31.Mengalir darah malaikat
Selesai urusan check in Geisha bergegas memapah tubuh Xabiru memasuki kamar hotel, tidak sengaja ia berpapasan dengan Juna yang berpakaian kemeja coklat, rapi. Melihat Geisha kesulitan Juna berbaik hati menolong, bantu memapah tubuh Xabiru yang hilang kesadaran akibat alkohol.
"Lo Juna?" Geisha bertanya dengan wajah datar namun nada santai. Geisha bisa kenal dari Xabiru.
"Iya, lo anak XII IPS 3?" tanya balik Juna sambil membaringkan tubuh Xabiru di ranjang.
Geisha membalas dengan gumaman.
"Lo Juna?" tanya Xabiru dengan mata sayu. Juna sedikit terperajat.
Demi mengetahui tebakannya benar Xabiru coba bangkit, mencengkram kerah kemeja Juna. Secepat mungkin Geisha membantu melepas. Xabiru menarik Juna dengan mata terpecing, tersenyum luwes. "Bener kan lo Juna?"
"Ru," panggil Geisha untuk melepaskan.
"Gess dia gess Juna yang gue bilang suka sama Rai," ucap Xabiru masih enggan melepaskan cengkraman pada Juna.
Gestur tubuh Juna jadi kaku. "Biru lo salah paham."
"Salah paham?" cengkraman dilepas bersamaan dengan tawa sumbang Xabiru yang menggelegar.
Berlangsung 5 detik Xabiru tertawa berganti dengan keluarnya isi perut, sial! muntahan tersebut mengenai kemeja Juna.
"Jun! sorry-sorry, gue ambil lap basah dulu," kata Geisha panik. Juna mengangguk kecil sebagai balasan.
"Nggak ada yang salah paham dari semua tingkah lo ke Rai. Sengaja datang pagi-pagi sebelum Rai datang di hari piketnya pake alibi urusan OSIS padahal lo mau bantu Rai piket, setiap hari Senin di barisan anak-anak paskibra lo selalu jingkat buat mastiin Rai masuk atau nggak, lo yang selalu ngeyakinin setiap guru kalau Rai bisa ikut lomba supaya satu tim sama lo, dan terakhir kemarin saat Rai bawa buku paket lo juga yang nyuruh anak kelas 11 bantuin Rai bawa supaya Rai ngiranya itu akal-akalan gue yang tetep peduli walau udah gak bareng kan Jun? gue emang bego soal mata pelajaran tapi nggak sama urusan begini," papar Xabiru serak.
Juna mematung seketika, semuanya benar. Xabiru sedetail itu untuk mencari kebenaran jika Juna menyukai Rai dalam diam?
"Lo bisa bohongin orang lain tapi nggak sama gue dan diri lo sendiri Jun," lanjut Xabiru. Geisha yang baru datang bingung melihat raut wajah Juna yang berubah.
Xabiru tersenyum melihat kedatangan Geisha. "Lo boleh suka sama Rai, nggak ada yang ngelarang. Bilangin ke dia kalau gue cuma cinta sama Gess, sayang sama Gess, kemarin gue cuma main-main aja sama dia."
"Rai maunya lo," ucap Juna pelan menatap Xabiru yang berdecih.
"Tapi dia jauh lebih butuh lo," balas Xabiru lebih pelan, bahkan kata diakhir nyaris tidak terdengar.
Merasa suasana jadi sangat berubah drastis Geisha langsung memberikan yang Juna butuh. "Pake Jun, lo bisa balikin kapan aja," kata Geisha sebelum ada kecurigaan di mata Juna.
Juna melirik jaket bomber hijau lumut di tangannya. "Oke, thanks," jawab Juna yang kemudian berlalu pergi.
Tepar, Xabiru kembali berbaring di kasur king size tersebut. Geisha membersihkan sisa-sisa muntahan Xabiru di seprai dan tersenyum sendu.
Dalam ketikdasaran itu Xabiru terus megoceh random tentang segala hal. "Gess, manusia itu sejenis mahluk yang dikendaliin sama perasaannya ya?" Geisha memilih untuk tidak berkomentar. "Tapi gue nggak gess, karna perasaan gue selalu minta lebih. Gak tau diri."
"Kalau ada masalah sama manusia kenapa Tuhan yang gue jauhin?" tanya Xabiru lirih.
"Kenapa gue harus lari ke alkohol gess? ya karna gue malu, malu udah banyak minta dan ngeluh. Pesimis do'a gue nggak akan di denger," lanjutnya.
Geisha berdesis samar. Tidak lama dari itu Xabiru berhenti bersuara, terlelap dalam mimpi.
Jam dinding terus berdetak memasuki tengah malam, perlahan Xabiru membuka mata. Wajahnya pucat pasi, sekujur tubuh bergetar hebat. "Gess ... Geisha..."
Geisha yang baru satu jam terlelap bergegas bangun, mendekat pada Xabiru. Melacak tali yang ada di nakas. "Ya biru?" tanya Geisha lembut, membantu Xabiru duduk bersandar di kepala ranjang.
"Dingin gess," ucap Xabiru serak. Geisha mengangguk-ngangguk sambil menalikan kuat-kuat lengan Xabiru.
Di detik berikutnya wajah Xabiru mengeras, urat-urat sisi wajah, leher dan tangan mencuat sangat jelas dengan gigi geraham yang bergemulutuk. Telapak tangannya berkeringat dingin.
Geisha ikut bersandar sambil melanjutkan membaca buku komik. "Geisha?"
"Ya, biru?" Melirik pada Xabiru yang mengenaskan.
"Maaf ya gue susahin?"
"Biru lo udah bilang itu lebih dari 30 kali, gue harus jawab apa sekarang?"
"Bilang ke gue kalau cape."
Kepala Geisha menggeleng-geleng kukuh. "Lo yang harus bilang itu ke gue ru," kata Geisha dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak bisa harus bepura-pura tegar setiap saat.
"Gess?" manik mata Geisha menatap lekat mata sayu Xabiru, mengisyaratkan tanya. "Mau ketemu mommy, disini dingin gess. Mau pulang ... cape...."
Pecah seketika, pipi Geisha basah oleh bulir air mata. Mengusap-usap dengan lembut surai Xabiru. "Biru ... mommy lo jauh gue nggak bisa anter kesana."
"Dingin gess, mau sekali aja di peluk mommy."
Merindukan seseorang yang sudah berbeda dimensi dengan kita adalah it's another level of pain.
******
Mata kepala Rai tidak salah, laki-laki yang tengah berdiri menggendong anak kecil usia tiga tahunan itu jelas Xabiru. Secepat kilat Rai menutup wajah menggunkan novel yang tengah ia baca, sedikit mengintip karna penasaran. "Sejak kapan biru naik metromini kesekolah? dia bukannya punya motor," guman Rai.
"Semoga anak Ibu ganteng sama baiknya mirip kaya kamu," kata si Ibu yang anaknya Xabiru gendong, mengusap perut dengan senyuman hangat.
Xabiru merespon dengan tawa kecil, mengangguk. "Kemarin lho ada anak laki-laki juga seusia mu nggak mau ngalah sama Ibu hamil ini, malah pura-pura nggak liat biar bisa duduk. Wuah wong edan tenan," lanjut si Ibu dengan logat Jawa di akhir kalimat.
"Itu mungkin aja dia juga hamil Bu, hamil ghaib, nggak keliatan, ada Bu hamil di luar nalar," balas Xabiru bergurau. Ibu tertawa sambil mengusap-ngusap perutnya.
Ibu tersebut berharap memiliki anak seperti Xabiru, padahal tampilan si biang kerok itu urakan. Disini kesimpulannya 'kebaikan kecil' berhasil mengalahkan bad cover.
Masih belasan kilometer lagi untuk sampai di halte bus sekolah anehnya Xabiru minta turun, tentu jadi tanda tanya besar untuk Rai, ia memilih untuk ikut turun, menguntit di balik semak-semak.
Netra hijau Xabiru berkilau saat di terpa mentari pagi, terus melangkah di trotoar hingga terhenti di sepeda penjual balon angin, beragam bentuk animasi kartun ada. Alis Rai bertaut, semakin penuh tanya.
Kalau keadaannya Rai tidak dalam masa menguntit pasti ia tertawa, bagaimana tidak si anak kesayangan Pak Wendi itu memilih dua balon kartun Marsha end the bear dan satu lagi Hello Kitty, warna pink muda.
Kebingungan Rai terjawab saat Xabiru memberikan balon itu pada anak perempuan berusia tujuh tahunan yang melamun menatap jalan aspal dengan pandangan kosong. Untuk bisa mendengarkan percakapan Rai rela bersembunyi di belakang tempat sampah.
Anak kecil itu menangis, memeluk Xabiru dengan erat. "Ini hadiah ulang tahun ku?"
"Iya, Syila. Sesuai janji Ayah mu bukan? beliau ayah hebat yang tidak ingkar janji," kata Xabiru mengusap pipi gembul Syila. Senyum sendu Syila semakin lebar.
"Terima kasih banyak Kak Biru. Kakak tahu? kakak adalah orang pertama yang tidak pernah bilang aku gila. Kakak juga orang pertama yang bisa mengerti rasa sedih atas kehilangan. Jika nanti kelak Kak biru memiliki anak ia pasti sangat beruntung memiliki ayah sehebat Kakak," ujar Syila yang membuat Rai semakin mematung.
Xabiru tertawa lembut. "Sebuah kehormatan bagi saya mendapatkan pujian dari putri kerjaan ananda Syila," gurau Xabiru, tangannya berlanjut bergerak mengusap puncuk gadis tersebut. "Kau bukan gila, tapi kau istimewa dengan luka. Jalan yang kau tatap berhari-hari ini tetap tidak akan bisa mengembalikan ayah kesayangan mu, beliau sudah terbang ke syurga. Cemas-cemas melihat mu terus tenggalam dalam sedih, kehilangan bukan titik henti untuk kita menyerah, Syila."
Nasihat yang mudah dicerna dari Xabiru membuat Syila mengangguk, berderai air mata. "Ah satu hal lagi, kau tahu mengapa Tuhan memberikan mu ujian seberat ini?" Syila menggeleng. "Karna Tuhan percaya anak perempuan cantik ini bisa tangguh melaluinya."
Rai paham, tempat ayah Syila meninggal adalah di jalan raya. Syila sedih berhari-hari menatap jalan dengan tatapan kosong, berharap ayahnya bisa kembali hidup. Hal itu membuat ia dianggap gila oleh orang-orang yang berlalu lalang. Sebelum ayahnya meninggal beliau berjanji akan memberikan hadiah, tapi Tuhan berkendak lain. Hingga datang lah Xabiru yang dari kemarin sudah bercakap-cakap banyak hal dengan Syila, dan tepat di hari ini Xabiru berhasil mrnggantikan tugas ayah Syila untuk memberikan hadiah.
"Pantesan Xabiru akhir-akhir ini telat, Ra tau biru bukan orang jahat," gumam Rai dengan hati tersentuh.
******
Merekah senyum Rai di sepanjang Jalan, ia semakin yakin jika Xabiru hanya berpura-pura brengsek demi satu hal yang belum Rai tahu.
"Kalau jalan bisa liat-liat gak?" ketus Xabiru yang tanpa sengaja dadanya Rai tabrak.
"Eh? maaf biru," kata Rai coba menyembunyikan senyumnya.
"Gimana kalau tadi yang lo tabrak bukan gue?" Pertanyaan gamblang dari Xabiru membuat wajah Rai terlihat bodoh.
Lima detik berikutnya Rai baru sadar maksud ucapan itu. "Kenapa kalau cowok lain yang Rai tabrak, cemburu?"
Xabiru berdecih. "Kepedean."
"Eh? yaudah sih, awas Rai mau nabrak cowok lain," kesal Rai sambil menyingkirkan tubuh tinggi Xabiru yang tidak sedikitpun bergerak.
Tepat sekali ada anak laki-laki yang lewat dari arah Xabiru, Rai bergegas akan sengaja menabrak tapi tubuhnya lebih dulu ditarik Xabiru. Membuat yang lewat berjalan dengan gestur kikuk. "Jangan kekanakan, pede banget gue bakalan cemburu."
Kini Rai yang berdecih. "Gengsi banget," desis Rai dengan kornea mata berputar.
"Rambut lo ketombean, gue kasian aja sama orang yang ditabrak," cetus Xabiru. Rai membelalak.
Emosi mulai melanda, secara kasar ia sengaja menyibak-nyibakan rambutnya hingga mengenai wajah Xabiru. "MAKAN TUH KETOMBEAN!" amuk Rai dengan nafas yang tidak teratur.
Xabiru sampai harus menutup mata agar rambut Rai tidak menusuk matanya. Dua tangan Xabiru ia gunkan untuk mencekal bahu Rai, menatap tajam penuh periangatan untuk diam. Rai mengatur nafas dengan bibir mengerucut, masih tidak terima disebut 'ketombean', enak saja.
"Gue peringetin sekali lagi, berhenti caper depan gue. Jangan ngerasa istimewa lo itu pada umumnya banget," tegas Xabiru dengan nada dingin.
Untuk kali ini jujur ucapan Xabiru sedikit menyentil hati Rai yang dulu selalu Xabiru lakukan layaknya ratu.
Melepaskan bahu Rai, melengos dengan wajah datar. Meninggalkan Rai yang menyeringai.
"Eh maaf-maaf nggak sengaja ketabrak," ujar Rai, sontak saja tubuh Xabiru berbalik dengan tangan yang sudah terkepal kuat.
Sial, Rai ternyata hanya BERBUAL.
Rai yang sudah membalikan badan untuk melihat respon Xabiru tertawa penuh kemenangan, memeletkan lidah. Ketara sekali Xabiru cemburu.
"Biru!" Geisha datang dengan hodie kebanggaan yang melekat di tubuhnya. "Gue cariin, kantin ayo. Lapar gak lo?"
Dikesempatan itu Xabiru balik memanasi Rai dengan merangkul Geisa, berkata kencang. "Ayo, gue laper ngadepin cewek kepedan."
Sekarang malah tangan Rai yang terkepal.
*******