GIBRAN DIRGANTARA

By fafayy_

19.8M 2M 1.2M

Sudah terbit dan tersebar di seluruh Gramedia Indonesia -Satu dari seratus sekian hati yang pernah singgah. K... More

01. GIBRAN DIRGANTARA REYNAND
02- KOLOR POLKADOT
03-BERITA HOT
04-BENDAHARA CANTIK
05-PIZZA MALAM
06-NODA MERAH
07-ADA YANG TURUN
08-GAK BOLEH BAIK
09- GIBRAN SADBOY
10- ADA YANG LEPAS
11- KAUS KAKI
12-HARGA DIRI ABEL
13- TENTANG MASA DEPAN GIBRAN
14- TAMPARAN MANTAN
15- MALAIKAT PELINDUNG
16- KECEBONG VS RENTENIR KELAS
17- KECUPAN SINGKAT
18- SURAT KEHILANGAN
19. I LIKE YOU
20- RINDU YANG AKAN DATANG
21- UNGKAPAN HATI
22- SETITIK LUKA & SETITIK RASA
23- CEMBURU TANPA MEMILIKI
24- OFFICIAL HIS
25- KESAYANGAN GIBRAN
26- BAHAGIAMU BAHAGIAKU
27- AKU, KAMU, DAN BAHAGIA
28- CANTIKNYA GIBRAN
29- GIBRAN, ABEL, DAN KENZO
30- RATUNYA GIBRAN & GUGURNYA PAHLAWAN
GC KE 2 AGBEROS TEAM (BUKAN UPDATE)
31- RATU CANTIK VS PARASIT CANTIK
32- HADIAH UNTUK ABEL & BENTENG PERTAHANAN
PENJELASAN!
33- SUATU PERBEDAAN & TIGA PARASIT
34- GAGALNYA KENCAN
35- PERMINTAAN MAAF
36- MURID BARU
TYSM FOR ARGANTARA (BUKAN UPDATE)
37- SYARAT BERSAMA
38- TERIMAKASIH LUKA
39- PUTUS ATAU TERUS
40- HUJAN DAN USAI
41- LINTAS KENANGAN
43- BUKAN PURA-PURA
44- DI BAWAH RINTIK HUJAN
45- GORESAN LUKA
46- TITIK TERAKHIR
47- KEMBALI
coming Soon
price list
Vip order
Special Offer Po ke 2
SPIN OFF GIBRAN DIRGANTARA

42- MERINDUKANNYA

335K 42K 49.9K
By fafayy_

GIBRAN DIRGANTARA
AZZURA ARABELA

Buat kamu yang masih setia singgah disini. Yang selalu sabar nungguin Gibran, dan yang selalu sabar waktu aku buat emosi di Instagram _-_ terimakasih ya....

Biar nggak lupa alur. Ada baiknya kalian baca bab 41 dulu ya. Jangan lupa ramaikan bab ini.

Untuk bab ini, putar mulmed :

Tetap untukmu- Anneth

42- Merindukannya.

"Bolehkah aku egois? Aku hanya ingin dia untukku di hari ini dan selamanya."

- Azzura Arabela

Pagi itu, Abel mendatangi salah satu toko bunga yang tak jauh dari rumahnya. Gadis itu membeli satu buket bunga mawar merah. Lengkap dengan seragam sekolahnya, gadis itu mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang nampaknya mulai ramai akan orang-orang yang akan memulai aktifitasnya masing-masing.

Jam masih menunjukkan pukul 06:10, yang artinya bel masuk sekolah masih sangat lama berbunyi. Momen inilah yang sangat di rindukan Abel. Dimana Gibran yang selalu menjemputnya dan berangkat pulang sekolah bersama. Namun, sepertinya Abel hanya bisa mengenang untuk sesaat semenjak Gibran terbaring lemah di atas brankar rumah sakit.

Matanya tak sengaja menatap bengkel om Idut yang sangat ramai. Sekilas, pintasan perlakuan Gibran dulu tiba-tiba melintas di kepalanya, membuat air mata rindunya menetes tanpa permisi.

"Ayo berangkat bareng gue. Motor lo biarin disini dulu aja."

"Aku munafik kalau aku bilang udah mati rasa sama kamu." Ucap Abel.

Gadis itu membelokkan stir motornya saat manik matanya menatap plakat yang bertuliskan, 'Antonio Hospital.' Gadis itu berniat untuk menjenguk Gibran, memastikan keadaan cowok itu membaik.

Langkah kakinya memasuki lorong rumah sakit yang terlihat sedikit ramai. Hingga langkahnya terhenti di depan ruang penginapan. Di Sana, banyak keluarga Gibran yang berkumpul. 

"Abel, gimana kabar kamu, nak?" Tanya Syera, menghampiri Abel yang nampak sedikit malu untuk mendekat.

Abel mendongak, jujur saja, saat menatap manik mata Ibunda Gibran terbesit rasa bersalah di dalam hatinya. Karenanya, Gibran melawan koma sendirian di dalam sana.

Usapan lembut yang menyapa pucuk kepalanya, membuyarkan lamunannya.

"Tante udah tau semuanya. Kamu jangan ngerasa bersalah, ya. Ini semua udah takdir, udah ada yang ngatur. Justru tante bersyukur kamu nggak kenapa-kenapa. Ya, walaupun----" wanita itu memaksakan senyumnya. "Gibran yang berjuang melawan semuanya di sana."

Abel menunduk. "M-maaf, Abel disini---"

"Iya, Tante ngerti. Kamu mau jenguk Gibran ya, pasti? Kamu masuk aja, di dalam nggak ada siapa-siapa. Tadi Algerian sama Kenzo juga habis dari sini." Potong Syera sedikit tersenyum.

Abel menatap manik mata Ibunda Gibran cukup lama. Ia merasakan sosok Ibunya hadir di dalam diri Syera, ia merindukan sosok Ibunya jika melihat manik mata wanita yang ada di hadapannya ini. Sebelum ia memasuki ruang dimana Gibran terbaring di sana, gadis itu tersenyum menatap Syera dan keluarga Gibran yang berada disini.

Ruang inap Gibran begitu terasa dingin saat Abel menginjakkan kakinya disini. Suara mesin EKG yang menghiasi kesunyian ini. Hatinya kembali teriris saat melihat Gibran yang masih terbaring di atas brankar. Matanya pun terpejam begitu sangat tenang.

Sebisa mungkin Abel tidak meneteskan air matanya. Namun, sepertinya sangat susah untuk Abel lakukan. Melihat keadaan Gibran yang seperti ini membuat Abel tak tahan untuk tak menangis. Gadis itu menarik salah satu kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Sebelum itu, ia menaruh satu buket bunga di atas nakas.

"Gibran, apa kabar? Nyaman banget tidurnya. Walaupun kamu belum buka mata kamu, aku berharap di sana kamu sadar akan kehadiran aku disini." Ucap Abel, mengusap-usap dahi Gibran yang terbalut dengan perban.

Abel mengusap matanya saat air matanya hendak turun. "Kamu jahat banget ninggalin aku sendirian disini. Kamu tau, Gib? Aku kangen Gibran yang selalu buat aku ketawa, bukan buat aku nangis seperti ini,"

"Katanya kamu larang aku buat nggak nangisin kamu. Tapi kamu sendiri yang buat aku nangis. Kamu larang aku buat nggak ninggalin kamu, tapi kamu sendiri yang ninggalin aku selama ini." Ujar Abel dengan suara yang begitu kelu.

Gadis itu menunduk lemah, kemudian mengangkat kepalanya lagi. Tangan kanannya menggenggam tangan Gibran yang dihiasi jarum infus yang tertempel pada punggung tangan cowok itu. Sedangkan tangan kiri gadis itu setia mengusap-usap dahi Gibran.

"Sekarang kelas XII udah mulai ujian kelulusan. Kamu nggak mau bangun dan ujian bareng aku? Aku harap, kamu segera buka mata kamu dan kita rayain hari kelulusan bareng." Abel mengecup punggung tangan Gibran.

"Kamu tau, Gib? Setiap malam aku selalu berandai-andai kalau kamu itu bangun dan bawa aku ke tiga tempat yang kamu janjikan waktu itu,"

Abel terkekeh dengan hambar. "Tapi aku nggak tau, setelah kamu bangun nanti, kamu masih mau lihat wajah aku lagi atau enggak."

"Setelah kamu bangun nanti, aku harap kamu sebut nama aku setelah kamu sebut kedua orangtua kamu. Aku pergi sekolah dulu ya, nanti pulang sekolah aku kesini lagi," kemudian, Abel mengecup dahi Gibran cukup lama.

Sebelum ia keluar dari ruangan ini, Gadis itu sempat berucap, "Cepet bangun, kesayangan Abel."

Suasana kantin Mak Jingga terlihat begitu sunyi. Meskipun pengunjung kantin ini selalu ramai, namun keadaannya seperti berputar 180° semenjak Gibran tidak ada di antara mereka.

Algerian dan Kenzo seperti orang yang frustrasi di sana. Apalagi Algerian, biasanya cowok itu selalu membuat jengkel seluruh siswa-siswi SMA Galaksi. Namun, sepertinya mereka kehilangan dua sosok yang sering membuat mereka jengkel sendiri. Gibran dan Algerian.

Gibran, cowok yang kehadirannya selalu membuat marah dan tertawa. Saat ini kehilangannya membuat seluruh dunia menangis. Gibran memang tidak meninggalkan mereka, namun tidak adanya Gibran disini seperti ada yang kurang.

"Alge, Kenzo, gimana keadaan Gibran? Semenjak Gibran jatuh kecelakaan di SMA ini, Mamak nggak tau gimana kabarnya," tanya Mak Jingga yang baru saja datang membawa pesanan Algerian dan Kenzo.

Algerian mendongak, dan mendapati Mak Jingga yang duduk di sampingnya. "Ya, begitulah, Mak. Dibilang baik, ya enggak. Dibilang buruk, ya enggak buruk."

"Gibran koma. Udah tiga hari ini dia belum bangun." Sahut Kenzo setelah meminum minumannya.

Mak Jingga sedikit terkejut mendengarnya. "K-koma?"

Algerian dan Kenzo mengangguk bersamaan.

"Mamak emang selalu sebal sama Gibran yang selalu buat onar disini. Tapi lihat Gibran begini Mamak jadi kangen sama sosoknya. Kadang Mamak di buat marah sama sifatnya, tapi Mamak sempat dibuat ketawa sama kelakuannya," ujar Mak Jingga, menatap kursi kosong yang selalu di duduki Gibran.

"Kehadirannya begitu berarti buat seluruh dunia." Sahut Algerian.

Mak Jingga mengangguk. "Bahkan kalian bisa lihat sendiri 'kan? Kantin Mamak mirip kantin mati yang nggak di huni siswa-siswi,"

Refleks, Algerian dan Kenzo menoleh ke kanan dan ke kiri. Benar, mereka tak ada yang membuka suara. Kalaupun ada, mereka tak terlalu mengeluarkan suara yang begitu keras seperti biasanya.

Kenzo celingak-celinguk mencari sosok perempuan yang sedari tadi ia cari. Algerian yang berada di sampingnya pun di buat heran.

"Lo cari siapa, Ken?" Tanya Algerian.

Kenzo menoleh. "Abel mana? Gue dari tadi nggak lihat dia," 

Manik mata Kenzo tertuju pada Mori yang asyik makan bersama Nadin, Farah dan juga teman-temannya yang lainnya. Tak ada Abel di antara mereka. Langkah kaki cowok itu mendekati meja dimana Mori dan beberapa teman-temannya yang lainnya duduk di sana.

"Kenzo? Ada apa?" Tanya Mori.

"Lo tau Abel dimana?"

"Ada di kelas. Gue tadi ajak Abel, cuma Abel nggak mau." Jawab Mori.

Kenzo mengangguk. "Thanks."

Farah menyenggol kaki Mori dengan kakinya yang terbalut sepatu hitamnya.

"Tumben banget Kenzo nyariin Abel. Ada apa?" Tanyanya.

"Cuma mastiin keadaan mungkin. Kabarnya 'kan, Gibran sempat kasih amanah ke Kenzo dan juga Alge buat jagain Abel selama Gibran nggak ada disini." Jawabnya.

Algerian sedari tadi mengikuti pergerakan Kenzo. Dari mulai sahabatnya itu mendekati meja Mori, saat cowok itu berjalan memasuki dapur kantin Mak Jingga. Dan hingga Kenzo kembali dengan membawa satu porsi nasi goreng di tangannya.

"Lo nggak salah, Ken?" Tanya Algerian sedikit heran.

Kenzo meliriknya sekilas. "Gue ke kelas dulu. Anterin makanan buat Abel. Gue yakin dia belum makan seharian."

Tanpa menunggu persetujuan dari bibir Algerian, cowok itu laju melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Kelasnya terlihat begitu sangat ramai. Namun, Abel terlihat duduk dengan murung bersama---- cowok yang berada di sampingnya.

Kenzo menghampirinya. "Ngapain lo disini?"

Arion mendongak. Namun, belum sempat ia menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir Kenzo. Cowok itu lebih dulu berucap kembali.

"Nggak usah ngambil kesempatan di atas penderitaan orang lain. Pergi lo!" Usirnya dengan jutek.

"Kenapa lo sama temen-temen lo selalu anggap gue buruk? Gue udah nggak berharap lagi sama Abel, gue tau Abel bukan buat gue dan nggak bakal pernah bersama gue," ujar Arion merasa risi saat Kenzo menentang keberadaannya disini.

"Bagus kalau lo sadar." Ucap Kenzo tanpa menatap Arion.

"Gue disini cuma nanyain gimana kabar Gibran ke Abel, nggak lebih." Ucap Arion memberi penjelasan.

"Lo nggak perlu tanya-tanya keadaan Gibran gimana. Dia baik-baik aja," ketus Kenzo.

Kenzo tak memperdulikan Arion, cowok itu menyerahkan satu porsi nasi goreng yang ada di tangannya kepada Abel. Gadis itu menatapnya dengan heran.

"Makan.Gue tau lo belum makan seharian ini. Jangan siksa diri sendiri. Kalau Gibran tau lo begini, gue sama Algerian yang di salahin, Bel,"

Arion berdiri dari duduknya. Sebelum ia keluar dari kelas XII IPS 3, cowok itu sempat melirik Kenzo dan Abel secara bergilirian.

"Kenapa masih disini?" Tanya Kenzo sewot. Arion memutar bola matanya malas. Selanjutnya, ia melangkah keluar dari kelas ini.

"Lo nggak perlu lakuin ini, Ken, buat gue. Kalau ini bikin diri lo sama Alge repot. Gue bisa semuanya sendiri tanpa harus lo awasi begini," ujar Abel mengalihkan pandangan Kenzo.

"Kalau nggak gue giniin, lo nggak bakal ada yang jagain. Gue cuma penuhi permintaan Gibran sebelum dia dilarikan ke rumah sakit." Ucapnya.

"Tapi---"

"Makan, jangan banyak bicara." Potong Kenzo.

Abel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa berdekatan dengan Kenzo membuat dirinya takut seperti ini? Padahal Kenzo biasa-biasa saja. Namun, aura Kenzo kenapa berbeda dari yang lainnya?

"L-lo nggak pergi?"

Kenzo menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. "Gue bakal pergi setelah mastiin lo habisin makanan itu."

"Ken," panggil Abel. Kenzo menoleh.

"Gibran kapan bangun? Kenapa dia lama banget ninggalin gue disini sendiri? Gue tadi ke rumah sakit sebelum ke sekolahan. Kondisi Gibran sama aja, nggak ada tanda-tanda dia sadar." Kata Abel.

"Lo salah kalau nanya itu ke gue. Bukan gue yang buat Gibran koma, bukan gue yang pegang takdir dia." Jawab Kenzo.

"Sesakit ini kah, Ken? Di tinggal sama orang yang selalu buat kita ketawa? Sesakit ini kah jatuh hati sama orang?" Abel tak mempedulikan jawaban Kenzo, ia ingin mengutarakan semuanya.

Abel meremas roknya, menahan tangisnya yang siap keluar kembali. Air matanya pun sudah berhasil menetes mengenai rok abu-abunya. Kenzo menoleh saat menyadari Abel yang menangis dengan diam.

"Jangan nangis di samping gue," Abel mendongak mendengar tutur kata Kenzo.

"Lihat lo nangis, gue nggak tahan buat nggak peluk lo. Tapi gue sadar, siapa dan sebagai apa gue disini. Gue nggak ada hak buat peluk lo. Jadi, gue minta sama lo, Bel. Jangan nangis di samping gue." 

Kenzo menyerahkan satu buah sapu tangan yang ia keluarkan dari dalam saku celananya, gadis itu sempat terdiam, sebelum akhirnya ia menerimanya.

"Ken," panggil Abel lagi.

Kenzo menoleh. "Apa?"

"Setelah Gibran bangun nanti. Apa dia masih mau lihat wajah gue lagi?"

Bel pulang sekolah telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Menghamburkan siswa-siswi yang berkutat dengan aktifitasnya masing-masing. Parkiran nampak sangat ramai di penuhi oleh siswa-siswi yang berdesak-desakan mengambil kendaraannya masing-masing.

Abel, gadis itu berhasil mengambil motornya yang terparkir paling depan. Ia tak ada niatan untuk pulang langsung, ada suatu tempat yang harus ia kunjungi.

Kedatangan Algerian dan Kenzo yang berhenti tepat di depan motornya, membuat Abel mendongak dan menatap dua cowok itu dengan raut wajah kebingungan.

"Ada apa Al, Ken?" Tanya Abel.

"Lo mau pulang? Gue rencananya mau ke rumah sakit jenguk Gibran, soalnya Tante Syera sama Om Arga lagi nggak bisa jagain Gibran. Siapa tau lo mau ikut bareng sama kita," tawar Algerian.

Gadis itu sempat melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Ia mendongak dan menggeleng pelan.

"Kalian duluan aja, nanti gue nyusul sekitar jam lima sore. Gue lagi ada urusan sebentar."

"Mau kemana?" Tanya Kenzo.

"Gue mau pergi sebentar," jawab Abel.

Kenzo mengangguk. "Jangan malem-malem pulangnya. Sampe lo kenapa-kenapa, gue ngerasa bersalah disini. Gagal penuhi amanah yang Gibran kasih ke gue sama Alge," ujarnya.

"Kalau ada apa-apa. Jangan lupa hubungi gue sama Kenzo. Gue duluan." Ucap Algerian, lalu cowok itu melajukan motornya keluar dari area parkiran.

Setelah memastikan Algerian dan Kenzo pergi dari hadapannya, gadis itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang keluar dari halaman parkiran SMA Galaksi. Abel sangat bersyukur cuaca sore hari ini tidak terlalu panas dan keadaan jalanan tidak macet. 

Entah kemana tujuan gadis itu, senyum yang sedari tadi terbit di bibirnya tidak luntur begitu saja. Lama di perjalanan, gadis itu menghentikan motornya saat ia sudah sampai ke tempat tujuan. Abel melihat sekitar yang beruntungnya tidak terlalu sepi. Ada pedagang es kelapa muda, serta orang-orang yang berlalu lalang disini.

Langkah kaki Abel memasuki hutan yang tidak terlalu gelap. Suara kicauan burung menghiasi sunyinya hutan ini. Langkah kaki gadis itu berhenti tepat di depan gubuk kokoh yang berdiri di apit pohon besar di sampingnya. Ia menghidupkan lampu petromax yang tergantung di sana sebagai penerang.

Manik matanya tertuju pada bingkai foto yang berisikan foto Gibran, Algerian, dan Kenzo. Namun, hatinya menghangat saat melihat sebuah foto polaroid berisikan foto Gibran bersamanya. 

"Kapan kamu bangun dan bawa aku kesini lagi?" Ucapnya sembari menatap foto polaroid yang ada di tangannya.

Abel sempat terdiam saat mengingat memori-memori manis bersama Gibran.

"Jadi pacar gue, mau?"

"Gue serius kali ini, Bel."

"Satu dari seratus sekian perempuan yang pernah singgah disini. Kamu, satu-satunya perempuan yang bakal singgah disini, selamanya."

"Aku sayang kamu, Abel."

"Aku sayang kamu, kalau kamu pergi nanti, jangan lupa untuk kembali. Kembali disini, jangan lupa ada aku yang selalu siap nunggu kamu, sejauh apapun itu kamu pergi."

"Jangan nangis. Gue ngerasa jadi cowok brengsek disini.'

"Apa segitu brengseknya gue? Sampe lo nggak mau percaya sama gue lagi. Apa artinya lo buat gue, Bel? Kalau lo nggak percaya sama gue sedikit pun. Apa artinya hubungan kita, Bel?"

"Aku percaya sama kamu, Gibran." Ucap Abel saat mengingat memori perpisahannya dengan Gibran.

"Gue sayang sama lo. Maafin gue, gue gagal jaga hubungan kita. Gue bodoh, yang pada akhirnya gue sendiri yang rusak semua ini. Maafin gue, Abel,"

"Aku yang bodoh. Kalau aku percaya sama kamu, semuanya nggak bakal rusak." Ucap Abel lagi.

Bibir gadis itu tertarik membentuk seulas senyuman manis. Namun, matanya seolah tak bisa berbohong jika Abel merindukan semuanya. Mengingat momen indah serta momen yang paling menyakitkan bersama Gibran membuat ulu hatinya berdesir ngilu.

"Kamu larang aku buat ninggalin kamu. Tapi kamu sendiri yang ninggalin aku sendirian disini."

Tangan lentik Abel mengambil sebuah pulpen di dalam tasnya. Kemudian jarinya dengan lihainya menuliskan kata demi kata pada sticky note di tangannya.

'Aku nggak tau takdir kita bagaimana. Aku berharap, kita masih bisa bersama. Kemarin aku menyuruh kamu pergi. Dan aku baru sadar, selemah ini aku tanpa kamu. Egoiskah aku kalau aku suruh kamu untuk kembali lagi?' 

Abel menjuntaikan kakinya ke bawah, kepalanya mendongak menikmati semilir angin yang berhembus dengan sejuk.

"Aku selalu berharap. Setiap kali aku buka mata aku, aku lihat wajah kamu di depanku."

Abel membuka matanya kembali, ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Rindu ini sangat menyiksa dirinya.

Deringan ponsel yang bersumber dari dalam tasnya membuat atensi gadis itu teralihkan. Buru-buru ia membuka raseleting tasnya dan mengambil benda pipih itu.

Tertera nama Algerian di layar ponselnya. Abel sempat kebingungan, ada apa Algerian menghubunginya? Padahal tadi ia sudah berpamitan jika ia pergi untuk sebentar. Jemari gadis itu menarik tombol hijau pada layar ponselnya.

"Halo---"

"Lo dimana?!"

Abel menjauhkan ponselnya, sejenak menatap layarnya yang menunjukkan nama Algerian di sana. Gadis itu kembali menempelkan ponselnya di telinganya.

"Bel, lo denger gue 'kan? Lo dimana sekarang?"

"Gue jauh dari area, Al. Ada apa?" Tanyanya.

"Ke rumah sakit sekarang!" Suruh Algerian di seberang sana sedikit memaksa.

Abel mengernyitkan dahinya bingung. "Ada ap---"

"Gibran, Bel. Detak jantung Gibran hilang!"

Jantung Abel seperti di hantam dengan batu yang amat besar. Detak jantungnya berdegup dengan kencang saat Algerian mengatakan itu semua. Abel menggeleng kencang, tangannya mengusap matanya, menolak air matanya yang siap terjun kembali.

"Nggak! Nggak mungkin!"

Buru-buru Abel menyambar tasnya dan berlari keluar dari dalam hutan ini. Ia tak memperdulikan kakinya yang tergores dengan ranting-ranting pohon. Rasa perih pada betisnya tak sebanding rasa perih di hatinya.

Gibran, sosok lelaki yang Abel tunggu-tunggu kesadarannya saat ini kondisinya tambah melemah.

Gadis dengan tubuh yang masih lengkap di baluti seragam putih abu-abu itu baru saja menginjakkan kakinya di lantai lorong rumah sakit. Air matanya turun dengan deras saat mengingat ucapan Algerian di telepon tadi. Langkah kakinya begitu cepat berjalan menuju ruangan dimana Gibran di tempatkan sekarang.

Piluh air mata turun kian menderas membasahi wajah cantiknya. Jantungnya sedari tadi berdebar sangat kencang, serta hatinya begitu berdesir sangat ngilu.

Jemari lentik gadis itu meremas kuat tali tasnya. Telapak tangannya begitu terasa sangat dingin. Rasa takut menghantui diri Abel, takut jika Gibran pergi meninggalkannya.

"Kamu nggak boleh pergi, Gibran!" Ucap Abel dengan kaki yang terus berjalan.

Abel terisak pilu, membuat beberapa pasang mata menatap Abel dengan iba.

Abel hendak mendorong pintu UGD, namun tindakannya terhenti saat Algerian datang dan menahan tubuh Abel, melarang untuk memasuki ruang tersebut.

"Bel, jangan masuk dulu. Gibran masih di tangani dokter," cegah Algerian.

"A-Alge, Gibran nggak apa-apa 'kan? Dia nggak----" ucapan Abel terhenti saat Algerian memeluk tubuh Abel dengan erat. Cowok itu mengusap-usap punggung gadis itu guna menenangkannya.

Algerian mengangguk. "Gibran nggak apa-apa, dia nggak bakal ninggalin lo. Jantungnya tadi sempat berhenti, tapi cuma sebentar. Nggak lama dari itu detak jantungnya kembali dengan normal."

Algerian melepaskan pelukannya, sejenak ia menatap wajah Abel yang terlihat sangat memerah. Ia tak tahan untuk tak mengusap air mata Abel.

"Bel, sorry. Gue izin hapus air mata lo kali ini aja." Tangan Algerian terangkat, mengusap air mata Abel yang membasahi wajah cantiknya.

"Jangan nangis. Gibran di sana berusaha buat kembali." Ucap Algerian.

Decitan pintu yang terdengar di telinga mereka, membuat Abel, Algerian, dan Kenzo mendekat ke arah dokter yang baru saja keluar dari dalam ruang UGD. 

"Gimana dengan keadaan teman saya, Dok?" Tanya Kenzo mendesak.

Dokter Haris sempat menghembuskan napasnya dengan perlahan. "Bersyukur, detak jantung Gibran kembali lagi. Tapi,"

Abel menunggu ucapan Dokter Haris selanjutnya. Dokter Haris menatap satu persatu ke arah anak-anak remaja di depannya.

"Kondisinya semakin memburuk. Kondisi jantungnya juga sedikit melemah. Hal ini membuat pasien harus memakai alat bantu pernapasan." Jelasnya.

"Dan juga, mungkin setelah Gibran sadar nanti ada kejadian yang diluar dugaan. Saya tidak mau mengungkapkan sekarang, saya bakal mengungkapkan setelah Gibran bangun dari masa komanya."

Algerian menyugar rambutnya dengan frustrasi. Sedangkan Kenzo, cowok itu terduduk dengan lemas di atas kursi depan ruang UGD. Kenzo melepas dasi yang melingkar di kerah bajunya. Lalu, cowok itu menyandarkan bahunya dan memejamkan matanya sejenak.

"Kenapa harus gini, Gib?" Lirih Kenzo.

Kenzo buru-buru mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Ia menghubungi orangtua Gibran yang tak tahu perihal kabar ini.

Sedangkan Abel, gadis itu seperti kehilangan semuanya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Tanpa permisi, langkah kaki gadis itu memasuki ruang UGD, dimana Gibran di tempatkan di sana.

Kakinya bergetar saat ia melihat alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya. Tubuhnya hampir saja luruh jika saja ia tak bertumpu pada pembatas brankar.

"G-Gibran," lirih Abel. 

Tubuh Abel terduduk dengan lemas di atas kursi dekat brankar Gibran. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menumpahkan air matanya yang sudah tak bisa ia bendung lagi. Bahunya bergetar hebat melihat kondisi Gibran seperti ini.

Algerian yang melihat Abel serapuh itu dibuat tak tega. Ia mengusap sudut matanya yang mengeluarkan sedikit air mata.

"Bangun, Gib. Lihat betapa rapuhnya Abel tanpa lo disampingnya." Gumam Algerian.

Abel terisak dengan kencang, ia tak kuasa menahan tangisnya yang dari kemarin ia tahan. Ia tak memperdulikan keberadaan Algerian yang terus memperhatikannya.

"Bangun, Gibran. Kamu nggak boleh pergi ninggalin aku sendirian disini!" Abel menggenggam kuat telapak tangan Gibran yang terasa sedikit dingin.

"Kamu janji pergi sebentar 'kan? Kenapa selama ini kamu ninggalin aku? Aku butuh kamu. Tolong, buka mata kamu,"

"Kalau kamu pergi, yang jagain aku siapa? Yang buat aku ketawa lagi siapa? Kamu janjinya nggak bakal lama perginya. Tapi kenapa ini lama banget buat aku, Gib?" Abel mendongak, menahan rasa sesak di hatinya.

Gadis itu kembali menatap Gibran dengan mata yang memerah. Tangannya begitu lembut mengusap dahi Gibran.

"Kalau kamu pergi, aku ikut, ya?"

"Gibran nggak bakal pergi ninggalin kita semua. Dia pasti bangun, entah itu kapan waktunya. Tugas kita cuma nunggu Gibran bangun dari masa komanya." Ujar Kenzo yang baru saja memasuki ruangan ini.

Abel menoleh, namun ia tak menjawab ucapan Kenzo. Gadis itu kembali terfokus kepada Gibran. Cowok itu begitu tenang memejamkan matanya.

Abel mengangkat tangan Gibran dan menempelkannya pada pipinya. "Kenapa harus kamu?" 

"Maafin aku, Gibran." Lirihnya.

Setelah itu, Abel terdiam cukup lama. Sembari menatap wajah tenang Gibran dengan tatapan sendu. Jemari lentiknya mengusap-usap lembut punggung tangan Gibran.

"Bangun, Gibran. Kamu nggak mau denger semuanya dari aku? Aku percaya sama kamu. Bangun, ya. Aku kangen kamu."

Pintu UGD yang mula-mula tertutup dengan rapat, tiba-tiba terbuka lebar menampilkan beberapa perempuan yang berdiri disana. Algerian dan Kenzo menoleh dengan bersama, tak heran lagi jika beberapa perempuan tersebut datang kemari. Begitu mendengar kabar buruk yang menimpa Gibran tadi, Algerian langsung memberitahu anak-anak sekolahan melalui grup resmi SMA Galaksi di Telegram.

Beberapa perempuan tersebut antara lain, Mori, Nadin, Farah, dan juga---- Rani.

"K-Kenzo, gimana keadaan Gibran?" Tanya Nadin kepada Kenzo.

Kenzo menunjuk Gibran yang terbaring di atas brankar dengan dagunya. Semua arah pandang empat pasang mata itu mengikuti arah yang di tunjukkan Kenzo. Mori refleks menutup mulutnya saat melihat keadaan Gibran yang sepertinya jauh dari kata baik-baik saja.

"Gibran koma. Udah tiga hari ini dia nggak bangun. Dan tadi," Algerian melirik Rani sekilas. "Detak jantungnya sempat hilang."

Empat gadis itu sempat terkejut dengan penuturan kata yang di ucapkan Algerian. Setelah mengatakan itu, Algerian memalingkan wajahnya saat manik matanya menatap wajah Rani.

Abel berdiri dari duduknya saat menyadari sahabat dan teman seangkatannya itu mendekatinya.

"Mau ngapain lo kesini?"

Mori terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Abel dengan begitu ketusnya. Nadin, Farah, dan Rani pun dengan kompak menghentikan langkahnya.

"Abel lo----" ucapan Mori terpotong saat Abel menyela ucapannya.

"Bukan lo. Tapi dia," Abel menunjuk Rani dengan tatapan penuh kebencian.

"Sekali lagi gue tanya, lo ngapain kesini?" Tanya Abel dengan ketusnya kepada Rani.

Rani meneguk salivanya dengan kelu, mulutnya seolah terkunci dengan rapat sehingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Lo puas 'kan, lihat Gibran kaya gini?" Abel terkekeh dengan pelan, lalu ia menepuk pundak Rani sebanyak dua kali. "Selamat, lo menang. Lo berhasil rusak hubungan gue, dan lo berhasil buat Gibran celaka. Ini 'kan yang lo mau?"

Abel menatap Rani dengan mata yang memerah. Ia ingin marah, ia ingin meledakkan semuanya disini. Namun, entah kenapa ia tidak bisa melakukan itu semua.

Algerian dan Kenzo yang sedari tadi berdiri tak jauh dari mereka pun berjalan mendekat. Takut-takut jika Abel dan Rani bertengkar disini. 

"A-Abel, nggak gitu. Gue----"

"Apa? Lo mau bilang kalau lo berhasil rusak semuanya? Lo berhasil, Ran. Berhasil buat gue sehancur ini. Ini 'kan tujuan awal lo? Buat gue pisah sama Gibran, dan buat gue semenderita ini?" Ujar Abel dengan suara bergetar memotong ucapan Rani.

Mori dan Farah melangkah, mengusap-usap bahu Abel untuk menenangkan gadis itu.

"Abel, udah. Bukan tempatnya dan bukan waktunya lo marah-marah." Bisik Mori, yang tak di hiraukan sama sekali oleh Abel.

Rani menatap Gibran sekilas, kemudian ia menatap Abel kembali.

"G-gue minta maaf. Ini kesalahan gue, andaikan waktu itu gue nggak berbuat hal seperti itu, mungkin Gibran nggak bakal kaya gini."

Abel menoleh dan terkekeh pelan. "Bagus. Bagus kalau lo sadar akan kesalahan yang lo perbuat. Tapi maaf, Ran. Kata maaf lo itu nggak bisa mengembalikan semuanya. Nggak bisa mengembalikan sesuatu yang udah hancur." Ucap Abel dengan kelu.

Rani menatap Abel dengan tatapan berkaca-kaca. Ia sadar ini kesalahannya. Tapi apa ia tidak pantas mendapatkan kata maaf?

"Apa segitu bejatnya gue, Bel? Sampe lo nggak mau maafin gue?"

"Iya." Jawab Abel jelas.

"Jangankan gue. Satu dunia pun gue yakin nggak bakal maafin lo, Ran. Secantik apapun lo, kalau sifatnya lo sangat jauh dari definisi wajah lo. Lo nggak bakal ada artinya di mata seluruh dunia." Kata Abel dengan ketus.

Abel menatap pintu UGD yang tertutup. "Sekarang mau apa lagi? Keluar dari sini. Gue nggak butuh lo ada disini, dan Gibran nggak butuh kata maaf dan belas kasih lo sedikitpun." Usirnya.

Rani memegang pergelangan tangan Abel, namun dengan cepat Abel menepisnya dengan kasar.

"Abel, kasih gue waktu sebentar aja buat minta maaf sama lo,"

"Gue nggak butuh kata maaf lo. Sekarang lo keluar dari sini." Abel memalingkan wajahnya.

Merasa tak ada pergerakan sama sekali dari Rani, Abel menoleh dan mendorong pelan bahu Rani. "Keluar, Ran!"

Kenzo menghampiri Rani. "Biarin Abel tenang dulu,"

Rani mengusap air matanya yang menetes. Ia menatap Kenzo dengan penuh harap.

"Ken, sampaikan kata maaf gue kalau Gibran udah bangun." Kenzo mengangguk mengiyakan ucapan Rani.

Setelah memastikan Rani keluar dari ruangan ini. Kenzo kembali menutup pintu UGD dengan rapat. Ia menoleh, dan mendapati Abel yang masih di tenangkan oleh Mori, Nadin, dan juga Farah.

"Gibran hampir aja ninggalin gue disini. Gue takut," Abel mengambil pasokan udara saat merasakan dadanya begitu sesak. "Gue takut Gibran pergi dari gue,"

"Buang pikiran buruk lo, Bel. Gibran nggak kenapa-kenapa. Dia cuma pergi sebentar, dan dia bakal kembali lagi. Kembali disini, buat lo." Ujar Mori menenangkan Abel.

Abel mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Sisa-sisa isakannya masih terdengar jelas. Siapa yang tidak berpikir negatif jika ada di posisi Abel? Apalagi mendengar kabar jika detak jantung Gibran sempat berhenti. Siapapun akan mengira jika Gibran akan pergi meninggalkan semua orang disini.

"S-sakit...."

Abel, Mori, Nadin, Farah, Algerian dan Kenzo menoleh dengan refleks saat telinganya mendengar suara rintihan yang tak begitu asing lagi. Napas Abel bergetar serta bibirnya berkedut membentuk seulas senyuman saat melihat pergerakan pada jari serta kelopak mata Gibran.

"Gibran," ucap Abel dengan pelan.

"Gibran sadar?" Tanya Mori masih tak percaya. 

Algerian dan Kenzo dengan bersama mengusap wajahnya dengan lega. Dua cowok itu sempat menintikkan air matanya tak percaya dengan ini semua. Sedangkan Abel, gadis itu menangis dengan diam. Mengutarakan antara senang dan haru menjadi satu.

"Biarin Gibran buka matanya sepenuhnya dulu." Ucap Kenzo mencegah langkah Abel yang hendak mendekati brankar Gibran.

"Biar gue sama Nadin yang panggil dokternya." Ucap Farah, kemudian ia melangkah bersama Nadin keluar dari dalam ruang UGD. 

Abel terus menatap Gibran dengan perasaan haru. Cowok itu terus memegangi kepalanya yang terasa amat sakit. Matanya sangat berat untuk sekedar terbuka.

Dengan perlahan, kelopak mata cowok itu mengerjap beberapa kali, hingga akhirnya ia berhasil membuka matanya sepenuhnya.
Gibran menatap langit-langit ruangan ini dengan manik mata yang tak bisa di artikan.

Hal itu tentunya membuat langkah Abel segera mendekati Gibran.

Gadis itu menyentuh punggung tangan Gibran. "Gibran. Kamu beneran udah bangun? Aku nggak lagi mimpi 'kan?"

Algerian, Kenzo, dan Mori mendekati brankar Gibran. Algerian tersenyum melihat Gibran yang sudah sepenuhnya bangun dari masa komanya. 

"Lo tau, Gib? Abel tiga hari ini nangisin lo. Kenapa lo lama banget ninggalin gue sama Kenzo disini? Sekolahan kita hampa tanpa lo. Cepet sehat, biar kita bisa main lagi." Ujar Algerian.

Gibran menoleh dengan perlahan, bibirnya meringis menahan rasa yang amat sakit di sekujur kepalanya. Ia menatap Algerian, Kenzo, Mori, dan juga--- Abel, secara bergantian.

Gibran menyingkirkan tangan Abel yang menggenggam tangannya. Hal itu membuat Abel terkejut dengan sikap Gibran yang sangat berbeda. Tidak seperti biasanya Gibran menolak perlakuan Abel terhadapnya.

Senyum yang mula-mula terbit di bibir Algerian saat ini luntur begitu saja begitu melihat penolakan yang Gibran lakukan kepada Abel.

Gibran mencoba bangun dari tidurnya, melihat Gibran yang sepertinya kesusahan, lantas Kenzo mendekati Gibran dan membantu sahabatnya itu untuk sepenuhnya duduk dari tidurnya.

Namun, satu hal yang paling mengejutkan bagi Abel, Mori, dan Algerian yang menyaksikan itu. Gibran, cowok itu mendorong tubuh Kenzo dengan pelan.

"Gib, lo----"

"Kalian semua siapa?"

To be continued....

Untuk bab 43, bakal segera aku up ya. Kalian sabar nunggunya sambil mantengin terus Instagram roleplayer Gibran dan Argantara.

Rencananya mau aku trobosin aja. Tapi bab ini hampir 5k lebih wordnya. Jadi buat mempersingkat bab, aku lanjutin di bab 43 ya.

Mana nih team happy end?

Kalah happy end kalian mau ngapain? Tasyakuran online? Atau mau yasinan online?

Team sad ending mana nih?

Oh iya, aku mau minta maaf disini karena udah buat kalian nunggu lama banget. Aku ada dua alasan kenapa selama ini aku update. Yang pertama aku nyusun alur, yang kedua aku nyari plagiat cerita Gibran.

Sebenernya aku agak ragu buat update bab ini. Aku takut plagiat tersebut makin menjadi, makin nyontek habis cerita ini. Dan sampai sekarang, aku belum nemuin judulnya yang plagiat cerita ini.

Kalian kalau tau dan kalau baca cerita yang ada kemiripan sama cerita Gibran, kalian langsung bilang sama aku ya... Atau bilang ke salah satu rp Argantara dkk dan Gibran dkk.

Mari nabung bersama Gibran Dirgantara untuk menjemput novel Gibran nanti. Jangan sampai kalian enggak pegang bang Cebong ya....

#Gibran Dirgantara

#Algerian Mahatma

#Kenzo Galaksa

#Azzura Arabela

#Almira Tunggadewi

#Nadin Sabrina

#Maharani

Fafay, Lampung 20 juli 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

54.9K 323 5
#1 [END] DANIEL ANTONIO yang kerap di panggil dani memiliki sifat yang dingin tak tersentuh dan TIARA PUTRI yang bersifat periang baik dan, cantik...
47.4K 2K 23
Lari bukanlah cara yang dewasa untuk menghadapi masalah. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru membuat masalah semakin gemas memburumu. Namun, Mem...
683K 22.6K 47
Jangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. A...
6.2K 345 24
[Sayang Nathan, sayang Author!! jgn lupa pollow gan!!] Please vote and comment guys!! "Jangan pernah berani menjalin hubungan baru dengan seseorang...