DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 43 - Kilah

58 11 13
By tanindamey

Kilah

"Hari ini lo bilang sayang ke gue, terus besok lo minta gue pergi. Berulang kali lo melakukan hal yang sama, Vla. Dan lo tahu nggak, kalau itu semua menyakitkan buat gue?"- Ardanu.

Malam pekat sepekat beban yang bersemayam pada Ardanu. Keresahan yang melampaui batas. Pikiran melayang entah menuju ke mana. Sesak yang tak kunjung musnah. Ardanu ingin menyudahi semuanya. Jika tidak, sekali saja, ia ingin kembali ke masa lalunya. Mengubah apa yang menyebabkan semua kepelikan ini hadir. Semua berawal darinya. Rasa sakit Era, Papa, Stevlanka, beberapa orang yang menjadi korban, bahkan dirinya sendiri, ini semua adalah akibat dari pilihannya yang salah di masa lalu. Dirinyalah yang menjadi gerbang rasa sakit itu hadir. Dan sekarang, apa pun akan ia lakukan untuk menebus kesalahannya.

Ardanu berada di depan rumah Karisma. Jantungnya berdegup kencang. Rasa sakit di hatinya semakin bertambah seolah luka yang belum kering disayat kembali menggunakan pisau. Teramat pilu, perih, susah untuk dijabarkan. Angin malam menyelimuti dirinya, semakin membuat keresahan.

Pintu terbuka, ada Satya yang muncul di balik pintu.

"Di mana Eramika?" tanya Ardanu tanpa basa-basi.

Satya terkejut. "Apa maksud lo—"

"Di mana Eramika?" Ardanu mengulang pertanyaannya sambil mencengkram kerah baju Satya. Laki-laki itu sampai mundur beberapa langkah masuk ke dalam. Mata Ardanu tajam menghunus mata Satya yang bertanya-tanya.

"Sekali lagi gue tanya, di mana Eramika yang menggunakan identitas Adik lo, Karisma?"

Satya lama terdiam, kemudian tersenyum miring. Namun, ia tak kunjung menjawab. Ardanu semakin mengeratkan cengkramannya. Wajah Satya memerah bahkan tubuhnya hingga gemetar. Karena sudah tidak tahan ia melayangkan tonjokan di rahang Satya. Kemudian, Lututnya menjejak perut Satya hingga tubuhnya membungkuk ke depan. Satya hendak membalas, tetapi suara dari belakang menghentikan niatnya.

"Kak Satya, jangan!"

Pandangan Ardanu beralih pada seseorang yang berada tidak jauh darinya. Ardanu melepaskan kerah baju Satya. Tubuhnya terpaku berhadapan dengan Karisma. Sontak tubuhnya menjadi panas dingin. Matanya berkaca-kaca melihat seseorang di sana. Benarkah itu Eramika? Saudara kembarnya yang manis. Wajah Karisma yang ia lihat, tetapi mata itu adalah mata Era. Ardanu bisa merasakannya. Imajinya melukiskan Era kecil berdiri di sana. Melambaikan tangannya seolah meminta Ardanu mendekat.

Ardanu melangkah mendekat. Begitu juga dengan Era. Jarak mereka semakin menipis, hanya sebatas satu langkah saja. Mereka berdua sama-sama terpaku. Hanya mata yang saling tatap. Keheningan semakin menyesakkan mereka. Lalu, Era melingkarkan tangannya di leher Ardanu. Memeluknya erat hingga terisak. Sementara kedua tangan Ardanu masih menggantung di bawah. Era menangis di pelukannya. Rasanya begitu aneh mendengar tangisan itu.

"Nanu ...," ucapnya teredam jaket Ardanu.

Tubuh Ardanu melemas mendengarnya. Suara yang memanggilnya 'Nanu' itu masih sama.

Era menyandarkan kepalanya di bahu Ardanu. "Selama ini aku ingin peluk kamu sekali aja. Aku nggak sempat melakukannya sebelum aku pergi. Aku—aku—" isak Era dibalas pelukan oleh Ardanu. Saat itu juga Ardanu meneteskan air matanya.

Satya terdiam di sana. Era mendongakkan kepala, meletakkan dagunya di bahu Ardanu. Mata mereka bertemu. Seperti kontak mata dan hanya mereka yang tahu. Lalu, Satya pergi keluar.

"Bagaimana kamu bisa selamat dari kecelakan itu?" Ardanu meletakkan tangannya di pipi Era, menatap mata gadis itu yang memerah.

"Aku terpental ke luar. Saat itu aku sempat sadar, aku mencari Mama tapi ternyata di bawah jurang ada suara ledakan. Aku cari pertolongan tapi aku malah terlepeset dan jatuh ke sungai," jawabnya sambil menangis. "Nanu, aku takut. Saat aku tenggelam di sungai aku pikir aku akan mati. Rasanya sakit--"

"Maaf," lirih Ardanu, "Maaf, Era. Aku penyebab penderitaan kamu." Ia kembali menarik kepala Era disandarkan di dadanya.

Nanu kecil telah tumbuh menjadi laki-laki yang menjulang tinggi. Era harus mendongak menatapnya. Menjauhkan tubuhnya. Lalu, mengusap air mata menggunakan lengannya.

"Iya, kamu penyebabnya." Suara Era serak menyetujui. "Kamu harus dihukum sama seperti orang yang membuat hari-hariku seperti di neraka. Mama." Era tertawa pelan, kemudian menggeleng.

"Lebih tepatnya Mama kamu, bukan Mama aku. Seorang ibu nggak akan memukul, menendang, menarik rambut, hingga mengunci anaknya di dalam kamar mandi ...." Suara Era tercekat tangisannya sebelum ia kembali berucap. "Kematian Mama kamu terbakar bersama mobilnya, nggak cukup untuk menebus dosa-dosanya!"

"Dan kamu juga harus merasakan hal yang sama!" teriak Era histeris.

Ardanu hancur. Air matanya terus meruah. Kepalanya menunduduk menghindari tatapan Era.

"Tapi ... aku nggak akan pernah sanggup melakukan itu ke kamu. Aku memaafkan kamu, Nanu." Ardanu kembali menatap Era.

"Apa yang harus aku perbuat suapaya bisa menebus kesalahan aku, Ra?"

"Kamu mau melakukan satu hal buat aku?"

Ardanu mengangguk.

"Bawa Stevlanka ke hadapan aku. Dia yang harus membayar semuanya."

Ardanu bergeming. Matanya membelalak. Ardanu tidak akan bisa melakukan hal bodoh itu. Demi Tuhan, Dirinya selama ini berusaha memberikan kebahagiaaan pada Stevlanka. Dan sekarang ia harus merusaknya? Ardanu tidak akan pernah sanggup. "Era, sudahi semuanya. Lepaskan semua dendam kamu. Ini bukan Era yang dulu. Era yang aku kenal nggak akan melakukan ini semua."

"Era saudara kembar kamu itu udah meninggal saat ulang tahunnya yang ke tujuh tahun. Ketika sang Mama hanya memperdulikan anaknya yang lain dengan membeli satu kue ulang tahun, kalo kamu lupa!" Suara Era bergetar, matanya berubah tajam. "Era hidup dengan dirinya yang baru."

"Era, cuma karena kamu punya rasa sakit di masa lalu bukan berarti kamu juga menebar rasa sakit itu ke orang-orang sekitar kamu—"

"Cuma kamu bilang?" tanya Era meninggi. "Penderitaan yang Mama kamu kasih itu kamu bilang 'cuma'?" Ia menggelengkan kepalanya. Ardanu menjatuhkan lututnya, bersujut di depan Era. Laki-laki itu menangis.

"Jika ada orang yang harus membayar penderitaan kamu bukanlah Stevlanka, tapi aku. Jangan Stevlanka." Ardanu memohon. "Biarkan dia hidup, Ra. Udah cukup kamu membuat hidupnya menderita selama ini."

"Kamu begitu mencintai anak jaksa yang udah menyebabkan aku menderita?" sarkas gadis itu.

"Dia seperti hidup aku, Ra."

"Dan aku?" bentak Era tidak terima. Air matanya kembali menetes. "Aku gimana?"

Ardanu meraih tangan Era, berlutut. "Aku mohon, jangan dia."

"Tanpa aku pun, dia akan terus menderita. Itu sebabnya aku mau mengakiri penderitaannya. Kamu cukup bawa dia di hadapan aku, Nanu."

Ardanu menggeleng.

"Dari awal kamu memang nggak pernah peduli sama hidup aku. Kamu sama seperti Mama. Kamu cuma peduli sama diri kamu sendiri. Kamu nggak tahu, gimana aku hidup? Kita begitu dekat, tapi kamu nggak tahu apa pun. Atau ... kamu memang pura-pura nggak tahu. Aku yang selalu menanggung kesalahan kamu, Nanu!" Era menyentak tangan Ardanu. "Saat nilai kamu jelek, aku yang disalahkan, aku dinggap membawa pengaruh buruk kamu."

Mereka sama-sama diam sejenak. Lalu, Era kembali berkata, "Semua ada di tangan kamu," Era duduk di hadapan Ardanu. Gadis itu memegang rahang Ardanu, mendongakkannya. "Mengakhiri Stevlanka atau aku yang akan berakhir."

***

Stevlanka mengerjapkan matanya. Pandangannya masih tidak terlalu jelas. Entah bagaimana, hanya sekedar mengerjapkan matanya saja teramat berat. Nyeri di kepalanya membuatnya ingin berteriak. Tubuhnya yang terbaring di atas lantai kotor terasa begitu kaku, sulit di gerakkan. Ia menarik napas, berulang kali sambil mencengkram kepalanya sendiri. Setelah lama Stevlanka menguasai rasa sakitnya, ia tersadar jika dirinya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Terakhir kali ia mengingat keluar dari rumahnya setelah meninggalkan Alkar dan seseorang yang menyebabkan dirinya berada di sini. Stevlanka mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar.

"Gue pasti salah lihat tadi, nggak mungkin ...." Stevlanka membekap mulutnya sambil menggeleng. Ada beberapa luka di tangannya, kaki, dan juga dahinya. Stevlanka meneliti satu per satu. Noda berada pada dress yang ia kenakan. Alas kakinya pun entah ke mana.

Ia berada di ruangan cukup luas. Lampu yang menggantung di tengah-tengah menghasilkan cahaya berbentuk lingkaran. Ia seolah berada di tengah lingkaran yang berasal dari cahaya lampu kuning itu. Sementara di sudut-sudut ruangan hanya remang-remang, bahkan hampir gelap sepenuhnya. Walaupun begitu, ia bisa tahu jika ruangan ini benar-benar tertutup. Tidak ada jendela sama sekali. Dan juga tidak ada barang-barang. Stevlanka begitu membencinya kegelapan ini. Stevlanka tahu ini adalah sebuah bangunan yang tidak terpakai. Ia memperhatikan telapak tangannya. Air matanya menetes begitu saja. Ia tidak mengerti dengan semua ini. Satya mengincarnya karena sudah sangat jelas ia berada di pihak Eramika yang menggunakan identitas Karisma. Tujuannya adalah untuk membalaskan dendamnya. Kemudian Alkar datang menyelamatkannya. Alkar adalah putra Om Niko, teman lama Ayahnya. Bahkan Stevlanka sekarang dihantui bagaimana keadaan Alkar.

Dan yang paling tidak ia mengerti adalah seseorang yang mirip dengan Ardanu—atau memang itu adalah Ardanu. Stevlanka berharap tidak. Jika memang itu adalah Ardanu, apa hubungannya dengan semua ini? Apa alasan Ardanu melakukannya?

"Enggak," rintihnya sambil memeluk lututnya yang ia tekuk. Dari sekian banyaknya yang terjadi, sekarang adalah puncak ketakutan Stevlanka. Takut menerima sesuatu yang akan lebih menyakitkan. Bunyi pintu yang terbuka membuat Stevlanka mendongak takut. Ia menatapnya was-was, menunggu siapa orang dibalik pintu itu.

Kegelapan di sekitar pintu menyulitkannya untuk melihat wajah seseorang itu. Pintu kembali tertutup. Digantikan dengan suara langkah kaki yang mendekat menuju ke arahnya. Tubuh Stevlanka gemetar. Langkah kaki itu kian mendekat. Stevlanka mendongak. Orang itu lama terdiam. Satu langkah saja, Stevlanka bisa melihat wajahnnya.

Sinar lampu memperjelas semuanya ketika sosok itu melangkahkan kakinya. Stevlanka merasa sangat sesak. Matanya yang basah itu melebar. Sekali lagi Stevlanka memohon jika ini adalah delusinya. Ya, Ardanu yang berdiri di hadapannya.

Dengan susah payah Stevlanka berdiri. Ardanu hanya melihatnya saja tanpa membantu. Mereka saling mendekat tanpa mengatakan apa pun. Tepat berada di tengah, mata yang saling menatap. Stevlanka ingin memastikan sekali lagi. Air matanya menetes.

"Ardanu." Suaranya bergetar. Stevlanka meraih tangan laki-laki itu. Lalu, ia letakkan di pipinya. Tangan itulah yang telah mengubah dunia Stevlanka. Genggaman tangan yang selalu memberi kekuatan. Tangan yang selalu melindunginya.

Stevlanka membuka matanya setelah terpejam sejenak. Menurunkan tangan Ardanu dari pipinya, tetapi masih ia genggam. "Gue takut, Dan. Gue takut ...."

"Bawa gue pergi dari sini, bawa gue ke mana pun yang lo mau." Stevlanka menahan sesak di dadanya. "Gue akan ikut, gue akan selalu di sisi lo."

Ardanu masih tidak menunjukkan tanggapan apa pun.

"Maaf, gue selalu minta lo supaya menjauh dari gue. Tapi, gue merasa mengkhianati diri gue sendiri. Gue nggak mau lo pergi, gue butuh lo. Gue butuh lo supaya genggam tangan gue lagi." Stevlanka terisak sambil menunduk. Bahunya bergetar. Ia benar-benar meyesal telah meminta Ardanu pergi. Ia pikir ia mampu mengatasi masalanya sendiri, tetapi nyatanya tidak. Ia tetap saja membutuhkan orang lain. Dan orang itu adalah Ardanu.

Ardanu menghela napasnya, memalingkan wajahnya sebentar. Kemudian kembali menatap Stevlanka yang masih menunduk. Ardanu melepaskan genggaman tangan Stevlanka. Stevlanka mendongak setelahnya.

"Bagaimana mungkin gue membawa lo pergi, kalau gue sendiri yang membawa lo ke sini?" tanya Ardanu datar. Stevlanka terperangah. Ia masih belum memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Kenapa?"

"Aihh, apa gue terlalu keras nabrak lo tadi?" Ardanu tidak menjawab pertanyaan Stevlanka. Tangannya terangkat ingin mengusap bercak darah yang berada di pelipis Stevlanka.

"Kenapa?" Stevlanka mengulang pertanyaannya sambil menepis tangan Ardanu.

"Iya, mungkin gue terlalu keras tadi, sini gue obatin—"

"Jawab gue!" suara Stevlanka meninggi. "Kenapa, Ardanu?"

Ardanu mengalihkan pandangannya dari Stevlanka. Ia berjalan dan berhenti di belakang Stevlanka. "Karena kemauan gue. Gue ingin lo ketakutan, gue ingin lo tertekan, gue ingin lo mempertanggungjawabkan perbuatan lo," balas Ardanu dengan posisi masih membelakangi Stevlanka.

Gadis itu bergeming, hingga tiba-tiba tubuhnya berbalik paksa karena Ardanu meraih pundaknya dengan kasar. Kini ia saling tatap dengan Ardanu. "Stevlanka, lo adalah orang yang membuat gue gila, lo bikin gue bodoh selama ini. Mengorbankan waktu gue untuk menunggu lo, gue selalu ganggu lo supaya gue selalu ada di samping lo untuk melindungi lo. Tapi berkali-kali lo meminta gue untuk pergi!"

Stevlanka takut dengan teriakan Ardanu. Laki-laki itu begitu marah, terlihat jelas pada sorot matanya. Ardanu mencengkram bahu Stevlanka. "Hari ini lo bilang sayang ke gue, terus besok lo minta gue pergi. Berulang kali lo melakukan hal yang sama, Vla. Dan lo tahu nggak, kalau itu semua menyakitkan buat gue?" teriaknya.

"Gue udah siap dengan segala resiko ketika gue memilih untuk tinggal di samping lo. Gue tulus. Tapi apa?" Ia mengguncang tubuh Stevlanka hingga gadis itu terdorong ke belakang. "Lo datang dan pergi sesuka hati lo!"

Teriakan Ardanu yang terakhir membuat Stevlanka lepas kendalinya. Gadis itu meluruhkan air matanya. Menunduk, enggan menatap mata tajam Ardanu. Stevlanka sadar, ia tidak bisa membela dirinya sendiri. Semua ini adalah kesalahannya.

"Maaf," lirih Stevlanka, "gue minta maaf ...."

"Gue nggak butuh maaf lo! Lo cukup menyikasa gue, Stevlanka! Lo sadar nggak, sih? Lo apa tanpa gue?"

Iya, benar. Gue emang nggak tahu diri. "Maaf."

"Bukan gue yang membuat semuanya susah. Tapi lo sendiri. Lo dengan pikiran sialan lo yang sok melindungi gue dari tangan alien itu. Terus terjebak sama masa lalu lo."

"Maaf ...."

"Lo harus terima kepahitan masa lalu lo. Lo harus terima kalau emang lo yang menyebabkan kematian bunda lo—"

"Ardanu, cukup. Gue ... maaf."

"Lo menyebabkan seorang anak yang polos berubah menjadi monster. Dia adalah Eramika. Lo udah mengubah hidup dia. Lo harus terima kalau lo emang sejahat itu!" Ardanu berhenti mengguncangkan tubuh Stevlanka.

Sementara gadis itu terperangah. Ia memberanikan diri menatap Ardanu yang berkilatan dengan kemarahan. Matanya tajam berkaca-kaca. Bibirnya menipis karena menahan amarah. Rahangnya kaku. Ardanu mengalihkan pandanganya. Menghela napas panjang.

"Gue salah selama ini," kata Ardanu setelah kembali menatap Stevlanka. Suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "Lo hadir di mimpi gue bukan karena takdir cinta. Bukan karena gue harus melindungi lo, mencintai lo, ataupun menyayangi lo. Tuhan mengirimkan lo ke gue supaya gue tahu kalau orang yang membuat keluarga gue hancur adalah Ayah sialan lo itu."

"Gue adalah Nanu. Saudara Eramika. Korban dari kebodohan Ayah lo."

***

Thanks for reading.

Makasi banyak buat yang masi setia baca DELUSIONS. Cerita yang masi banyak kurangnya. But, i'll try my best.

Anyway, sesek banget nulis chapter ini, I don't know why ...
Tapi kata orang kalo lagi sedih, kecewa, keinginan ngga sesuai harapan kita harus menikmati. Menjalani prosesnya. Kita harus bisa memeluk rasa sakit yang kita hadapi. Semoga Stevlanka bisa kaya gitu.

Saat kita berada di suatu lorong bersama orang yang berarti di hidup kita dan di penghujung jalan ternyata buntu, tiba-tiba ada pertolongan yang bisa menyelamatkan kita. Tapi, dengan syarat kita harus meninggalkan seseorang yang bersama kita. Apa yang kalian pilih?
Ada saatnya orang terlena, salah menggambil keputusan. Pada akhirnya menyesal dikemudian hari. Dalam hal apa pun kalau kalian sedang terlena, hadapi, selesaikan, dan jangan ulangi kesalahan yang sama. Semoga Ardanu bisa kaya gitu.

And you too, guys :)

Jangan lupa vote, comment, share ke temen-temen kalian. 

See you next chapter. I'll do my best.

Tanindamey
Sabtu, 10 Juli 2021
Revisi: Rabu, 15 Juni 2022


Continue Reading

You'll Also Like

203K 22.3K 27
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...
1.5M 79.6K 41
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
2.1M 88.1K 49
kecelakaan saat balapan yang ternyata sudah di rencana kan sejak awal oleh seseorang, membuat jiwa Elnara terlempar ke dalam tubuh Kinara yang ternya...
70K 634 5
Jatuh cinta dengan keponakan sendiri? Darren William jatuh cinta dengan Aura Wilson yang sebagai keponakan saat pertama kali bertemu. Aura Wilson ju...