REYNAR || Huang Renjun [END ✔...

By Foxiesnow

68.5K 9.6K 217

Reynar Raksa Nugraha hanya punya satu keinginan yaitu dia tak ingin merasakan kehilangan, namun kehilangan ad... More

Prolog
1. Reynar Raksa Nugraha
2. Ezra Elfredo
3. Pelukan Bunda
4. Kak El dan Bocah Rese
5. Kenangan Yang Membawa Luka
6. Perihal Takdir dan Pertemuan.
7. Setitik Bahagia
8. Menggenggam Luka
9. Segala Pertanyaan
10. Perlahan Tahu
11. Pertemuan Yang Tidak Disengaja.
12. Luka Tentang Kehilangan
13. Kembali Menyalahkan Diri Sendiri
14. Tolong Jaga Reynar
15. Napas Yang Terhenti
16. Tuhan Punya Rencana
18. Tuhan Memberi Kesempatan
19. Mencoba Mendekat
20. Sayang Itu Untuk Juna
21. Pengemis Kasih Sayang.
22. Sosok Yang Tak Bisa Terganti
23. Berita Duka
24. Pemakaman
25. Kembali Dipatahkan
26. Sebuah Alasan Dibalik Kebencian
27. Tawa Penuh Luka
28. Balapan Berujung Celaka
29. Menjemput Kematian
30. Akhir Tak Bahagia [Epilog]
Akhir Kata

17. Janji El dan Nara

1.8K 244 1
By Foxiesnow

Jakarta, March 2009.

Sore itu hujan turun begitu lebat, angin bertiup dengan kencang, dinginnya bahkan menusuk hingga ke tulang sementara orang-orang berpakaian hitam dengan payung untuk melindungi diri dari hujan mulai melangkah pergi menyisakan seorang bocah lelaki yang bulan lalu genap berusia sembilan tahun bersama seorang wanita di sampingnya juga sepasang suami istri bersama seorang anak perempuan seusianya.

Wanita di sampingnya menangis, sementara bocah lelaki itu hanya terdiam tanpa suara. Terus menatap gundukan tanah basah di hadapannya dengan kedua tangan yang terkepal erat. Sesekali matanya melihat sebuah nama yang terukir di batu nisan. Bagus Fauzan. Sebuah nama dari sosok yang selalu menggendongnya sejak kecil, sosok yang selalu mengajarinya akan banyak hal dan memberikannya begitu banyak kasih sayang, namun sosok itu telah berpulang kepada yang Maha kuasa meninggalkannya dan ibunya bersama luka dan kesedihan karena kepergiannya yang tiba-tiba.

Wanita di sebelahnya menoleh kemudian menghapus air matanya dan  kedua tangannya menggenggam tangan dingin anaknya, "El," panggilnya pelan.

Anak lelaki itu menoleh, mendongak menatap wajah ibunya, terutama mata kedua ibunya yang memancarkan kesedihan mendalam meski kini tengah tersenyum, "Kalau Eldo sedih, Eldo boleh nangis kok. Bunda nggak akan marah."

Anak lelaki yang dipanggil Eldo itu menggeleng pelan, "Tidak Bunda, Eldo tidak akan menangis. Kata Ayah Eldo harus jadi anak yang kuat agar bisa jagain Bunda."

Mengusap pelan surai basah anaknya, wanita itu tersenyum lantas berkata, "Bunda tahu Eldo anak yang kuat, tetapi menangis tidak akan membuat Eldo menjadi lemah. Kalau Eldo sedih, Eldo boleh nangis kok."

"Tapi Bunda--" Ucapannya tak terselesaikan karena pelukan erat dari Bundanya membuatnya merasakan sesak di dadanya, "Bunda malah akan sedih kalau Eldo diem terus kayak gini."

"Kenapa ayah harus ninggalin Eldo, Bund?" Tanyanya kemudian menangis begitu hebat dalam pelukan bundanya sementara Bunda hanya mampu untuk terus merengkuh anaknya dalam dekapannya karena kematian suaminya adalah takdir sang Maha Kuasa dan ia tak akan bisa mencegahnya.

Pelukan itu terlepas, bundanya mengusap kedua pipi tembam anaknya yang basah, "Sekarang kita pulang ya?"

Eldo menggeleng pelan, "Eldo masih mau di sini Bunda, sebentar aja. Bunda tunggu Eldo mobil aja, El mohon."

Menghela napas pelan lantas mengangguk, "Baiklah, Bunda tunggu di mobil ya." Katanya kemudian pergi bersama sepasang suami istri yang merupakan temannya.

Eldo kembali menatap gundukan tanah basah itu dengan kesedihan yang mendalam. Ia masih terus bertanya-tanya kenapa Tuhan mengambil ayahnya secepat ini? Ia masih kecil dan membutuhkan sosok itu untuk mengajarkannya tentang banyak hal tetapi kenapa Tuhan mengambilnya?

Usapan pelan di pipinya membuat Eldo menoleh pelan, kedua matanya menatap wajah gadis kecil di sampingnya yang tengah tersenyum pelan.

"Hari ini El boleh sedih, tapi besok dan seterusnya Nara akan memastikan El akan bahagia," ucapnya dengan senyuman manis membuat kedua mata Eldo terus terpaku menatapnya tanpa berkedip.

Gadis kecil itu kemudian memeluknya, "Kalau El sedih El juga boleh kok menangis dipelukan Nara. Kata Mama sebuah pelukan akan menghilangkan kesedihan. Kalau El terluka, Nara juga akan siapin obat buat luka El. Biar El sembuh."

Eldo menenggelamkan wajahnya di bahu Nara, memeluknya tak kalah erat, dan tanpa sadar ia kembali menumpahkan air mata untuk kedua kalinya. Gadis kecil itu mengusap pelan punggung Eldo, kata bunda itu akan menenangkan seseorang yang sedang sedih.

"Kenapa Ayah harus pergi Nara?" tanya Eldo lirih diiringi Islam pelan.

"Om Bagus memang sudah pergi, tapi El harus inget kalau El masih punya Bunda Almira dan juga Nara. El juga boleh kok anggap Papa Nara sebagai ayah El juga, mama Nara juga sayang sama El. Masih banyak orang yang sayang sama El, jadi El harus ikhlasin kepergian Om Bagus karena Om Bagus sekarang udah bahagia hidup di surga."

"Tapi Eldo masih butuh sosok ayah."

"Nara ngerti tapi El boleh kok anggap Papa Nara sebagai Papa El juga." Nara melepas pelukannya, kemudian menangkup kedua pipi El lantas menarik kedua sudut bibir El membentuk senyuman, "Nara suka senyuman El, senyuman El manis soalnya jadi El jangan sedih terus."

"Nara harus janji ya jangan ninggalin Eldo seperti Ayah ninggalin El?" Eldo menunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Nara yang dengan cepat disambut Nara dengan menautkan jari kelingkingnya juga, "Iya Nara janji, Nara tidak akan meninggalkan El. Kalau perlu kita harus nikah saat dewasa nanti, El harus jadi suami Nara saat kita dewasa."

"Iya, Nara harus jadi istri El saat El sudah dewasa karena Nara adalah gadis tercantik setelah Bunda yang El lihat."

Keduanya tersenyum dengan jari kelingkin yang saling bertaut. Sejenak Eldo melupakan kesedihannya kala menatap manik cokelat yang berbinar dengan begitu indah nan mempesona.

"El ayo kita kembali ke mobil, mereka pasti sudah menunggu lama." Nara menggenggam tangannya sementara tangan yang lain meraih payung yang terlupakan saat ia memeluk Eldo tadi membuat tubuh keduanya basah kemudian mereka berjalan melewati beberapa makam.

Eldo menatap tangannya yang di genggam Nara, kemudian tersenyum tipis, "Meski El sedih karena Ayah pergi, El bahagia karena masih memiliki Bunda dan Nara," Katanya dalam hati.

Hari itu adalah untuk pertama kalinya Eldo merasa dadanya berdetak begitu kencang dan hatinya menghangat juga bahagia hanya karena melihat mata dan senyuman Nara. Ayah pernah bilang, jika dada Eldo berdetak begitu kencang dan hati Eldo merasakan hangat dan bahagia ketika melihat seseorang itu artinya Eldo sedang jatuh cinta.

Tapi apakah sekarang ia sedang jatuh cinta untuk pertama kalinya? Kepada sahabatnya sendiri? El tak yakin karena ia pun masih belum mengerti apa arti cinta namun bolehkah El berharap? Berharap bahwa saat ia dewasa nanti Nara menjadi pendamping hidupnya.

"Tuhan, jika memang ini cinta El berharap suatu saat nanti Nara akan mencintai El juga. El mohon jodohkanlah kami ketika kami sudah dewasa nanti." Doanya dalam hati penuh dengan harapan.

Namun Tuhan selalu memiliki rencana lain. Tuhan selalu memiliki takdir lain.

Janji itu hanya sebatas janji yang pernah terucap antara Eldo dan Nara, dan tanpa mereka ketahui di tempat pemakaman yang sama seorang bocah lelaki yang lebih kecil dari mereka tengah menangis dibawah pohon.

Ketakutan karena ditinggal ibunya di tengah hujan yang begitu deras dan suara petir yang selalu membuatnya ketakutan.

Anak itu, Reynar.

Tanpa mereka sadari, tanpa ketiganya ketahui, Tuhan telah mempertemukan mereka lebih dulu. Meski tanpa kata yang terucap, meski tanpa mata yang saling bertatap, namun mereka berada di tempat sama dengan rasa kehilangan yang menuai luka.

Eldo yang kehilangan ayahnya, juga Reynar yang telah kehilangan kasih sayang ibunya.

🌱🌱🌱

Kematian.

Eldo tahu bahwa setiap makhluk hidup akan merasakan kematian yang telah Tuhan gariskan kapan dan di mana hanya Tuhan yang tahu segalanya, namun meski begitu Eldo masih belum bisa untuk merelakan orang yang dia sayangi telah direnggut dari sisinya.

Eldo pernah begitu terluka ketika mengetahui ayahnya berpulang akibat kecelakaan beruntun saat pulang kerja, kemudian setelah hampir delapan tahun berlalu perlahan hatinya mulai merelakan kepergian ayahnya, namun kini untuk kedua kalinya Eldo pun harus dipaksa merelakan setelah kematian Nara dengan alasan yang sama dengan ayahnya.

Tetapi kini, setelah ayah dan Nara pergi, setelah Tuhan membuatnya kehilangan dua sosok yang berarti, bolehkah Eldo meminta satu hal pada Tuhan? Agar Tuhan tak mengambil Reynar dari mereka. Agar Tuhan segera membuat Reynar tersadar bahwa sosoknya begitu berarti untuk hidup.

Bunga Lily ia letakkan di depan batu nisan yang bertuliskan Kinara Angelista, sementara taburan bunga tujuh rupa kini telah menghiasi gundukan tanah itu. Kemudian tangannya mengusap pelan batu nisan layaknya ia mengelus kepala Nara yang selalu dia lakukan sejak dulu. Kepergian gadis itu masih sangat sulit dia relakan, di sudut hatinya ia masih belum mengikhlaskan meski ia telah memaafkan Reynar dan berdamai dengan diri sendiri, namun rasa ikhlas untuk kepergian Nara masih terasa sulit untuknya.

"Nara, lo pasti sekarang bahagia kan? Sekarang Lo pasti lagi manja-manjaan sama Allah." Katanya dengan kekehan kecil, kemudian helaan napas kasar itu keluar dari mulutnya. Ada sesak yang mulai terasa di dada.

"Nara gue minta maaf. Maaf ya karena masih belum bisa memenuhi permintaan lo. Gue kecolongan, Reynar hampir aja mati karena bunuh diri. Bocah itu, emang bodoh banget, kan? Pikiran dia sempit banget, iya kan, Nar? Padahal bunuh diri akan menambah masalah bukan menyelesaikan masalah, emang bodoh banget dia."

Eldo masih terus berbicara, mengungkapkan segala isi hatinya atas kebodohan yang Reynar lakukan.

"Nara, tolong bilang sama Allah agar tak membuat Reynar pergi. Beritahu Allah agar bocah nakal itu cepat sadar dan gue bisa memukul kepalanya agar kembali ketempat semula dan semua kebodohannya hilang. Dan gue akan mengabulkan permintaan lo untuk menjaganya, Nara, tetapi bujuk Allah agar Reynar cepat sadar."

Yang Eldo tak ketahui, ketika dirinya berada di pemakaman, tubuh Reynar mulai kejang-kejang membuat Almira yang melihatnya histeris seketika, kemudian ketika Dokter mulai memeriksa keadaannya Almira hanya bisa menangis dalam pelukan suaminya.

🌱🌱🌱

Bandung, 19 Juli 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

38.4K 3.5K 46
Jika memang hadirnya tak ada artinya, lantas untuk apa dia hidup? Jayden hanyalah seorang anak yang tak pernah dilahirkan hanya untuk menjadi yang ke...
21.3K 1.8K 19
Ini tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga...
47.4K 4.8K 35
Seiring berjalannya waktu, Lucas mengerti. Bahwa, hadirnya adalah bencana bagi kehidupan papa. Hadirnya adalah penghancur masa depan papa. Lucas ter...
125K 9.3K 40
_______________________________ Seorang anak memang tak pernah meminta untuk dilahirkan. Namun dia ada karena sebuah permintaan, perjuangan, dan jug...