Gata dan Asa [✓]

By Squirtle94

76.1K 11K 2.7K

"Maaf..." Sekali lagi Gata mendengar suara di seberang sana gemetar, mata mereka pasti berlinang. Kedua kak... More

Cast
Kanigara dan Pikirannya [01]
Kastara dan Bisnis Kopinya [02]
Kama dan Sekolah Pertama [03]
Ada angin apa? [04]
Manusia Ceroboh [05]
Memaafkan itu opsi terbaik [06]
Babak baru [07]
Band kesukaan Mas Dama[08]
Hari Buruk Abang Jendra[09]
Mitos Anak Tengah [10]
Chandra Juga Manusia[11]
Harusnya Lebih Mengerti [12]
Namanya Dre4m [13]
Tamu tak diundang [14]
Retak [15]
Kakak Cantik [16]
Saling menyalahkan bukan pilihan [17]
Selesai Juga [18]
Jawab aja apa susahnya [19]
Pelita punya Waradana bersaudara[20]
Bukan retak, tapi hancur. [21]
Kafin punya adik [22]
Kok serem... [23]
Jendra harus gimana bunda? [24]
Pengganggu [25]
Sepupu, katanya [26]
Kejutan [27]
Mas Lengkara [28]
Sehat terus mas Lengkara! [29]
Teman Agata Aneh Semua [30]
Adek kenapa? [31]
Terimakasih [32]
Mentari Kala Hujan [33]
Agata Sukanya Apa? [34]
Sore ini mau makan apa? [35]
Tanggungjawab Damanta [36]
Tolong [37]
Isi Hati [38]
Harinya Agata [39]
Harsa-nya Waradana [40]

Harsa kala Nestapa [00]

7.1K 524 29
By Squirtle94

Kring... Kring...

Si sulung yang memang sedang mengerjakan tugas-tugasnya di ruang televisi itu menghela napas, alasannya karena hanya dia satu-satunya yang di sana-jadi ya mau tidak mau dia harus mengangkat telepon itu.

Dengan malas dia berjalan ke arah telepon rumah yang bunyinya membuat risih bagi siapapun yang mendengarnya.

"Halo?"

"Iya, ini benar dengan kediaman tuan Anggasta Waradana?"

Si sulung terlihat bingung. Dia heran, seharusnya kalau ingin menghubungi ayahnya kan bisa telepon ke kantornya saja, kenapa repot-repot menelpon rumahnya.

"Iya betul, ini dengan siapa?"

"Ini dengan rumah sakit Jayadaksa. Kalau boleh tau ini dengan siapanya tuan Anggasta?"

Setelah mendengar rumah sakit, dahi si sulung mengernyit. Apa yang terjadi pada ayahnya?



"Ini anaknya."



Si sulung dapat mendengar suara dari sebrang sana. Terdengar suara yang dia yakini sebagai dokter, sedang meminta suster untuk menaikkan volume kejut dari alat defibrillator.

Ah, ternyata benar ini dari rumah sakit-tadinya dia pikir ini hanya lelucon yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini, mama minta pulsa contohnya.

"Baik, dik. Sebelumnya tenangkan diri kamu dulu ya. Saya ingin memberitahukan kalau tuan Anggasta dan nyonya Yunita terlibat kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit ini. Tolong kamu segera kesini ya."

Tubuhnya menegang.

Pikirannya langsung tertuju dengan sang bunda. Sang bunda yang tengah mengandung adiknya yang belum lahir ke dunia. Apa yang akan terjadi pada bunda dan calon adiknya?

Ah, bodoh! Ini bukan saatnya. Dia harus cepat-cepat ke rumah sakit sekarang.

"Mas, telponan sama siapa?"

Badannya sedikit berjinjit kala suara yang tak lain adalah sang adik tertangkap oleh Indra pendengarannya.

Dia dapat melihat jelas adiknya menuruni tangga dengan wajah sang adik yang masih kucel, lengkap dengan baju tidur bergambar peach merah muda yang dipakainya.

"Kenapa ih mas, kok diem aja? Aku nanya."

Si sulung tersadar dan langsung menjelaskan semuanya pada sang adik. Tentunya dengan tetap tenang.

"Ayah sama bunda kecelakaan, tadi mas dapet telpon dari pihak rumah sakit, disuruh ke sana. Abang mau ikut?"

Anak yang dipanggil abang itu terkejut. Tetapi sesaat kemudian kembali mencoba tetap tenang.

"Ayo, kita ke rumah sakit sekarang mas, aku nggak usah ganti baju."

Ucapan itu langsung dihadiahi anggukan oleh si sulung. Kemudian kedua anak itu langsung menuju ke rumah sakit, tentu saja dengan bantuan dari pak supir yang untungnya belum pulang malam itu.


"Permisi suster, saya anak dari tuan Anggasta Waradana. Dimana ayah dan bunda saya ya sus?"

Terlihat raut kepanikan dari wajah sang kakak. Si adik yang masih memakai baju tidur bergambar peach merah muda-itu langsung menggenggam tangan sang kakak. Memberikan kehangatan dan sedikit menenangkan kakaknya yang mulai terlihat panik.

"Maaf, kalau boleh tau atas nama siapa?"





"Kanigara Damanta Waradana,"

"Ayah sama bunda saya dimana, sus? Saya mau ketemu."

Perawat perempuan dengan lesung pipi itu tersenyum simpul. Berusaha tetap tenang agar kedua anak ini juga menjadi lebih tenang. "Maaf sekali lagi untuk memberitahukan ini. Ayah kamu tidak bisa diselamatkan, ada pendarahan di otaknya,"

"Astaghfirullah ayah..."

"Bunda?! Bunda gimana sus?" Remaja bernama Damanta itu tidak bisa tetap tenang. Dirasakan genggaman adiknya makin kuat. Dia tahu, adiknya itu sedang menahan tangis sekarang. Sungguh, itu lebih menyakitkan.

"Untuk nyonya Yunita, sekarang sedang menjalani operasi caesar, nyonya Yunita tidak sadarkan diri jadi kami harus mengeluarkan bayi yang ada dalam kandungannya. Mari saya antar keruang tunggu."

Hal itu langsung disetujui oleh keduanya.

Perawat itu terlihat tidak tega. Bagaimana bisa kedua anak ini hidup tanpa orang tuanya nanti?

Dia tidak sampai hati untuk memberitahukan kemungkinan terburuk yang bisa diterima oleh ibu mereka.

Kematian.

Hanya ada satu yang bisa diselamatkan. Dia ingat jelas tadi sebelum pasien yang bernama Yunita dibawa ke dalam ruang operasi,

"Tolong selamatkan bayi saya dok, saya mohon."

Mengingatnya saja menjadi sangat menyedihkan. Disaat dia sudah mengetahui suaminya meninggal, tentu saja dia tidak ingin anaknya meninggal lagi-anak yang bahkan belum lahir ke dunia.

"Kalian harus berdoa, semoga Tuhan menyelamatkan ibu dan adik kalian ya."

Sesaat setelahnya, dokter keluar dari ruang operasi. Dokter itu bermuka muram, dengan keringat yang belum berhenti mengucur dari dahinya.

"Dimana keluarga pasien suster?" Ujarnya yang belum menyadari kedua anak yang berada dibawahnya. Iya, mereka jauh lebih pendek dari sang dokter.

Jelas saja, mereka hanya anak berumur dua belas dan delapan tahun.

"Saya dokter. Saya anak pertama dari pasien. Bunda saya gimana?"

Dokter itu membuka maskernya, kemudian membungkuk 90° kepada kedua anak itu. Tentu saja hal itu dihadiahi tatapan bingung dari keduanya.

"Maaf. Saya hanya bisa menyelamatkan bayi yang ada dikandungan nyonya Yunita. Dia sudah berpesan pada saya tadi, oh iya-"

Dokter itu mengeluarkan kertas yang ada di saku jasnya.

"-ini dari nyonya Yunita. Saya pikir kalian harus melihat itu dulu. Kalau begitu saya permisi, suster tolong ikut saya menangani pasien selanjutnya. Oh iya, jangan lupa bawa bayinya ke ruang NICU, bayinya prematur." Dokter dan perawat yang tadi menemani mereka pergi.

Sekarang hanya tersisa kedua anak ini-yang tentunya masih saling memegangi tangan masing-masing.

Pak supir yang sedari tadi ada di sana langsung berjalan keluar sembari menelpon kerabat-kerabat terdekat, agar mereka mengetahui apa yang telah terjadi pada tuan dan nyonya Waradana.

Damanta menunduk. Tangisannya tidak dapat terbendung. Dia mengutuk dirinya sendiri. Ini pasti karena kenakalannya, itu sebab dari kematian kedua orangtuanya.

Coba saja kalau tadi dia tidak menyuruh ayah dan bundanya untuk pergi keluar karena menganggu belajarnya, pasti sekarang orangtuanya masih berada disisinya.

"Sial! Sial! Damanta bodoh! Bodoh!" Dia memukul-mukul kepalanya keras. Sang adik berusaha menghentikan, tapi apa daya, kekuatan kakak sulungnya lebih kuat darinya.

"Mas, mas nggak boleh gini. Nanti ayah marah kalau mas mukul kepala mas terus-terusan begini. Kata ayah nanti mas berubah jadi bodoh kalau kayak gini, berhenti mas."


"Ayah udah mati Jendra! Kamu ngerti gak sih?! Ayah mati, bunda juga mati, sekarang kita gak punya siapa-siapa-kita itu yatim piatu!"

Tanpa sadar, Damanta-atau yang kerap dipanggil Dama itu mendorong tubuh adiknya yang semula memeluknya.

Adiknya itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dama saja mengernyit saat melihat adiknya terjatuh. Cepat-cepat dia membangunkan tubuh adiknya, kemudian memeluknya erat.

"Maaf, maafin mas karena udah dorong abang. Maafin mas..." Ujarnya diiringi Isak tangis.

"Abang gak nangis loh mas, mas juga gak boleh nangis. Mas harus kuat, kita punya tanggung jawab mas."

Isak tangis Dama terhenti. Dilihatnya wajah adiknya lamat-lamat. Dama tau, adiknya itu sedang menahan tangisnya. Dama benci itu. Tetapi ucapan adiknya ada benarnya juga. Dia tidak boleh jadi lemah didepan adiknya. Dia harus menjadi panutan untuk adik-adiknya.

"Mas, kita harus lihat adek bayi. Kata dokter tadi adek bayi selamat, ayo kita lihat mas."

Benar, adik-adiknya. Dama hampir lupa kalau sekarang dia kakak dari dua adik.

"Iya, ayo kita lihat."

"Mas, itu!" Tunjuk sang adik ketika melihat bayi merah dengan selang-selang melintas di badannya.

Damanta sedikit merinding ketika melihat alat-alat itu sudah melekat pada tubuh bayi yang bahkan belum satu hari menghirup oksigen di bumi.

"Mas, jangan ngelamun. Nanti kalau adek bayinya udah keluar dari penjara jangan lupa di adzanin ya. Abang mau tapi ya gitu, kan mas lebih tua."

Damanta menoleh,

Senyuman adiknya kentara kala itu. Lesung pipinya seolah memberitahu semuanya. Tetapi ia tau, dibalik senyuman itu, tersirat rasa kehilangan, kesedihan dan juga tentunya kebahagiaan-yang entah mengapa tidak bisa ia rasakan.

Damanta mati rasa. Dia tidak bisa mengekspresikan semuanya. Ada rasa sedih tentunya, rasa kehilangan yang sangat kentara, tetapi dia tidak bisa menangkap dimana rasa kebahagiaannya.

"Mas, coba dibuka surat bunda. Bunda tulis apa?"

Dama membuka kertas yang sudah terlipat tak karuan.

Dia membaca sedikit keras agar sang adik dapat mendengar juga,

"Buka handphone bunda, liat video yang terakhir ya sayang."

Dama beralih ke sakunya, diambilnya ponsel sang bunda, kemudian mereka berdua menontonnya bersama.

"Mas Dama maafin bunda ya, tadi bunda ganggu kamu. Habisnya kamu lucu kalau lagi serius, bunda jadi gak tahan buat godain kamu. Oh iya, itu abang Jendra disuruh bangun bentar lagi sholat ashar, suruh mandi sekalian. Oh iya, ada satu hal lagi yang mau bunda sampaikan,"

"Kama Agata Janardana, itu nama adik kalian. Jangan heran kenapa kok nama belakangnya bukan Waradana. Iya, itu bunda bikin spesial, jadi namanya ikut bunda. Tolong jaga dia ya, ingat selalu anak-anak bunda yang ganteng-ganteng-adik kalian datang itu sebuah anugerah yang harus kalian sambut dengan sukacita. Bunda sengaja nggak ngasih tau karena bunda sama ayah masih mikirin nih, lagian kan adiknya baru lahir dua bulan lagi,"

"Loh, bunda! Kok udah dikasih tau, nanti gak surprise lagi dong buat mas sama abang."

Mereka berdua tersenyum saat mendengar perdebatan kecil orangtuanya tersebut.

"Udah ayah diem aja. Mas Dama, abang Jendra! Inget pesan bunda. Jangan pernah kalian nggak jagain adik kalian ya. Bunda seneng banget karena ternyata bunda masih bisa punya anak lagi, padahal kan kalian udah pada gede ya. Udah ah, kayaknya segitu aja. Ayah kalian udah mau cepet-cepet pulang, katanya udah nggak sabar mau kasih kalian PlayStation keluaran terbaru,"

"Sekali lagi, inget! Inget pesan bunda! Jangan sampai kalian lalai jaga diri dan adik Gata ya, bunda marah kalau sampai kalian lalai. Anak bunda pada ganteng pada pinter, harus jadi mas dan abang yang baik buat adik bayi. Bunda sayang kalian, i love you my warriors."

"Bunda, kenapa tinggalin mas sama abang kayak gini, hiks.."

Dama memeluk handphone sang bunda erat-erat.

Dia juga dapat melihat adiknya Jendra-yang berusaha menghapus air matanya yang terus menerus keluar.

Jendra berdiri sembari melihat adik bayinya yang masih berasa di kotak, yang sebenarnya dia tau namanya, tetapi dia memilih menyebutnya dengan sebutan penjara.

"Adek yang kuat di sana ya. Adek gak boleh nyusul ayah sama bunda, semoga adek jadi penyemangat untuk mas sama abang ya." Ujar Jendra masih dengan air mata yang menetes, jangan lupakan juga hidungnya yang masih ingusan.

Penyemangat ya?

Rasanya hal itu kurang pantas. Damanta mengingat kata-kata bundanya tadi. Kedatangan yang disambut dengan sukacita?

Tidak mungkin, Dama tidak bisa menyambutnya dengan sukacita. Tidak akan pernah bisa.

Apakah dia bahagia adiknya lahir ke dunia?

Entahlah.

Mungkin seiring waktu berjalan, dia akan bisa menyambut kedatangan sang adik dengan sukacita.

Mungkin.

Hehe...

Tes ombak dlu~~~

Apakabar kalian??
Seperti yang udah aku janjikan, ada anak baru yg datang😀

Ini masih awalan, perkenalan nanti akan menyusul.
Ceritanya ga full sedih-sedih, tergantung dari sudut pandang masing-masing aja, sedih atau engganya🤗

Semoga kalian suka cerita ini,

Jangan lupa vote dan comments, biar aku lebih semangat.

Terimakasih ~

August, 2021

Squirtle94

Continue Reading

You'll Also Like

66K 5.8K 62
"Gue gak mau satupun orang tau kalau lu kembaran gue, paham!" "Abara I won't say as long as it can make you happy, I will be happy too" ⚠️WARNING⚠️ ...
Alur Kami By kasa

Fanfiction

48.6K 5.1K 43
[Walaupun sudah tamat, tolong tetap dukung dengan voment ya :) ] Mereka berempat tak menyangka bahwa ternyata masa lalu mereka tak sesederhana kebany...
9.9K 1.1K 26
Mereka adalah dua anak kembar yang saling menyayangi. Tetapi mengapa mereka harus berpisah? Apakah mereka bisa bertemu? Atau, mereka harus selamanya...
83.2K 6.9K 21
[Follow dulu sebelum membaca] "Serupa bukan berarti sama, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamaratakan. Mereka kembar, tapi tak selamanya harus...