Di Balik: 🌬Angin
Aku tidak tegang dengan pendaratan ini. Wajahku mendekat pada jendela untuk menatap lintasan aspal panjang yang seperti sudah menanti-nanti. Aku tersenyum kecil, tertawa dalam hati karena tiba-tiba aku merasa iri dengan pesawat-pesawat ini. Sebuah burung besi selalu tahu harus datang kemana, punya tujuan pasti untuk melandaskan roda. Berbeda sekali dibanding hati manusia yang tidak pernah bisa memilih kepada siapa harus mendaratkan rasa. Kita mungkin bisa menemukan satu yang istimewa kapan saja. Masalahnya biarpun begitu, kita masih harus menebak-nebak apakah seseorang itu benar-benar 'tempat' yang tepat.
"Udah, galaunya tinggalin di Bali." Tante Farah meletakkan telapak tangan pada bahuku. Aku penasaran kalimat keren apa lagi yang akan Tante katakan demi menghibur keponakannya, "Let's keep ourselves busy because we're too pretty to be broken."
Gaya bossy Tante Farah saat memasang kacamata nggak pernah gagal bikin aku tertawa. Kurasa tidak ada satu hal pun dari Tante Farah yang terpengaruh pertambahan usia. Kami mengambil foto berdua di tiap ulang tahunku, dan Tante betul-betul masih terlihat secantik dan semuda dirinya pada foto lama. Orang pasti kaget mengetahui Tante Farah bakal menginjak usia 35 tahun ini, terlebih lagi dengan gaya nyentrik dan cara bicaranya yang gaul begitu.
Tidak pernah bosan kukatakan seberapa kagumnya aku dengan sosok Tante Farah. Bukan dari sudut pandang orang yang berterima kasih karena Tante Farah telah bersamaku disaat-saat terbaik hingga yang terburuk. Tapi ia memang sepantas itu untuk dikagumi. Aku belum pernah bertemu orang lain yang bisa menyaingi keuletan Tante Farah dalam berproses.
"Tante kira masa depan bakal selalu mengkhawatirkan kalau yang menjalani cuma menganggap hidup sebagai ajang berebut peluang. Nggak harus kayak gitu cara kerjanya. Nggak harus dengan berebut. Peluang itu jangan sekedar dicari, tapi coba kita buat sendiri. Dengan begitu kita nggak bakal kehabisan jalan."
Aku bangga sekali karena Tante benar-benar sudah menjelma menjadi wanita matang dan mandiri seperti sekarang. Dari semua pemikiran-pemikiran hebatnya, aku paling setuju dengan yang satu itu. Sampai kutulis ulang dan kutempel pada hijang diatas meja belajar. Biar bisa kubaca berulang-ulang kalau sedang dilanda krisis jati diri.
Ngomong-ngomong, kami sudah nggak di dalam pesawat sekarang. Aku membuntuti Tante dari belakang sambil menyeret koper, berusaha tidak kehilangan jejak wanita itu. Heran. Dengan koper yang lebih besar, telepon dari seseorang yang menyibukkannya juga sepatu hak tinggi yang ia kenakan, gerakan Tante tetap jauh lebih gesit ketimbang aku.
Menangkap seseorang yang perawakannya sangat aku hafal berdiri di depan gate kedatangan, aku urung membuka ponsel. Senyumku melebar saat ia melambaikan tangan, kupikir Awan masih di jalan.
"Sori jadi bikin repot kamu, Wan." Tante berusaha menjauhkan ponsel dari bibirnya saat bicara pada Awan. Sepertinya telepon yang tadi belum diakhiri. "Soalnya Tante harus langsung ke kantor, ada janji."
Awan menggeleng, tidak merasa dirinya sedang direpotkan, "Nggak masalah, Tan. Lagian aku kangen Didi."
Mataku melotot penuh peringatan dan nggak ketinggalan aku membuat gestur bergidik geli. Jangan ditanya. Aku memang sengaja menyusun aksi pura-pura kesal buat menutupi salah tingkah setelah dengar kata 'kangen' dari Awan. Untung saja Awan nggak usil mengedipkan sebelah mata tadi, kalau cowok itu melakukannya, pipiku pasti sudah semerah tomat sekarang.
"Aduh iri banget sama kawula muda nih. Kalo bangkotan kayak Tante gini siapa coba yang ngangenin?" Dengan dramatis Tante Farah menekan dadanya.
"Itu, klien." Goda Awan sembari tergelak.
"Oiya bener juga. Yaudah Tante cabs dulu ya, take care kalian!" Sempat mencuri kecupan kecil pada rambutku, sejurus kemudian Tante melangkah lebar-lebar menyusul supirnya yang baru datang.
Tinggal aku dan Awan. Cowok itu mengambil alih koperku dan menanyakan apa aku ingin mampir ke tempat makan atau mungkin drive thru saja kalau badanku terasa capek. Aku bilang mau langsung pulang karena Bibi tadi kirim pesan kalau ia sudah siapkan masakan di rumah.
"Bohong kan?"
Kening Awan berkerut, bingung kenapa dirinya tahu-tahu dituduh padahal baru juga ia masuk mobil, "Apanya?"
"Kangennya?" imbuhku dan seketika cowok itu tergelak.
Awan yang selesai memasang seatbelt duluan membuka kedua lengannya, "Sini peluk kalau nggak percaya."
Sudah barang mesti aku nggak menolak. Tanpa meninggalkan kursi aku mencondongkan badan agar leluasa menubruk dada Awan. Tapi belum ada lima menit Awan protes dan segera bersingut menjauh karena ulah isengku menggosok-gosok hidung pada kaosnya bikin cowok itu kegelian.
"Jadi udah nggak marah lagi, kan?"
Kuketuk-ketukkan telunjuk pada dagu, tidak mau serta merta mengiyakan pertanyaan Awan, "Emmm..."
Awan berdecak menanggapi tampang sok jual mahal yang kubuat. Ia bisa langsung menebak kalau aku pasti ada maunya. "Mau peluk sekali lagi?"
Dengan kepalang senang aku langsung membawa tubuhku kembali kedekapannya. Mencari nyaman dan hangat yang tidak bisa kudapatkan dari tempat lain. Kata Awan kalau sedang begini aku mirip bayi koala yang merindukan induknya. Aku nggak keberatan dijuluki aneh-aneh begitu asal boleh peluk lama-lama. Alhasil kami benar-benar nggak kunjung meninggalkan tempat parkir bandara. "Hehe udah nggak marah."
"Maafin aku ya..." bisik Awan sambil menempelkan dagu dipucuk kepalaku.
Aku menghela sebelum memberinya anggukan singkat, "Aku juga. Kamu pasti sebel karena belakangan aku uring-uringan banget. Maaf ya, Wan."
Awan menunduk untuk menatapku, "Nggak apa-apa, Di. Lagian aku sendiri yang buat janji. Kamu memang harus marah kalau merasa dibohongi."
Aku terus menatap wajah Awan dari bawah. Merasakan dadaku berdesir ibarat tersapu angin. Dimata orang lain, aku pasti gadis yang menyebalkan. Overdramatic. Dibohongi sekali dua kali saja langsung menangis bahkan sampai terbang ke Bali. Tidak apa-apa. Terserah apa kata mereka. Aku sendiri nggak berniat menerangkan pada semua orang kenapa tingkahku se-overdramatic itu. Asalkan aku punya Awan yang selalu bisa maklum, maka sudah sangat cukup.
🌬☁️🌬☁️
/Sekolah Menengah Pertama/
Hujan yang semula deras mulai mereda. Tetapi rasa nyeri disekujur tubuhku belum berkurang barang sedikit saja.
Aku bertahan untuk tidak tumbang. Mempertahankan sisa kesadaran dengan merasakan dinginnya lantai. Di rumah besar ini, aku hanya berdua bersama Mas Tristan. Membisu. Hanya menunggu jawaban dari orang yang sedang berusaha Mas Tristan hubungi.
"Apa sih, Mas?!" Awan akhirnya mengangkat telepon setelah entah harus dicoba berapa kali. Mas Tristan mengaktifkan loud speaker agar aku juga bisa dengar.
"Masih dimana?"
"Kenapa emangnya?"
"Windi-"
"Gimana sih kan tadi udah gue bilang! Ngomong aja gue lagi sparing basket kalau dia nyari."
Tanganku mengepal semakin kuat, kuku-kuku jariku yang tertekan ke dalam sampai melukai kulit telapak tanganku sendiri. Tapi aku tidak peduli. Bagiku rasanya tidak semenyakitkan mengetahui kebohongan Awan.
Mas Tristan memilih diam dan membiarkan adiknya menyelesaikan protes. Awan kesal bukan kepalang karena apapun yang sebenarnya sedang ia lakukan sekarang, telepon ini benar-benar sudah mengganggunya.
"Mas? Kok nggak ada suaranya? Udah dulu ya?"
Aku bisa melihat perubahan di wajah Mas Tristan. Rahangnya perlahan mengeras pertanda sudah kewalahan membendung emosi. "Awan, pulang." Tegas Mas Tristan dengan suara dingin. "Windi..." Selanjutnya giliran cowok di seberang sana yang kehilangan kata-kata tentang semua apa yang harus ia dengar.
Meski tersendat-sendat, Mas Tristan berhasil menyelesaikan kalimat. Kami masih menunggu Awan bereaksi. Sampai tiba-tiba tampilan layar ponsel kembali ke homescreen. Awan mengakhiri teleponnya.
"Di, mau tunggu di atas aja? Di kamar Awan?"
Aku mengangguk lemah menyetujui tawaran Mas Tristan. Hanya saja saat ia mendekat, sekujur tubuhku kembali bergetar hebat. Seketika itu juga Mas Tristan menarik kembali uluran tangannya lantas mundur selangkah. Mengurungkan apapun niat yang sempat ia miliki.
Terseok-seok aku menjajaki anak tangga sendiri. Mas Tristan tidak berpindah dari pijakannya, berjaga-jaga dari bawah sebab khawatir aku tiba-tiba jatuh.
Aku duduk di depan ranjang. Tidak naik keatas kasur karena takut akan mengotori sprei Awan yang putih bersih. Aku merengkuh tubuhku yang terasa ringkih sementara mataku yang kosong terpancang lurus pada pintu. Menunggu Awan.
Tenagaku sudah benar-benar habis. Bahkan untuk menghitung waktu pun aku kewalahan. Entah berapa menit yang berlalu. Yang aku tahu, Awan akhirnya muncul di penghujung kewarasanku.
Awan menopang dirinya dengan berpegangan pada kusen pintu. Kurasa kedatangan cowok itu menyuntikkan sedikit kekuatan sehingga aku kuat melempar senyum padanya. Selengkung senyum penuh ketidakberdayaan yang sontak membawa Awan ikut remuk bersamaku. Air mata kami tumpah. Aku tidak menyalahkan Awan. Tapi Awan menyalahkan dirinya-kebohongannya.
"Aku janji nggak akan bohongin kamu lagi, Di." Waktu itu, ia hanya terus memelukku tanpa mampu menyelamatkan apa yang telah hilang.
🌬☁️🌬☁️
"Di... ini kita nggak jadi pulang?"
Aku mengerjapkan mata, baru saja meraih kesadaranku kembali berkat suara Awan. "Sebentar. Begini dulu sebentar." Bisikku memohon, lalu merapatkan peluk sampai membuatnya kewalahan bernapas.
Awan, sesalah apapun hari itu. Aku selalu menemukan kamu sebagai yang paling tepat. Kadang, aku hanya khawatir kamu tidak merasa demikian tentangku. Aku sungguh nggak tahu kemana harus berpindah, semisal kamu melihat seseorang lain sebagai tempat yang lebih tepat buatmu.
🌬☁️🌬☁️
Ay's: