas yang dikucilkan. Saat teman-teman yang lain masuk berdua bahkan bertiga berbarengan supaya bisa ganti baju dengan cepat, aku nggak punya pilihan selain menunggu di sudut lorong tanpa berani protes apalagi menggedor pintu mereka.

Keberadaan Awan di teras kelasku menjadi kabar buruk tambahan tentang Senin kali ini. Aku mendesah terbayang akan serepot apa meladeni apapun maksud kedatangannya.

"Tuh kan lo sendirian lagi." Dengan sengaja ia menghalangi pintu. "Gue benar-benar mau tahu kenapa?"

"Kalau lo nggak minggir sekarang gue bakal kena hukum." Aku menunjukkan wajah memohon. Guru olahraga bukan orang yang murah memberi toleransi, sebaliknya hukumanku mungkin akan dilipatgandakan.

Awan menyelipkan telapak tangannya ke saku celana, "Gue juga bakal kena hukum karena terlalu lama izin ke toilet."

"Nah, makanya cepet balik sana!"

"Jawab dulu."

Kuentak kaki kiri melampiaskan kegeraman. Aku betul-betul sudah nggak ada waktu untuk berdebat dengan cowok ini.

Tidak kunjung berhasil membujuk Awan membuka pintu, aku bergeser mendekati jendela. Dengan berjinjit aku berusaha menunjuk sesuatu di balik kaca. Lebih tepatnya pada lukisan-lukisan yang jadi pajangan dinding. "Gara-gara itu." Mulaiku sehingga Awan kemudian mendekat.

"Mestinya tugas kesenian itu dikerjain berkelompok. Tapi pas ngumpulin gue sengaja cuma tulis nama gue sendiri. Waktu ditanya guru, gue ceritain sejujur-jujurnya kalau semua temen sekelompok gue emang nggak bantu sama sekali. Karena kata mereka gue jago ngelukis jadi yaudah gue aja yang kerjain. Sedangkan menurut gue itu sama sekali bukan alasan buat bersikap seenaknya. Gue rasa nggak adil buat gue sendiri kalau biarin mereka cuma titip nama."

Mulut Awan membuka-buka tapi suaranya hanya tertahan. Mungkin cowok itu bingung merespon karena nggak menduga kalau aku akan berujar demikian panjang.

"Gara-gara itu gue dimusuhin satu kelas." Menghela napas, aku menempelkan punggung ke tembok dengan lelah, "Kalau lo bisa lihat mading di tembok belakang, itu gue penanggung jawabnya. Wali kelas kasih amanat supaya mading diperbaharui seminggu sekali. Awalnya sih kami gantian per deret gitu ngikutin jadwal. Cuma ya, lo bisa tebak..."

"Perkara tugas lukisan itu seterusnya nggak ada yang mau bantuin ngisi mading?"

Aku mengangguk membenarkan, "Nggak hanya mading. Piket kelas setiap rabu juga gue selalu sendirian."

"Pantes gue sering lihat lo pulang telat."

"Bukan sering, tapi emang setiap hari. Selasa-Kamis gue ada ekskul. Rabu piket. Jumat-Sabtu ngebut siapin materi-materi buat mading kelas, soalnya kalau dikerjain di rumah Ibu gue pasti marah semisal tahu soal ini."

"Eh, kata lo setiap hari kan? Terus hari Seninnya?"

"Oh, kalau Senin..." aku menggunakan dagu untuk menunjuk pot batu berbentuk menyerupai mangkuk besar di tengah-tengah taman kelas. "Gue suka bersihin kolam ikan dulu. Habisnya kerontokan daun jadi kotor terus. Belum lagi ada aja yang suka iseng cemplungin sampah ke kolam." Tanpa sadar aku malah keterusan curhat sama Awan.

Cowok itu melirikku sekilas dan sejurus kemudian tawanya pecah. Aku memberengut karena bisa-bisanya Awan malah menertawai kesengsaraanku.

"Yah, sori mengecewakan tapi lo salah. Nggak semua Bintang punya teman. Sekarang lo lagi lihat salah satunya. Yap, gue. Bintang kesepian."

Awan tidak langsung menjawabku. Berusaha tidak ketahuan aku mengamati wajahnya cukup lama. Ada sesuatu yang hilang dari sana. Aura usil Awan. Dia seperti menjelma jadi orang yang berbeda saat sedang serius berpikir begitu.

"Menurut gue lo cuma terlalu terang. Dan itu bikin yang lain iri." Ungkapnya bersebrangan dengan pendapatku. Aku sangat tidak siap menerima tatapan Awan yang tiba-tiba berpindah. Rasanya aku kehilangan ruang gerak, terkunci pada matanya yang semakin kuselami semakin tidak terbatas.

"Ok deh! Yang penting sekarang gue tahu."
Ketika Awan kembali berseru mengggunakan suara normalnya, aku kelabakan mempertahankan tubuh dengan bantuan tembok yang kusandari. Astaga! Apa-apaan barusan itu?! Dewi batinku mengomel berusaha menyadarkanku yang sempat lupa diri.

"Dasar nggak jelas!" semburku tepat pada muka Awan.

"Bi!" aku sudah hampir mencapai bangku tapi panggilan sok akrab yang Awan serukan otomatis memancingku berbalik untuk menunjukkan raut terganggu.

"Nanti pulangnya jam berapa?"

"Ya tergantung gue beres kuras kolam ikan jam berapa. Kenapa?" tanyaku dengan mengangkat dagu.

Awan tersenyum simpul, "Gapapa." Cuma itu yang dia katakan sebelum beranjak tanpa bertanggung jawab atas kebingungan yang ia ciptakan.

Aku harus menunggu sampai bel pulang sekolah untuk mengetahui maksud kata 'Gapapa' tadi. Awan datang saat hanya tersisa aku di kelas. Membawa sebuah jaring kecil yang entah ia temukan dari mana. Tapi alat yang Awan bawa memudahkanku memindahkan ikan. Dan dengan bantuan tenaga dari cowok itu, aku bisa membersihkan kolam lebih cepat dari biasa. Senin itu untuk pertama kali aku tidak pulang sendiri. Kabar buruknya, saat malam datang aku nggak bisa berhenti memikirkan apa Awan akan mengajakku pulang bersama seperti ini lagi senin depan dan senin-senin selanjutnya?

☁️⭐☁️⭐

"Oalah, ternyata..."

Aku agak linglung mendapati diriku sudah di balkon rooftoop. Apa daritadi aku melamun? Kalau iya, hebat juga aku berhasil berjalan kearah yang benar dan bahkan menjajaki tangga tanpa terpeleset padahal fokus pikiran yang sedang kemana-mana.

"Bukan Macbook dapet nge-rental ya. Pantes baunya beda." Andari menyambung ucapan julitnya. Ia tidak lagi duduk lesehan tetapi tengah bersadar membelakangi teralis pembatas balkon. Membiarkan bagian belakang tubuhnya disengat matahari.

"Bau apa tuh, Bund?" Anfal bersedekap dada. Masih setia di samping Andari sebagai partner julit.

"Bau bau skandal Buuuuund!"

Melewati mereka, aku mengibaskan telapak tangan seolah-olah menepis seekor serangga terbang. Sepertinya memang harus kubegitukan karena serius, setiap kata di forum gibah terbuka Andari dan Anfal lebih menggangguku ketimbang saat seekor lalat coba hinggap di makananku.

"Bener kan dugaan gue, Pal? Si Bintang abis having fun sama someone."

"Dan ternyata having fun-nya sama Awan!" Anfal memicingkan mata dan mulai menyelidik curiga. Aku yakin sekali Anfal dan Andari mengintip dari balkon saat aku menemui Awan, "Jadi kepo detail having fun-nya gimana tuh sampe Macbook pun doi serahkan?"

Andari mengelus dada muram seakan ada kenyataan berat yang harus ia hadapi, "Hidup mahasiswi rantau keras, Bund. Demi TA apapun dilakukan."

"HEH! Gue dipinjemin doang, taaik!" umpatku sudah tidak tahan untuk tidak berkata kasar. Aku nggak peduli kalau bakal dianggap nggak asik tapi sekalipun niat Andari dan Anfal cuma bercanda, bagiku mereka sudah kelewatan.

Tidak ingin mendengar celoteh apapun lagi, aku bersingut kesal dengan membawa tas dan juga Macbook Awan. Beruntung kantin tidak penuh, dan masih tersisa tempat kosong dekat colokan yang bisa kugunakan untuk mengisi daya Macbook. Aku sudah menduga Andari dan Anfal akan menyusul, tapi aku diam saja tidak seolah-olah nggak melihat mereka.

"Mba Bi soriii. Gue ikut-ikutan Andari doang ciyus!" Mendengar dirinya dikambingkan Andari seketika murka dan menempeleng ubun-ubun Anfal pakai box makaroni.

"Biiiii, gue juga minta maaf. Iya deh congor gue tadi keterlaluan. Tapi masa lo nggak paham? Lo kan kesayangan gue, jadi gue pikir gue harus ngingetin."

Garis kernyitan memenuhi dahiku menyambut penjelasan Andari, "Ngingetin soal apa?" tanyaku kurang santai. Aku nggak senang saja dengan sudut pandang Andari yang menyimpulkan kalau aku sedang melenceng sehingga perlu diingatkan.

"Soal... Awan? Windi?" cicit Andari sedikit takut salah bicara.

"Kata Awan mereka nggak pacaran." Aku tertegun oleh perkataanku sendiri. Tidak menyangka aku baru saja menggunakan kalimat itu untuk membela diri.

Aku bisa melihat sorot mata Andari berubah. Aku tidak yakin apakah yang kubaca tepat, tapi kupikir tatapan Andari menyiratkan khawatir, risau dan sejenisnya, "Kalaupun menurut Awan begitu, posisi lo tetep nggak baik, Bi. Karena lo sendiri tahu Windi juga berharap sama Awan."

Aku masih merapatkan bibir. Dari luar memang hanya tanganku yang kelihatan sibuk memainkan kabel charger. Padahal aku juga sedang membatin. Dua sisi diriku berdebat harus memenangkan sikap yang mana. Aku menyadari keberadaan Windi, tapi memangnya apa yang aku lakukan? Aku bahkan sama sekali nggak memulai apapun. Awan yang menemukanku di Minimarket malam itu, anggaplah memang hanya kebetulan. Lalu dengan kota ini membuat waktu kami sering bersinggungan, Awan pula yang lantas menanamkan padaku kalau hal-hal yang tampaknya berlanjut lebih jauh ini benar-benar tidak apa-apa.

"Mending lo lirik Kak Ge." Andari menaik turunkan alis agar aku memperhatikan usulannya, "Kesian, Bi... tampang mirip Adipati Dolken tapi Sad Boi menahun gara-gara lo!"

"Lo tuh, Dar! Apa-apa dilariin ke Kak Ge, males ah!"

"Lah, soalnya doi pilihan yang paling praktis, efektif, efisien, solutif dan halal! Intinya paling nggak ribet, deh. Iya ga, Pal?"

Anfal batal mencomot gorengan baru matang yang disuguhkan Mbak kantin ke meja karena tahu-tahu Andari ingin dengar pendapatnya, "I have nothing to lose, sih. Misal mau nyoba sama Awan ya terserah Mba Bi aja." Ia menepuk rambutku berlagak layaknya Ayah yang menasihati putrinya yang beranjak remaja, "Sebenernya gue lumayan menikmati drama percintaan yang genre-nya adventure gini. Seru."

"SERU NENEK LO JOMPLANG?!" sahut Andari kesetanan. Misal nggak aku tahan, cewek itu pasti bakal membalik meja kantin buat melampiaskan emosi kesemuat, "Jangan berani-berani lo kasih doktrin-doktrin sesat lagi ke Bintang ya! DENGER OMONGAN GUE GA LO EYANG SUBUR?!"

Aku sedang malas nonton ribut-ribut berhubung hatiku juga sedang semrawut. Kupindahkan tas ke meja lantas menjadikannya sebagai alas untuk meletakkan kepala. Jari telunjukku menari diatas Macbook Awan, membuat pola lingkaran-lingkaran dan terkadang garis, "Nggak mungkin juga gue masih suka sama Awan sebanyak dulu." Gumamku. Hanya pada diriku.

☁️⭐☁️⭐

Aku mengusahakan langkah paling lebar melawan batasan berupa rok span yang kukenakan. Aku menolak diantar Anfal ataupun Andari, tapi juga tidak terlebih dahulu memesan ojek online seperti yang biasa kulakukan ketika hendak pulang sendiri. Kulirik jam tangan abu-abu yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 15:10, aku tetap berusaha mengejar gerbang. Berharap masih akan menemukannya.

Kuluaskan pandangan ke sekitar kampus dan seberang jalan. Ternyata yang coba kutemukan malah ada di depan tempat print Mas Iyan. Duduk diatas motor dengan telinga tersumbat earphone. Senyumanku mengembang penuh. Tadinya aku mau teriak untuk membuatnya menoleh, tapi kupikir akan sia-sia karena suaraku pasti tidak cukup keras untuk menyaingi musik yang sedang Awan dengarkan. Mungkin lebih baik aku kirim pesan.

Wan, lo sendiri|

Gerakan ibu jariku terhenti sebelum kalimat tersebut selesai kuketik. Aku tidak bisa menuntaskannya. Tidak perlu. Pertanyaanku sudah terjawab karena saat ini jok belakang motor Awan sudah ditempati oleh seseorang, yang nggak lain adalah Windi. Sepertinya ia habis fotokopi atau print tugas.

Kutekan lama ikon penghapus pada keyboard sehingga satu deret huruf tadi sekarang nggak bersisa. Aku mundur selangkah dan berbalik sembari meremas ponsel di genggamanku. Ngapain sih gue... aku menertawai diriku sendiri. Merasa bodoh. Lihat siapa yang dengan konyolnya sempat berharap bisa pulang bersama lagi di hari Senin ini.

☁️⭐☁️⭐

Ay's: Sini kumpul kita menyaksikan drama percintaan genre Adventure bareng Gopal🤪🤓😎

Continue Reading

You'll Also Like

5.3M 357K 67
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
5.3M 227K 54
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.8M 224K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2M 101K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...