Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

dua puluh enam

52.6K 8.1K 725
By luckybbgrl

hari ini agak special mungkin buat lusi, jadi lusi pengen aja up agak panjangan

enjoyyy🤗

•••••

"Kalo bukan temen udah gue slepet tuh anak."

Rea menggerutu sambil memasuki salah satu supermarket yang ia lewati saat akan berangkat ke sekolah. Hari ini harusnya libur, tapi karena ada lomba basket ia jadinya masuk untuk mendukung kelasnya.

Jika bukan karena perkataan Bara kemarin saat mengantarkannya pulang dari rumah Vano yang baru ia ingat setelah meninggalkan rumah tadi, ia juga tidak akan mau repot-repot mampir ke supermarket untuk membelikan cowok itu minum.

"Gue seharian jadi tukang gojek lo," Bara berkata saat Rea baru turun dari motornya.

"Terus?" Gadis itu mengerutkan keningnya bingung sambil melepaskan helm dari kepalanya. "Lo minta bayaran?" tanyanya lagi saat Bara hanya diam menatapnya.

Bara mengangguk, membuat Rea mengerutkan kening tidak percaya. "Lo gak ikhlas nebengin gue?"

"Ikhlas kok."

"Ya terus kenapa minta bayaran?" Rea menatap Bara bingung. "Lagian yang maksa buat nebengin gue tuh elo. Gue kan udah nolak berkali-kali, lo aja yang ngotot. Sekarang lo mau minta bayaran. Minta aja ke diri lo sendiri!" Rea mendelik ke arah Bara, memberikan helm-nya ke cowok itu sebelum melangkah menjauh.

"Bawain gue minum besok!"

Rea menghentikan langkahnya dan menoleh, "Apa?"

"Bawain gue minum. Besok kan gue tanding," ulang Bara yang membuat Rea menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Kenapa gak minta dibawain Vanya? Kan sekalian modus," tanya Rea dengan wajah polos, ia sedikit heran dengan Bara yang otaknya tidak lancar untuk memikirkan cara mendekati Vanya, tapi malah lancar sekali memikirkan cara untuk mengganggunya.

"Pasti Agam udah minta dia."

"Ya gapapa, biar dia bawa dua. Jangan mau kalah sama Agam!" Rea memasang raut wajah meyakinkan ke arah Bara.

"Gue maunya lo."

Rea diam cukup lama mendengarnya, tapi kemudian mengangguk dan langsung melangkah masuk ke dalam gerbang rumahnya.

"Ih anjir, gak boleh gak boleh!" Rea menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia segera membuka salah satu lemari pendingin yang ada di supermarket itu yang terdapat air mineral botolan. Tangannya hendak meraih air mineral itu tapi terhenti, bibirnya mengerut bingung.

"Pocari sweat aja apa gimana ya?" Rea mengerutkan keningnya, memikirkan enaknya ia membeli apa. Masa iya dia membawakan minum Bara cuma air mineral? Bukannya kalo air mineral, Bara bisa membawanya sendiri dari rumah ya?

"Tapi kan pocari sweat dia juga bisa beli sendiri," gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Tau deh, ambil aja. Yang penting dibawain," Rea buru-buru mengambil satu botol pocari sweat dan dua botol air mineral. Sebelum membayar ke kasir, ia juga memutuskan untuk mengambil beberapa makanan ringan untuk camilan saat menonton pertandingan nanti.

Gadis itu melangkah keluar supermarket dan masuk ke dalam mobilnya yang tak lama langsung kembali berjalan dengan Pak Imam yang menyetir.

Mamanya ternyata sampai di rumah kemarin malam, seusai rapatnya selesai wanita paruh baya itu meminta untuk segera pulang agar bisa istirahat dengan nyaman di rumah. Jadi pagi ini ia bisa berangkat ke sekolah bersama Pak Imam.

Sesampainya di sekolah, Rea buru-buru mengeluarkan handphone-nya dan membuka aplikasi whats app untuk menghubungi Savita, menanyakan dimana anak itu.

p
woi, lu dmn?

yg salamnya p atheis

p for punten
lo dmn?

di dpn kelas
sini cpt
gpl

y ok

Rea langsung melangkahkan kakinya menuju kelas dengan kantong kresek hasil belanjaannya di tangan, mencari keberadaan sahabat bermata empatnya dan menghampiri gadis itu begitu matanya menangkap sosok Savita yang tengah mengobrol dengan Vano yang sudah siap dengan baju basketnya.

"Buset masih pagi dah panas aja mata gue," Rea menyindir saat jaraknya dengan sepasang kekasih itu sudah dekat, membuat keduanya menoleh ke arahnya.

"Siapa suruh jomblo?" Vano bertanya dengan muka tengilnya, yang membuat Rea mengerutkan wajahnya kesal.

"Makanya cari pacar sana," Rea memutar bola matanya mendengar Savita menambahi.

"Nunggu ada yang suka dulu, kak," Rea membalas dengan nada sok lembut dan kepala yang menunduk sedikit, menjawab ejekan kedua orang di depannya dengan sok lugu.

"Padahal banyak, pura-pura buta lo?" Savita menaikkan sebelah alis dan bibirnya.

"Ha? Emang ada?" Rea mengerutkan keningnya samar.

"Banyak, bego."

"Si-"

"Eh abis ini kelas kita mulai!" perkataan Rea terpaksa harus terputus karena teriakan Reyhan yang muncul dari arah tangga. "Buruan ke lapangan semua!"

Setelah perkataan Reyhan yang itu, semuanya yang ada di sana langsung turun dan bersama-sama menuju ke lapangan basket. Savita dan Rea beralih mencari tempat duduk di tribun paling dekat dengan lapangan basket, sedangkan Vano bersama Reyhan bergabung dengan anak-anak cowok tim basket XI IPS 1. 

Beberapa menit setelahnya, pertandingan basket antara tim XI IPS 1 dengan tim XI IPA 1 dimulai. Rea memperhatikan permainan di lapangan itu sambil memakan camilan yang ia beli di supermarket tadi.

"Lo tuh pura-pura bego atau beneran bego sih?" Savita bertanya sambil memasukkan tangan ke dalam bungkus makanan ringan yang ada di tangan Rea.

"Hah? Apaan?" Rea menatap Savita bingung.

"Hah heh hoh. Lo tuh pura-pura gak tau apa beneran gak tau kalo Bara suka sama lo?" Savita menatap Rea heran, ia gemas sekali dengan temannya yang terlihat tidak peka tingkat dewa itu. Raut wajah bingung Rea berangsur menghilang.

"Bara..., ya?" gadis itu bergumam, menatap ke arah lapangan dan mencari sosok tinggi Bara di sana, memperhatikan pergerakkan cowok itu sembari melahap camilannya lagi.

Savita yang mendengar gumaman gadis itu diam, menunggu temannya melanjutkan perkataannya sembari terus mencomoti makanan ringan Rea.

"Gak tau ya," Rea berbicara dengan nada ragu sambil menunduk, menatap ke arah bungkus makanannya. "Kadang tuh gue suka agak baper sama dia," gadis itu beralih menatap Savita. "Tapi, gue takut aja," Savita mengerutkan keningnya bingung mendengar penjelasan gadis itu.

"Takut kenapa?"

"Gak tau, takut aja. Kayak gimana ya ngejelasinnya?" Rea diam sebentar dengan wajah berpikir. "Gak tau deh. Udah ah!" Savita tak lagi melanjutkan karena tahu temannya belum ingin bercerita. Rea juga diam, tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu lebih panjang.

Yang ia katakan memang benar, kadang ia sedikit terbawa perasaan dengan sikap-sikap Bara yang mampu membuatnya nyaman.

Dia satu-satunya cowok yang bisa diajak bicara dengan nyaman, tidak pernah emosi bahkan saat perkataannya kelewat pedas, dan perhatian-perhatian kecil cowok itu mampu membuat hatinya menghangat.

Apalagi kejadian kemarin. Mulai dari membelikan helm untuknya, mau menunggunya di depan rumah yang ia yakini cukup lama, duduk di sampingnya, menggambilkannya minum. Dan yang lebih membuatnya hampir tidak bisa berkata-kata adalah kalimat terakhir cowok itu kemarin malam.

"Gue maunya lo."

Ia tahu betul maksud Bara bukan ke hal yang istimewa. Tapi, entah kenapa ia sedikit berharap bahwa kalimat itu bermakna lebih dari yang ia tahu.

Maksud Rea, bukannya terbawa perasaan itu wajar ya? Apalagi kalau sikapnya yang seakan perhatian itu tidak sekali dua kali.

Coba suruh siapapun yang tidak baper kalau mengalami hal yang sama seperti yang dilakukan Bara padanya berdiri di depannya sekarang juga.

Tidak ada kan?

Tapi lagi-lagi, kesadaran bahwa ia hanyalah pemeran figuran dari sebuah novel menamparnya. Mana mungkin ia yang figuran bisa disukai salah satu tokoh laki-laki, sudah semestinya bahwa semua tokoh laki-laki dalam novel hanya tertuju pada pemeran utama perempuan, Vanya.

Karena kesadarannya itu, ia selalu menyanggah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Bara dan terasa ambigu, serta tindakannya yang tak jarang membuatnya terbawa perasaan dengan keyakinan bahwa itu semua tak lain dan tak bukan hanya bertujuan satu, yaitu bertujuan pada Vanya.

Ia begitu, hanya agar tidak merasa kecewa di kemudian hari.

"Vanya mana dah?" tanya Rea sembari menoleh ke arah Savita saat menyadari bahwa Vanya sama sekali belum terlihat. Savita menoleh ke arah Rea sebentar, lalu matanya menelusuri ke sekitar mencari keberadaan Vanya.

"Tuh anaknya baru dateng!" Savita berkata sambil menunjuk ke arah koridor ruang guru, membuat Rea ikutan menoleh ke arah sana.

Rea berdiri dari duduknya, tangan kanannya terangkat melambai-lambai ke arah Vanya. Gadis berkulit putih itu langsung fokus pada Rea saat tanpa sengaja menangkap pergerakkan Rea. Ia tersenyum lebar sebelum berjalan ke arah Rea dan Savita, duduk di samping Rea yang masih kosong.

"Kok telat sih?" tanya Rea sembari menyodorkan bungkus makanan ringan yang sudah ia buka dan makan dari tadi ke arah Vanya.

"Nanti aja," tolak Vanya lembut. "Tadi aku disuruh ngejaga adek aku dulu, dia sakit," Rea mengangguk pelan sambil menarik kembali tangannya, menaruh makanan ringan itu di pangkuannya agar Savita dan Vanya sama-sama gampang mengambil jika mau.

Rea ingat, di dalam novel sewaktu lomba basket diadakan adik Vanya memang sakit. Nanti gadis itu juga akan mendapat kabar bahwa adiknya pingsan saat memberikan minum pada Agam setelah pertandingan selesai. Gadis itu akhirnya di antar Agam pulang dengan baju basket yang basah karena keringat.

Di dalam novel juga sempat diceritakan bahwa sesampainya Agam di rumah Vanya, ia harus pulang lagi untuk mengganti kendaraannya dari motor ke mobil dan membawa adik Vanya ke rumah sakit. Biaya perawatan adik Vanya di rumah sakit juga ditanggung Agam, adegan itu yang menyadarkan Agam bahwa ia mulai peduli dengan Vanya.

"Semoga adek lo cepet sembuh ya, Van," ucap Rea dengan senyuman manis tulus yang jarang ia tunjukkan. Vanya yang melihat dan mendengarnya tersenyum lebar dan mengangguk semangat. Ia merasa spesial bisa melihat senyuman manis Rea yang jarang ditunjukkan itu.

••••

"Pak Imam, anterin saya ke Hanum."

Pak Imam mengangguk dan langsung membukakan pintu untuk majikannya, memastikan wanita itu duduk sebelum menutup pintunya dan memutari mobil untuk duduk di bagian kemudi. Pria paruh baya itu segera menyalakan mesinnya dan menjalankan mobilnya keluar gerbang menuju Rumah Sakit Jiwa Hanum sesuai perkataan Widya.

Sesampainya di Rumah Sakit Jiwa itu, Widya segera masuk dan mendekat ke meja resepsionis.

"Selamat Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" salah satu suster yang menjaga di meja resepsionis mendongak, bertanya dengan ramah pada Widya.

"Sus, saya mau besuk Pak Wijaya," suster yang lain ikut mendongak, mengamati wajah Widya cukup lama.

"Isi data ini dulu ya, Bu," suster itu menyodorkan selembar kertas yang di bawahnya terdapat alas kaku ke arah Widya. Perempuan itu mengangguk dan mulai mengisi data yang diminta.

"Sudah, Sus," setelahnya Widya mengembalikannya kertas yang telah diisi beserta alasnya.

"Mari saya antarkan, Bu," suster itu tersenyum ramah ke Widya setelah menaruh kertas yang diisi Widya tadi ke tumpukan kertas lain.

"Eh, Jen. Biar aku aja yang anterin, kamu kan masih banyak pekerjaan," suster yang satunya menyela, membuat suster bernama Jeni dan Widya menoleh ke arahnya.

"Oh, yaudah. Tolong ya, Kar," Jeni tersenyum manis ke arah Sekar. "Maaf, Bu. Ibu akan diantarkan Suster Sekar, silahkan," Widya mengangguk dan beralih menatap Sekar.

"Mari, Bu. Ikut saya!" Sekar mulai melangkah masuk, diikuti oleh Widya.

Keduanya berjalan di lorong kamar rawat pasien gangguan jiwa, mencari keberadaan Wijaya yang terakhir kali Sekar tahu tengah berdiam diri dengan kursi rodanya di bawah pohon rindang.

"Ah, itu Pak Wijaya-nya, Bu," Sekar menunjuk ke arah pohon rindang yang beberapa meter di depan mereka dengan tangannya yang kelima jarinya terbuka. Widya yang mendengar itu ikut mengalihkan pandangannya, langkah kaki keduanya tetap bergerak mendekat ke arah Wijaya.

Widya berdiri di samping Wijaya, ia menatap Sekar dan Suster ber-nametag 'Geandra' bergantian, tersenyum tidak enak.

"Bisa tinggalkan kami berdua, Sus?" Widya menatap kedua Suster itu bergantian. "Suster awasi kami aja gakpapa kok, asal dari jauh," lanjut Widya saat melihat raut wajah enggan terutama di wajah Sekar.

"Bisa, Bu. Kami permisi dulu," Geandra atau yang biasa dipanggil Gea itu tersenyum, mulai berbalik sambil menarik tangan Sekar.

"Udah ayo, enggak apa-apa," Gea berbisik pada Sekar, membuat Suster itu akhirnya mau mengikuti langkahnya.

Widya mengamati kedua Suster yang tengah menjauh itu, sebelum akhirnya beralih berdiri di hadapan Wijaya. Pria yang duduk di kursi roda itu mendongak pelan, matanya yang biasa terlihat kosong itu berganti menjadi teduh saat melihat sosok perempuan yang sampai saat ini masih dicintainya.

"Wid...," panggilnya lembut.

"Iya, Mas. Ini Widya," Widya tersenyum sedih, rasa bersalahnya yang sempat ia pendam semakin menjadi melihat tatapan pria itu.

Pria yang melamarnya disaat ia tengah patah hati karena kekasihnya saat itu, Agung, dijodohkan oleh orang tuanya. Ia yang dibutakan oleh rasa patah hati dan tidak terima ditinggal menikah mengiyakan lamaran Wijaya tanpa pikir panjang.

Hidupnya sangat terjamin selama lima belas tahun, sebelum akhirnya ia harus ikut hidup susah karena perusahaan Wijaya bangkrut. Bukan maksudnya ia meninggalkan pria ini sendirian saat kesusahan, ia bahkan tak pernah merasa keberatan hidup susah bersama Wijaya. Tapi tepat di saat itu perasaannya pada Wijaya goyah saat melihat Agung kembali.

Agung yang mengakui rasa cintanya juga tak pernah berubah membuat rasa cinta Widya kembali muncul. Dan karena itu ia menganggap perasaannya pada Wijaya hanyalah sebuah pelampiasan.

Widya cukup merasa bersalah karena menjalin hubungan dengan Agung padahal ia belum bercerai dengan Wijaya. Rasa bersalahnya itu semakin menjadi saat mengetahui Wijaya terkena gangguan jiwa. Mungkin karena telah stress akibat kebangkrutannya ditambah mengetahui istrinya memiliki hubungan dengan pria di masa lalunya.

Tapi rasa bersalahnya itu ia buang jauh-jauh setiap kali mengingat Rea yang membentak dan bersikap kasar kepadanya serta Agung. Ia selalu yakin bahwa itu adalah hasutan atau ajaran Wijaya, mengingat anaknya itu sering kali menjengguk Ayah kandungnya.

Ia pernah melarang Rea agar tak menjenguk Wijaya ketika melihat anaknya itu hendak berangkat. Tapi tanpa diduga Rea marah dan menghinanya. Kalimat yang dilontarkan anaknya itu masih sering teringat jelas di kepalanya.

"Emang Mama siapa bisa ngelarang-larang aku?"

"Ibu? Ibu yang aku kenal udah gak ada!"

"ITU URUSANKU!"

"Urus saja suami baru anda, Nyonya Agung Pratama."

Tapi melihat sikap Rea yang berubah meski kata Bi Imah anaknya itu masih sering menjenguk Wijaya, membuat rasa bersalahnya muncul lagi. Dan hari ini, ia memutuskan untuk menemui mantan suaminya untuk meminta maaf.

Widya berdiri dengan lutut sebagai tumpuan di depan Wijaya. Matanya berkaca-kaca, rasa sesak dalam hatinya menyeruak karena rasa bersalahnya yang memuncak.

"Mas, maafin Widya. Widya tahu Widya salah. Widya selingkuh dari Mas, bahkan Widya juga nganggep Mas Wijaya yang ngehasut Rea jadi berani sama aku dan Mas Agung. Sekarang Rea udah jadi anak baik, dan Widya tau Rea jadi berani dulu bukan karena Mas Wijaya ngehasut, tapi karena aku yang kurang perhatian. Maafin Widya ya, Mas," Widya sedikit menunduk, berbicara dengan diiringi lelehan air mata.

Wijaya yang masih tetap mencintai Widya ikut berkaca-kaca melihat perempuan yang dulunya adalah miliknya itu menangis. Tangannya terangkat ke arah pipi Widya, menghapus air mata perempuan itu dengan lembut.

"Kamu gak salah, Wid. Kamu emang berhak bahagia sama Agung?" ucapan Wijaya dengan nada aneh terhenti, pria itu mengerutkan keningnya dalam dan tersenyum meringis.

"Tapi..., dia bukan Rea."

To be continue...

•••••

ternyata pra pkkmb-nya hari ini bukan kemarin. jadi kemarin lusi ngetik bab ini, dan bisa up sekarang, yee😍

sudah deh, gatau mau ngomong apa. makasih aja buat kalian semua yg udah dukung lusi dengan berkomentar yang baik-baik, lusi sayang kalian, aww😍

Continue Reading

You'll Also Like

422K 29.4K 42
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...
1.7M 134K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
941K 56.5K 58
Setelah menerima banyak luka dikehidupan sebelum nya, Fairy yang meninggal karena kecelakaan, kembali mengulang waktu menjadi Fairy gadis kecil berus...
665K 33.6K 38
Menjadi istri dari protagonis pria kedua? Bahkan memiliki anak dengannya? ________ Risa namanya, seorang gadis yang suka mengkhayal memasuki dunia N...