Hollow

By mockingjaybirdx

139K 17.6K 4.2K

In which Jeff and April broke up and learn to navigate their life through a series of heartbreaks and misfort... More

Prologue: Congratulations, glad you're doing great
Shouldn't you be out there breaking hearts?
I think we should stay in love
She's thunderstorms
How do I recover from you?
Nobody's winning in this tale of past and future love
The best at being the worst
and I spend all night stuck on a puzzle
If you know that I'm lonely
Untuk Apa / Untuk Apa?
All my demons run wild
All my demons have your smile
I don't want your body but I hate to think about you with somebody else
Drive safe
You were the sweetest apparition, such a pretty vision
Both of you and I we're hollow
Along with its consequences
Still a part of your home
Be my mistake
Do you feel that I can see your soul?
Liability
50 Proof
Break my heart again
Lose
I think I've seen this film before
Right where you left me
I'm so proud I got to love you once
Credits
After Credits Scene

You know when it's time to go

1.8K 346 82
By mockingjaybirdx

—April

"Hotel Mulia wedding or I don't want it"

"Kamu mau meres aku ya?"

Aku tertawa melihat ekspresi paniknya saat ku utarakan keinginanku tersebut.

"Oh come on. Aku nggak muluk 'kan? I mean, look at you now! Successful EP, nationwide tours, brand deals di sana-sini..."

"Gila kamu, Nja" ia berdecak sembari terkekeh kecil.

"Emang," aku tersenyum lebar seraya keluar dari mobil. "I mean, kamu tuh sekarang basically artis ya, Jeff. Bisa lah aku minta resepsi kayak Tasya Farasya mah..." lanjutku dengan bercanda sembari menyambut uluran tangannya yang sudah menunggu di samping pintu mobil.

Jeff tertawa kemudian menutup pintu mobil di belakangku. "Aku musisi bukan juragan tambang, nggak usah ngadi-ngadi kamu" ujarnya sembari mengulurkan tangan ke arah kepalaku untuk mengacak rambutku gemas.

Untungnya, belum sempat jemarinya menyentuh helai legam rambut yang sudah susah payah kucatok ini, aku keburu menghindar.

"Berani kamu ngacak-ngacak rambut aku, ini heels melayang ya ke kepala kamu" ancamku.

Sebentuk kilat jahil pun terpancar di mata Jeff mendengarnya. Seperti nggak menghiraukan ancaman (serius) yang aku lontarkan sebelumnya, anak itu malah dengan santai meletakkan tangannya di atas kepalaku.

"Jeff."

"Hehe"

"Jeffri Wiraprasetya, I warn you one last time"

"Hehehe..."

Aku mendongak dan memicing ke arahnya yang masih meletakkan tangannya di puncak kepalaku, sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya yang terlihat sangat tengil saat ini.

"Jeffri."

"Cium dulu baru aku udahan"

Aku mengangkat alis. "Yakin? Aku pake lipgloss loh ini?"

"So?" ia mengangkat bahunya acuh. "You like it when everyone can see that I'm yours, 'kan?"

Sembari tergelak kecil, aku menepuk pipinya pelan. "Tau nggak, yang gila tuh kamu bukan aku."

"You're not wrong," ia tersenyum dan (akhirnya) melepaskan tangannya dari kepalaku. Selanjutnya ia melingkarkan lengannya di bahuku dan menarikku mendekat.

"I'm crazy about you, that is" ujarnya lembut sebelum mengecup puncak kepalaku singkat.

Aku tergelak kecil dan menggeleng pelan. Yeah he is, he definitely is.

Or was, at least.

Melangkahkan kaki menyusuri lorong hotel mewah ini, aku bisa merasakan perasaanku kembali bergejolak. Meskipun percakapanku dengan Jeff mengenai 'Hotel Mulia Wedding' itu telah terjadi entah berapa tahun yang lalu, namun berada di tempatnya sekarang, tempat di mana aku (meskipun secara bercanda, because heck let's be realistic we both know we could never afford this) membayangkan hubungan kami berdua akan berlabuh dalam sebuah ikatan sakral pernikahan, lumayan menumbuhkan sebentuk nyeri di sudut hatiku.

It should've been us. And we could've still had each other.

Tapi ternyata, nggak selamanya bertahan merupakan pilihan terbaik. Sometimes things are just broken beyond repair, and trying to hold on to them will do nothing but hurt us. Dan itu yang terjadi padaku dan Jeff.

Nggak peduli sudah selama apa kami bersama, nyatanya apa yang kami miliki memang nggak bisa terselamatkan lagi. Sudah terlalu banyak air mata dan luka yang tertoreh di antara kami berdua. Dan jika kami keras kepala mempertahankan apapun yang kami miliki saat ini, it will only do more harm than good for the both of us.

So we let go. Kami melepaskan yang sudah lalu dan berjalan masing-masing membuka lembaran baru.

[WhatsApp]

Theta Andriana

Dimana pril?

Nemu kan kamarnya?

Ponselku bergetar menampilkan pesan dari Theta itu, tepat saat aku telah berdiri di depan pintu kayu mewah di hadapanku ini. Dengan cekatan aku mengetikkan balasan sebelum mengetuk pintu kamar hotel mewah tersebut.

[WhatsApp]

Rintik Senja April

Udah di depan nih

Seperti yang sudah ku perkirakan, nggak butuh waktu lama hingga pintu kamar terbuka menampilkan Theta, dalam balutan setelan kain dan kebaya berwarna krem yang senada dengan yang kukenakan saat ini, dan ekspresi wajah yang tertekan.

"Thank fucking God you're here!" Theta menghembuskan nafas lega dan menarikku ke dalam. "Si Dena dikit lagi jadi orgil deh kayaknya, dari semalem dia nelepon gue nangis-nangis kena mental gue rasa tuh anak"

Theta menyerocos panjang membawaku memasuki kamar Royal Suite nan mewah ini hanya untuk selanjutnya disambut dengan lengking penuh amarah Dena yang mengusir semua orang yang kini ada di dalamnya keluar.

Yes, that includes her mother, a few of her relatives (and in-laws, probably), MUA, their assistants... and us?

"Aku nggak peduli!! Pokoknya aku mau sekarang semuanya keluar!!"

Theta menepuk wajahnya melihat perangai sahabat kami itu dan hanya bisa menggeleng serta berdecak pelan.

"Ini yang gue maksud tadi..." ia menggumam ke arahku sambil menghela nafas lelah. "Orgil 'kan lo liat sendiri?"

"Dena... Dena sayang, tenang dulu ya sayang ya... Semuanya bakal baik-baik aja, oke? Ada Bunda di sini... ada Mama..." aku bisa melihat Ibunda Dena beserta satu lagi perempuan yang kurasa merupakan calon mertuanya berusaha menenangkan gadis tersebut.

"Nggak mau... Ng-nggak mau..." Dena terduduk di lantai karpet kamar ini dan mulai terisak. Aku meringis melihatnya. "Bunda nggak ngerti... Mama juga nggak ngerti... P-please... Dena butuh sendiri dulu..."

Theta melangkah mendahuluiku menghampiri sahabat kami yang kondisinya cukup menyedihkan itu. "Tan, coba aku yang ngomong ya? Ada April juga mungkin kita bisa bantu tenangin Dena..." ia berujar lembut pada kedua wanita tersebut.

Ibunda Dena dan calon mama mertuanya saling berpandangan untuk beberapa saat, tampak nggak yakin dengan ide yang diusulkannya.

"Kamu yakin? Dena dari semalam seperti rungsing terus, Bunda sama Tante Selin ini sampai bingung harus gimana lagi..." Ibunda Dena berujar dengan dahi berkerut.

"Aku coba dulu ya Tante... Mungkin Dena-nya juga stress karena persiapan pernikahan dari kemarin-kemarin, terus jadinya cemas berlebihan pas hari H" Theta menjelaskan dengan intonasi yang dibuat setenang mungkin.

"Terus ini kita juga harus keluar dulu gitu?" Calon mama mertua Dena bersuara dan disambut oleh anggukan mantap oleh Theta.

Di lantai, Dena masih terisak dengan bahu yang bergetar hebat.

"Sebentar aja, Tante. Nanti aku panggil lagi kalau Dena-nya udah tenang ya?"

"Kamu yakin dia bakal bisa tenang?"

Theta melirik ke arahku dengan sorot penuh harap kemudian mengangguk lagi. "Yakin tante... dia cuma butuh ruang buat nafas kalo menurutku..."

Setelah detik-detik penuh pertimbangan yang menegangkan, akhirnya kedua perempuan paruh baya itupun setuju untuk meninggalkan ruangan ini sejenak—leaving the crying bride-to-be to Theta (and me?). Satu per satu, manusia di dalam ruangan ini pun melangkah keluar mengikuti ibunda Dena dan calon ibu mertuanya.

Dan ketika orang terakhir akhirnya menutup pintu kamar hotel mewah ini, Theta pun menghela nafas lega keras-keras. Dihampirinya Dena yang masih tersedu di lantai dalam balutan kebaya dan hair-do setengah jadinya itu dengan sekotak tisu di tangan.

"Den..." Theta memanggil nama sahabat kami itu dengan halus.

"The, nggak sanggup gua, The... nggak sanggup... mau kabur aja..." isak Dena pilu.

Aku yang masih kikuk hanya bisa berdiri di tempatku menatap kedua sahabat karibku itu saling berpelukan. Theta yang menghadap ke arahku memberikan gestur agar aku segera menghampiri si calon mempelai ini, bergabung dengannya untuk menenangkan Dena.

"Bisa, Den, bisa... masa udah sampe sini lo nyerah?" Theta masih berusaha menenangkannya.

"Nggak bisa, The... Nggak bakal bisa... gue nggak kuat..."

Kembali, Theta menggestur padaku yang masih mempertahankan posisiku di tempat sebelumnya untuk menghampiri mereka. Sejujurnya, aku sendiri pun bingung apa yang harus kulakukan sekarang. Semenjak pertengkaran hebat kami di malam yang seharusnya menjadi bridal shower Dena itu, aku dan dia belum pernah berkomunikasi apapun lagi. Belum ada kata maaf yang terlontar diantara kami berdua.

We just... drifted apart. Dan jika bukan karena Theta yang practically memohon agar aku hadir hari ini aku rasa mungkin aku nggak akan ada di sini sekarang.

Don't get me wrong, I have nothing against her now... hanya saja, aku nggak tahu apa yang harus kulakukan saat bertemu dengannya.

Di tengah-tengah tangisnya, Dena mengangkat wajah dan menoleh ke belakang—ke arahku yang masih berdiri dengan kikuk di sudut kamar. Kedua matanya memerah dan bengkak, dan aku hanya bisa berharap sang MUA memiliki skill yang mumpuni untuk menutupi semua ini nantinya.

Kami berdua bertatapan dalam diam sebelum Dena kembali terisak dan bangkit untuk menghampiriku. Tanpa kuduga, sahabatku itu malah memelukku erat dan kembali menumpahkan air matanya, kali ini di bahuku.

"And you... you little shit where have you been?!" begitu umpatnya di sela-sela isakannya yang memenuhi ruangan ini. "Lo tega banget ya ninggalin sahabat lo hampir gila sendirian di situasi kayak gini, God April I miss you so much why wouldn't you talk to me?!"

Sedikit terkesiap dengan reaksinya itu, aku pun memberanikan diri untuk memeluknya. Mengusap-usap punggung sahabatku itu lembut untuk menenangkannya.

"I am so sorry..." hanya itu yang mampu kuucapkan. Entah mengapa, tenggorokanku pun terasa tercekat saat ini.

"I demand... hiks... I demand a proper apology f-from you..." Dena terisak di pelukanku, kedua tangannya mencengkram kain kebayaku erat.

Mengusap setitik air mata yang meleleh di pelupuk mataku, aku pun terkekeh pelan. "Sori ya, Den... harusnya waktu itu gue nggak hostile ke lo... gue salah ngomong juga... Demi apapun gue ngerasa bersalah banget nggak support lo apa-apa selama kemaren-kemaren—"

"Gue udah mau gila t-tau nggak..." ujar Dena.

Aku tersenyum kecil. "Yeah I can see that..."

"Bukan udah mau lagi, tapi lo udah gila gue rasa, Den" Theta yang sedaritadi hanya menonton pun melangkah mendekati kami berdua.

"B-bener... hiks" Dena mengangkat wajahnya dan mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangan. "Tanya Theta gue gilanya udah kayak apa..."

Theta mengangguk sembari mengangsurkan lagi selembar tisu pada Dena. "A total bridezilla... A wedding organizer's worst nightmare..."

"I couldn't do this without you two anjiiirrrr..." Dena berujar diantara tangisnya. "I wouldn't... I can't..."

"Here here sweetheart..." aku kembali menariknya ke dalam sebuah pelukan hangat. Kini, gantian aku yang menggestur pada Theta untuk bergabung dalam pelukan ini—dan tanpa perlu waktu lama, kami bertiga pun berubah menjadi teletubbies dalam satu group hug terhangat yang pernah kurasakan seumur hidupku.

"Sekali lagi gue minta maaf ya... I'm sorry if I hurt you dengan perilaku gue waktu itu and I promise.. well at least I try... buat nggak kayak gitu lagi..." ujarku pada Dena.

"Apology f-fucking accepted bitch..." ujarnya.

Aku dan Theta pun sontak bertukar tawa.

"Gue minta maaf juga... kalo gue udah nyakitin perasaan lo dengan kata-kata gue waktu itu... hiks..." Dena kembali berujar dengan suara bergetar. "Gue nggak maksud... sumpah..."

"Shush... I know, okay? I know" aku menggumam pelan. "Udah ya, Den? Yuk bisa yuk sekarang lo senyum lagi, siap-siap dandan, lanjut hairdo... 'kan bentar lagi mau jadi nyonya direksi BUMN 'kan?" lanjutku dengan canda.

Theta tergelak, dan Dena, meskipun masih dengan sisa-sisa isak tangisnya, ikut terkekeh pelan.

"Bisa aja lo" gumam Dena pelan.

"No but really," aku menarik diri dari pelukan ini untuk menatap sahabatku itu. Kutarik selembar tissue dari kotak yang ada di tangan Theta dan mengusap sisa air mata di pipi Dena. "Lo tuh, Dena Alfarasya TANJUNG, you're the bossest bitch of all the boss bitch I tell ya"

"Tuh dengerin, Den." Theta menimpali. "Lagian ini tuh udah kayak selangkah lagi menuju impian lo punya private jet ya 'kan..."

"Gila lo ya..." Dena mengerucutkan bibirnya. "Gue 'kan pengennya punya private jet pake duit sendiri bukan pake duit laki gue..."

Kembali, aku dan Theta pun tergelak dibuatnya.

"Bisaaa pasti bisaaa" aku berujar mengamini. "Kalo lo aja udah bisa sampe di titik ini sekarang, pastinya lo juga bisa sampe di titik yang lebih dari ini juga" lanjutku.

"Lagian kalo lo called off the wedding, tuh cincin Cartier mau dikemanain?" canda Theta mengimbuhi.

"Perempuan jahanam lo ya emang" Dena melempar tissue di tangannya ke arah Theta, kemudian terkekeh pelan.

"Chin up, princess. It's your big day. Be happy karena lo akhirnya akan melangkah ke fase baru di hidup lo." aku menyemangatinya. "It's gonna exciting, I'm sure of it"

"Dan... kalaupun in the end things just doesn't work the way you expected them to be, lo masih punya kita—dan our wine wine solution" Theta menambahkan, kembali mengusap air mata yang meleleh di pipi sahabat kami itu dengan tissue.

"So true, bestie" aku tersenyum lebar mengamini ucapan Theta.

Kembali, Dena pun bercucuran air mata. Sembari terisak, kini calon manten satu itu menarik kami berdua ke dalam pelukannya.

"What would I do without you really..." isaknya penuh haru. "Jangan pernah tinggalin gue ya nyet... sedih banget nih gue nanti..."

"Siap nyonyaaaa" Theta berujar sembari terkekeh pelan.

"We won't, darling. We won't" imbuhku lembut.

Kami bertiga berpelukan seperti itu selama beberapa saat. Membiarkan Dena menenangkan dirinya terlebih dulu tanpa banyak berkata-kata. Sesekali aku mengusap punggung sahabatku itu, diikuti dengan Theta yang secara berkala mengangsurkannya tisu untuk menyeka air mata yang membasahi.

Setelah beberapa menit, Dena perlahan bisa menguasai emosinya kembali dan tampak siap untuk melanjutkan wedding preparation-nya ini. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya seperti yang diajarkan instruktur di kelas Yoga yang kerap kami datangi bertiga.

"Okay... I'm ready... I'm okay now..." ucapnya setelah sesi breathing exercise-nya itu.

"You good?" Theta bertanya.

Dena mengangguk yakin. "I'm good... gue siap... gue bisa ngejalanin ini..."

"Yes you definitely can." aku berujar. "You're THE Dena Alfarasya Tanjung, lo pasti bisa ngejalanin ini. You're gonna fucking rock this wedding"

"I am gonna fucking rock this wedding... yeah... pasti bisa..." ujar Dena.

"Udah nih? Gue udah bisa panggilin lagi orang-orang ke dalem ya kalo gitu?" Theta bertanya, meminta persetujuan Dena.

"Yeah... yeah boleh..." Dena memejamkan matanya dan kembali menarik nafas panjang sebelum mengangguk. Namun, sedetik kemudian, ia membelalak lebar dan menatapku dengan ekspresi seperti ia baru saja melupakan sesuatu.

"Gue baru inget sesuatu" ujarnya kemudian.

Aku dan Theta mengernyit, menatap satu sama lain secara bergantian. Apalagi ini?

"Apa, Den?" Theta bertanya, nadanya was-was.

Dena menoleh ke arah Theta dengan kedua bola mata melebar, kemudian mendaratkan tatapannya ke arahku.

"Pril,"

Aku mengangkat alis, bingung. "Yeah...?"

Sahabatku itu menatapku serius untuk beberapa saat sebelum akhirnya melontarkan satu pertanyaan penuh kejutan.

"How is it going now with you and Jeff?"

Mendengarnya, hampir secara otomatis Theta menepuk dahinya sambil tersenyum geli, sementara Dena tampak benar-benar ingin tahu.

Aku menatapnya tidak percaya, namun nggak bisa kutahan sebentuk senyum pun terlengkung di bibirku. This little rascal, I swear...

"Really, Den? On your wedding day?"

"Demi tuhan gue PENASARAN banget," Dena berujar. "Ayolah, one last gossip sebelum gue resmi jadi bini orang, yeah?"

"Kata gue lo turutin aja nih manten banyak mau, daripada daripada ye khan..." Theta mengimbuhi.

Aku menatap kedua sahabatku itu secara bergantian, sebelum akhirnya terkekeh pelan.

"Well..." aku berujar.

"Well?" Dena kembali menodong.

Aku menarik nafas panjang kemudian berujar dengan yakin.

"It's all over now. Hopefully."

Continue Reading

You'll Also Like

208K 10.6K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
2.9M 41.2K 10
[Sebagian besar part sudah unpublished] #4 The Tied Series Tanpa ikatan, Tanpa aturan, Tanpa perasaan...
30.6K 2.1K 88
THE FIRST LINE OF TANGERINE. In the enchanting tale of the youngest Changkham and the cherished youngest Caskey princess, Scenery Caskey, their bond...
1M 81.1K 56
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...