Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

dua puluh lima

53.9K 7.9K 359
By luckybbgrl

"Harusnya lo mikirin cara deketin Vanya, bukan malah sibuk nebengin gue mulu. Agam udah selangkah lebih maju dari lo tau!"

Rea berkata begitu turun dari motor besar Bara sembari melepas helm-nya. Mereka berdua berada di halaman rumah Vano yang luasnya sebelas dua belas dengan halaman rumah Rea.

Tadi seusai Bara mengantar Rea ke rumahnya, cowok itu bilang akan menunggunya. Meski telah ditolak mentah-mentah oleh Rea yang bahkan tidak repot-repot menawarkan untuk mampir lebih dulu, ternyata Bara tetap menunggunya.

Beruntung Bi Imah waktu itu tanpa sengaja melihat Bara lewat balkon utama lantai dua setelah keluar dari kamar Rea. Jadi asisten rumah tangga itu menyuruhnya agar masuk dan menunggu di dalam.

"Ini gue lagi usaha," Bara menjawab setelah melepaskan helm-nya. Cowok itu kemudian turun dari motornya.

Rea mengerutkan keningnya bingung mendengar jawaban Bara. "Usaha apaan lo?"

Bara menatap Rea sambil tersenyum, kemudian melangkah menjauh tanpa menjawabnya. Rea yang melihat itu makin mengerutkan keningnya, ia sempat menatap punggung cowok itu sebelum benar-benar berbalik dan mulai melangkah mengikuti Bara yang telah masuk ke dalam rumah Vano yang pintunya dibukakan oleh salah satu pembantu Vano.

"Permisi," Rea menganggukkan kepalanya pelan, menyapa pembantu yang berdiri di sana.

"Apa jangan-jangan dia nebengin gue seharian mau bikin Vanya cemburu?" Rea bergumam pelan sendiri dengan kening yang berkerut samar. "Bisa jadi sih," Rea mempercepat langkahnya agar mendekat ke arah Bara.

"Lo mau bikin Vanya cemburu gitu?" ia menoleh ke arah Bara setelah tepat berada di sampingnya dan berbicara.

Cowok tinggi itu ikutan menoleh, kedua alisnya naik ketika mendengar perkataan yang keluar dari mulut gadis itu.

"Tapi kalo kayak gitu aja gak cukup tau. Cewek yang sifatnya kayak Vanya tuh pasti bakal nurut sama cowok modelan kayak Agam. Jadi kalo Agam minta Vanya buat nemenin dia terus, dia bakal nurut. Abis itu kalo udah keseringan bareng, bisa aja Vanya jadi suka juga sama Agam. Emang lo mau keduluan Agam kalo cuma modal bikin cemburu doang?" Bara mengerutkan keningnya tidak mengerti mendengar penjabaran serius Rea tentangnya, Vanya, dan Agam.

Ia mau membuat Vanya cemburu?

Ia jelas tahu tadi Vanya dan Agam sudah pulang duluan. Sedangkan ia pulang paling terakhir karena harus berdebat dengan gadis di sampingnya itu. Lalu jika menebenginya kali ini juga termasuk mau membuat Vanya cemburu, bagaimana caranya? Vanya tidak ada di sini dan tidak akan pernah tau bahwa mereka berdua boncengan.

Apakah Rea terlalu pintar dan sibuk mengingat pelajaran sampai hal sekecil itu tidak bisa diingat?

"Iya kalo Vanya cemburu. Gimana kalo gak? Ckckck," Rea menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak tahu lagi bagaimana jalan pikiran Bara yang dengan percaya diri ingin membuat Vanya cemburu padahal belum tentu gadis itu cemburu. Ia melangkahkan kakinya cepat menuju studio musik pribadi milik Vano, meninggalkan Bara yang menghentikan langkahnya di belakang.

Cklekk

Rea masuk ke dalam studio musik pribadi milik Vano, di sana sudah ada Vano yang duduk di balik drum set-nya, Ricard yang tengah memainkan handphone-nya di sofa, dan Leo yang tengah memencet-mencet tuts keyboard.

"Halo!" Rea melambaikan tangannya dengan ekspresi datar setelah menutup kembali pintu studio.

Ricard mendongak, kemudian melambaikan tangannya balik ke arah Rea. Leo hanya mendongak sekilas sebelum kembali menatap tuts-tuts keyboard di hadapannya. Vano yang melihat Rea masuk tersenyum lebar kemudian mengangkat tangannya juga.

"Re!" sapanya balik. "Savita lagi bikin minum," Rea mengangguk sebagai jawaban, setelahnya ia ikutan duduk di sofa.

Cklek

Tak berselang lama, pintu studio dibuka lagi. Masuklah Bara, cowok itu menahan pintunya dan masuklah Savita dengan nampan berisi enam gelas es jeruk serta sepiring brownies yang telah dipotong-potong yang langsung diletakkannya di meja depan sofa.

Bara juga menyusul, duduk tepat di samping Rea. Cowok itu memperhatikan Rea yang pandangannya terpaku pada brownies yang tengah dipindahkan Savita dari atas nampan ke meja.

Sedetik setelah piring itu berpindah ke meja, Rea segera mencomot satu dan memakannya. Di mata gadis itu brownies adalah jenis kue yang paling seksi. Ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

"Baru dateng, udah makan aja lo," Savita menatap Rea malas, yang dibalas gadis itu dengan gerlingan.

Treng tek tek dess

"Abis Rea makan mulai latihannya ya?" Vano menatap teman-temannya satu persatu setelah memukul drum-nya beberapa kali, Rea mengangguk sebagai jawaban.

Rea segera menghabiskan brownies di tangannya, setelah itu ia meraih tisu untuk mengelap mulut dan tangannya. Mata gadis itu mengikuti gerak tangan Bara yang mengambil segelas es jeruk, ia hendak melakukan hal yang sama tapi tidak jadi karena es jeruk yang di tangan Bara disodorkan ke arahnya.

Tak langsung menerima, Rea menatap Bara dengan kerutan samar di keningnya. Tapi tanpa berkata apa-apa ia mengambilnya dan segera meminumnya.

Savita yang duduk di sofa lain memperhatikan interaksi keduanya. Untuk sekedar teman, Bara bukannya terlalu perhatian ke Rea dibanding dengan ke temannya yang lain ya?

"Udah nih!" Rea berkata sembari menaruh gelas yang isinya tinggal setengah di meja. "Ayo mulai aja. Biar gak malem-malem pulangnya," Rea berdiri dan melangkah mendekat ke kursi yang terdapat microphone di atasnya.

Bara ikutan berdiri, ia mencolek bahu Ricard yang membuat cowok itu ikutan berdiri. Keduanya mengambil gitar masing-masing.

"Lo udah nyoba pake suara berat, Re?" Ricard memakai hanger gitarnya sembari menatap Rea.

"Udah..., mungkin?" Rea menyengir ke arah Ricard.

"Dicoba ae dulu," Vano menyahut sembari memutar-mutar stick drum-nya, berakhir dengan menatap Savita dan mengedipkan sebelah matanya. Rea mengangguk sebagai tanda persetujuan.

"Udah siap semua ya?" Vano menatap teman-temannya satu persatu, memastikan jika semuanya sudah siap.

Tak tak

Suara ketukan dua stick drum terdengar, Rea mengangkat microphone-nya di depan mulut.

"Put your loving hand out, baby."

Suara berat milik Rea terdengar memenuhi studio tanpa iringan.

"Cause I'm beg~gin~."

Suara petikan gitar elektrik milik Bara terdengar, kemudian suara pukulan drum Vano juga mengikuti. Sebelum akhirnya keempat cowok itu memainkan alat musiknya masing-masing.

Sembari menunggu giliran lirik selanjutnya untuk dinyanyikan, Rea mengikuti ketukan drum Vano dengan kaki yang di ketuk-ketukkan ke lantai.

"I'm beggin, beggin you~."

"So put your loving hand out, baby~."

"I'm beggin, beggin you~."

"So put your loving hand out, darlin~"

Cklekk

"Riddin ha-"

"Suara lo kurang berat."

Nyanyian Rea harus terhenti karena sosok tidak diundang masuk ke dalam studio pribadi milik Vano tanpa permisi. Rea yang melihat Agam menutup pintu studio mengerutkan kening tidak suka.

Kenapa pula cowok itu harus datang ke sini?

"Kok ada dia sih?" Rea menunjuk Agam dan menatap Bara tidak suka. Bara mengendikkan bahunya tidak tahu, membuat gadis itu beralih menatap Vano.

"Kenapa ke sini, Gam? Gak nongkrong sama anak-anak yang lain?" Vano menatap Agam bingung, sedangkan yang ditatap melangkah mendekat ke sofa dan duduk di sana.

"Gak pengen," Agam melipat tangannya di dada, matanya beralih menatap Rea. Fokus sebentar pada microphone di tangannya sebelum menatap ke arah Vano.

"Lagian gue liat video di hape Leo, vokalis kalian suaranya jelek," Rea mendelik tidak terima mendengar perkataan Agam. "Jadi gue ke sini, biar bisa ngajarin vokalis kalian," Agam menatap Rea dengan senyum miring.

Rea mengerutkan keningnya tidak suka, ia pikir suara Rea tidak terlalu buruk untuk bernyanyi. Jika video yang dilihat Agam video latihan kemarin, ia menyadari masih sangat kurang karena kemarin adalah latihan pertama dan ia memang belum tau lagu yang dinyanyikan adalah jenis lagu pop-rock, jadi ia masih mengunakan suara biasa tidak berat.

Tapi tunggu, memangnya Leo memvideo mereka saat berlatih kemarin?

Rea menoleh ke arah Leo dengan kening berkerut. Cowok itu masih sibuk memperhatikan tuts keyboard-nya, baru mendongak setelah ditatap cukup lama oleh Rea.

"Lo ngevideo latihan kemarin?" Leo menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Rea.

"Yang ngevideo Ricard, tp Leo punya videonya," Rea mengerutkan keningnya curiga mendengar yang menjawab bukan Leo melainkan Agam. Ricard yang namanya dibawa-bawa melotot ke arah Agam.

"Emang iya, Ri?" Rea beralih menatap Ricard. Ricard yang ditanya sedikit bingung. Pasalnya ia tidak melakukan hal yang diucapkan Agam, apa ia perlu berbohong?

Ricard menatap Agam dengan kening berkerut dalam sebelum beralih ke Rea karena biang kerok di ruangan ini hanya diam bahkan tidak membalas tatapannya.

"Iya, kemarin gue rekam suara. Sorry ya, Re," Ricard memutuskan untuk berbohong, daripada membuat Agam malu.

Rea memicingkan mata curiga ke arah Ricard. "Sus," Rea bergumam tapi masih bisa didengarkan oleh Ricard, membuat cowok itu pura-pura tidak dengar.

"Yaudah, latihan lagi aja. Anggep manusia itu gak ada," Rea melirik sekilas Agam, membuat cowok itu mengerutkan kening tidak terima.

"Suara lo tuh masih jelek!" Agam menegakkan tubuhnya, menatap tajam ke arah Rea. Gadis itu menaikkan memiringkan kepalanya menatap Agam dengan sebelah alis terangkat.

"Terus?"

"Ya lo butuh gue ajarin," Agam menatap Rea dengan senyuman miring.

"Kata siapa?" Rea menatap Agam dengan raut bingung yang dibuat sepolos mungkin.

"Kata gue."

"Kata gue enggak," Rea menaikkan kedua alisnya dan tersenyum polos seolah sedari tadi ia tidak melakukan apapun.

"Lo butuh, biar bisa menang," Rea memejamkan matanya, menarik nafas dan menghembuskannya keras-keras, berusaha menahan emosi karena tingkah Agam yang menurutnya sangat menyebalkan.

"Sayangnya kata Pak Mardi, menang kalah urusan belakang. Yang penting pede. Jadi mau suara gue jelek atau enggak, itu gak penting!"

••••

Rea menghembuskan nafasnya keras-keras, raut wajahnya kini sudah terlihat sangat jengah. Bagaimana tidak?

Setelah berdebat panjang dengan Agam yang ngotot bahwa ia butuh diajari cowok itu supaya vokal-nya lebih bagus, bahkan setelah ia mengerahkan seluruh, tenaga jiwa raga, dan kesabaran yang tersisa dalam dirinya, Rea tetap kalah.

Berakhir dengan keduanya yang duduk di sofa tanpa ada yang lain karena sibuk sendiri. Vano dan Savita tadi pamit keluar mau membeli camilan di luar.

Ricard beberapa menit lalu pamit ingin ke kamar mandi, sedangkan Leo masih sibuk dengan keyboard-nya. Sepertinya cowok itu sudah menganggap keyboard sebagai pacarnya sendiri, karena tidak sedetik pun ia mengalihkan dari dua benda berbentuk persegi panjang yang bertumpuk itu.

Sedangkan Bara, memilih duduk di salah satu kursi tinggi yang biasanya digunakan untuk duduk penyanyi sambil memperhatikan Rea yang wajahnya muram.

Cowok itu sedari tadi menahan tawa melihat wajah kesal Rea setiap kali Agam mengkoreksinya. Wajah kesal gadis itu, terlihat imut baginya.

Sedari tadi Rea sudah digembleng oleh Agam untuk memperbaiki vokal-nya. Meski awalnya ia menolak, tapi ia tetap menuruti perkataan cowok itu.

Agam bilang, suaranya kurang berat. Ketika sudah cukup berat, Agam bilang suaranya kurang kencang. Ketika sudah keduanya, Agam bilang suaranya masih bergetar.

Rasanya ia ingin mencekik leher Agam saking kesalnya.

"Udah deh, kenapa gak lo aja sih yang pensi?" tanya Rea kesal pada Agam.

"Ya gak bisa dong, kan gue udah fashion show. Lagian Pak Mardi minta lo yang ikut pensi," Agam menyenderkan punggungnya santai, melipat tangannya di dada.

"Ya kalo gak mau diem. Gak usah pake dalih ngajarin gue, apa kek. Capek gue denger suara lo!" Rea mengerutkan keningnya dalam menatap Agam tajam.

"Bukan gak mau, tapi gak bisa," Agam tetap santai menjawab, berusaha untuk tidak tersenyum melihat raut marah Rea.

"Sama aja!"

Rea berdiri dari duduknya, memilih keluar dari ruang studio. Ingin keluar dari rumah besar Vano dan menghirup udara segar. Agar aroma parfum Agam yang tercium jelas saat duduk di sampingnya segera digantikan sejuknya angin malam, juga telinganya yang terngiang-ngiang suara jelek Agam segera terganti dengan suara hembusan angin.

To be continue...

•••••

m

aaf ya gaes, aku gatau bisa update lagi kapan. kalo sesuai jadwal besok tuh lusi ada pra pkkmb. tapi gak ada pengumuman sampe lusi update part 25 ini

minggu depan, seminggu ada pkkmb dan kayaknya abis itu udh mulai masuk kuliah. jadi gatau kapan lagi bisa update

tapi lusi usahain ada waktu luang buat ngetik cerita ini jd seminggu masih bisa, eumm minimal dua part?

dah pokoknya gt aja, biar kalian ga ngerasa lusi php😭

bye gaes, mwah😚

Continue Reading

You'll Also Like

7.4M 98.7K 9
Gimana jadinya kalau kalian menjadi Hana yang tiba-tiba menjadi istri yang akan diceraikan dan bukan itu aja tapi Hana juga tiba-tiba memiliki anak k...
328K 22.2K 23
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...
538K 34.9K 62
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...
1.9M 126K 70
Seorang dokter yang mencintai tenang dan senyap, juga tidak banyak bersuara, berbanding terbalik dengan apa yang harus dihadapinya. Flora Ivyolin yan...