Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

dua puluh empat

53.8K 8.3K 412
By luckybbgrl

sebenernya lusi gamau maksa-maksa gini, tapi...

tolong komen ya, supaya lusi semangat ngetiknya, terima kasihh >.<

••••

"Re, lo bareng kita aja. Sekalian langsung ke rumah Vano."

Rea menoleh ke arah Savita yang tengah bersama Vano berdiri di samping mobilnya. Latihan futsal sudah selesai, meski Vano harus mati-matian berusaha menghindari perkelahian antara kedua tim.

"Gak usah, gue mau ke gramed sama pulang dulu soalnya," Rea menggeleng pelan.

"Oh iya? Vanya mana?" tanya Rea bingung setelah menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri tapi tidak menemukan sosok Vanya.

"Gak tau, tapi tadi kayaknya dia lagi ngobrol sama Agam dulu sebelum keluar," Rea mengerutkan keningnya bingung mendengar jawaban Savita.

Mengobrol dengan Agam?

"Ada Kiranti gak tadi?" Savita mengerutkan keningnya samar, kemudian menggeleng pelan.

"Gak tau, tapi," Rea mengerutkan keningnya saat Savita menjeda perkataannya. "Eh, itu Kiranti," Savita melanjutkan sambil menunjuk ke arah jalan keluar dari lapangan futsal. Mata Rea mengikuti ke arah yang ditunjuk Savita, menangkap sosok Kiranti yang jalan dengan kening berkerut marah.

"Dia kenapa, ya?"

"Gak tau deh," Savita mengalihkan pandangannya ke Rea lagi. "Terus lo?" Savita mengerutkan keningnya samar.

Rea menatap Savita balik, mengabaikan Kiranti yang sudah masuk ke dalam mobilnya diikuti teman-temannya. "Naik taksi kali, sekalian anterin Vanya pulang."

"Bareng gue sama Vano aja, kan lumayan lo jadi hemat," Rea menggelengkan kepalanya lagi.

"Lo ntar jadi muter-muter sama Vano," Rea menoleh lagi ke arah jalan keluar lapangan futsal.

"VANYA!" panggilnya sambil melambaikan tangannya ke arah gadis berambut hitam yang baru saja keluar dari sana. Savita yang hendak memaksa Rea agar pulang bersamanya lagi ikutan menoleh begitupun Vano.

Raut cerah Rea berubah jadi bingung saat melihat Agam juga keluar dari sana tepat di belakangnya. Tak jauh berbeda dengan ekspresi Savita dan Vano yang heran melihat kedua orang yang selama ini memiliki hubungan si pem-bully dan si ter-bully nampak akrab.

Rea memperhatikan Vanya yang tengah menghentikan langkahnya begitu juga Agam, gadis itu berbalik dan mengobrol sekilas dengan Agam. Vanya berlari kecil ke arahnya setelah Agam melirik ke arahnya dan mengangguk saat menatap gadis itu lagi.

"Lo pulang bareng gue, kan?" Rea bertanya dengan kedua alis terangkat. Alisnya beralih mengerut saat melihat wajah tidak enak yang ditunjukkan Vanya. "Kenapa?"

"Em, itu, Re. Aku... diajak pulang bareng Agam. Katanya dia mau minta tolong nyariin kado buat ponakannya," Vanya menatap Rea dengan sungkan. Merasa tidak enak karena menolak permintaan Rea. "Gak papa, kan?"

Rea melirik ke arah Agam, cowok itu berdiri cukup jauh dari mereka. Ia menatap balik ke arah Rea dengan wajah datar. Rea menatap ke arah Vanya lagi kemudian tersenyum.

"Gapapalah, kan dia minta tolong. Kalo dia ngapa-ngapain lo chat gue aja, oke?" Rea menjawab dengan alis terangkat, Vanya yang mendengar jawaban dari Rea tersenyum senang dan mengangguk.

"Iya, maaf ya, Re. Makasih juga."

"Udahlah, bukan apa-apa. Sana, Agam nungguin lo tuh!" Rea membalas sambil menunjuk ke arah Agam di akhir kalimatnya. Vanya menoleh juga ke arah Agam, kemudian mengangguk saat menatap ke arah Rea lagi.

"Iya. Duluan ya, Re, Sav!" Vanya melambaikan tangannya kemudian melangkah mendekat ke arah Agam.

"Tumben Agam minta tolong ke anak itu?" Rea dan Savita menoleh ke arah Vano yang daritadi diam saja. Cowok itu memperhatikan Agam dan Vanya yang tengah berjalan menuju motor sport berwarna merah milik Agam.

"Ya bagus dong, mereka baikan. Vanya gak bakal di-bully sama Agam lagi. Gimana sih lo?" Rea menatap Vano dengan aneh. Meski ia sendiri juga merasa aneh dengan sikap Agam pada Vanya, tapi jika mengingat Agam sendiri yang mengajukan dirinya dan Vanya untuk perwakilan lomba fashion show seperti dalam novel. Ia berpikir bahwa mungkin ini sudah saatnya Agam tertarik pada Vanya.

"Baikan..?" Vano menyentuh dagunya dan mengelusnya pelan seolah-olah memikirkan hal yang berat, apalagi ditambah dengan kerutan di keningnya yang dalam itu. "Gak yakin gue."

Rea menatap Vano aneh, kemudian menatap Savita heran yang dibalas gadis itu tawa pelan dan gelengan pelan. Rea mendekat ke arah Savita, "Cowok lo aneh," bisiknya.

Savita semakin tertawa mendengar bisikan gadis itu. Vano yang mendengar kekasihnya tertawa langsung menoleh dengan kedua alis terangkat.

"Kenapa ketawa?" Savita menggeleng setelah tawanya benar-benar berhenti. "Tapi serius deh, gue curiga sama Agam," Vano menatap ke arah Rea dengan raut wajah serius.

"Dih, temen lo sendiri anjir. Dicurigain," Rea menatap tidak percaya ke arah Vano.

"Tapi aneh aja, kenapa dia tiba-tiba baik sama Vanya coba? Pasti ada apa-apa, kan?" Vano yang masih teguh pada pemikirannya seolah tidak peduli dengan kenyataan bahwa Agam adalah teman dekatnya sendiri.

"Suka kali dia sama Vanya," Vano melotot mendengar perkataan Rea yang menurutnya kelewat ngawur. Ia tahu jelas bahwa Agam terlihat lebih tertarik pada gadis itu ketimbang Vanya. Mana mungkin Agam langsung pindah haluan ke Vanya dalam waktu kurang dari seminggu.

"Gak m-"

"Udah sana, lo buruan pulang aja. Kalo kelamaan di sini gue yang kemaleman ntar," Rea mendorong tubuh Savita dan Vano agar masuk ke dalam mobil, memotong perkataan Vano yang ia yakini hendak menyangkal perkataannya dan memberikan konspirasi-konspirasi tidak masuk akal.

Vano yang memang tipe seseorang mudah dialihkan langsung membukakan pintu mobil bagian penumpang untuk Savita.

"Eh, terus lo gimana, Re?" Savita yang hendak masuk ke dalam mobil menoleh lagi ke arah Rea, membuat Vano ikutan menoleh ke arah gadis itu.

"Naik taksi sendiri lah," jawab Rea enteng yang malah membuat Savita khawatir sendiri.

"Kok gitu sih? Sopir lo?" Savita mengerutkan keningnya heran ketika lagi-lagi Rea menyebutkan taksi bukan sopir.

"Sopir gue nganterin nyokap ke luar kota," jawab Rea jujur, memang tadi pagi Pak Imam mengantarkan Mamanya yang ada rapat mendadak di Bandung. Papanya tidak bisa datang karena urusan di perusahaan masih banyak, sehingga Mamanya harus berangkat sendiri.

"Bareng Bara aja," Rea dan Savita langsung menoleh ke arah Vano yang asal ceplos.

"Gak usah, gue bisa sendiri kok," Rea menggeleng cepat. Ia masih tidak ingin berbicara dengan Bara. Memang sebenarnya masalah sepele, tapi ia selalu kesal jika mengingat Bara baik padanya hanya karena balas budi atas sikap baiknya pada Vanya.

Ia baru tahu ada yang lebih bucin pada Vanya ketimbang Agam  saat setelah sadar akan perasaannya.

"Eh itu bocahnya. BAR! BARA!"

Bara yang sudah mengendari motornya menoleh dan berhenti. Menatap Vano, Savita, dan Rea beegantian sebelum membuka helm full face nya.

"Dibilang gak usah!" Rea mendelik ke arah Vano yang memanggil Bara.

"Kenapa?" Bara bertanya tanpa repot-repot mendekat, memilih tetap di atas motor sport-nya yang berwarna hitam.

"Ini, Rea gak ada temennya pulang. Barengin gih. Lo kan sendiri juga. Daripada dia naik taksi," Vano berkata lagi sedikit keras sambil menatap Bara, menunjuk Rea sekilas dengan dagunya.

"Gak usah. Gue bisa pulang se-"

"Yaudah ayo!"

Rea menoleh ke arah Bara yang memotong perkataannya dengan ajakan.

"Gak usah, gak papa kok," Rea menggeleng pelan, masih berusaha menolak pulang bersama dengan cowok itu.

"Ih Rea parah lo. Bara udah berenti buat lo tuh!" Vano menatap tidak peecaya ke arah Rea, sempat menunjuk me arah Bara juga dengan gerakkan kepala singkat.

"Kan gue gak minta!" Rea menjawab dengan sewot, keningnya juga mengkerut kesal. Maksudnya, siapa suruh Bara berhenti? Kan ia sudah bilang tidak usah. Salahkan saja dirinya sendiri yang tetap memanggil Bara meski ia sudah menolak.

"Tapi kasian tau, Re."

"Iya, Re. Dia nunggu tuh!" Rea menatap ke arah sepasang kekasih itu dengan kesal.

"Ck, udah sana pulang kalian!" Rea menggelengkan kepalanya frustasi, menyuruh kedua orang di depannya untuk segera pulang.

"Duluan ya, Rea cantik!" Savita menepuk lengan Rea sebentar sebelum masuk ke dalam mobil. Vano menutup pintunya setelah memastikan Savita benar-benar sudah duduk di jok.

"Hati-hati ya, Bar. Jangan sampe lecet. Katanya dia mau ke gramed dulu!" Vano memutari mobil sambil memekik ke arah Bara. Masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesinnya.

"Duluan, Re!" Savita melambaikan tangannya ke arah Rea saat kaca jendelanya terbuka. Rea tersenyum paksa dan melambaikan tangannya balik.

Rea menghembuskan nafasnya kesal sambil memejamkan matanya sebelum melangkah dengan malas mendekat ke arah Bara. Mata gadis itu terpaku pada helm milik Bara, senyumnya terbit seolah memiliki ide cemerlang.

"Gue gak bawa helm. Jadi naik taksi aja," Rea langsung berbalik, tapi tangannya dengan cepat di tahan oleh Bara.

"Lo suka banget ya gue tarik?" Bara tersenyum tipis. Rea yang mendengar mengerutkan kening tidak suka, ditambah dengan senyuman yang... bagaimana mengatakannya ya?

Rea menarik tangannya, "Aneh," umpatnya sembari memasang wajah jijik. Bara yang melihat wajah gadis itu sedikit mendelik.

"Apa-apaan ekspresi lo?" tanyanya tidak terima dengan kerutan samar di keningnya.

"Emangnya ekspresi gue kenapa? Kayak jijik gitu?" Rea bertanya seakan tidak tahu apa apa. "Emang," Rea membuang mukanya. Bara yang melihat itu menghela nafas, membuang jauh-jauh rasa nyelekit akibat perkataan gadis itu.

"Udah naik aja," Bara memberi isyarat agar Rea naik ke jok belakang motornya. Rea yang melihat itu melirik singkat.

"Kan udah gue bilang, gue gak bawa helm," Bara menipiskan bibirnya sekilas mendengar perkataan Rea.

"Udah naik aja."

Rea mendongak, melihat ke arah langit. Mengamati matahari yang sudah turun ke Barat.

"Yaudah kalo maksa. Udah sore juga."

Setelahnya Rea mendekat ke arah jok belakang motor Bara, cowok itu dengan sigap membuka kedua footstep belakang agar Rea mudah untuk naik. Gadis itu naik dengan tangan yang berpegangan pada pundak Bara. 

Bara menoleh sedikit, memeriksa apakah Rea sudah duduk dengan benar. Setelahnya ia memakai helm-nya dan mulai menyalakan mesin dengan senyuman yang tertutupi helm.

••••

Sampai di Gramedia, Rea langsung fokus memilih novel yang menarik untuknya di tumpukkan novel yang baru terbit. Beberapa kali membaca blurb novel yang berada di sampul belakang dengan serius, saking seriusnya keningnya terlihat mengerut dalam.

Bara  tadinya dipaksa untuk pulang dahulu oleh Rea tetapi menolak, berakhir dengan melihat-lihat buku-buku yang juga ada di sana sembari menunggu gadis itu. Sesekali ia juga memperhatikan Rea yang masih terlihat asyik memilih novel.

Bara mengeluarkan handphone-nya dari saku, menyalakannya sebentar sebelum mematikannya kembali. Cowok itu kemudian mendekat ke arah Rea.

"Re, udah jam lima," Rea sedikit kaget dengan Bara yang tiba-tiba bersuara di sampingnya. 

"Ha?" Rea menoleh dengan wajah bingung, Bara yang melihat itu menaikkan tangannya yang memegang handphone sembari menyalakannya, menunjukkan pada Rea jam yang telah menunjukkan pukul 17.07.

"Oh, ya. Bentar, bayar ini dulu," Rea mengangguk, kemudian menujukkan tiga buah novel di pelukannya. Bara mengangguk juga sebagai jawabannya. 

Keduanya berjalan bersama menuju kasir. Setelah selesai dengan urusan bayar membayar, mereka berdua berjalan keluar menuju parkiran.

"Lo gak ada beli apa-apa lagi?" Bara bertanya di sela-sela perjalanan mereka menuju parkiran. 

"Enggak. Langsung pulang aja," Rea menggeleng, Bara menoleh kemudian mengangguk sebagai jawaban.

Sampai di parkiran, Bara menyodorkan helm bogo berwarna hitam yang ia beli di salah satu toko helm untuk Rea tadi. Awalnya Rea menolak dibelikan dan ngotot membayar sendiri karena ia tahu itu helm dibeli karena ia tidak membawa. Tapi seolah tidak mendengar tolakan Rea, Bara tetap membelinya dengan uangnya sendiri.

Jangan kira Rea tidak protes. Selama keluar dari toko helm hingga sudah berdiri di samping motor Bara, Rea mengoceh tanpa henti, memrotes sikap Bara yang katanya boros hanya untuk membeli barang bukan untuknya sendiri. Mengatakan juga bahwa tak seharusnya ia mudah membelikan sesuatu untuk orang lain hanya karena situasi yang bahkan tidak terlalu mendesak.

Gadis itu berhenti memrotes saat Bara mengancam akan memanggil orang gila di sebrang jalan yang waktu itu tengah memanggil-manggil nama 'Siti'. Bara bilang akan mengatakan bahwa ia adalah gadis bernama Siti dan membiarkan orang gila itu membawanya pergi.

Rea yang memiliki memori buruk dengan orang gila saat menjadi Ara tentu merinding. Dulu saat ia menjadi Ara, pernah sekali ia pulang sekolah bersama Olivia yang selalu membawa motor ke sekolah. Sampai di depan rumahnya, ia hendak turun dari motor tetapi tiba-tiba ada orang gila yang lari ke arah mereka sambil berteriak.

Olivia yang sedikit parno dengan orang gila tentu langsung menarik gas motornya. Ia yang saat itu belum sepenuhnya turun dari motor Olivia memekik kencang-kencang dan memegang baju Olivia erat-erat, bersusah payah membenahi duduknya di atas jok motor. 

Tapi belum sampai ia naik, motor Olivia oleng dan membuat keduanya tersungkur di aspal. Orang gila itu berlari mendekat, tertawa di depan keduanya dengan puas sebelum membalikkan badan dan menepuk-nepuk pantatnya sendiri.

Dan sialnya sebelum pergi, orang gila itu meraih tangannya dan memberikannya plastik bekas makan pentol yang saosnya meluber kemana-mana hingga mengenai tangannya.

Benar-benar definisi sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Gara-gara kejadian itu, Olivia yang parno dengan orang gila, semakin menjadi-jadi. Begitupun dengan ia yang merinding setiap kali melihat orang gila. Seakan-akan perasaan ketika mengalami kejadian itu, terulang kembali.

Dengan cepat gadis itu memakai helm yang dibelikan Bara dan memaksa Bara agar cepat naik ke motor supaya ia juga bisa cepat naik ke jok belakang dan buru-buru pergi dari sana. 

Bara waktu itu sedikit heran melihat Rea yang tampak panik sekali. Ia tidak mengira gadis itu akan setakut itu dengan orang gila.

Selesai mengenakan helm, Rea naik ke jok belakang motor Bara. Setelahnya, motor sport hitam itu mulai berjalan, meninggalkan parkiran mall menuju ke rumah Rea.

To be continue...

••••

maaf banget ya teman-teman, lusi jadi lambat update-nya. jujur gatau kenapa jadi agak mager mau ngetik, tapi lusi juga gak tega bikin kalian lama-lama nunggu

kalo lusi udah 3 hari lebih gak update tanpa pemberitahuan dulu sebelumnya, tagih aja ya gais. lusi suka lupa diri soalnya, ahhaha

makasih, ily <3

Continue Reading

You'll Also Like

320K 27.1K 24
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
233K 19.6K 25
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana memiliki sifat rendah hati dan ramah. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki...
534K 80.5K 44
[Special Réincarnation Series] Aku terjebak di dalam tubuh pemeran penjahat dari cerita yang pernah kubaca sebelumnya. Tubuh seorang putri palsu yan...
544K 35.1K 62
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...