Memories || Kimetsu no Yaiba

By Mizuraaaa

96.6K 12.7K 4.7K

Highest Rank: #1 in mitsuri (13/2/21) #1 in kyoujuro (6/2/21) #1 in kimetsu (2/4/21) #1 in yaiba (2/4/21)... More

Author Note!
Prolog
1.A new world?
2.Pelatihan
3.Kisatsutai
4.Rapat Pilar
5.Uzui's Family
6.Become Stronger
7.Natagumo
8.Tanjirou
9.No Tittle
10.Mugen Train(1)
11.Mugen Train(2)
12.Datang lagi
13.Pertemuan Pertama
14.Keputusan
15.Alasan
INFO!!!
Flashback Moment
16.Tidak Terduga
17.Hubungannya
18.Kerinduan
19.Berita Buruk
20.Menyadarinya
21.Yuki no Hashira
22.Maksud Sebenarnya
23.Memburuk
24.Percobaan
25.Permintaan
26.Misi Bersama
27.Penyerangan
Flashback Moment
28.Pemburu Iblis vs Iblis
29.Lemah
30.Kesembuhan
31.Keinginan untuk Mati
32.Takut untuk Mati
33.Keluarga
34.Penyelesaian Masalah
35.Festival Kembang Api
36.Iblis Es
37.Memperbaiki
38.Uji Coba
39.Penangkapan
Pengumuman
40.Terjebak
41.Teman Lama
42.Penyelamatan Diri
44.Tanpa Dirinya
45.Setelahnya
46.Diskusi
46.Diskusi (bag 2)
47.Rasa Bersalah
48.Rasa yang Nyata
49.Tanpa jejak
50.Yuri tanpa Sahabatnya
51. Sudahkah, berakhir?
52. Kejahilan Bertambah
53.Seragam SMA

43.Rasa Bimbang

666 106 46
By Mizuraaaa

Warning⚠: Author tidak membaca manga sehingga cerita akan berbeda jauh dengan alur aslinya!

Sial.

Kenapa aku belum pingsan?!

Demi apapun, aku berharap agar segera pingsan saja. Rasa sakit yang menggerogoti tubuhku benar-benar tidak bisa dianggap enteng, aku tidak bisa terus menahan rasa sakit ini.

Untuk sementara waktu mataku tertutup, aku yakin Muzan dan uppermoon lainnya mengira aku sudah kehilangan kesadaran. Sudahlah, setidaknya aku bisa istirahat dan bernafas dengan tenang.

Namun, sepertinya tidak pingsan bukan hal yang buruk juga. Aku tidak tau apa yang akan terjadi ketika aku kehilangan kesadaran, mungkin saat aku bangun aku sudah berada di akhirat dan Muzan sudah menggenggam penuh kekuasaan di dunia ini.

Ugh, sial. Bahkan disaat aku diam pun, dunia ini terancam dalam bahaya. Aku benar benar harus mempersiapkan strategi dengan waktu sesingkat mungkin, mana bisa aku menyerah secepat itu!

Tapi sungguh, apa yang kukatakan sebelumnya bukanlah omong kosong. Aku bahkan baru menyadari bahwa iblis itu benar benar pengecut. Membawa Yuri sebagai sandera agar aku tidak pergi? Ck, pemikirannya pendek sekali. Padahal aku yakin iblis gila itu bisa mengalahkanku dengan satu tatapan mata.

Yah, aku akui tadi sedikit memalukan. Sempat-sempatnya aku menunduk dan memohon padanya untuk berhenti menyerang. Tapi sepertinya aku melakukan hal itu tanpa kusadari, bagaimanapun instingku bekerja dan melakukan apapun untuk bertahan hidup, aku rasa tadi satu satunya cara agar aku tidak terus menerus diserang.

Namun, yang aku pertanyakan adalah kenapa sejak kedatangan Yuri aku merasa kekuatanku meningkat? Ayolah, aku sering mendengar omong kosong Yuri mengenai kekuatan persahabatan, tapi mana mungkin hal konyol itu adalah suatu kenyataan?!

Sudahlah, sekarang bukan waktunya membahas itu. Pikiranku begitu kusut, aku tidak bisa berfikir jernih dan mengatasi kegelisahan ini. Antara ingin kabur dan bertahan hidup, atau meninju wajah Muzan sialan itu lalu mati.

'Akhhh...'

Aku menggigit bibir bawahku kuat, posisiku yang sedang telungkup cukup menguntungkan sehingga Muzan tidak melihat eskpresiku. Tapi apaan tadi itu?! Punggungku serasa ditekan ke bawah.

Dasar Muzan brengsek. Bisa-bisanya dia menginjak seorang gadis yang sedang sekarat?! Cih, pantas saja dia jomblo, perlakuannya pada wanita benar-benar biadab, seseorang harus memberinya pelajaran!

"Tuan, sebenarnya apa alasanmu menunda-nunda? Seharusnya anda bisa melakukan hal itu dengan mudah dalam waktu beberapa menit."

Eh? Pendengaran ku menangkap sesuatu. Suara tak asing ini berasal dari iblis sinting lainnya yang membuat mataku terluka. Sialan! Mentang-mentang punya banyak mata, seenaknya melukai mata orang lain!

"Hah? Bicara apa kau?" aku mendengar jawaban dari Muzan, terdengar menusuk dan dingin.

"Maaf tuan, saya hanya bingung, sebenarnya anda bisa langsung membunuhnya atau mengambil darahnya saat dia masih pingsan pertama kali, kenapa tidak tuntaskan tujuan anda secepat mungkin?"

Aku sedikit terkesiap, ini adalah pertanyaan yang ingin aku sampaikan sejak tadi tapi tidak sempat. Beruntung sekali Kokushibou bisa sepemikiran denganku, aku benar-benar ingin tau jawaban Muzan.

Dipikir-pikir memang benar, sejak tadi Muzan terlihat bermain main, tapi ternyata luka yang aku dapatkan tidak sedikit juga, dasar sialan.

"Benar, tuan. Seharusnya anda mengakhiri semuanya dengan cepat, gadis itu banyak tingkah, dia tidak akan diam saja."

Sialan. Aku lupa ada satu lagi iblis menyebalkan di sini, bahkan paling menyebalkan dari yang pernah ku temui. Tuhan, kapan kau memberiku kesempatan untuk melihat Douma terbujur kaku dengan kalimat penyesalannya? Aku menantikan saat-saat itu.

Ternyata memang benar, Satu-satunya iblis yang cukup normal hanya Akaza, meski aku masih menganggapnya brengsek karena hampir membunuh Kyou-nii. Terkadang aku pun merindukan Akaza. Kira-kira, apakah Akaza dan Koyuki-nee sudah melangsungkan pernikahan di atas sana?

Ugh, aku sedikit khawatir. Jika memang benar, apakah ada yang menghadiri pesta pernikahan mereka, ya? Akaza kan cukup sinting karena telah membunuh banyak manusia selama ini, mana ada yang mau datang dan kasih amplop. Jika tidak ada yang datang, maka siapa yang makan prasmanan di sana?! Lauknya ke buang sia-sia dong! Aelah, jadi pengen mampir ke akhirat.

Hihi, terkadang jika mengingat iblis bucin yang satu itu membuatku tertawa, dia memang lucu, tapi jalan yang diambilnya salah. Ah, tidak. Ini seratus persen bukan salahnya, semua ini salah Muzan.

"Yah, aku tau sih si bodoh ini belum pingsan, tapi aku akan memberitahu kalian apa alasannya."

HAH?! APA?! Dasar orang gila! Jadi selama ini dia tau kalau aku belum pingsan?! Ahh, menyebalkan! Lalu untuk apa selama ini aku berpura pura terdampar seperti ini? Seharusnya ku hajar saja sialan itu sedari tadi.

Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan baru di benakku. Perkataan Muzan seolah memperkuat keingintahuanku perihal jawaban yang akan diberikan Muzan. Bukan berarti aku menginginkannya, tapi bukankah aneh jika Muzan tetap santai dan membiarkanku tiduran di dimensinya? Kenapa dia tidak menusukku lalu membuatku mati?! Setidaknya aku bisa menghadiri pesta pernikahan Koyuki-nee dan Akaza.

Dan lagi, ini menambah kecurigaanku bahwa Muzan memang bisa membaca pikiran. Bukankah tidak sadarkan diri merupakan hal yang wajar setelah semua cedera yang aku terima? Aku memainkan peran ini dengan mempertimbangkan kejadian sebelumnya. Tapi bagaimana bisa Muzan tetap tau aku tidak pingsan?!

"Lagipula Tamayo pasti sudah memberitahunya, aku tidak ingin mengakuinya tapi wanita itu memang menyusahkan."

Baiklah, ada satu hal yang aku pahami saat ini. Muzan benar-benar tidak bisa membaca pikiran. Apa yang aku ketahui dari Tamayo-san tidak berhubungan sama sekali dengan pertarungan kali ini, itu artinya masih ada rahasia lain yang belum aku ketahui. Dan ini, suatu keberuntungan!

Sudah ku duga, sepintar apapun atau sesempurna apapun makhluk seperti Muzan, setidaknya ia bisa melakukan kecerobohan. Ha! Sekarang kau tau siapa yang terkuat di sini! Astaga, jika saja aku tidak berakting sedang pingsan—meskipun sudah ketahuan, aku akan tertawa keras dan mencoba mengguncang mentalnya lagi, pasti keren. Haha! Percaya diri sekali aku ini.

Kami-sama, terimakasih. Meskipun dengan mengorbankan tubuhku sehingga penuh luka dan cedera berat, setidaknya aku mendapat sedikit hasil dari segala rasa sakit yang aku terima.

Baiklah, sekarang aku serahkan sudut pandang cerita kepada sang author.

"Pada dasarnya darahnya memang memiliki kemampuan untuk membuat iblis tahan terhadap sinar matahari." Muzan memulai penjelasannya, tatapannya tak beralih barang sedikitpun dari gadis yang tergeletak di bawahnya.

"Dan jika darahnya saja memiliki kemampuan sehebat itu, sesuatu yang menjadi inti darinya akan lebih berguna. Jantung, aku harus memakannya agar aku bisa abadi. Nah, kau sudah tau, kan?"

Muzan menekan tubuh (Y/n) dengan kakinya, melihat gadis itu tetap bergeming di tempat membuatnya bosan. Padahal ia pikir gadis itu bisa melawannya lebih lama lagi, dasar payah! Pikirnya.

"Lalu jika begitu, kenapa anda tidak segera melakukannya?" tanya Kokushibou, ia terlihat sedang duduk dengan Douma di sampingnya, sama sama mendengarkan penjelasan Muzan dengan serius.

Helaan nafas kasar keluar dari mulut pemimpin iblis itu, ia menggaruk kepala belakangnya kesal. "Masalahnya itu. Darah anak ini tidak cukup kuat untuk bereaksi pada tubuhku."

Alis Douma maupun Kokushibou menukik tajam tidak mengerti, sejenak kedua uppermoon itu bertatapan lalu kembali pada Muzan. "Maaf? Bisa Anda jelaskan lebih lanjut?"

"Darahnya memang sanggup membuat iblis rendahan tahan terhadap sinar matahari, tapi darahnya maupun jantungnya tak cukup kuat memberikan kemampuan itu padaku."

Setelah memberi jeda pada penjelasannya, Muzan menatap kedua iblis rembulan atas dengan mata menyipit. Ia tampak kesal, tapi entah kepada siapa. "Seperti yang kalian tau, tingkatan dari iblis berbeda beda. Ada suatu alasan mengapa darah anak ini masih lemah, sehingga ketika menghadapi ketahanan tubuhku yang luar biasa ia tidak sanggup."

"Lalu bagaimana cara membuat darahnya menjadi cukup kuat?" Kokushibou kembali bertanya.

Diam-diam Douma melirik ke samping, sedikit heran dengan Kokushibou yang lebih cerewet dari biasanya. Entah kenapa ia menjadi curiga, ada hal yang tidak beres di sini. Kenapa Kokushibou begitu mencampuri urusan (Y/n)?

Mata merahnya menyala dengan terang, seringainya muncul dengan hawa yang tiba-tiba mencekam. "Satu satunya cara. Bulan purnama."

"Wahh! Bulan purnama? Itu terjadi malam ini, kan?! Artinya sisa hidup (Y/n)-chan semakin menipis!"

Sialan, (Y/n) mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Douma mengatakan hal itu dengan nada ceria, ia benar benar harus menyumpal mulut iblis es itu! Tapi satu hal membuatnya sedikit terkejut, ternyata matahari sudah terbit! Malam sudah berlalu tapi penderitaannya belum, sangat malang nasibnya ini.

"Yah begitulah. Dengan kehadiran bulan purnama, ia akan memperkuat darah anak ini. Kita bisa mengartikan bulan purnama sebagai dewa malam, sementara malam dikuasai oleh para iblis. Maka, kalian bisa tau siapa yang diuntungkan di sini?" Muzan menatap tajam kedua bawahannya yang mengangguk-angguk kecil.

"Tuhan memberikan anugrah darah langka kepada anak ini. Tapi sayangnya, dia tidak bisa memanfaatkannya sebaik mungkin dan malah terjatuh kedalam permainanku." Ia kembali menyeringai seraya menatap gadis dibawahnya.

(Y/n) terdiam di tempat, ia masih mencoba memahami rentetan kata yang Muzan keluarkan. Ada yang membuat hatinya tidak tenang, berdasarkan semua perkataannya, Muzan seolah memaksa (Y/n) untuk berfikir.

Gadis itu tau ia melewatkan sesuatu, entah kenapa rasanya adalah sesuatu yang penting. Di saat seperti ini Muzan membuat (Y/n) kehilangan tujuan utamanya untuk kabur, sehingga yang dipikirkannya hanya perkataan Muzan, bukan strategi untuk menyelamatkan hidupnya.

"Tapi tuan, kenapa darah (Y/n)-chan lemah? Anda berkata bahwa darahnya 'masih' lemah, dalam kata lain 'belum' kuat. Jika begitu, bukankah ada cara lain yang membuatnya kuat secara permanen selain bulan itu, kan?"

Pertanyaan yang dilontarkan Douma membuat atensi Muzan beralih, ia cukup tertarik dan kagum Douma bisa menyadari hal itu. Kakinya yang semula berada di atas tubuh (Y/n) diangkat, mulai melangkah maju dan berbalik menatap tubuh tak berdaya sang Pilar Salju.

"Tentu ada. Darah anak ini masih lemah karena ...,"

(Y/n) membeku, disaat perkataan Muzan menggantung tiba-tiba kaki iblis itu menelusup masuk ke bawah perutnya, dan melakukan hal yang tak terduga.

"... Dia tidak mengasahnya."

Kaki Muzan melempar tubuh (Y/n) ke atas, dan di saat gadis itu masih melayang, Muzan mendorong kakinya ke depan tepat pada perut (Y/n) hingga ia terlempar dan menabrak tembok sampai hancur.

Salah satu uppermoon itu sudah membuka mulutnya, tapi seketika terhenti ketika mendapat lirikan tajam dari sang pemimpin. Manik merah menyala itu tampak menusuk, terdengar ancaman dari mulutnya. "Hentikan pembicaraan ini atau ku bunuh kau."

Puing-puing bangunan itu menimpa tubuhnya. Ia tentu ingin bertahan, sehingga memaksakan diri untuk duduk agar tidak tertimpa dinding yang hancur.

Kedua tangan gadis itu secara reflek memeluk erat perutnya, badannya membungkuk saat merasakan rasa sakit yang luar biasa. Hingga akhirnya mata (Y/n) terbelalak hebat, cairan merah kental keluar dari mulutnya dengan deras.

(Y/n) benar benar mual, darah yang memenuhi rongga mulutnya langsung tercium oleh hidungnya. Belum sempat menormalkan rasa terkejutnya ditendang secara tiba-tiba, muncul sekelebat bayangan di hadapannya.

Pemimpin iblis itu membungkuk dengan kedua tangannya yang bertumpu pada lutut. Netra merahnya menatap intens juga tajam pada (Y/n) yang menelan salivanya susah payah.

Muzan menyeringai, membentuk senyuman miring yang meremehkan. "Mengorbankan diri sendiri demi keselamatan sahabat, eh? Dia sangat beruntung memiliki teman sepertimu."

"Namun, sayang sekali ia akan segera kehilangan temannya yang baik ini." Seringaian iblis itu semakin lebar, tak mampu menyembunyikan rasa puas dan raut wajah kemenangannya.

"Senjatamu sudah hilang, tak ada lagi yang bisa kau lakukan agar bisa kabur atau melawan. Untuk itu, tolong nikmati sisa hidupmu yang malang itu. Jangan kebanyakan bertingkah dan matilah dengan tenang."

(Y/n) tak mampu bereaksi, tatapannya yang sudah mulai kabur masih bisa melihat sesuatu yang datang dari atasnya. Ia begitu sadar sebuah serangan akan mengenai kepalanya, tapi apa yang bisa ia lakukan? Perjuangannya sudah cukup sampai saat ini.

Duakkk

.
.

"Siapa kau?!"

Kesan pertamanya terkejut tentu saja. Saat ia pikir sudah terbebas dari maut yang mengancam, tiba-tiba sebuah nichirin sudah mengarah dan siap menebas kepalanya.

Perlahan tatapannya mengarah ke atas, memperhatikan siapa pelaku yang membuat dirinya terkejut. Namun, sedetik kemudian matanya berbinar cerah, ia segera bangkit dan melupakan luka di tubuhnya yang terasa sakit.

Gadis itu mengepalkan kedua tangannya di depan dada, memekik kaget, "Demi apa kalian para Pilar?!"

Pilar lain saling bertatapan dengan alis yang bertaut bingung, sementara emosi Giyuu benar-benar semakin memuncak. "Jangan bercanda!! Siapa kau?! Kenapa kau bisa ada di sini!" ia membentak dengan suara yang menggelegar, bahunya sedikit bergetar akan rasa takut saat menyadari orang yang diinginkannya tidak ada di hadapannya.

"Ah! Aku?" gadis itu menunjuk dirinya sendiri. Kemudian ia tersenyum, membungkukkan badan sebagai rasa hormat. "Perkenalkan, namaku Yuri, aku adalah ras terkuat di dunia ini, sering dipanggil dengan sebutan Wibu!"

Giyuu melebarkan matanya, ia bertatapan dengan Pilar lain, ekspresinya terlihat panik. "Ada ras yang lebih kuat daripada iblis?! Yang benar saja!"

"Duh, bego." Yuri menepuk dahinya sendiri, bisa-bisanya ia membohongi para Pilar, gadis itu jadi merasa orang paling hebat di dunia.

Yuri tersentak, ia teringat sesuatu yang begitu penting. Ugh, bagaimana bisa ia melupakannya?! Netra berwarna pinknya diedarkan ke seluruh tempat, merasa panik saat menyadari sesuatu.

"Duhh, kok engga ketemu dedek Muichirou." Yuri menggigit kuku jarinya cemas, padahal ia sudah bersemangat untuk menemui husbu tercintanya di dunia ini, tapi nyatanya rencananya gagal.

"Tunggu, bagaimana bisa kau tau Muichirou?" Giyuu melirik tajam, semakin curiga pada gadis dihadapannya yang sudah keluar keringat dingin.

Sial, Yuri mengumpat dalam hatinya. Ia lupa kalau ia berasal dari dunia lain, pasti mereka bingung tiba-tiba ada yang mengetahui nama mereka. Yuri juga sadar pasti (Y/n) menyembunyikan fakta bahwa dunia ini hanyalah sesuatu yang fiksi di dunianya, jadi Yuri harus mengikuti permainan (Y/n) agar tidak menambah masalah.

"I-itu loh, a-aku—"

"Sialan! Kau banyak bicara! Bagaimana bisa kau memiliki nichirin (Y/n), dan dimana dia sekarang?!"

Yuri terperanjat kaget saat Sanemi menarik pakaiannya, tapi di saat yang bersamaan seolah ada aliran listrik yang menyetrum otaknya. Gawat! Yuri melupakan hal yang benar-benar penting, sekarang ia tidak heran jika (Y/n) menyebut dirinya bodoh.

"Sialan, kau memang mencurigakan. Aku akan membunuhmu sekarang juga!"

"Akhh!!"

Gadis itu panik luar biasa, tenggorokannya seakan di tekan sehingga menghambat pernafasannya. Ia meronta, mencoba melepas cekikan Sanemi yang membuat air matanya nyaris keluar.

"Shinazugawa-san! Jangan gegabah!!" Mitsuri melesat mendekati Sanemi dan mencoba melepas serangan dadakan pria itu.

Akibatnya, cekikan Sanemi sedikit melonggar karena bantuan Mitsuri. Keduanya beradu argumen seraya melakukan hal yang menurut mereka benar. Di saat kesempatan itu datang, Yuri menggunakannya untuk berseru selantang-lantangnya.

"Cukup! Sekarang bukan itu yang harus diperdebatkan! (Y/n) dalam bahaya!!!"

.
.

Dimana ... ini?

Satu pertanyaan yang memenuhi otaknya saat ini. Ia mencoba melangkahkan kakinya, berusaha agar menemukan petunjuk apapun yang bisa menghentikan serangan pertanyaan dalam benak.

Yang dilihatnya, hanya kegelapan. Yang didengarnya, hanya keheningan. Yang dirasakannya, hanya kehampaan.

Ia jatuh terduduk dengan tangan yang memeluk dirinya sendiri. Ia merasakan kesepian yang amat mendalam, bahunya bergetar oleh rasa takut. Hatinya yang begitu sesak membuat air matanya mengalir, ia terisak dalam kesendirian.

Pertahanannya rubuh, tak ada siapapun yang mengetahui seberapa takutnya ia menghadapi kematian. Segala cedera yang diterimanya benar-benar sakit, ia tak lebih hanya manusia biasa yang nyaris menangis ketika lututnya terluka.

Tapi apa-apaan sekarang ini? Gadis itu merasa mati berkali-kali saat cedera parah dideritanya. Ia berusaha kuat, ia berusaha tegar dan tersenyum di hadapan orang orang, terlebih sahabatnya yang tiba tiba terlibat akan masalahnya.

Tak ada yang tau seberapa hancur mentalnya, tak ada yang tau seberapa lemah hatinya, masalah yang bertubi-tubi seakan tak ada habisnya, terkadang ia merasa dilahirkan untuk menerima semua kesialan di dunia ini.

Bahkan sekarang, saat kegelapan menjadi pemandangannya di sejauh mata memandang, ia seakan dibawa ke masa dimana ia benar-benar menderita oleh kesendirian. Tuhan seakan tak puas menyiksa batinnya, dan kini ia harus menerima rasa sakit akan cedera yang tidak bisa dibilang enteng.

Matanya tertutup menumpahkan air mata yang begitu deras. Gadis itu mengeluarkan segala kesedihannya terhadap ketidakadilan takdir yang menimpanya.

Namun, diantara keresahannya, gadis itu tiba-tiba membuka matanya terkejut. Ia merasakan elusan yang begitu lembut di kepalanya hingga sebuah tubuh yang melayang terduduk di hadapannya.

Tubuh itu begitu bersinar, membawa serta cahaya yang memudarkan kegelapan disekitarnya. Dan dalam sekejap, ia sudah berada di padang rumput yang benar-benar luas dengan hembusan angin lembutnya.

Gadis itu mengangkat kepalanya perlahan, diikuti mata juga mulutnya yang terbuka lebar. Manik violetnya semakin bergetar, tak mampu sedikitpun mengeluarkan suara dari mulutnya.

"Ara~ ara~, apa (Y/n)-chan tidak merindukan ibu?"

Ia menggigit bibirnya sendiri, matanya yang menyipit mengeluarkan lebih banyak air mata. Sejenak, bahkan gadis itu melupakan rasa sakit saat darah menetes dari sudut bibirnya.

"I-ibu ...?"

"Ibu!!!"

(Y/n) langsung menerjang wanita dewasa di hadapannya dengan pelukan. Pelukannya begitu erat, tangisnya semakin pecah saat wanita itu membalas pelukannya. Setelah sekian lama, kehangatan yang ia rindukan kembali hadir.

Gadis itu berteriak, menyerukan nama ibunya dengan suara serak. Akalnya masih tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat dan ia rasakan. Tapi yang paling penting, ia ingin pelukan ini tak pernah berakhir.

"Ibu, kenapa ...? Kenapa ibu meninggalkan (Y/n) sendiri ...? Kenapa? (Y/n) tau! (Y/n) tau (Y/n) anak nakal, tapi ibu bahkan tak meminta izin. (Y/n) tak pernah, sekalipun tidak pernah mengizinkan ibu untuk pergi dari kehidupan (Y/n)!!"

Isakannya terdengar pilu, air matanya tak dapat dihentikan dengan cara apapun. Perasaannya campur aduk, antara senang, marah, kesal dan putus asa. (Y/n) benar-benar menunggu saat ini untuk memberikan beribu pertanyaan pada Kanae.

Kanae mengelus kepala (Y/n) lembut, mengecup puncak kepala gadis itu. "(Y/n)-chan, maaf ya, ibu tau ini salah ibu, tak seharusnya ibu meninggalkanmu."

Wanita dewasa itu mendongakkan kepalanya, menahan cairan bening yang hendak menerobos pertahanannya. Setidaknya tidak kali ini, ia harus terlihat kuat di hadapan anaknya ini.

"Ibu tidak mengerti ..., ibu gak tau seberapa menderitanya (Y/n) setelah ibu pergi!" suaranya bergetar menahan tangis, (Y/n) mengeratkan pelukannya seakan tidak ingin melepas ibunya untuk yang kedua kalinya. "Tak lama setelah itu ayah juga pergi! (Y/n) sendiri, bu .... kalian meninggalkan (Y/n) sendiri!"

Kanae mengeratkan pelukannya, menyalurkan rasa kasih sayang kepada anak satu-satunya ini. Bohong jika ia bilang tidak sedih, bagaimanapun ia tak pernah ingin meninggalkan (Y/n).

Tiba-tiba (Y/n) melepas pelukannya, ia menatap Kanae tegas dan menggenggam kedua lengan Kanae. "Ibu ... (Y/n) ikut ibu, ya? (Y/n) ikut, ya? (Y/n) mohon ..., (Y/n) mohon ..., (Y/n) udah gak tahan lagi, (Y/n) mohon izinkan (Y/n) ikut dengan ibu."

Kanae menggeleng lemah, ia menutup mulutnya dengan air mata yang menggenang pada netranya. Ia begitu tidak menyangka akan bertemu anaknya kembali dalam keadaan seperti ini, gadis itu sungguh terpuruk dan kesepian.

Wanita itu menangkupkan pipi (Y/n) dengan kedua telapak tangannya, sekali lagi ia menggeleng, Kanae mengulum bibirnya tidak dapat berkata-kata. "Sayang, tidak. (Y/n)-chan tak boleh ikut ibu, masih ada kehidupan yang harus (Y/n)-chan jalani."

"Kehidupan? Kehidupan apanya?!" tanpa sadar (Y/n) sedikit membentak. "(Y/n) gak pernah ngerasa hidup! Ibu, salah (Y/n) apa, sih? Kenapa Tuhan seneng banget mempermainkan hidup (Y/n), bu? (Y/n) cuma pengen bahagia! Apa itu sulit (Y/n) dapetin?"

"Tidak, (Y/n)-chan harus mengerti..."

"Mengerti apa lagi?!" bentak (Y/n), tangannya terkepal erat tanpa menghentikan laju air matanya. "(Y/n) gak pernah bisa bahagia! Dari dulu (Y/n) sendiri!"

"Kalian satu-satunya yang (Y/n) punya! Tapi kalian meninggalkan (Y/n)!! (Y/n) gak pernah punya siapa siapa lagi sampai beberapa orang datang ke kehidupan (Y/n). Dan dengan lucunya takdir memutar balikkan kehidupan (Y/n), bu! Mereka satu persatu pergi, dan semua itu salah (Y/n)!! Pada akhirnya (Y/n) sendiri lagi!"

Kanae menggelengkan kepalanya, air matanya menetes satu persatu mendengar nasib anaknya yang sangat menderita. Sejak tadi telapak tangannya tersimpan untuk menutupi mulut, masih tidak menyangka akan apa yang ia dengar.

"Setelah itu (Y/n) terlepas dari semua itu." (Y/n) menunduk, mengingat rentetan kejadian yang sudah berlalu beberapa tahun. "(Y/n) terlepas dari kesendirian, (Y/n) tiba-tiba datang ke dunia ini dan mendapat keluarga juga teman baru. Tapi apa lagi?! Apa segitu bencinya Tuhan sama (Y/n) sampai gak bisa kasih (Y/n) kehidupan yang tenang?!"

(Y/n) memeluk dirinya sendiri, mengingat bagaimana ia melalui hari di dunia ini begitu menyakitkan hatinya. Entah persoalan pribadi maupun yang berhubungan dengan tujuan utamanya, ia menutup matanya erat.

"Sakit, bu.... (Y/n) gak tahan, (Y/n) gak kuat! Kalau seandainya bisa menghentikan semua penderitaan yang (Y/n) alami, (Y/n) akan mengatakannya dengan lantang bahwa (Y/n) lemah!! (Y/n) lemah! (Y/n) takut, bu..., (Y/n) gak bisa hidup dibayang-bayangi kematian yang menyakitkan."

"Setelah semua ini, (Y/n) tau seberapa sakitnya hidup diantara kesendirian! Dan sekarang (Y/n) harus menghadapi maut setiap harinya! Kenapa takdir begitu kejam, bu...?!"

"(Y/n) tau seberapa menderitanya saat menghadapi kesendirian! Tapi ini lebih sakit, (Y/n) gak bisa selalu dapetin cedera parah setiap mau menyelamatkan orang lain! Niat (Y/n) baik, bu, tapi kenapa Tuhan gak baik sama (Y/n) juga?!"

"(Y/n) capek, (Y/n) gak bisa terus menghadapi pertarungan yang ngerusak mental (Y/n). (Y/n) tau ibu ngerti, gimana rasanya patah tulang, ditusuk, terkena racun, semua luka itu nyata!! Mungkin (Y/n) bisa nyembunyiin kesedihan (Y/n) dengan kerja atau tidur di dunia lama (Y/n), tapi di sini gak bisa gitu! Semuanya nyata, dan rasanya sakit!!"

"Kenapa harus (Y/n)?! Kenapa gak orang lain yang lebih kuat aja?! (Y/n) itu lemah! (Y/n) bahkan gagal berkali-kali nyelametin orang yang (Y/n) sayang! (Y/n) gak mau itu terulang lagi!"

"(Y/n) gak tahan, (Y/n) mau mati aja ikut ibu sama ayah."

Kanae menarik (Y/n) kedalam pelukannya dengan cepat. Ia memeluknya erat, air mata sudah tak tertahankan untuk mengeluarkan diri dari tempatnya.

Wanita itu mengusap rambut (Y/n) berkali-kali, mencoba memberi ketenangan diantara kegundahan dalam hatinya. Teriakan pilu (Y/n) tak henti-henti, ia begitu lelah menjalani kehidupannya yang tak kunjung mencapai kebahagiaan.

"Maaf, sayang, ini semua salah ibu. Maaf, maaf, maaf. (Y/n)-chan terlibat kedalam masalah ini karena ibu, takdir ini tak bisa terelakkan lagi."

"Bagaimanapun juga, takdir juga menuntun ibu untuk bertemu ayahmu lalu melahirkan (Y/n)-chan. Ibu minta maaf, seharusnya (Y/n)-chan bisa dapat kehidupan yang lebih layak, tapi ibu malah memberikan penderitaan pada (Y/n)-chan."

Kanae melepas pelukannya, mengusap pipi (Y/n) lembut dengan kedua ibu jarinya untuk menghapus sisa air mata. "Tapi (Y/n)-chan harus mengerti. Alasan Tuhan memilih (Y/n)-chan untuk menjalani garis takdir ini, karena Tuhan yakin (Y/n)-chan bisa ngelewatin ini semua."

"Ibu percaya (Y/n)-chan kuat, (Y/n)-chan pasti bisa melalui semua ini dan memenangkan semuanya. Bukan hanya kebahagiaan (Y/n)-chan, tapi juga kebahagiaan orang lain yang (Y/n)-chan selamatkan."

(Y/n) lagi lagi menggigit bibir bawahnya kuat, ia tak mengerti lagi harus apa. Apakah semua yang ia lakukan selama ini sudah tepat? Tapi nyatanya ia sering gagal.

Tak dapat dipungkiri bahwa ia ingin mengakhiri semuanya, setidaknya tertidur untuk selamanya bisa menyelesaikan segala rasa sakit baik yang menyerang hati maupun tubuhnya.

"Tapi kenyataannya (Y/n) gagal. (Y/n) gak bisa lakuin apa-apa buat bantuin dunia ini, yang ada (Y/n) jadi beban untuk para Pilar. Lagipula (Y/n) gak masalah kalau (Y/n) mati, (Y/n) udah capek."

Melihat anaknya yang sudah sangat putus asa membuat hati Kanae sedikit sesak, ia begitu khawatir pada kondisi anaknya yang sedang berada di titik terendah. Ia masihlah remaja yang bingung memilih jalan hidupnya.

"(Y/n)-chan, kau sudah tau ayahmu itu siapa, kan?"

Gadis itu hanya mengangguk lemah menanggapi pertanyaan ibunya. Kanae kembali tersenyum, matanya nyaris tertutup oleh karenanya.

"Dia adalah satu-satunya pemburu iblis terkuat, ia nyaris membunuh Muzan dengan kekuatannya sendiri."

"Lalu apa? Apa hubungannya dengan ayah? Dia memang hebat, tapi (Y/n) tidak." (Y/n) kembali menunduk dengan tangan terkepal erat, melampiaskan rasa kesalnya terhadap betapa lemahnya dirinya sendiri.

"(Y/n)-chan. Kau adalah keturunannya. Tidak menutup kemungkinan bahwa kehebatannya akan menurun padamu. Bukankah lebih baik kau membantu menyelamatkan dunia ini, dibanding mati percuma? Tak ada yang berubah dengan kematianmu, (Y/n)-chan."

(Y/n) berfikir, semua yang dikatakan Kanae memang benar. Lagipula iapun sudah membicarakan hal itu ribuan kali dengan para Pilar, dan selalu berakhir dengan dirinya yang kalah berargumen.

Memang harus diakui bahwa perkataan mereka benar, tapi ini masalah ketahanan (Y/n) terhadap dunia yang gila ini. Bisa-bisa bukan hanya dunia ini yang gila, tapi juga dirinya.

"Tapi (Y/n) harus gimana lagi, bu? (Y/n) udah gagal. (Y/n) gak punya senjata lagi buat ngelawan, (Y/n) juga gak punya ide sedikitpun biar bisa keluar dari dimensi Muzan, (Y/n) gak bisa ngapa-ngapain lagi."

Kanae tersenyum lembut, ia mengangkat tangannya dan kembali mengusap kepala (Y/n) yang perlahan turun ke pundaknya. "Ibu bisa membantumu."

Gadis itu terdiam seribu bahasa. Tatapannya tak beralih sedikitpun dari sang ibu yang hanya tersenyum tanpa penjelasan berlebih. Bibirnya terbuka, lalu kembali tertutup, kejadian itu terus berulang menandakan kebingungan yang melanda.

"Apa maksud ibu ...?"

Kanae tersenyum sejenak, tangannya terangkat dengan jari telunjuk yang terbuka. Bagaikan sihir, kawanan kupu-kupu menghampiri dan mengerubungi jari Kanae.

"(Y/n)-chan, apa (Y/n)-chan tau kenapa (Y/n)-chan bisa bertemu ibu?"

(Y/n) hanya membalas dengan gelengan, ia terlalu senang sekaligus sedih bisa bertemu ibunya hingga melupakan logika yang ada.

"Pada dasarnya, seharusnya ibu sudah ada di akhirat, tapi kasus ibu berbeda dengan biasanya. Kau tau siapa yang menyebabkan ibu mati di dunia ini?"

Gadis itu memalingkan tatapannya, mendecih sekecil mungkin agar tidak terdengar oleh Kanae. "Douma sialan itu."

Kanae terkekeh pelan dengan tangan yang menutupi mulutnya anggun. Jujur saja ia sedikit terkejut mengetahui anaknya yang polos ini bisa mengumpat, tapi setelah mengetahui bahwa (Y/n) tinggal bersama para Pilar, sepertinya Kanae tau kenapa hal itu bisa terjadi.

"Ibu terbunuh saat bertarung dengan uppermoon dua. Douma, dia memakan ibu setelahnya. Tapi entah apa yang terjadi, sebagian dari roh ibu terjebak dalam tubuh Douma."

"Ingat? Dulu (Y/n)-chan pernah melihat roh ibu yang keluar dari tubuh Douma, bukan? (Y/n)-chan bukan berhalusinasi, itu memang kenyataan."

"Ibu bisa bertemu dengan (Y/n)-chan karena Douma sedang berada di dekat (Y/n)-chan. Ibu tidak tau, tapi sepertinya dia sedang mengobrol asik denganmu yang sedang tidak sadar." Kanae terkekeh kecil.

"Dan kini, ibu akan membantu dengan memasuki tubuh (Y/n)-chan. Ibu bisa mengartikan sebagian roh ibu yang terjebak dalam tubuh Douma adalah sisa kekuatan ibu, jadi jika ibu membantumu dengan sisa kekuatan ibu, roh ibu akan sepenuhnya terlepas dari tubuh Douma."

Tubuhnya mematung mendengar penjelasan Kanae, entah kenapa ia merasakan hal yang ganjal. Ia tau ada sesuatu yang tidak beres, jadi ia bertanya, tapi entah apa alasannya bibirnya bergetar saat mengatakan hal itu.

"Apa itu artinya ... (Y/n) tidak akan bisa bertemu ibu lagi?"

Kanae masih tak melunturkan senyumannya, bertambah dengan kepalanya yang dimiringkan. "Ibu rasa begi—"

"Tidak!" potong (Y/n) kilat, suaranya terdengar lantang. "(Y/n) tidak akan membiarkannya!! Ibu tidak perlu membantuku! Ibu serius? Ibu akan meninggalkan (Y/n) lagi?! Jangan bercanda! (Y/n) lebih baik mati daripada tidak bisa bertemu dengan ibu lagi untuk selamanya!!"

Kanae menghela nafas panjang, anaknya ini memang sangat keras kepala. Wanita itu pun merasa tidak enak, (Y/n) pasti sangat menyusahkan di markas sana, kepalanya yang sekeras batu memang terkadang menjengkelkan.

"(Y/n)-chan, tolong mengerti, ya? Ibu ingin menebus kesalahan ibu karena telah membuat (Y/n)-chan terlibat kedalam masalah serumit ini."

(Y/n) menggeleng cepat, ia meraih kedua tangan Kanae dan menggenggamnya erat, tatapannya tak lepas dari manik ibunya yang senada dengan iris violetnya.

"Tidak, ibu! Sedari awal ini bukan salah ibu! (Y/n) gak peduli, (Y/n) cuma menginginkan ibu! (Y/n) gak mau ditinggal sendiri lagi, bu, (Y/n) mohon! Setidaknya (Y/n) cukup kuat untuk menghadapi segala cedera ini jika ibu ada di samping (Y/n)! (Y/n) mohon jangan pergi ...!"

Iris mata (Y/n) melebar saat Kanae melepas pegangan tangannya. Kedua tangan Kanae beralih pada pundaknya, tatapan ibunya begitu tegas namun lembut.

"(Y/n)-chan, sadarlah! Semua ini tidak menghilangkan fakta bahwa ibu sudah mati!"

Kanae melepas pegangan tangannya terhadap pundak (Y/n), bibirnya bergetar, ia merasa bersalah sudah sedikit membentak anaknya hingga kembali mengalirkan air mata. Wanita itu, menarik nafas panjang.

Pipi (Y/n) yang semula mengering kembali basah oleh tumpahan air mata. Ia terlalu terbawa suasana hingga melupakan kenyataan dimana ibunya sudah tiada baik di dunia ini maupun dunia lamanya. Sedikitnya itu membuat (Y/n) merasa sesak, rasa bahagianya bertemu sang ibu hanya berlangsung beberapa menit.

"(Y/n)-chan, berhenti terbayang-bayangi oleh masa lalu. (Y/n)-chan harus mencari kebahagiaan (Y/n)-chan sendiri!"

Perkataan Kanae selanjutnya membuat (Y/n) menggigit bibirnya, ia begitu bingung dengan segala pertanyaan yang menggunung di benaknya. Tak ada satupun yang bisa ia jawab, tak ada satupun yang bisa ia selesaikan, (Y/n) tidak mengerti lagi.

"Ibu..., apa aku, bisa menemukan kebahagiaanku?"

Sejenak Kanae melebarkan matanya, tapi tak berlangsung lama setelah ia mengulas senyum tipis. Tangan wanita itu bergerak, membuka tangan (Y/n) sehingga telapak tangannya membentuk cekungan.

"Tentu saja, ibu sangat yakin (Y/n)-chan akan bahagia. Dan apapun yang terjadi, (Y/n)-chan harus selalu mengingat ..."

Perkataan Kanae menggantung, ia menggerakkan tangannya ke atas dan meraih kupu-kupu kecil berwarna ungu. Wanita itu menuntun kupu-kupu untuk terbang dan mendarat di kedua telapak tangan anaknya.

"... Ibu akan selalu berada di hati (Y/n)-chan, kapanpun dan dimanapun itu."

Perlahan air matanya menyurut, ia terpaku pada kupu-kupu berkilauan yang ibunya berikan untuknya. Kepalanya terangkat, menatap ibunya yang mengulas senyum kecil.

"Ibu senang (Y/n)-chan sudah mendapat keluarga baru, ibu senang (Y/n)-chan sudah tidak sendirian lagi. Percayalah, Tuhan menuntunmu pada garis takdir ini karena memang ini yang terbaik untukmu."

(Y/n) menghapus jejak air matanya yang tersisa, ia menatap ibunya dengan senyum yang dipaksakan. Tak dapat dipungkiri bahwa ia masihlah sedih menyadari waktunya bertemu dengan Kanae semakin menipis. "Terimakasih, ibu, sungguh, terimakasih untuk semuanya."

Kanae tersenyum lembut, tapi tiba-tiba itu terperanjat saat melupakan sesuatu. "(Y/n)-chan, boleh ibu minta tolong untuk menyampaikan pesan?"

Gadis itu hanya mengangguk menanggapi dengan kebingungan. Setelahnya ia dapat melihat Kanae menggerakkan mulutnya, mengeluarkan beberapa kata yang tanpa sadar membuatnya tersenyum tipis saat tau siapa penerimanya.

"Aku akan menyampaikannya, bu, pasti." (Y/n) tersenyum lembut, benar-benar senyum tulus yang pertama kali untuk sepanjang hari ini.

Kanae tersenyum lebar, senang karena keceriaan anaknya telah kembali. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, sejenak menghirup udara segar di sekitarnya. "(Y/n)-chan, jangan terlalu berlarut dalam kesedihan, tak lama lagi seseorang akan menemui dan membantumu, ibu yakin (Y/n)-chan akan senang."

Sejenak iris violetnya melebar, (Y/n) menunduk diiringi kekehan kecilnya. "Ah, ayah ..., (Y/n) merindukannya."

(Y/n) sedikitnya sempat melamun untuk beberapa saat, hingga ia kembali tersadar saat kedua tangannya di genggam oleh Kanae. Kanae membungkuk untuk meraih tangan (Y/n), sehingga kini wajah keduanya sejajar.

"Ibu akan memberi waktu untuk (Y/n)-chan berfikir. Jika (Y/n)-chan sudah siap, ibu akan membantu sebisa mungkin. Tapi, pikirkanlah dengan tepat dan secepat mungkin, ibu yakin teman temanmu mengkhawatirkan keadaanmu."

Setelahnya sebelah tangan Kanae terangkat, mengelus kepala (Y/n) yang sepertinya akan menjadi yang terakhir kali. Kepalanya mendekat, Kanae mendaratkan kecupan lembut pada puncak kepala anak tersayangnya.

"Berbahagialah, ibu akan selalu mendukung apapun keputusan (Y/n)-chan."

Perlahan tubuh Kanae bersinar, begitu terang hingga tak berwujud. Lalu cahaya itu meredup, melebur menjadi butiran kilauan yang terbang dibawa angin, dilepas menuju tempat yang tak lagi bisa gadis itu gapai.

(Y/n) menunduk, surainya jatuh seiring terbawa gravitasi. Netra ungu gelap miliknya terpaku pada kupu-kupu berwarna senada di tangannya. "Teman-teman, mereka, mengkhawatirkan ku?" gumamnya lirih, tanpa sadar.

Haruskah ia percaya pada perkataan ibunya? Haruskah ia bertahan lebih lama di dunia ini? Haruskah ia menerima sakit yang lebih dari yang pernah ia terima sejauh ini? Berbagai pertanyaan berlalu lalang di pikirannya.

Gadis itu sudah tidak sanggup, hatinya yang begitu rapuh tak bisa disembunyikan lebih lama lagi. Dunia ini terlalu berbahaya untuknya, ia tak tahan lagi jika harus melihat mayat tak berdosa yang terbunuh di depan matanya.

Berapa ...?

Berapa puluh orang yang gagal (Y/n) selamatkan, berapa banyak keluarga yang menangis saat kehilangan anggota keluarganya. Memang tak ada yang menyalahkannya atas apa yang iblis perbuat, tapi itu tak merubah fakta bahwa gadis itu gagal melindunginya.

Namun, bukankah orang yang ia selamatkan juga tidak sedikit?

Pertanyaan itu tiba-tiba menghampiri benaknya hingga mematung di tempat. Dua tahun di dunia ini, ia sudah banyak menjalankan misi untuk menyelamatkan berbagai orang.

Senyum bahagia bisa kembali bersama dengan keluarga, ucapan terimakasih yang tulus, rasa lega terhindar dari kematian, kepuasan telah membunuh iblis yang kejam. Gadis itu, begitu merindukan momen-momen itu.

Ia selalu senang atas keberhasilan yang ia peroleh, ia selalu bahagia melihat nyawa orang yang terselamatkan, bukankah jika ia bertahan, ia bisa merasakan lebih banyak perasaan semacam itu?

Terlebih apabila gadis itu bisa membunuh Muzan di pertarungan akhir, bukankah gadis itu telah membantu kebebasan umat manusia dari rasa takut terhadap iblis? Jika itu terjadi, mungkin ialah orang yang paling bahagia.

Pemburu iblis lain juga pastinya sudah terlalu lelah, bagaimana bisa ia yang baru bertahan selama dua tahun sudah menyerah? Bukankah ia juga bisa memperjuangkan kebahagiaan keluarga Tanjirou? Mengubah adiknya menjadi manusia kembali dan berkumpul bersama keluarga dengan hangat.

"Oyakata-sama ..., apakah dia akan sedih jika aku mati?"

Gadis itu kembali bergumam. Memikirkan hal yang tidak akan ada habisnya. Selain itu, apa yang akan terjadi lagi apabila ia mati?

Apakah Mitsuri akan menangis karena kehilangan sahabatnya? Apakah Obanai akan kecewa karena gadis itu mengingkari perkataannya sendiri untuk kembali? Apakah Muichirou akan kesal karena waktu yang ia habiskan untuk berlatih bersama gadis itu menjadi sia-sia? Apakah Kyoujuro akan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian gadis itu?

Dan yang paling penting, apakah Giyuu akan sangat membencinya? Gadis itu bahkan belum sempat meminta maaf, yang dilakukannya hanya menangis saat tak ada yang melihat. Gadis itu, begitu merindukan suara Giyuu.

Apabila ia mati, bukankah semua hal itu akan terjadi? Apa itu artinya, saat ia beradu argumen dengan Giyuu adalah terakhir kalinya ia mendengar suara itu? Gadis itu, tak menginginkannya.

Benar, setelah semua penderitaannya selama ini, kenapa ia harus berakhir dengan menyedihkan pula? Bukankah ia harus balas dendam kepada takdir dengan membuat skenario hidupnya sendiri yang lebih bahagia?

Gadis itu mengangkat tangan beserta kepalanya, menerbangkan kupu-kupu kecilnya ke langit yang tinggi. Matanya terpejam pelan, lalu mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara lembut.

"Ibu, (Y/n) siap."

.
.

"Ne, ne, (Y/n)-chan, tau tidak? Aku sedih sekali karena sisa hidupmu tinggal sedikit lagi. Padahal jika tuan tidak memiliki urusan denganmu, aku akan menjadikanmu iblis dengan senang hati, dan kita bisa hidup bersama selamanya!"

Layaknya orang sinting, iblis itu duduk bersila di samping tubuh (Y/n) yang terkapar lemas seraya mengajaknya mengobrol. Kepalanya bertumpu pada telapak tangan, Douma tak mengalihkan perhatiannya dari gadis Pilar itu.

"Ahhh!! Kesal sekali! Padahal aku ingin bertarung lagi denganmu, tidak seharusnya kau mati sepayah ini!!" Douna mengeluh kesal, meskipun nada suaranya tinggi ia tetap menjaga agar tuannya tidak dapat mendengar suaranya. Sembarangan, bisa-bisa Douma mati saat itu juga!

"Tapi aku— eh?!"

Douma melompat dengan kecepatan tinggi, ia menahan nafasnya saat rasa terkejut masih melandanya. Netra pelangi miliknya menatap tajam, gadis yang sedari tadi ia perhatikan tiba-tiba bergerak dan melayangkan tendangan ke arahnya.

Iblis pengguna teknik es itu mendarat sempurna dengan badannya yang sedikit membungkuk, tatapannya begitu intens saat gadis itu berdiri dengan anggunnya. Douma menegakkan tubuhnya dan terkejut lagi akan sesuatu.

"Haa~, tubuhku sakit sakit semua~."

Gadis itu mengangkat tangannya untuk meregangkan tubuh penuh lukanya, setelah itu tatapannya beralih pada Douma yang sedikit menyeringai, ia hanya membalas dengan senyuman.

"Kau bukan (Y/n)-chan." Douma yang semula membuka kipasnya, kembali di tutup saat merasa tidak terancam lagi. Ia terkekeh pelan dengan aura dinginnya.

Kanae aka (Y/n) yang sedang kerasukan memiringkan kepalanya bingung, telunjuknya ditaruh pada bibir bagian bawah. "Ehh~? Kenapa kau bisa menyimpulkan omong kosong itu?"

Douma melebarkan seringai miliknya, memberi tatapan angkuh pada gadis di hadapannya. "Karena jika kau (Y/n)-chan, bukan kalimat itu yang kau katakan saat pertama kali sadar."

"Lalu?"

"'Tuan sialan, mati saja kau.'"

"Ah maaf, aku memberi sensor dengan kata tuan karena tidak bisa menyebut namanya, tolong maklumi kekuranganku ini."

Douma terkekeh santai, sementara (Y/n) menahan emosinya dengan senyuman yang masih tergambar apik. Wah, anakku sudah dewasa ternyata, pikir Kanae yang mengendalikan tubuh (Y/n).

"Yah, aku bisa saja bertarung denganmu sebentar, tapi ini bukan urusanku," keluh Douma pelan, menghela nafas pasrah dengan perasaan yang sedikit sebal. "Jadi, selamat tinggal!"

(Y/n) menatap kepergian Douma dalam diam. Ia menghirup nafas panjang dengan mata tertutup, bersiap untuk sesuatu yang sedikit melelahkan setelah ini. (Y/n) membungkukkan tubuhnya, berputar secara horizontal lalu melompat memberi jarak.

Tatapannya menyipit, memfokuskan diri. Untung saja ia menyadari kehadiran Muzan sehingga ia tepat waktu untuk menghindar, jika tidak mungkin ia sudah langsung kalah.

Muzan memberi serangan pada kepalanya, tapi tentu tidak kena karena (Y/n) menghindar. Muzan menyeringai di tempatnya, tatapannya sungguh angkuh dan meremehkan. "He? Sudah ada di akhir hidup masih mencoba menyelamatkan diri? Kau tau itu percuma, luka yang kau terima terlebih tak ada senjata yang bisa kau pakai untuk bertahan."

(Y/n) tersenyum, sedikit kagum ternyata Muzan bisa berbicara sepanjang itu. Ia pikir, pemimpin iblis itu hanya makhluk bodoh yang sok dingin dengan perkataannya yang selalu disingkat-singkat, tapi ternyata perkiraannya sedikit salah.

Tangan (Y/n) bergerak ke belakang, meremas-remas udara hingga akhirnya menyeringai. (Y/n) sedikit membungkuk memperlihatkan konsentrasinya yang sangat tinggi, pula iris violetnya yang menyala tajam menambah kesan mencekam.

"Yah, sebenarnya aku punya."

Muzan melebarkan matanya, (Y/n) mengeluarkan tangannya dan memperlihatkan senjata pembunuh iblis. Namun, sedetik kemudian mata Muzan menyipit curiga, itu bukan nichirin yang biasa (Y/n) pakai, pikirnya.

"Ah, dasar pengganggu, mari selesaikan semua ini dengan cepat, mayat."

(Y/n) menyeringai mendengar panggilan itu. Walau dalam hatinya ia merasa kesal, tapi ia harus tetap fokus agar bisa menyelamatkan tubuh anaknya ke tempat yang lebih aman. "Yah, aku juga tidak ingin berlama-lama di sini."

Keduanya melesat ke satu arah. Serangan dan pertahanan dilakukan bergantian, baik pihak manusia maupun iblis sama-sama tak mau mengalah. (Y/n) masih memanfaatkan kekuatan tangannya, nichirin miliknya hanya menjadi pajangan untuk hal yang lebih penting.

Muzan mengangkat kakinya, melayangkan tendangan yang menargetkan kepala si gadis. (Y/n) berhasil melihat serangannya sehingga langsung menunduk. Mencoba membalikkan keadaan, kedua tangan (Y/n) menapak di bawah, lalu kedua kaki melakukan hal yang sebaliknya, yaitu melayang ke atas dan menghantam wajah Muzan.

Kesempatan itu digunakan (Y/n) untuk melompat memberi jarak. Ia cukup kewalahan, fokusnya terbagi dua antara melawan dan mencari celah untuk melarikan diri.

Muzan langsung datang dengan kaki yang nyaris menghantam dada (Y/n), jika ia tak sempat menghindar. Pemimpin iblis itu kembali melesat dan memberi pukulan pada (Y/n).

Tapi sebelum sempat mengenai (Y/n), gadis itu berjongkok, bersamaan dengan nichirinnya yang menebas dari bawah ke atas.

Darah Muzan berceceran saat benda tipis itu menyayat tubuh Muzan, tepat pada dadanya hinga pakaian yang ia gunakan robek. (Y/n) hendak berputar secara vertikal untuk menjauh dari Muzan, tapi sayang perkiraannya sedikit meleset, ia terpeleset dan jatuh terduduk.

Dan disaat yang sama, Muzan tidak menghiraukan luka kecilnya itu, luka yang memang benar-benar enteng baginya. Muzan melesat dengan kecepatan tinggi, ia sudah menyiapkan serangan dan yakin akan mengenainya.

Namun, ia salah. (Y/n) menggerakkan tubuhnya, dengan bantuan kedua tangan, (Y/n) berhasil menghindar. Saat Muzan sampai di tempat (Y/n) terjatuh, (Y/n) melompat dengan terbalik, sehingga Muzan dan (Y/n) pergi ke arah yang berlawanan.

Muzan mendecih kesal, jelas jelas ia mengerti situasi ini. Dilihat dari manapun gerakan (Y/n) memang jauh berbeda. Serangan gadis itu bergerak dengan kesan lembut dan tenang, sementara kali ini gerakannya terkesan bebas dan ringan. Mereka adalah orang yang berbeda!

(Y/n) yang melompat terbalik di atas Muzan, otomatis kepalanya dan kepala Muzan berdekatan. Gadis itu segera mendarat dengan anggun, terlihat dengan haorinya yang mengembang terbawa angin.

Setelahnya ia tak beristirahat, (Y/n) berlari kencang ke arah Muzan yang masih kesal karena tak kunjung melukainya. Nichirinnya disiapkan, saat iblis itu lengah (Y/n) menyeringai dan menusuk kakinya. Tak tanggung tanggung, (Y/n) bergerak dan menendang lalu menginjak kaki Muzan yang sudah tertusuk hingga patah.

Muzan panik luar biasa. Bukan karena kakinya yang merasa sakit, tapi tujuan gadis itu yang ia sudah tau arahnya kemana. (Y/n) terlihat berlari menjauh, Muzan segera mengangkat sebelah tangannya dan berseru lantang, "Akhiri sekarang! Halangi bocah sialan itu!"

Kedua iblis rembulan atas, tiga jika Nakime dianggap, yang semula menganggur dan menonton aksi pertarungan dengan gratis mulai melesat, kecepatan keduanya tentu tidak bisa diremehkan karena mereka adalah iblis yang amat dipercaya oleh Muzan.

Namun, mereka terlambat. (Y/n) menghentakkan kakinya, tubuhnya terlempar ke atas berdasarkan kehendaknya. Ia melompat seraya berputar secara horizontal, sehingga nichirinnya ikut terbawa.

Namun, sesuatu yang sedikit unik terjadi. Nichirin yang terbawa berputar mengeluarkan butiran cahaya yang berkilauan. Gerakan (Y/n) seolah melambat, haorinya berkibar terkena angin, ia melayang layaknya terbang bebas bagai kupu-kupu.

"Sebenarnya aku ingin membunuhmu karena telah menyusahkan orang-orang yang ku sayang, tapi aku tidak punya banyak waktu. Kibutsuji Muzan, sampai bertemu lagi ...."

Perkataannya digantungkan, dan dengan gerakan cepat, (Y/n) mengangkat nichirinnya ke atas saat ia sudah mencapai batas lompatan, lalu menebaskannya ke bawah hingga sebuah kilatan cahaya muncul.

BLITTZZ

"... Di akhirat sana."

Gadis itu, benar benar menghilang tanpa sisa dari dimensi tak terbatas itu. Segala rencana yang dilakukan sang pemimpin iblis, hancur seketika.

"ARRGHHH, SIALANNN!!"

.
.
.
.

Ah.

Dimana lagi ini?

Gadis itu menatap sekelilingnya dengan sorot mata lelah. Ia berada di tempat yang tidak jauh berbeda dengan yang pernah ia datangi sebelumnya. Hanya saja, tempat ini,

Putih.

Semuanya putih, itu yang jadi pembeda. Dan lagi ia tak bisa berjalan untuk mencari petunjuk, tubuhnya melayang tanpa pijakan di bawahnya. Namun, setelah semua itu tak merubah kenyataan bahwa dirinya tetap sendiri.

Benar, gadis itu, hanya sendiri di sini.

Tunggu.

Tunggu dulu.

Ia baru menyadari sesuatu. Gadis itu mengulas senyum kecil tanpa sadar, karena di tempat ini, rasanya lebih hangat. Entah kenapa, perasaannya begitu bahagia dan penuh akan suka cita. Tak ada sedikitpun keresahan yang mengganggu suasana hatinya.

Dan matanya pun terbelalak saat melihat tubuh lain yang melayang menghampirinya. Gadis itu mematung di tempat, tak mampu berkata kata saat jarak keduanya semakin menipis.

Tangan wanita dewasa itu mengelus lembut kepala sang anak dan turun ke pipinya, ia tersenyum lembut. "Hanya itu yang bisa ibu bantu. Kembalilah, kebahagiaan sudah menunggu (Y/n)-chan di dunia ini."

Manik violetnya kembali bergetar, tapi ia cukup kuat untuk tak mengeluarkan apa yang ingin ditumpahkan. Tangannya terangkat, menggenggam tangan sang ibu erat, mencoba merasakan kehangatan ini untuk yang terakhir kalinya.

Tubuhnya mendapat pelukan yang menghilangkan segala keresahannya dalam sekejap. Satu tetes air mata jatuh, gadis itu membalas pelukan sang ibu sembari berkata lirih, "Aku sangat menyayangi ibu."

"Ibu juga, sangat menyayangimu."

.
.
.
.

Langit cerah menaungi bumi siang ini. Angin yang berhembus lembut, juga sinar matahari yang menyorot hangat, begitu indah dipandang mata. Pria itu tengah terduduk seorang diri di teras kediamannya, menenangkan diri sejenak dari segala macam masalah di dunia yang rumit ini.

Namun, ketenangannya terusik saat sebuah kilatan cahaya muncul tepat di hadapannya. Dan tak membutuhkan waktu lama, sesuatu keluar dari kilatan cahaya.

Brukk

Pria itu membeku, sebuah tubuh yang terbujur kaku dengan cedera parah terjatuh di hadapannya. Dan satu hal yang membuatnya lebih terkejut, saat ia melihat wajah si pendatang.

Lagi-lagi ia terkesiap, sesuatu yang menyerupai roh keluar dari tubuh sang gadis yang terkapar lemah. Wanita dewasa dengan surai panjang dan mata violet, mengangguk pelan dengan senyum lembutnya.

"K-kocou Kanae?"

Dan dalam sekejap, roh itu melebur terbawa angin. Pria itu menggeleng cepat, mencoba mengenyahkan hal yang tidak penting sejenak. Ia kembali menatap gadis yang terjatuh menghantam tanah itu.

Bahunya bergetar, entah kenapa muncul rasa takut dalam hatinya saat melihat (Y/n) tidak sadarkan diri dengan pendarahan yang cukup banyak. Ia benar-benar bingung, tapi satu hal pasti yang harus dilakukannya hanya satu.

"Kakushi! Cepat bawa (Y/n) ke kediaman kupu-kupu!!!"

.
.
.
.
.
TBC

Hei, feelnya dapet gak? Capek banget, hiks, ini cerita kapan tamatnya si?

Dahlah, author mau tidur.

Continue Reading

You'll Also Like

YES, DADDY! By

Fanfiction

308K 1.9K 10
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
86.3K 8.1K 32
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
89.2K 9K 37
FIKSI
728K 58.4K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...