Ziarah

By ListraSitumeang

626 139 356

Di dalam judul ini akan berisi berbagai kisah terkait kematian. Jadi, kemungkinan tidak akan ada romantisme d... More

Ziarah
Di Balik Pohon Beringin (Bagian 2)
Di Balik Pohon Beringin (Bagian 3)
Dari Ambar kepada Biru
Laki-laki yang Menanggung Dendam
Pulang
00.00
Utang yang Membawa Takdir
Jam Antik

Di Balik Pohon Beringin

196 29 141
By ListraSitumeang

Sehabis mengajar, Nisa duduk di gedung utama. Saat itu inderanya yang paling tajam adalah mata, karena selama lebih dari setengah jam, dia hanya memandangi mural di tembok taman kanak-kanak tempat dia bekerja baru-baru ini. Gambar itu serasa tertanam erat di dalam kepalanya, sehingga untuk berpaling sebentar pun, Nisa tidak bisa. Wanita paruh baya itu baru bisa berpaling setelah sedikit demi sedikit tubuhnya bermandikan sinar matahari yang menembus atap kaca. Pelu menetes dari dahinya sebelah kiri, telapak tangannya mulai lembap. Sehabis menyapukan dahi dan telapak tangannya, dia kembali menatap tembok berlatar pohon beringin itu. Sesungguhnya dia tidak sedang termenung. Telinganya masih tetap mendengar percakapan rekan-rekan kerjanya dari toilet, ruang olahraga dan juga isi percakapan kepala sekolah bersama seseorang di telepon. Seorang wanita yang wajahnya tak lagi asing menepuk pundak Nisa dari belakang.

"Nis, sudah makan siang?"

"Belum."

"Mau bareng?"

"Boleh."

Sesampainya di kafe, hanya ada sepuluh orang pelanggan di sana, sudah termasuk mereka. Nisa baru seminggu bekerja di sana dan belum tahu banyak tentang rekan-rekannya, termasuk gadis bernama Wayan yang saat ini duduk di hadapannya. Sejauh ini, setahu Nisa, Wayan adalah satu-satunya rekan yang selalu mengajaknya makan bersama sejak hari pertama masuk bekerja. Usianya 32 tahun, sama dengan Nisa. Wajahnya ayu seperti gadis-gadis Bali pada umumnya, namun entah mengapa dia sangat familiar di ingatan Nisa. Senyumnya sangat ramah, gaya bicaranya sangat akrab, bisa dibilang 'sksd.'

"Nis, kamu bilang kamu pernah jadi wartawan kan? Cerita dong,"

"Kamu tahu dari mana?"

"Kamu."

"Aku tidak ingat pernah cerita ke kamu mengenai itu."

"Masa kamu lupa?"

Seorang pelayan kafe menghampiri meja mereka. Sekarang, ada dua piring salad dan dua gelas jus jeruk di atas meja. Wayan menyicip, kepalanya menunduk, namun pandangannya sedikit melirik, mengarah pada Nisa penuh harap. Melihat sikap rekannya itu, Nisa menggigit ujung bibirnya.

"Emm. Memangnya apa yang ingin kamu tahu?"

"Apa pun."

Rupa-rupanya, dari gelagatnya, Wayan ini ibarat anak kecil egois yang sebelum tidur harus diberi dongeng. Tidak bisa dipungkiri, Nisa sebenar-benarnya tidak rela berbagi kisah pribadi kepada orang yang baru dia kenal. Tadi pagi saja, sebelum berangkat bekerja, tak sengaja dia berpapasan dengan bapak kosnya. Saat ditanya asalnya dari mana dan pekerjaannya apa, 'Bugis,' jawabnya singkat dengan wajah datar ala kadarnya. Ya, memang Nisa ini dulunya adalah seorang wartawan, bergabung dalam berbagai komunitas menyangkut sastra dan jurnalistik. Kegiatan utamanya selain kuliah ya berburu berita ke sana-sini. Apa yang dilakukannya adalah hal-hal yang dilakukan oleh wartawan pada umumnya. Gaji yang dia peroleh tidak sebanyak yang dia dapatkan di tempat kerjanya sekarang ini. Kalau seandainya digaji saja, sudah syukur, sebab media tempat dia bernaung tidak setenar dan sebesar media-media lain. Bosnya sendiri hanya mampu menggajinya dengan nominal yang minim, bahkan beberapa rekan kerjanya saat itu lebih memilih menganggur dari pada bekerja di tempat itu. Nisa menganggap menjadi wartawan bukanlah suatu pekerjaan, melainkan tugas mulia yang didatangkan dari surga. Baginya, yang terpenting bukan soal uang, namun seberapa menariknya judul-judul berita yang dia tulis dan dapat dicerna oleh pembaca.

Kafe yang mereka datangi sudah semakin ramai, maklum saja, saat ini jamnya istirahat. Bayangan Nisa melesat jauh pada masa lalu. Ini adalah pertama kalinya Nisa merasa sedang diwawancara dan bukan malah mewawancara. Tangan Nisa saling mengusap-usap, lalu dilipatnya, seraya dia letakkan di atas meja.

"Ini bukan cerita pendek."

"Aku suka cerita bersambung."

"Oke, oke. Aku akan langsung saja. Mengapa kamu ingin tahu ceritaku ini?"

Dengan mata yang was-was, Wayan mengamati sekitar. Rautnya memendam kekhawatiran. Perlahan dia arahkan tubuhnya mendekat ke Nisa, lalu berbisik.

"Aku sudah baca berita itu."

Deg! Nisa menelan ludah. Pikirannya mengenai Wayan selama ini ternyata salah. Awalnya dia mengira bahwa Wayan hanyalah anak rumahan yang polos dan tidak mengerti dunia luar. Nisa seolah terperangkap dan enggan melarikan diri. Delapan tahun lamanya, tidak ada seorang pun yang mengetahui seluk-beluk kehidupan Nisa sebagai wartawan. Sejak memutuskan untuk berhenti dari dunia jurnalistik, kampung halamannya dia tinggalkan tanpa jejak. Tetangga-tetangganya bahkan mengira bahwa saat ini Nisa hanyalah sebuah nama, tubuhnya sudah lenyap entah di mana. Sebagai satu-satunya wartawan di lingkungannya, tetangga sering kali dibuat khawatir, takut seandainya anak-anak mereka mengikuti jejak Nisa. Pergi jauh ke kota, ke pelosok desa, pulang-pulang subuh hari, berurusan dengan buronan, diteror orang-orang berjabatan tinggi. Lebih dari itu, sikap antisipasi tetangga terhadap Nisa juga dilatarbelakangi oleh sang ayah yang juga seorang mantan jurnalis yang wafat, dibunuh oleh pihak-pihak yang menganggapnya sebagai ancaman. Lagipula, apa bagusnya jadi wartawan, padahal mahasiwa harusnya fokus menamatkan kuliah dan jadi sarjana. Entah nantinya sebagai pekerja kantoran atau jadi guru. Begitulah cibiran yang terus memenuhi telinga Nisa. Alih-alih tidak tahu apa-apa, Nisa berusaha menghindar.

"Hahahah berita macam apa maksudmu?"

"Dian Pratama. Aku ini penggemarmu! Kamu wartawan yang sangat hebat! Berita-berita yang kamu tulis sangat mendebarkan. Bagaimana aku bisa berpaling?"

Dalam hati, Nisa menimbang-nimbang. Batinnya seolah dikejutkan sambaran petir yang amat dahsyat. Memperhatikan gelagat Nisa yang kehilangan percaya diri itu, Wayan menyambar.

"Tenang, aku bukan cepu! Dengar, dengar. Bagaimana agar kamu bisa percaya kata-kataku?"

"Aku tidak mau cari mati. Ceritaku ini, taruhannya nyawa."

Delapan tahun kepergian Nisa, usahanya membuahkan hasil. Dia menghapus segenap latar belakangnya seolah di masa lampau dia tidak pernah menjadi bagian dari Sumatera, pulau dia berasal. Dia bahkan mampu menghadapi dunia baru yang dia jalani sekarang ini tanpa ragu-ragu. Menjadi seorang guru TK adalah topeng yang sempurna untuk menutupi jejak kegagalannya. Tetapi di hari yang teramat biasa ini, runtuh sudah kehidupan normal yang dibangun Nisa. Siapa yang menyangka semua pencapaian yang didapat dengan usaha yang tidak sedikit itu pada akhirnya hanyalah ketenangan sesaat baginya. Nisa segera berusaha menutupi kegelisahan serta ketakutan yang dia rasakan. Apa yang di hadapannya sekarang ini bukanlah anak polos yang mengharapkan dongeng, melainkan penyihir yang merusak dongeng anak-anak. Pelan-pelan, dia mulai berbisik.

"Aku merasa kalah sekarang ini."

"Aku ini temanmu."

"Begitukah?"

"Jadi bagimu aku ini cuma perempuan kesepian yang suka cari perhatian?"

Lagi-lagi perkataan Wayan membuat Nisa terheran-heran. Wanita ini benar-benar sebuah kejutan, batinnya. Dia bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita yang di hadapannya itu. Bukankah dia terlalu banyak tahu mengenai Nisa?

"Baik, sampai mana kamu tahu tentangku?"

"Ahh jangan tanya begitu. Aku kan sudah bilang aku ini penggemarmu. Masa itu saja tidak paham?"

"Ya, ya. Mengenai itu aku belum sepenuhnya yakin. Tapi, asal kamu tahu saja, aku tetap mengkhawatirkan diriku. Aku bahkan sangat was-was!"

Nada bicara Nisa sedikit mengancam. Keduanya hening, saling menatap, seumpama sahabat yang baru saja marahan. Wayan enggan bicara karena menjaga keseimbangan emosi Nisa, sementara Nisa bersikap hati-hati, kalau-kalau nanti salah bicara dan malah menjerumuskannya pada malapetaka.

Waktu berjalan, kesempatan mereka untuk meneruskan pembicaraan telah habis. Keduanya saling memberi kode untuk bergegas dan meninggalkan kafe. Mereka berjalan beriringan dengan jarak yang tidak terlalu dekat menuju ke gedung sekolah bercat putih dengan nuansa Cina tepat di seberang kafe yang baru saja mereka tinggalkan. Sesampainya di ruang staff, keduanya duduk saling membelakangi. Barang-barang Nisa yang semula berada di sebelah meja Wayan segera dia pindahkan. Di mana saja, asal tidak di dekat Wayan yang kemungkinan membuatnya salah tingkah.

Sampai di sini, ketegangan di antara keduanya belum juga berakhir. Terlepas dari apa pun yang mereka persoalkan, jelas salah satunya harus mengalah, dan segera mencairkan suasana. Wayan bergerak, berjalan ke luar ruangan, Nisa menghela napas. Belum juga dia meregangkan otot-ototnya, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.

"Tanpa gula."

Seolah menyesali apa yang sudah terjadi, Wayan menyodorkan secangkir kopi hitam pada Nisa. Nisa merasa lucu dan prihatin, karena mendapati raut rekan kerjanya itu merasa bersalah. Diterimanya suguhan manis itu dengan senang hati.

"Apa ini sogokan?"

"Bukan. Ini cuma untuk menenangkan hatimu saja."

Bukan main, wanita ini sungguh pintar menarik-ulur, pikir Nisa. Uap dari cangkir itu dihirupnya, dia ingin menikmati aroma itu dalam jangka waktu yang lama sampai pikirannya kembali tenang. Perlahan, dia letakkan cangkir itu.

"Kamu sudah bikin RPP?"

"Aku sudah cukup senggang untuk mendengarkan semua ceritamu."

Nisa menghela napas.

"Aku tidak bersalah, yan."

"Aku tahu."

"Lagi-lagi aku harus katakan kalau ini menyangkut nyawaku."

Wayan mengangguk setuju.

"Tak lama setelah menulis ihwal korupsi dan bobroknya pemerintahan di kota kami waktu itu, gedung kami semakin hari ditinggikan. Beberapa awak media lain malah meminta bergabung dengan kami. Tentu saja kami senang. Kami tidak menyangka berita yang kami tulis hari itu benar-benar akan tersebar luas dan jadi perbincangan di mana-mana. Sampai setahun lamanya, kami gencar membahas pemerintahan yang amat berantakan itu, kalau bisa mereka secepatnya dibubarkan. Tentu saja, usaha kami menerima banyak dukungan dari banyak pihak.

Sampai suatu saat, kami memutuskan untuk membentuk tim terdiri dari 5 orang untuk mengumpulkan bukti-bukti keburukan para biadab itu. Aku satu-satunya perempuan di dalam tim. Satu-persatu, kami mendapat bukti. Seolah kami berhasil menangkap ikan besar yang cukup untuk mengenyangkan satu kecamatan. Kami merayakan keberhasilan itu.

Kemudian, tak lama setelah kemeriahan itu, tanggal 16 Agustus, hampir seluruh media menurunkan tulisan panjang di koran tentang pembunuhan seorang wartawan senior. Bang Fuad, bos sekaligus sahabatku. Beliau ditemukan bersimbah darah di depan pintu pagar rumahnya setelah dianiaya habis-habisan oleh orang yang tidak dikenal, lalu koma dan meninggal tiga hari setelahnya. Tidak ada tindak lanjut pemerintah maupun aparat hukum untuk mengungkap ataupun menghukum pelaku pembunuh itu.

Roby, yang saat itu masih kuliah, dia bahkan belum sempat mengajukan judul skripsi ditemukan tewas di dalam mobilnya yang terparkir di pantai selatan pada 9 September. Roby yang menyimpan berbagai dokumentasi selama penugasan itu dan semuanya dilenyapkan. Mulai dari titik koordinat lahan kepemilikan illegal, rumah bordil, data keuangan yang dimanipulasi, semuanya. Mereka semua bandit yan! Penjahat!

Mas Jamal, juru tulis sekaligus redaktur hilang sejak pertengahan September. Beliau ditemukan dua minggu kemudian di aliran sungai kota dalam kondisi terikat, banyak luka dan telah kehilangan nyawa.

Tinggallah aku dan Salamun. Semenjak berita-berita kematian itu muncul, aku melarikan diri ke rumah saudara, jauh ke pelosok pedesaan di luar kota, sementara Salamun bersembunyi entah di mana, aku tidak tahu. Yang kutahu, dia masih hidup. Pesan-pesannya masih berdatangan. "Larilah, Di. Kamu harus tetap hidup." Pesan yang sama kuterima setiap hari, hingga awal Desember, aku tidak menerima pesan lagi darinya.

Rumah persembunyianku waktu itu mulai memperlihatkan tanda-tanda keruntuhan. Keluarga sepupuku tidak tahan mendengar nominal uang berjumlah besar yang saat itu ditawarkan untuk menebus diriku. Gusti Allah sangat baik menganugerahkan telinga yang bagus padaku, juga tubuh mungil yang lincah. Tengah malam aku diam-diam meninggalkan rumah itu. Aku tidak tahu sudah sejauh apa, aku berhenti di suatu tempat yang sangat gelap. Satu-satunya yang terlihat hanya dinding beton dengan gambar pohon beringin di sana. Aku benar-benar sekarat.

Hidupku berantakan. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Nama serta wajahku disebar ke khalayak dengan upah yang tidak sedikit. Lapor polisi? Hahahah tidak mungkin! Mereka semua sekomplotan! Binatang! Tidak punya hati! Delapan tahun, aku pindah-pindah kota, dari sana ke situ sampai ke sini. Aku tidak bisa hidup dengan tenang, padahal aku ini cuma manusia biasa. Lagi pula setelah kejadian itu aku tidak lagi melawan. Memangnya aku bisa apa? Berhasil melarikan diri saja sudah lebih dari cukup"

Nisa berhenti bicara, jari-jarinya gelisah, kukunya sedikit demi sedikit tanggal. Perasaan-perasaan di masa lalu itu menyerbu dirinya dengan senjata-senjata mematikan. Nisa mengambil jurusan ilmu sosial dan politik sewaktu kuliah, dia tidak pernah diajarkan jurus untuk menghadapi serangan-serangan semacam itu. Dia terhimpit, panik, bola matanya tak bisa berhenti berputar. Tak ada jalan keluar, dia menoleh ke langit-langit, berusaha menenggelamkan ketakutannya yang sudah sedari tadi di ujung kelopak matanya. Sekilas, dia perhatikan wajah Wayan tersenyum tipis penuh kemenangan. Selanjutnya dia marah.

"Siapa kamu sebenarnya?"

Dengan nada lantang, Nisa menatap Wayan dalam-dalam.

"Kamu sengaja mendekatiku kan? Kamu salah satu dari mereka kan?"

Katanya lagi, Wayan hanya diam, agar suara Nisa yang putus-putus dapat dia mengerti. Wayan tidak paham dengan rekannya itu. Hal itu yang mendorongnya memutuskan untuk memeluk Nisa yang sedang tidak berdaya. Dia sendiri tidak paham mengapa dia memberanikan diri untuk menyentuh wanita yang sedang dilanda masa lalu itu, lantaran dia tidak memikirkan jalan keluar lain. Seingat Wayan, sedari tadi dia hanya diam saja sepanjang Nisa bercerita. Beberapa kali batinnya terguncang mendengar hal buruk yang menimpa rekan-rekan Nisa. Meskipun itu sekedar pelukan, Wayan berharap sikap lembutnya itu perlahan dapat menenangkan wanita malang itu.

Continue Reading

You'll Also Like

45.1K 7.5K 29
Gatau baca aja!
245K 2.7K 4
Oneshoot gay tentang Daniel yang memiliki memek dengan bermacam macam dominan. Jangan salah lapak-!!!
40.3K 4.2K 25
DOSA TANGGUNG SENDIRI!!! CERITA INI HANYA FIKTIF TIDAK ADA SANGKUT PAUT NYA DENGAN CERITA ASLI. Area B×B & G×G & B×G!!! Berbijaklah dalam memilih bac...
555K 5.9K 26
Hanya cerita hayalan🙏