Dug! Asa tidak sengaja menyampar kotak box berisi barang-barang dari Clara yang sudah Rey kumpulkan. Pria itu ingin membuangnya, tetapi sepertinya ia lupa.
Beberapa barang berserakan di lantai dan Asa pun bergerak cepat memasukkan barang-barang itu ke dalam box. Ia pegang satu per satu barang pemberian Clara, kemudian kenangan-kenangan masa lalu pun kembali bermunculan.
Asa terdiam sejenak, pikirannya mendadak kosong.
Asa menatap pecahan kaca frame yang cukup tajam, pikirannya seolah sedang bertengkar. Cukup rumit, apa semua penderita selfinjury seperti ini? Apa tingkatan Asa sudah tinggi?
Awalnya Asa hanya menyukainya, lama-lama terbiasa dan kini menjadi candu, terkadang ia menyakiti diri sendiri dalam keadaan setengah sadar, seolah ada seseorang yang menggerakkan tubuhnya di saat pikirannya kosong.
Asa juga tidak mengerti dirinya sendiri, apapun emosinya, keinginan untuk menyakiti diri sendiri masih ada di alam bawah sadarnya.
Alay? Mungkin cara pandang orang lain seperti itu. Tetapi, pola pikir orang normal dan penderita selfharm sangatlah berbeda. Jika orang normal, mereka tidak akan melukai diri sendiri secara naluriah. Tetapi, Asa lain.
Sekarang, melihat benda tajam sekilas saja keinginan untuk menyakiti diri sendiri itu bangkit dengan sendirinya. Asa sedang sangat sensitif.
Apalagi saat ingatan tentang Clara kembali, rasa bersalah itu semakin menggerayangi kepala Asa.
Tangan Asa bergerak meraih gunting, nyaris melukai dirinya sendiri dengan benda itu. Namun, Asa berhasil menahan diri. Tubuhnya bergetar, kendalinya semakin tidak jelas.
Rey keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar, ia sudah memakai baju rapi serba hitam seperti hendak pergi ke makam.
"Asa!" sentak Rey melihat Asa yang sedang memotong rambutnya secara brutal.
Rey mendekati Asa dan segera mengambil alih gunting di tangan Asa. Bibir Rey ternganga, rambut panjang Asa kini habis terpotong secara asal-asalan seukuran bahu.
"Maaf, Rey." Asa mengatakannya dengan nada lemah, tatapannya menerawang entah kemana. "Aku udah berusaha nahan diri biar nggak selfharm, tapi susah."
"Sa," Rey bersimpuh lutut di depan Asa.
Mata Asa masih menerawang, tetapi sedikit berkaca-kaca. "Aku nggak mau nyakitin diri lagi, makanya aku potong rambut."
Rey menarik Asa ke dalam dekapannya. "Nggapapa," kata Rey mengusap rambut pendek Asa. "Kerja bagus, Sa."
Rey mengusap air matanya sendiri, selalu saja menangis setiap kali Asa melakukan hal hal yang tidak wajar. Rey mengambil sisir, kemudian merapikan potongan rambut Asa.
"Aku jelek ya, Rey?" tanya Asa begitu Rey selesai merapikan potongan rambut Asa sampai bawah leher.
Rey memegang kedua bahu Asa, menatap wanitanya cukup lama. "Selalu cantik."
Mata Asa mulai memerah, setetes air tiba-tiba keluar dari kedua matanya. "Aku takut nggak bisa sembuh, Rey."
"Enggak, Sa. Pasti sembuh," Rey mengusap air mata Asa.
"Aku pengen bisa liat Galan, Rey."
"Pasti bisa, Asa kuat."
Rey menidurkan Asa di atas ranjang, menyuruhnya agar beristirahat setelah meminum vitamin untuk ibu hamil. "Jangan kecapekan, Asa."
Rey mengusap-usap kening Asa dalam posisi duduk dengan punggung menyandar di kepala ranjang. Asa diam-diam mengamati Rey yang ternyata sudah rapi dengan setelan bahan berwarna hitam.
"Rey?" panggil Asa yang hanya dibalas gumaman. "Mau kemana?"
Rey menatap dirinya sendiri yang sudah rapi. "Ah, Rey mau ke makamnya Clara, mau minta maaf karena Rey nggak bakalan dateng ke makamnya lagi. Rey mau lupain Clara dan hidup bahagia sama Asa, boleh kan?"
"Pengen ikut, boleh?" Asa menampakkan puppy eyes yang sulit untuk Rey tolak.
"Arghhh, jangan gemoy gemoy. Asa kan lagi hamil, ga boleh ke makam makam. Biar Rey wakilin aja, Asa di rumah sama Buna ya?"
"Yah." Asa cemberut.
Rey mengelus kepala sisi kiri Asa, lalu berakhir mencubit lembut pipi Asa. "Rey bakalan cepat, janji."
Asa menundukkan kepala, menatap perutnya yang besar. "Sampaiin maaf aku ke Clara ya? Aku udah rebut kamu dari dia."
"Hah? Maksudnya?" Rey semakin fokus menatap wajah Asa.
"Clara suka sama kamu, Rey. Bukannya dari dulu kalian deket itu karena saling suka?"
"Kata siapa?"
"Clara bilang kalian lagi PDKT, dan sejak kalian berdua deket juga kamu lebih suka sama Clara terus kan? Kadang pas aku gabung sama kalian, kamu malah pergi. Hehee."
Rey mengusap keningnya. "Sebenernya bukan karena itu, tapi karena," kata Rey menggantung.
"Karena?" Asa makin antusias, ia merubah posisinya menjadi duduk.
"Karena Rey cemburu Asa jadian sama Elvan," balas Rey sambil memalingkan wajah.
Asa mencondongkan wajahnya melihat wajah Rey yang berpaling. "Cemburu?"
"Iya," Rey memutar kepalanya ke kanan, dan Asa lagi-lagi mengikutinya. "Rey tipe cowok yang cemburunya ngejauhin orang yang dicemburui."
"Kenapa nggak terus terang aja--"
"Terus terang gimana? Rey kan bukan siapa-siapanya Asa, jadi Rey nggak punya hak--"
"Dulu Asa juga suka sama Rey," sambung Asa memotong ucapan Rey.
"Hah? Asa juga suka sama Rey?"
"Dikit sih, nggak sampai satu jam." Asa berucap sambil menggerakkan jari membentuk bahasa tubuh 'dikit'.
"Astagfirullah, pengen Rey serang sekarang jadinya."
Asa tertawa, Rey juga ikut-ikutan tertawa. Rey mengusap puncak kepala Asa. "Baik-baik di rumah, kalau ada apa-apa bilang Buna aja. Jangan nyakitin diri sendiri ya?"
Asa hanya mengangguk sebagai jawaban, Rey pun bersiap-siap untuk pergi. Cowok itu juga membawa kotak berisi barang-barang dari Clara, niatnya ingin ia buang hari ini juga.
Beberapa saat kemudian, pria itu keluar dari area rumah bersama motor sportnya.
***
Rey berjalan pelan menyusuri area pemakaman, bucket bunga anyelir berukuran besar terus bergerak di samping paha berlapis celana jeans hitam.
Rey berhenti sejenak, menghirup napas dalam-dalam dan mencoba mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Clara meski berbatasan dengan tanah.
Rey melanjutkan langkahnya hingga sampai di makam Clara, dia terdiam cukup lama sampai akhirnya meletakkan bunga itu di atas tanah dekat batu nisan.
"Clara, gimana kabar lo?" monolog Rey meski ia tahu tidak akan ada yang menjawabnya.
"Gue nikahin Asa, hahaa. Aneh kan? Iya, keinginan gue di wishlist akhirnya tercapai. Meski harus pakai cara yang kurang gue suka, tapi gue berhasil dapetin Asa, Ra."
"Maaf ya, gue harus pura-pura suka sama lo karena gue butuh pengalihan dari rasa suka gue ke Asa. Gue jahat ya?"
"Maaf juga, gue jadiin lo sebagai alasan kemarahan gue ke Asa. Padahal gue udah marah sama dia sejak dia jadian sama Elvan, tapi gue mulai nunjukin semua emosi gue sejak lo meninggal."
"Gue ngerasa bersalah banget sama dia. Gue yang terlambat, gue yang nggak percaya diri, dan gue juga yang nggak berdaya. Tapi, gue malah marah ke Asa dengan alasan elo."
"Tapi gue juga marah, dia masih tetep jadi alasan lo meninggal kan? Kalau lo nggak dibully, lo juga nggak bakalan kayak gini kan, Ra?"
"Maafin gue karena pertemuan terakhir kita terlalu buruk, kenangan itu juga nyakitin gue, Ra. Tapi, gue harap lo bisa tenang ya?"
"Asa juga pengen minta maaf, katanya dia udah rebut gue dari lo. Tapi maaf, kita nggak pernah PDKT kan?"
"Mulai sekarang, gue nggak akan dateng ke sini lagi, Ra. Kedatangan gue hari ini cuma mau buat pamitan aja sama lo. Gue pengen bebas dari bayang-bayang lo, gue sayang sama Asa, gue pengen bahagia sama dia."
"Dan, kalau lo masih ada di hidup gue, bayang-bayang lo masih menghantui gue, gue nggak akan pernah bisa bahagia sama Asa, karena ada sesuatu yang terus ganggu pikiran gue."
"Karena itu, sekarang juga gue pengen lepasin lo. Semua barang-barang dari lo udah gue buang, jadi tolong maafin Asa juga ya?"
***
Pisau tajam itu tergenggam di tangan penuh bekas luka Asa, ia amati setiap sisi tajam benda itu lamat-lamat. Asa juga tidak tahu mengapa ia harus seperti ini, tetapi rasanya sedikit aneh.
Ditatapnya pantulan diri sendiri yang terlihat samar di lapisan mengkilap pisau, rambutnya pendek dan terlihat sangat jelek. Setidaknya, itu menurut Asa sendiri.
"Asa?" panggil Nisha.
"Huh?!" Asa terperanjat, dia menyembunyikan pisau di belakang tubuhnya, hampir menggores lengannya karena merasa kesepian.
"Sejak kapan kamu potong rambut?"
"Um--" Asa memegang rambut pendeknya. "Tadi, Bunda. Rey yang motongin."
"Cantik pisan," puji Nisha tersenyum sambil mengambil dompet di dekat meja makan.
"Makasi, Bunda." Asa ikut tersenyum.
"Bunda mau ke supermarket bentar, pembalut Bunda habis, kamu mau ikut?" tawar Nisha.
Asa menggeleng. "Enggak, Bunda. Asa kurang enak badan hari ini."
"Um, bumil nggak boleh kecapekan." Nisha mendekat, dan Asa menyembunyikan pisau tadi di dalam baju bagian belakangnya. "Mau titip apa, Sayang?"
"Eng-enggak usah, Bunda."
"Susu kamu habis ya? Nanti Bunda beliin lagi, nggak akan lama kok, kamu buruan ke kamar ya, istirahat yang cukup."
"Iya, Bunda. Hati-hati di jalan."
Nisha pergi, suara pintu tertutup terdengar hingga dapur. Asa menghela napas penuh kelegaan, kemudian mengembalikan pisau tadi ke tempat semula. Hasrat ingin menyakiti diri sendiri mendadak lenyap.
Asa pun menaiki tangga dan masuk ke kamarnya, gadis itu duduk di bibir ranjang sambil menatap lurus ke lantai. Asa mencoba menelpon Rey, tetapi tidak terjawab.
Asa hanya dapat menatap layar ponsel dengan walpaper foto couple Rey dan Asa. Dia belai layar itu sambil tersenyum samar.
Tes! Darah segar mengalir, semakin deras, tetesan itu juga membasahi layar ponsel hingga terjatuh.
Asa menutup hidungnya, ia buru-buru pergi ke kamar mandi. Kepalanya sedikit menengadah sehingga Asa harus meraba wastafel untuk menyalakan kran.
Pyar! Vas bunga berisi bunga mawar layu pemberian Rey beberapa minggu lalu itu pecah menjadi kepingan tajam di lantai yang menyebar ke sembarang arah.
Asa akhirnya berhasil menyalakan kran wastafel, dia basuh hidungnya berkali-kali, namun darah itu masih mengalir deras dan berbaur bersama aliran air dari kran wastafel.
Tubuh Asa terasa sakit, seolah ia sangat kelelahan. Asa bergetar, detak jantungnya mulai tidak beraturan, tubuhnya lemas, sampai ia tidak sanggup untuk berdiri lagi.
Asa terduduk di lantai, tangannya tak sengaja menyentuh pecahan kaca karena harus menumpu tubuh beratnya.
"Ah," lirih Asa kesakitan. "Re-reey."
Mata Asa mengembun, genangan air samar-samar mulai terlihat. "Bunaa, Pa-paa, sakiit."
Sekarang, semua rasa sakitnya mulai terpusat di perut. Asa sontak memegangi perutnya, ia pendarahan. "Re-reeeyy."
"A-Asa, ng-nggak ku-at."
Beberapa detik berlalu, Asa tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang menyerangnya. Sampai akhirnya ia tidak sadarkan diri, dan ambruk menuju pecahan kaca di lantai.
TBC.
Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥
Ada yang nunggu next?
Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.
Jangan lupa follow akunku juga, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.
7K komen ya, nanti aku update lagi. ♥
Spam apa aja boleh »
Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
✨ ILYSM Dash ✨