GIBRAN DIRGANTARA

Da fafayy_

19.8M 2M 1.2M

Sudah terbit dan tersebar di seluruh Gramedia Indonesia -Satu dari seratus sekian hati yang pernah singgah. K... Altro

01. GIBRAN DIRGANTARA REYNAND
02- KOLOR POLKADOT
03-BERITA HOT
04-BENDAHARA CANTIK
05-PIZZA MALAM
06-NODA MERAH
07-ADA YANG TURUN
08-GAK BOLEH BAIK
09- GIBRAN SADBOY
10- ADA YANG LEPAS
11- KAUS KAKI
12-HARGA DIRI ABEL
13- TENTANG MASA DEPAN GIBRAN
14- TAMPARAN MANTAN
15- MALAIKAT PELINDUNG
16- KECEBONG VS RENTENIR KELAS
17- KECUPAN SINGKAT
18- SURAT KEHILANGAN
19. I LIKE YOU
20- RINDU YANG AKAN DATANG
21- UNGKAPAN HATI
22- SETITIK LUKA & SETITIK RASA
23- CEMBURU TANPA MEMILIKI
24- OFFICIAL HIS
25- KESAYANGAN GIBRAN
26- BAHAGIAMU BAHAGIAKU
27- AKU, KAMU, DAN BAHAGIA
28- CANTIKNYA GIBRAN
29- GIBRAN, ABEL, DAN KENZO
30- RATUNYA GIBRAN & GUGURNYA PAHLAWAN
GC KE 2 AGBEROS TEAM (BUKAN UPDATE)
31- RATU CANTIK VS PARASIT CANTIK
32- HADIAH UNTUK ABEL & BENTENG PERTAHANAN
PENJELASAN!
33- SUATU PERBEDAAN & TIGA PARASIT
34- GAGALNYA KENCAN
35- PERMINTAAN MAAF
36- MURID BARU
TYSM FOR ARGANTARA (BUKAN UPDATE)
37- SYARAT BERSAMA
38- TERIMAKASIH LUKA
39- PUTUS ATAU TERUS
41- LINTAS KENANGAN
42- MERINDUKANNYA
43- BUKAN PURA-PURA
44- DI BAWAH RINTIK HUJAN
45- GORESAN LUKA
46- TITIK TERAKHIR
47- KEMBALI
coming Soon
price list
Vip order
Special Offer Po ke 2
SPIN OFF GIBRAN DIRGANTARA

40- HUJAN DAN USAI

360K 38.7K 64.6K
Da fafayy_

GIBRAN DIRGANTARA
AZZURA ARABELA


Untuk part ini, kalian jangan marahin author ya. Marahin aja pemerannya disini. Author maha benar.

Putar Mulmed :

Tangga- Cinta tak mungkin berhenti

(Jangan lupa ramaikan bab ini dengan penuhi komentar kalian di setiap paragraf)

"Sebaik apapun cara berpamitan, perpisahan tetaplah menyakitkan."

-Gibran Dirgantara
-Azzura Arabela

40- Hujan Dan Usai

Hujan turun dengan derasnya. Membuat beberapa siswa-siswi terjebak di situasi seperti ini. Halte terlihat sangat sepi, hanya ada Abel saja yang duduk di kursi halte. Gadis itu memainkan sebuah batu dengan kaki yang terbalut sepatu hitamnya.

Ia berdiri di samping tiang halte, menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada angkutan umum atau taksi yang lewat. Namun nihil, tak ada satupun yang lewat. Ia ingin menghubungi satria, namun suara petir yang sangat menggelegar membuat Abel mengurungkan niatnya.

"Sampe kapan gue disini terus?" Gumam Abel sedikit kesal.

Tepukan pada bahunya, membuat Abel segera membalikkan badannya.

"Mau pulang? Pulang sama aku, ya. Daripada nunggu hujan reda, yang ada nanti malam redanya," tawar Gibran.

Abel memalingkan wajahnya dan kembali fokus kepada jalanan. "Nggak usah. Lo pulang duluan aja."

"Bel," panggil Gibran, namun gadis itu tak menoleh sedikitpun.

"Sampe kapan? Sampe kapan kita kaya gini terus? Aku nggak bisa, Bel. Kapan kamu percaya sama aku kalau berita itu nggak bener?" Tanya Gibran dengan raut wajah sesal.

"Yang di gudang tadi apa? Penjelasan dari bibir Nadin udah cukup jelas, Gib. Apalagi yang mau di perjelas?" Abel menggertakkan giginya, berusaha ia tak mengeluarkan tangisnya.

Abel melirik Gibran sekilas, lalu ia menerobos hujan yang turun amat deras, ia tak memperdulikan Gibran lagi. Namun tak urung itu saja, Gibran menyusul dan menghalangi langkah Abel.

"Bel, plis! Jangan menghindar, aku cuma di jebak Nadin biar hubungan kita rusak. Aku nggak mungkin kaya gitu di belakang kamu, sayang," ucapnya lirih sembari menggenggam telapak tangan Abel.

"Apa buktinya? Apa buktinya kalau lo di jebak sama Nadin?"

Gibran terdiam, tak ada bukti apapun yang ia tunjukkan kepada Abel. Salah satu buktinya hanya ada di cctv bar. Namun, dengan lancangnya Nadin menghapus semuanya.

"Nggak ada 'kan? Jadi jangan harap gue bisa percaya sama lo, Gib." Ucap Abel dengan nada bicara yang bergetar.

Jakun Gibran naik turun menelan saliva dengan kelu. Ia menatap manik mata Abel dengan sendu, kemudian berkata, "Apa cuma segini arti hubungan kita, Bel? Apa lo masih nggak percaya kalau gue bener-bener tulus sama lo?"

Abel terkejut dengan gaya bicara Gibran yang berubah. Kenapa ini sangat menyakitkan bagi Abel? Ia mencoba melepas pandangannya dari manik mata Gibran, namun gagal. Seolah manik mata itu mengandung magnet yang mampu menarik mata Abel untuk terus menatap manik mata Gibran.

"Apa segitu brengseknya gue? Sampe lo nggak mau percaya sama gue lagi. Apa artinya lo buat gue, Bel? Kalau lo nggak percaya sama gue sedikit pun. Apa artinya hubungan kita, Bel?" Ucap Gibran lirih.

Cowok itu mengusap-usap punggung tangan Abel dengan lembut. "Gue sayang sama lo. Maafin gue, gue gagal jaga hubungan kita. Gue bodoh, yang pada akhirnya gue sendiri yang rusak semua ini. Maafin gue, Abel,"

Abel menggeleng pelan, ia melihat gadis yang sedari tadi berdiri tak jauh di belakang Gibran. Nadin, gadis itu yang berdiri mematung dengan membawa payung hitam yang melindungi tubuhnya. Badannya terlihat sangat pucat.

"Lihat ke belakang, Gib. Ada orang yang lagi butuh lo," suruhnya.

Gibran menggeleng cepat. "Gue nggak peduli, gue nggak butuh dia. Yang gue butuhin sekarang cuma lo, Bel!" Ujar Gibran sedikit mengeraskan suaranya lantaran suara petir terdengar sangat menggelegar.

Gibran memeluk tubuh Abel. Ia memejamkan matanya, lantaran bulir air matanya terjun dengan bebas bersamaan dengan air hujan yang mengguyur wajahnya.

"Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo. Apa kata-kata ini belum cukup lo pahami, Bel?" Butuh bukti apalagi kalau gue bener-bener serius sama lo?" Tuturnya dengan lirih. "Dari awal gue nggak pernah main-main sama lo. Gue mohon, percaya sama gue,"

Abel memejamkan matanya dengan pedih, tak sedikitpun ia membalas pelukan Gibran. Bahunya bergetar hebat, Abel menangis, menangis tanpa suara.

"Pergi, Gib," suruhnya dengan pilu.

"Sayang----"

"Pergi dari gue, Gibran!" Abel menyentak ucapan Gibran, gadis itu terisak pilu. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Gibran.

"Gue mohon, pergi dari gue," lirihnya sekali lagi.

"Nggak, gue nggak mau. Gue nggak bisa, Bel!" Tolak Gibran. Ia tambah mengeratkan pelukannya. "Gue nggak ada alasan buat pergi dari lo. Gue mohon, jangan suruh gue pergi," lanjutnya.

Abel mendorong tubuh Gibran sedikit kuat, hingga dekapan Gibran terlapas. Cowok itu menatap gadis di depannya dengan manik mata yang memerah.

"Bukan lo, tapi gue yang punya alasan buat lo pergi. Pergi dari gue, Gibran!"

"Bel---"

"Gue udah mati rasa sama lo! Gue benci sama lo, gue nggak mau lo ada di samping gue lagi!" Napas Abel terlihat sangat memburu setelah mengatakan kalimat menyakitkan bagi Gibran.

Gibran mematung saat Abel berkata seperti itu. Kalimat yang Gibran hindari, kalimat yang seharusnya tidak keluar dari bibir Abel, saat ini keluar juga. Jantung Gibran berdebar sangat kencang, serta ia merasakan desiran perih yang belum pernah ia rasakan.

"Gue mau kita selesaikan hubungan kita sampe sini. G-gue mau putus, Gib," ucap Abel dengan kepala menunduk.

"Nggak, nggak! Gue nggak mau! Tarik ucapan lo, Bel!" Perintah Gibran sedikit membentak.

"Jangan gini, Bel. Lo boleh jauhi gue selama apapun itu. Tapi gue mohon, jangan keluarin kata-kata putus," ujar Gibran lemah.

"Kita udah janji, buat nggak keluarin kalimat perpisahan. Tapi kenapa lo langgar semuanya? Sakit, Bel. Lo nggak tau gimana rasanya kalau cowok udah jatuh sama satu hati. Sekali lo pergi, gue nggak malu buat nangis di depan lo," ujarnya.

"Plis, gue sayang sama lo. Jangan suruh gue pergi dan jangan tinggalin gue. Gue butuh lo," Gibran mengusap sayang pipi Abel.

"Tapi gue nggak butuh lo lagi, Gib! Gue udah nggak ada rasa apapun sama lo. Terus, alasan apalagi buat gue tetap bertahan di samping lo. Gue mohon, lo jangan egois. Gue mau putus, Gibran," ujar Abel diiringi air mata yang terus menetes.

Gibran menatap lamat manik mata Abel. Ia mengusap matanya dan menyugar rambutnya yang sangat basah. Kalimat yang Gibran larang saat ini keluar beriringan dengan rasa yang amat menyakitkan.

Gibran menunduk dan berkata, "Pergi. Gue lepasin lo sekarang. Itu 'kan yang lo mau?"

Abel memejamkan matanya sejenak, menahan kelu pada rongga mulutnya. Jantung dan hatinya seperti di hantam batu yang sangat besar. Seperti belati tajam yang menggores hatinya, gadis itu terisak pelan.

Ini kemauannya, tapi kenapa rasanya sangat menyakitkan saat Gibran melepaskannya?

"Jangan nangis, gue nggak mau lihat orang yang gue sayang nangis karena gue." Gibran mengusap pipi Abel.

"Ini yang lo mau. Gue harap dengan gue lepasin lo, lo nggak nangis lagi, Bel. Plis, gue mohon, jangan nangis di depan gue. Gue ngerasa jadi cowok brengsek disini." Ujar Gibran dengan suara surau.

Abel memalingkan wajahnya, tak mampu untuk bertatap muka dengan Gibran. "Makasih, udah kasih warna di dalam hidup gue. Makasih juga, udah kenalin apa arti kata cinta sesungguhnya. Gue nggak bakal lupain lo. Lo, cowok pertama yang berhasil masuk ke dalam hati gue, dan cowok pertama yang berhasil buat gue nangis karena cinta."

"Gue nggak mau sakit hati karena terus-terusan di samping lo. Dan gue juga nggak mau lo rasaian sakit hati karena di samping gue."

"Maaf, kita kembali lagi ke awal. Dua insan yang nggak saling menyapa, dan dua insan yang nggak saling ada rasa." Setelah mengatakan itu, Abel membalikkan badannya. Berlari menerobos hujan yang kian menderas.

Gibran menatap nanar punggung Abel yang kian menjauh dari pandangannya. Ia ingin mengejar Abel, ia ingin memeluk tubuh Abel. Namun sadar, posisinya sekarang bukan lagi siapa-siapa untuk Abel.

"Walaupun lo bukan siapa-siapa gue lagi. Tapi perasaan gue masih tetap sama buat lo." Ucap Gibran.

Ia mendongak sebentar, membiarkan wajahnya di guyur air hujan yang turun dengan deras. Petir-petir yang saling bersahutan pun tak membuat Gibran pergi dari tempatnya.

Jam menunjukkan pukul 17:00, tepat hubungannya selesai. Hujan dan petir serta angin yang berhembus begitu kencang, menjadi saksi tentang perpisahan Gibran dengan Abel.

Nadin yang sedari tadi berdiri tak jauh dari Gibran, ingin rasanya ia berlari dan menghampiri Gibran. Namun, kakinya seolah terkunci, sehingga ia tetap berdiri di tempatnya dengan pandangan mata yang lurus menatap Gibran dengan sendu.

"Maafin aku, Gibran."

Abel menggigil kedinginan di teras rumahnya. Satria sedari tadi terus menginterogasinya dengan pertanyaan bertubi-tubi, perihal darimana saja Abel baru pulang di jam yang hampir memasuki waktu Maghrib.

Abel tak kemana-mana. Gadis itu sengaja melambatkan langkahnya, ia masih terlalu sulit untuk melepaskan Gibran. Kepingan-kepingan tadi pun masih teringat jelas. Kalimat yang begitu menyakitkan bagi Abel pun keluar dari bibir Gibran.

"Pergi. Gue lepasin lo sekarang. Itu 'kan yang lo mau?"

Ucapan itulah yang sedari tadi terngiang-ngiang di telinganya. Ia ingin menangis, namun untuk apa? Semuanya itu atas dasar keinginannya sendiri.

"Jawab Abang, Bel. Lo darimana aja jam segini baru pulang? Itu juga, kenapa lo bisa basah kuyup begini? Lo hujan-hujanan? Kenapa lo nggak hubungi Abang, Bel?" Satria menyembur Abel dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Maaf, Bang. Tadi gue mau hubungi lo nggak berani karena ada petir. Gue terpaksa nerobos hujan buat sampe rumah." Jawab Abel.

"Lo habis nangis?" Satria mengamati manik mata Abel yang memerah. Mata gadis itu pun terlihat sangat sembab, bahkan hidungnya sedikit memerah.

Satria menatap Abel dengan tatapan yang amat menusuk. "Siapa yang buat lo nangis lagi? Gibran lagi? Gue udah bilang sama lo, selesaikan---"

"Gue udah selesai sama Gibran. Jadi tolong, Bang. Jangan sebut-sebut nama dia lagi di depan gue." Kata Abel dengan sarkas.

Gadis itu hendak melangkahi Satria. Namun, langkahnya terhenti lantaran Satria menarik tangan Abel. Cowok itu begitu dalam menatap manik mata adiknya. Seorang kakak laki-laki, sampai kapanpun tidak akan pernah rela jika melihat adiknya menangis hanya karena satu laki-laki.

Sejahat-jahatnya kakak laki-laki, jika melihat adiknya terluka, sampai kapanpun ia tak akan pernah memaafkan orang yang telah membuat adiknya menangis.

"Berhenti berharap sama orang kalau nantinya dia bukan buat lo, Bel. Gue awalnya emang tenang lo ada hubungan sama Gibran. Tapi waktu Gibran buat lo nangis, gue nggak pernah tenang, Bel." Ujar Satria.

"Bang, bisa lo nggak usah salahin Gibran disini? Disini Abel yang salah, kenapa harus menaruh hati sama orang yang jelas-jelas dari awal nggak pernah serius. Seenggaknya Gibran udah ajarin gue, Bang. Buat jangan terlalu dalam menaruh hati kalau nggak mau sakit hati," jawab Abel dengan suara yang sedikit serak.

Satria mengusap sayang pucuk kepala Abel. "Abang nggak salahin siapapun disini, Abang cuma nggak rela adik kesayangan Abang disakiti cowok,"

"Abang sayang sama lo. Jangan pernah nangis lagi, ya. Sekali air mata lo keluar, Abang ngerasa jadi Kakak yang nggak berguna disini. Dan gagal jaga perempuan satu-satunya yang Abang punya, setelah sepeninggalan Ibu."

"Bang," panggil Abel.

"Hm?"

"Walaupun gue udah selesai sama Gibran. Gue boleh 'kan naruh harapan lagi ke dia?"

Suasana koridor sekolahan terlihat sangat ramai, namun tak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Kedatangan Abel yang baru saja menginjakkan kakinya disini membuat mereka bungkam.

Setelah melihat story Instagram Gibran dan Abel yang di buat secara bersamaan, serta caption yang sama. Membuat dugaan mereka benar jika hubungan Gibran dengan Abel telah selesai. 

Bisikan-bisikan buruk yang mereka keluarkan sangat terdengar di telinga Abel. Abel membalikkan badannya dan mendapati Nadin yang berjalan dengan kepala menunduk. Abel menghalangi langkah Nadin saat gadis itu hendak melewatinya. 

"Gue udah selesai sama Gibran. Gue harap lo nggak usik gue lagi, jangan ganggu gue lagi dan juga----" ucap Abel tanpa basa-basi. Ia memalingkan wajahnya. "Gue nggak mau lo jadi temen gue,"

Nadin mendongak kaget saat Abel berkata seperti itu. "Kenapa, Abel?"

"Lo masih nanya kenapa? Gue nggak mau sakit hati gara-gara deket sama orang yang berhasil rebut seseorang yang gue sayangi. Mana mungkin gue bisa temenan sama lo, Din? Sedangkan lo sendiri yang rusak hubungan gue," jawab Abel.

"Gue mau lupain Gibran. Dengan cara, jangan munculin wajah lo di depan gue lagi. Itu yang gue mau." Ucap Abel.

Siswa-siswi yang menyaksikan ini semua pun saling pandang satu sama lain. Tak menyangka penyebab rusaknya hubungan Gibran dan Abel yang sudah terjalin cukup lama adalah ulah Nadin.

"Ini 'kan yang lo mau? Semoga penyakit lo cepat hilang, semoga juga Gibran berhasil bangunin sisi semangat lo buat hidup lagi. Gue nggak benci sama lo, gue cuma sakit hati sama orang yang gue anggap baik ternyata nusuk gue dari belakang." Tutur Abel dengan air mata yang bergenang di matanya.

Nadin meremas kuat tali tasnya. Ia ingin mengungkapkan semuanya, namun bibirnya seolah terkunci rapat untuk berbicara.

Bibir Nadin bergetar, kemudian ia berkata, "Aku janji, Bel. Nanti aku bakal pergi dari hidup kalian. Sorry, gara-gara aku hubungan kalian rusak," ucapnya seraya menunduk.

Abel mengangguk "Lo nggak perlu pergi kemana-mana. Semoga cepat sembuh." Ucapnya diiringi senyuman tipis.

Kemudian, Abel berjalan menuju kelasnya. Kelasnya begitu terlihat sangat sepi, meskipun penghuninya lengkap, namun ada yang berbeda saat Gibran berubah menjadi sosok yang sangat pendiam. 

"Gib, lo sakit? Mending kalau sakit ke UKS aja, atau pulang aja biar di anter sama Alge atau nggak di anter Kenzo," tanya Ando mendekati Gibran.

"Gue nggak sakit, siapa yang bilang gue sakit? Kalau gue sakit, gue nggak bakal sampe sini." Sarkas Gibran jutek.

Algerian duduk di meja Gibran, cowok itu menepuk-nepuk bahu Gibran. "Lo emang nggak sakit fisik. Tapi hati lo sekarang lagi nggak baik-baik aja. Lo sakit hati 'kan?" Tebaknya.

Gibran mendongak anpa minat. Munafik jika ia bilang tidak apa-apa. Saat ini Gibran sedang tidak baik-baik saja. Di dalam pikirannya, selalu nama Abel yang muncul.

Cowok itu menoleh menatap Abel yang melintasi dirinya. Gadis itu sempat melirik Gibran, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. Tidak kuat memandang terlalu lama manik mata itu.

Abel mendudukkan dirinya di atas kursinya. Namun, pandangannya teralihkan pada lipatan kertas yang ada di atas mejanya. Abel mengambilnya dan membukanya.

'Udah sarapan? Jangan lupa sarapan, ya. Kesehatan lo lebih penting dari apapun. Lo kemarin habis hujan-hujanan, gue takut lo sakit. Di laci, ada bekal, jangan lupa di Makan.'

Abel melipat kembali kertas tersebut, lalu memasukkan kedalam saku seragamnya. Ia sempat mengambil kotak bekal berwarna hitam itu.

"Buat lo, Mor. Gue udah kenyang." Abel menyerahkan satu kotak bekal itu kepada Mori yang sedang asyik bercermin.

Mori refleks menoleh kaget. "I-itu 'kan dari Gibran buat lo. Jangan---"

"Gue nggak suka nasi goreng. Buat lo aja."

Gibran menoleh saat telinganya tak sengaja mendengat pembicaraan Abel dan Mori. Ia mengusap wajahnya dengan gusar saat Abel menolak bekal darinya dengan cara memberikannya kepada Mori.

Matanya terus fokus menatap Abel yang fokus menulis di buku tulisnya. Ia menyandarkan bahunya. Kemudian berkata.

"Harus pake cara apa lagi gue berjuang lagi, Bel?"

Atap sekolahan, gedung SMA Galaksi. Atap dengan ketinggian antara 15-17 meter lebih itu terdapat Rani, Dinda, Helen, dan juga Nadin yang berdiri di sana. Nadin yang seperti dipojokkan pun beringsut mundur lantaran Rani begitu mendekati dirinya.

"K-kalian m-mau apa?" Tanya Nadin lirih.

"Enak banget ,ya, deket sama Gibran?" Rani menaikkan sebelah alisnya. "Pinter banget cara lo rusak hubungan mereka, nggak sia-sia gue manfaatin lo." Kekehnya.

Dinda tertawa pelan mendengar tutur kata Rani. "Dia bego, makanya polos banget buat kita suruh-suruh,"

"Bukan bego sih, tapi kelewat Bego!" Sahut Helen.

Nadin meremas kuat roknya. Ia ingin melawan Rani, namun sadar, ia sangat lemah jika di samping Rani dan juga kedua temannya. Nadin ibaratkan pohon tanpa akar, tidak akan pernah bisa berdiri dengan kuat.

"Aku nyesel udah lakuin ini semua buat kalian! Kalian kenapa jahat banget? Dengan cara kalian yang begini, kalian pikir kalian hebat? Nggak! Nggak sama sekali! Kalau semua tau dalang dari semuanya itu kalian, mereka bakal sudi natap wajah kalian walau cuma 0.5 detik!" Ujar Nadin lantang dengan suara yang sedikit bergetar.

Rani mengepalkan tangannya, refleks ia menarik rambut Nadin dengan kuat. "Bilang apa lo?!"

"R-Rani, sakit....," Rintih Nadin.

"Lo sekarang udah berani banget bentak gue. Nggak mikir lo sekali salah ngomong, nyawa lo yang bakal jadi taruhannya!" Bentak Rani.

"Lo nggak tau siapa gue? Lo nggak inget siapa yang bantuin lo selama ini? Dan lo nggak inget lo sedang singgah dimana sekarang? Kalau bukan karena gue, lo udah mati, Din!" Rani menguatkan tarikannya pada rambut Nadin, membuat gadis itu meringis ngilu.

"A-aku cuma nggak mau kamu berbuat seenaknya!" Ucap Nadin diiringi ringisan sakit di bibirnya. "Laki-laki nggak cuma satu, kenapa harus dia yang posisinya udah ada pemiliknya?"

"Berhenti sama obsesi kamu yang terlalu tinggi! Obsesi kamu merugikan orang lain, Ran! Kamu ngejar dia, yang jelas dia nggak pernah ngejar kamu sedikit pun!"

Rani menatap Nadin dengan penuh kebencian. Ia mencengkram kerah baju Nadin, lalu gadis itu mendorong tubuh Nadin hingga ke batas atap.

"WOY! KALIAN JANGAN MACEM-MACEM! RANI! NYAWA ORANG TARUHANNYA! JANGAN GILA!"

Teriakan dari arah bawah itu tak mengalihkan atensi Rani sedikitpun.

"GUE TAU NADIN SALAH KARENA UDAH RUSAK NAMA BAIK SEKOLAH KITA! TAPI JANGAN KAYA GINI CARANYA, RAN!"

Lagi, Rani nggak mengindahkan teriakan dari bibir beberapa siswa yang bergerombol di bawah sana.

"Lo ngomong gitu sama aja lo mau mati di tangan gue, Nadin!" Ucap Rani sarkas.

Nadin memejamkan matanya dengan rapat saat ujung sepatunya keluar dari pembatas atap. Ia membuka matanya dan berkata, "Dorong. Dorong aku ke bawah! Lebih baik aku mati daripada jadi orang yang kamu suruh-suruh buat rusak kehidupan orang lain!"

Rani mendorong sedikit kencang tubuh Nadin. Gadis itu memejamkan matanya, namun tak urung itu saja, tubuh Nadin terpental di antara kursi-kursi yang tertumpuk di atas atap. Nadin menoleh ke belakang dan melihat gadis yang tadi menariknya terpeleset di antara pembatas atap.

Semua yang menyaksikan dari bawah pun di buat berteriak histeris dengan bersamaan.

"ABEL!" Teriak mereka seeempak.

Namun tak hanya itu saja. Selanjutnya, mereka di buat kaget serta menjerit kencang saat tubuh seseorang terjatuh dari atas gedung sekolahan dengan tinggi kisaran 15-17 meter.

Mereka refleks berlari dan mengerumuni orang tersebut yang tersungkur lemah.

"PMR BURUAN WOI!"

Abel mencoba bangun dari tersungkurnya, ia mengusap dahinya yang sedikit berdarah. Ia tak tahu siapa yang menariknya hingga terpental membentur lantai atap gedung yang sangat kasar.

Tanpa memperdulikan lukanya. Abel berlari, dan melihat kondisi di bawah yang banyak di kerumuni oleh siswa-siswi. Dengan cepat, Abel menuruni satu-persatu anak tangga. Jantungnya berdebar sangat kencang, entah apa yang membuat dirinya seperti ini.

Abel mematung di tempat saat manik matanya menangkap siapa sosok orang yang terkapar lemah tak jauh darinya ini. Satu bulir air matanya terjun dengan bebas, serta bibirnya bergetar hebat tak tahu harus mengucapkan kalimat apa. 

"GIBRAN!!" Teriak Abel histeris.

Abel berlari bersamaan keluarnya beberapa siswa-siswi dan para staff guru. Abel mendorong bahu-bahu orang yang menghalangi larinya. Gadis itu terduduk dengan lemas di samping Gibran yang terkapar lemah.

Gadis itu mengangkat kepala Gibran, mengusap dahi serta pelipis Gibran yang amat banyak mengeluarkan darah.

"G-Gibran...., Lo masih denger gue 'kan? Buka mata lo, Gibran!" Abel mengguncang tubuh Gibran bersamaan bulir air matanya yang turun menetesi pipi serta darah Gibran yang bercucur sangat banyak.

Sayup-sayup Gibran membuka matanya saat mendengar suara yang tak begitu asing di telinganya.

"A-Abel," Gibran menyentuh pipi Abel dengan tangan kanannya.

Abel mengangguk dengan cepat, "Iya. Ini Abel,"

Gibran tersenyum menahan perih. "L-lo n-nggak a-apa-apa 'kan?" Tanya Gibran, mengusap dahi Abel yang mengeluarkan sedikit darah.

"S-sakit?" Tanya Gibran memperdulikan luka Abel pada pelipisnya yang mengeluarkan darah.

Abel terisak, ia menangis tersedu-sedu saat Gibran lebih memperdulikannya daripada memperdulikan dirinya sendiri yang posisinya lebih menderita daripadanya.

"Gibran....," Ucap Abel dengan lirih. "Jangan tinggalin gue," ucapnya lirih.

Gibran mengangguk, ia mengusap air mata Abel. Lalu berkata, "G-gue tetap d-disini. J-jangan nangis, g-gue nggak apa-apa," ucap Gibran.

Suara derap langkah yang amat cepat tak mengalihkan atensi Abel.

"GIBRAN!" Teriak Algerian dan Kenzo secara bersamaan.

Algerian berdiri dari duduknya dan menatap siswa-siswi yang berkerumun secara bergilir. "Ini kenapa bisa begini?!"

"Dia kepleset dari atas gedung aula. Dia selamatin Abel yang hampir jatuh dari atas sana." Jelas satu siswi pada Algerian.

Algerian mengusap wajahnya gusar, ia kembali terfokus kepada Gibran. Ia melepas seragam putihnya dan menyisakan kaos hitam yang melekat di dahinya. Cowok itu menempelkan seragamnya pada dahi Gibran yang banjir dengan darah.

Ia tak bisa mengeluarkan sepatah katapun saat melihat sahabatnya seperti ini.

"G-Gib, lo----" ucapan Kenzo terpotong, lantaran Gibran mengeluarkan suaranya lagi.

"G-gue t-titip Abel ke ka-kalian," ucap Gibran tersengal.

Abel menggeleng cepat, ia tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Lidahnya begitu kelu untuk sekedar mengeluarkan sepatah kata. Melihat dahi Gibran yang di banjiri darah segar, meskipun sudah di halangi dengan seragam Algerian, namun tetesan-tetesan darah begitu deras membanjiri roknya. Membuat Abel tak kuasa menangis dengan tersedu-sedu.

"Lo jangan ngomong sembarangan, anjing!" Sentak Kenzo tak terima, lantaran Gibran berkata sangat ngawur.

Gibran memejamkan matanya untuk sejenak. Tak tahan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, terutama bagian dahinya yang amat banyak mengeluarkan darah. Hal itu membuat beberapa berteriak histeris lantaran melihat Gibran mulai memejamkan matanya dengan perlahan.

"Gibran, jangan tutup mata lo. Bangun, Gib!" Abel menepuk-nepuk pelan bahu Gibran.

Abel menyugar rambut Gibran. Kepala cowok itu begitu lemah bersandar di atas paha Abel. Sayup-sayup, ia membuka matanya lagi dan lagi.

"G-gue minta m-maaf, gue gagal j-jagain lo. J-jaga diri b-baik-baik. G-gue pergi s-sebentar aja." Kata Gibran pada Abel yang terus menangis.

"Jangan tangisi g-gue. G-gue nggak s-suka lihat lo n-nangis," Gibran mengusap air mata Abel.

Abel tak memperdulikan tangan serta rok dan bajunya yang terlumuri darah Gibran yang amat banyak. "Maafin gue, Gibran. Gue egois. Jangan pergi, gue mohon," 

Anggukan kepala Gibran perlihatkan. Senyuman tipis sedari tadi tak luntur dari bibirnya. Gibran meneguk salivanya dengan susah. "G-gue nggak b-bakal p-pergi."

"Abel," panggil Gibran. Abel mengangguk dengan lemah.

"G-gue s-sayang s-sama lo." Terakhir, Gibran memejamkan matanya tak kuasa menahan sakit pada sekujur tubuhnya.

Pandangannya menggelap serta saat itu juga semuanya menghilang. Mata cowok itu terpejam sangat tenang.

"GIBRAN! BANGUN! GUE NGGAK MAU KEHILANGAN LO, GIBRAN! GUE TAU LO DENGER SUARA GUE!" Abel memeluk tubuh Gibran dengan erat. Tangisannya saat itu pecah juga. Ia menjerit sangat kencang.

"Gibran, buka mata lo. Lo sayang sama gue 'kan? Lihat, lihat gue Gibran!" Kata Abel histeris.

"Lo larang gue buat nggak nangisin lo! Kenapa lo buat gue nangis sekarang?! Bangun, Gibran!" Abel memeluk tubuh Gibran yang lemas.

Siswa-siswi yang menyaksikan pun tertegun, bahkan ada yang menangis tersedu-sedu melihat Gibran memejamkan matanya dengan lemah di atas pangkuan Abel. Apalagi melihat ketulusan dari mata Gibran tadi.

"AL! CEPET AMBIL MOBIL LO!" Suruh Kenzo pada Algerian dengan buru-buru.

Kenzo melepas pelukan Abel pada tubuh Gibran. Lalu, ia bersama team PMR dan juga beberapa anak lainnya serta guru-guru yang ada disini membantu untuk mengangkat Gibran ke atas brankar. Selanjutnya, mereka berjalan dengan buru-buru, membawa Gibran ke mobil Algerian yang rupanya sudah terparkir di depan gerbang sekolah.

Mori, Farah, serta yang lainnya menuntun Abel untuk berdiri. Mori mengusap air matanya yang turut menetes, ia memeluk tubuh Abel.

"Percaya sama gue, Abel. Gibran nggak apa-apa. Gibran nggak bakal ninggalin lo disini." Kata Mori menenangkan Abel. 

"Tapi, Gibran----"

"Iya, gue tau. Gibran nggak bakal ninggalin lo sendirian disini. Kita semua berdoa disini, semoga Gibran nggak kenapa-kenapa."

Di kejauhan, tepatnya pada tangga urutan kedua. Nadin menatap Abel yang menangis tersedu-sedu. Banyaknya anak-anak lainnya yang ikut menenangkan Abel.

Nadin menunduk merasa bersalah.

"Maaf. Gara-gara aku, nyawa Gibran yang menjadi taruhannya. Andaikan kamu nggak selamatin aku, Bel. mungkin aku yang ada di posisi Gibran sekarang."

To be continued....

Mau lanjut atau stop sampai sini?

Mau selesai versi wattpad atau lanjut versi novel?

Kalau mau selesai versi wattpad, yuk bantu brantas cerita plagiat di platform mangatoon. Susah-susah aku nyusun Alur Gibran, eh jadi bahan contekan. Mau famous tapi nggak ada usaha.

Satu kata untuk part ini dong?

Feel nya dapat nggak?

Kalian terhanyut masuk ke dalam cerita Gibran nggak?

Kalau kamu di kasih kesempatan untuk jadi salah satu pemeran di cerita Gibran. Siapa yang bakal kamu peranin, dan kamu bakal lakuin apa untuk Gibran?

17:00, karamnya hubungan Gibran.

17:00, usai.

10:13, tragedi naas jatuhnya Gibran dari atap gedung Aula SMA GALAKSI.

Sampai sini paham apa artinya "17:00, usai" di insta story rp Arga dan Gibran?

All cast :

GIBRAN DIRGANTARA

KENZO GALAKSI

ALGERIAN MAHATMA


AZZURA ARABELA


ALMIRA TUNGGADEWI


NADIN SABRINA


MAHARANI


Kalian jangan lupa follow semua Instagram :

@falistyn_1
@agberos_crew
@gibrandirgantara.rey 
@azzura_arabela
@algerianmahatma 
@almiratunggadewi_
@kenzo.galaksa
@lambeturah.smagalaksi

@argantra.reynand
@johan.adbskr
@zik_nx
@andregalaksa_
@elang_prd
@syera.jehani
@gheaslbl
@minjons.ofc

Fafay, Lampung. 09 juli 2021, 19:59.

Continua a leggere

Ti piacerà anche

MARSELANA Da kiaa

Teen Fiction

1.4M 78.2K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
20K 2.9K 49
[SUDAH TERBIT] Untuk pemesanan buku hubungi WA : 081774845134 Dear Pembaca ... kisah ini bukan kisah edukasi yang bisa membuat wawasan kali...
140K 9.2K 50
[END] "Bahkan hingga akhir, Senja tetap terbenam di Teluk Alaska." (sedang dalam proses revisi, banyak bab yang masih berantakan)
235 68 30
*** "But he'es not you! He'es not you! He will never be you! "Ucap nya tanpa jeda membuat laki-laki yg ada disamping nya sedikit terkejut mendengar p...