SINGASARI, I'm Coming! (END)

By an11ra

2M 315K 47.9K

Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan... More

1 - PRESENT
2 - PRESENT
3 - PAST
4 - PAST
5 - PAST
6 - PAST
7 - PAST
8 - PAST
9 - PAST
10 - PAST
11 - PAST
12 - PAST
13 - PRESENT
14 - PAST
15 - PAST
16 - PAST
17 - PAST
18 - PAST
19 - PAST
20 - PAST
21 - PAST
22 - PAST
23 - PAST
24 - PAST
25 - PAST
26 - PAST
27 - PAST
28 - PAST
29 - PAST
30 - PAST
31 - PAST
32 - PAST
33 - PAST
34 - PAST
35 - PAST
36 - PAST
37 - PAST
38 - PAST
39 - PAST
40 - PAST
41 - PAST
42 - PAST
43 - PAST
44 - PAST
45 - PAST
46 - PAST
47 - PAST
48 - PAST
49 - PAST
50 - PAST
51 - PAST
52 - PAST
53 - PAST
54 - PAST
55 - PAST
56 - PAST
58 - PAST
59 - PAST
60 - PAST
61. PRESENT
62. PRESENT
63. PRESENT
64. PRESENT
65. PRESENT AND PAST
66. BONUS PART
DIBUANG SAYANG
JANGAN KEPO!!!
HADEEEH

57 - PAST

26.7K 4.7K 1.2K
By an11ra


Buatku yang berharga itu
KEBEBASAN & KEBAHAGIAAN
"Aku ingin menulis sesuka hati"









Ⓜ Ⓔ Ⓜ Ⓑ Ⓐ Ⓒ Ⓐ

Warning ⚠️
Terdapat Hal - Hal yang kurang baik
Jadi bijaksanalah wahai Readers

Mintalah didampingi
Pacar / Gebetan / Suami / Istri /
Gebetan Temen atau Pak RT juga boleh
🤭

Hmm,
Bagi yang JOMLO
Tenang anda masih didampingi kok
Sama Malaikat di kanan kiri tapinya
✌️

Btw, ini 4.000 words lebih lagi kawan
(Yakin nih nggak ada yang mau ngitung??? 🤔)

------------------------------------------------

"Sampai kapan kau mau tidur istriku, hm?" tanyanya sambil mengelus pelan rambutku.

DUAAAARRRR... bagai petir menyambar tiba-tiba kesadaranku muncul. Napasku tercekat namun jantungku berdetak sangat cepat. Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan semalam? Buru-buru memeriksa pakaian yang aku kenakan. Aarrrggg...

Bangkit dari posisi berbaring lalu aku melotot pada pria gila yang nyatanya masih tetap tampan itu. Apa orang tampan tidak akan pernah terlihat jelek walaupun bangun tidur sekalipun? Iissshh... menyebalkan sekali.

Padahal perempuan kadang tampak seperti Medusa karena rambutnya awut-awutan. Makanya aku rajin perawatan rambut agar tidak tampak semengerikan itu. Paling tidak, hanya butuh disisir menggunakan jari maka rambutku walau tidak tampak cetar membahana tapi cukup aman dipandang mata.

"Jangan berbicara sembarangan Raden! Hampir saja hamba kena serangan jantung tadi. Hamba bukan istri Raden!" ucapku kesal karena aku kira terjadi hal yang tidak-tidak.

Bersyukur, aku tidak "tidur" dengannya dalam konteks negatif. Lebih tepatnya aku ketiduran sepertinya tadi malam saat mengobrol dengannya tentang kisah hidupku. Skip bagian saat dia menciumku dengan dalih sebagai hukuman. Alasan konyol macam apa itu?

Masalahnya Ndoro-ku yang kadang jauh dari sifat budimam ini malah tidak membangunkanku. Parahnya, pikiranku blank sesaat tadi. Ternyata IQ tidak hanya turun saat seseorang sedang lapar saja tetapi ketika bangun tidur juga.

"Aku suka saat melihat rambutmu tergerai dan tertiup angin begini. Kau cantik sekali, Rengganis!" ucapnya yang tak nyambung saat ikut bangkit sambil memijat tangan kanannya yang mungkin saja kram karena menjadi alas kepalaku saat tidur semalaman. Sukurin, siapa suruh mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Astaga, sempat-sempatnya Raden bicara begitu. Lebih baik kita pergi dari sini secepat mungkin karena sepertinya Raden makin tidak waras. Hamba takut!" kataku sambil bangkit berdiri dan mulai berjalan meninggalkan dia yang malah tersenyum itu. Yang waras ngalah...

"Auwwww," teriakku kaget karena tiba-tiba badanku dibopong begitu saja olehnya.

"Ck, jangan teriak-teriak, nanti kau membuat binatang ketakutan, istriku!"

"Jangan bicara sembarangan, nanti orang lain bisa salah paham dan mengira yang dikatakan Raden itu benar. Bagaimana bisa jadi istri jika menikah juga belum?"

"Baguslah kalau mereka salah paham, jadi tak ada yang bisa merebutmu dariku. Lagipula cepat atau lambat kau akan tetap jadi istriku. Jadi berlatihlah mulai dari sekarang. Tenang saja aku bisa segera memanggil Resi untuk menikahkan kita, istriku"

"RADEEEN!!!" ucapku sambil terus berusaha turun dari bopongannya.

"Kangmas Panji. Panggil nama suamimu dengan sopan, Rengganis!"

"Tidak mau!" ucapku keras kepala "Eh... Eh... Raden mau kemana? Raden mau melempar hamba dari tebing hanya karena tidak mau memanggil Kangmas?" tanyaku histeris karena dia berjalan ke pinggir tebing. Kenapa kekasihku tidak waras semua sih?... Aduh Gusti!!!

"Kau lama sekali bangunnya istriku jadi kita harus buru-buru pulang karena Reksa mungkin sedang mencarimu."

"Iya, maka dari itu biarkan hamba berjalan sendiri. Kenapa pula Raden malah menggendong hamba? Cepat turunkan hamba, Raden! Tolong juga jangan bicara sembarangan, lagipula hamba tidak bisa menikah tanpa_____"

"Berpegangan!" perintahnya memotong ucapanku.

"AAAAAARRRRGGGGG..." teriakku sekencang-kencangnya tentu dengan wajah langsung bersembunyi di dadanya serta tangan otomatis memeluk leher Raden Panji Kenengkung karena tiba-tiba dia melompat menuruni tebing begitu saja. Dia gilaaaaaaa...

Mendarat dengan mantap di tanah sedangkan jantungku rasanya tertinggal di puncak tebing. Aku bahkan gemetaran dalam bopongannya. Jujur, aku memang pernah punya rencana untuk mencoba wahana bungee jumping tetapi mulai detik ini, aku C̶O̶R̶E̶E̶E̶E̶T̶  cita-cita itu dari hidupku.

"Kau sudah memelukku semalaman apa belum cukup, istriku? Aku senang sebenarnya, hanya saja orang-orang rumah mungkin mulai mencari kita sekarang," ujar Raden Panji Kenengkung tenang.

Segera turun dari bopongannya lalu berusaha berdiri walau agak bungkuk dengan kedua tangan mencengram lututku yang masih gemetaran. Mataku menyipit kesal memandangnya "Raden hampir membuat jantung hamba copot dua kali, padahal ini masih pagi. RADEN GILAAAA!" umpatku geram langsung di depannya bukan lagi di dalam hati. Bodo amat... Dipecat... Dipecat deh...

"Ckckck... Tidak baik mengumpat suamimu sendiri, Rengganis!" balasnya sambil menyeringai menyebalkan. "Harusnya kau paham bahwa dengan begini kita menghemat tenaga dan waktu, bukan? Lagipula aku tidak mungkin mencelakakan calon ibu dari anak-anakku."

"Iissshhh... Raden itu sebenarnya manusia macam apa? Jangan-jangan Raden juga bisa memanggil jin?" tanyaku berusaha berdiri tegak walau anehnya pipiku rasanya menghangat.

"___" Tak ada jawaban dari dirinya dan dia hanya bersedekap sambil diam menatapku.

"Mengapa Raden di___diam? Jangan bilang jika tebakan hamba benar? Raden pernah memanggil jin?" tanyaku ngeri sambil mundur perlahan.

"Ck, kenapa kau mundur-mundur begitu, hm? Aku memang bisa memanggil jin tapi ilmu itu belum pernah aku gunakan. Harap kau tahu bahwa meminta bantuan mereka artinya kau harus menebus dengan hal yang berharga dalam hidupmu. Aku belum segila itu, Rengganis." balasnya sambil bergerak maju mendekatiku. "Ayo, kita harus segera kembali ke rumah!" lanjutnya sambil mengulurkan tangan yang mau tak mau aku sambut walau dalam hati ada ketakutan tersendiri pada orang ini.

Melangkah pelan bersama dia menuju kuda kami "Apa Raden sering datang kemari?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Meremas pelan tanganku yang dia genggam "Tidak perlu cemburu, hanya kau yang aku bawa ke sana Aku juga biasanya hanya melewati tempat itu. Sebenarnya, ada gua di sekitar sini tempatku biasa bersemedi."

"Iissshhh... siapa juga yang cemburu," balasku sambil mengkrucutkan bibirku sebal.

"Iya... iya, aku juga mencintaimu!" balasnya tak nyambung lagi.

"Apa sih Raden?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Heran, ini orang, moyangnya Denny Cagur jangan-jangan. Jago banget ngerayunya.

Berkuda kembali dengannya namun kali ini aku benar-benar ingin menguasai mantra tak kasat mata jika ada karena di sepanjang perjalanan banyak orang yang memandang ke arah kami. Walau aku tahu perhatian orang-orang bukan hanya karena pria yang ada di belakangku adalah Panglima Kerajaan Singasari saja, tetapi statusnya yang tidak memiliki istri lagi membuat dirinya yang terlihat bersama seorang perempuan akan jadi magnet keingintahuan warga.

Jadi mau tak mau aku terus menunduk. Aku juga menyesal tadi mencepol rambutku sebelum naik kuda. Padahal dengan rambut tergerai aku bisa sekalian menyembunyikan wajahku. Sumpah, aku tak keberatan mirip Sadako sekali-kali.

Mendekati rumah anehnya ada cukup banyak prajurit kerajaan bersiap di halaman rumah. Merekapun menunduk memberi hormat pada Ndoroku saat beliau melewatinya dan masuk ke dalam rumah. Di dalam rumahpun ada beberapa prajurit dengan pangkat lebih tinggi.

Aku jelas tahu hal itu karena Sawitri sempat memberitahuku perbedaan pangkat para prajurit dari pakaian dan atribut yang mereka pakai. Seperti mereka yang berada di luar tadi, para prajurit ini juga memberi hormat pada Raden Panji Kenengkung. Tidak perlu jadi jenius untuk tahu bahwa ada masalah yang telah terjadi.

Raden Panji Kenengkung menuruni kuda dengan gerakan cepat dan sialnya dia juga membopongku untuk membantuku turun. Jujur, aku ingin menghilang sekali lagi. Fix... Kegilaan seorang Raden Panji Kenengkung itu jenis kegilaan to the bone.

Sejujurnya, jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku bangga padanya karena dia tidak malu menunjukkan perasaannya walaupun tahu bahwa aku hanya seorang pelayan. Tapi masalahnya, aku yang malu karena menjadi tontonan prajurit kerajaan. Kesimpulannya, kekasihku ini adalah pria sejati yang agak gila kawan.

Berdiri membelakangiku setelah menyerahkan tali kekang kuda pada Ragasa yang ternyata sudah kembali. Aku juga nyaris tidak bisa bergerak karena posisi para pengawal kerajaan seolah mengelilingi kami. Melarikan pandangan ke arah langit, karena walau aku ini guru tapi ditatap banyak prajurit rasanya jauuuuuuuuh berbeda dibanding ditatap muridku baik saat mengajar ataupun saat menjadi Pembina Upacara.

Ngomong-ngomong Ragasa juga pergi entah kemana sebulan ini dan sepertinya dia baru kembali. Mungkin pulang kampung dan hal ini juga yang membuat Ayu uring-uringan karena menduga dia menikah dengan perempuan entah siapa di sana. Cinta sepihak baik di zaman dulu ataupun zaman sekarang ternyata sama-sama merepotkan.

"Ada apa?" tanya Raden Panji Kenengkung dingin.

"Baginda Raja ditemukan telah tewas, Panglima!" ucap salah satu pengawal yang cukup berumur.

"APA???" suara keras Raden Panji Kenengkung membuat aku kaget dua kali. Pertama karena berita bahwa Ken Arok sudah wafat dan kedua karena Raden Panji Kenengkung tiba-tiba berteriak.

Sebenarnya aku sudah menduga tragedi pembunuhan akan segera terjadi saat melihat keris Mpu Gandring sudah berada di tangan Pangeran Anusapati waktu itu. Walaupun begitu, aku tetap saja terkejut ketika mendengar berita ini langsung. Tapi tunggu, para prajurit tidak datang untuk menangkap Raden Panji Kenengkung bukan?

Tahu sendiri, dahulu Kebo Ijo menjadi kambing hitam atas pembunuhan Tunggul Ametung. Sayangnya Kebo Ijo dicurigai karena orang mengira dialah sang pemilik keris yang tertancap di tubuh Akuwu* Kediri alias suami Ken Dedes itu. Parahnya tidak ada alibi atau saksi mata padahal kenyataanya dia mabuk hingga tak sadarkan diri semalaman sampai pagi.

*Akuwu adalah jabatan setingkat kepala daerah pada zaman Kerajaan Kediri

Raden Panji Kenengkung berbalik menghadap diriku "Masuklah dan jaga Reksa. Jangan keluar dari rumah untuk hari ini. Bilang pada Bimasena!" Tersenyum padaku "Aku akan baik-baik saja. Tidak perlu khawatir!" lanjutnya pelan seakan tahu apa yang aku pikirkan.

Bergerak menaiki kudanya lagi "KITA BERANGKAT SEKARANG! CEPAT!!!" perintahnya pada para prajurit sebelum berderap ke luar rumah dan tentu buru-buru diikuti seluruh prajurit kerajaan. Sedang aku hanya bisa mematung di tempat dan berdoa dalam hati... Semoga tidak ada hal buruk menimpanya.

***

Berjalan mengikuti Raden Panji Kenengkung memasuki pendopo utama. Memandang dia yang tetap tenang itu, membuatku justru lebih takut. Aku tahu dia memang bukan orang biasa dengan kedudukannya sebagai Panglima Kerajaan Singasari. Walau bukan Panglima utama tapi melihat sepak terjangnya langsung membuat bulu kudukku meremang juga.

"Astaga!!!" suara pekik kaget Rengganis membuat lamunanku buyar seketika.

"Apa yang terjadi? Raden baik-baik saja?" tanyanya panik melihat keadaan Ndoro-ku itu yang memang ada bercak darah di badan dan kain yang dipakainya "Bagaimana ini, Bimasena belum pulang? Perlukah hamba menyuruh orang memanggil tabib, Raden? Tunggu sebentar!" lanjutannya lalu berbalik badan.

Raden Panji Kenengkung meraih tangan Rengganis untuk menghentikannya "Aku baik-baik saja. Ini bukan darahku, Rengganis," suaranya melembut memandang perempuan cantik itu.

Iya, kenyataannya dia adalah pelayan paling cantik yang pernah aku temui seumur hidupku. Di dalam istana sekalipun, aku jamin tak ada yang secantik Rengganis. Aku pikir semua laki-laki normal akan mudah jatuh cinta padanya.

Parahnya, jika boleh jujur aku menyangsikan bahwa dia benar-benar pelayan. Sejak pertama kali aku diperintahkan menjemputnya di istana untuk dibawa ke rumah ini, aku malah curiga padanya. Apakah dia adalah bangsawan yang sedang menyamar? Tapi untuk tujuan apa?

Rupa wajahnya, kulitnya, rambutnya bahkan sikapnya terlalu janggal untuk seorang rakyat jelata seperti kami. Walaupun sekarang kelebihannya tidak terlalu terlihat karena dia memakai pakaian tertutup. Ini juga keanehan yang lain karena dia malah berpakaian layaknya perempuan tua.

Oleh karena itu, aku selalu waspada padanya. Mungkinkan dia bermaksud mencelakakan Raden Panji Kenengkung atau putranya? Namun, kenyataannya bukan Rengganis yang mengganggu majikanku tetapi sebaliknya majikanku yang malah terlihat mengganggu Rengganis.

Perempuan itu menurutku kadang malah terlihat tertekan karena perilaku aneh dari Ndoro-ku. Maka kecurigaanku makin berkurang dari hari ke hari. Apalagi setelah menyaksikan kejadian di hutan sekitar sebulan lalu. Bagaimana dia ingin berbuat jahat jika kenyataannya dia lemah? Justru dialah yang butuh perlindungan sepertinya.

Satu lagi yang aku sadari, sejak awal perempuan cantik ini terlarang untuk kami dekati jika tidak ingin melihat murka seorang Raden Panji Kenengkung. Saranku, menjauhlah jika kau masih sayang nyawamu. Percayalah bahwa tindak tanduk Ndoro-ku ini tak semenawan rupa wajahnya.

"Ada perang atau bagaimana, Raden?" tanyanya masih terlihat khawatir "Apa keadaan istana semengerikan itu?" lanjutnya.

"Hahaha... Ini tidak ada sangkut pautnya dengan masalah istana, Rengganis," balas Raden Panji Kenengkung setelah tertawa. Ngomong-ngomong jarang sekali aku melihatnya tertawa tulus. Oh, bukan jarang malah nyaris tidak pernah.

Benar kata Ndoroku itu tadi dan aku jamin Rengganis akan jatuh pingsan kalau tahu apa yang terjadi sebenarnya. Jika dipikir-pikir yang aneh bukan hanya Rengganis tetapi juga Raden Panji Kenengkung. Dia berubah... sangat berubah... Kadang aku malah berpikir bahwa aku tidak benar-benar mengenal beliau.

Melihat sosoknya yang sekarang sungguh tak bisa terbayangkan sebelumnya di benakku, padahal sudah cukup lama aku bekerja dengannya. Mungkin ini yang disebut jatuh cinta dapat merubah segalanya. Manusia bisa berubah sikap bahkan berkebalikan dari kebiasaannya sehari-hari.

"Kembali saja dan selesaikan pekerjaanmu. Aku akan membersihkan badan sebentar lalu akan kembali lagi ke istana. Mungkin aku akan di sana selama beberapa malam," ucap Radan Panji Kenengkung pelan.

"Baiklah, Raden," jawab Rengganis pasrah kemudian melewati Raden Panji Kenengkung untuk ke luar pendopo, namun langkahnya terhenti tiba-tiba "Astaga, Ragasa kau terluka? Jangan bilang itu bukan luka. Iiiiihhh... apakah kau terkena sabetan benda tajam? Lukamu harus segera diobati. Ayo, biar aku bantu membebatnya. Sepertinya lukanya dalam!" ucapnya sambil bergidik ketakutan.

"Ti___tidak perlu, aku bisa mengobatinya sendiri!" ucapku buru-buru sambil mencuri pandang pada Raden Panji Kenengkung. Memang benar, dia hanya diam memandangku tapi rasanya aku bisa menangkap arti pandangan tidak sukanya saat ada laki-laki lain yang menerima perhatian Rengganis. Astaga... Mana berani aku bersaing dengan majikanku sendiri...

Wajah... Jelas kalah

Kesaktian... Jauh dibawahnya

Kekayaan... Jangan ditanya

Memutar bola matanya malas "Lukamu itu terletak di lengan kanan atas Ragasa. Ingat juga, kau ini tidak kidal jadi bagaimana bisa kau mengobati lukamu sen-di-ri? Astaga, laki-laki selalu aneh... heran."

"Sungguh Rengganis, aku bisa mengobatinya sendiri. Raden Panji, hamba mohon undur diri!" ucapku sesegera mungkin lalu memberi hormat singkat. Kabur dari sini lebih baik apalagi Raden Panji Kenengkung sudah bersedekap di belakang Rengganis.

Berjalan secepatnya menuju pendopo belakang. Tidak aku hiraukan pertanyaan para prajurit yang ada di tempat latihan. Memasuki dapur aku melihat hanya Mbok Sinem yang sedang ada di sana sambil merebus sesuatu sepertinya.

Syukurlah, Ayu tidak ada di sini karena aku malas mendengar suaranya yang berisik. Sebenarnya aku heran, mengapa banyak perempuan yang cerewet? Tidak tahukah mereka bahwa suaranya membuat kami pusing.

Duduk di dipan lalu mengambil air minum dari dalam kendi sambil menenangkan pikiranku. Melirik luka di lengan kananku, ternyata lukanya cukup dalam. Sepertinya ini hari sialku. Aku harus meminta bantuan Bimasena untuk mengobatinya.

"Apa kau mau makan, Ragasa? Biar Mbok ambilkan!" suara perempuan tua yang paling aku hormati di rumah ini membuat aku berpaling padanya.

"Tidak, terima kasih Mbok," jawabku tenang.

"Oh, apa semuanya baik-baik saja?" tanyanya sambil melirik luka di lenganku. "Lebih baik kau obati seadanya dulu sambil menunggu Bimasena pulang untuk mengobati lukamu itu!" lanjutnya sambil menghela napas. Dia mungkin terbiasa dengan banyak pengawal yang tentu tidak bebas dari luka, jadi beliau tetap tenang dan tidak sekaget Rengganis.

Memandang perempuan yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri "Mbok, apakah kabar burung yang beredar tujuh tahun lalu itu benar?" tanyaku dan mengabaikan perkataannya tadi.

Dahinya berkerut makin dalam "Kabar apa?"

"Aku dengar kelompok Renggo Ambang habis dibantai hingga tak bersisa. Walau beritanya simpang siur, tapi nama Raden Panji Kenengkung terbawa dalam kabar tersebut. Itu bukan kabar bohongkan? Ndoro kita terlibat atas kematian seluruh kelompok perampok paling sadis itukan? Apalagi korban terakhir para perampok itu katanya adalah mendiang ibunya Raden Reksa. Mbok pasti tahu kebenarannya bukan?"

Menghembuskan napas gusar sekali lagi kemudian membuang pandang ke arah tungku lagi "Ndoro putri memang tewas setelah dirampok dan diperkosa, Ragasa!"

"Itu juga yang aku dengar Mbok, bahkan kabar itu tersebar sampai keluar Kutaraja."

Terdiam sebentar lalu melanjutkan, "Mungkin Raden Reksa juga akan jadi korban jika saja Raden Panji Kenengkung tidak melarang untuk membawa bayi yang masih merah itu ke kediaman orang tua Ndoro putri guna menghadiri pernikahan adiknya. Raden Panji Kenengkung tidak bisa pergi karena harus berperang ke Daha. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Bukan kabar bahagia yang terdengar tetapi malah kabar duka."

"Lalu, perampok itu benar-benar kelompok Renggo Ambang?"

"Mbok tidak tahu, Ragasa. Hanya bisik-bisik warga kampung mengatakan demikian."

"Mbok tahu kelompok itu terbunuh jugakan?"

"Mbok juga tidak tahu pasti. Hmm... Mbok ingat sekali hari itu, kira-kira dua minggu setelah kejadian. Raden Reksa menangis semalaman dan membuat Ndoro Cucupurati dan Mbok bingung. Menjelang pagi Raden Panji Kenengkung tiba di rumah dengan badan penuh darah dan dia membawa gadis muda yang terlihat gemetar ketakutan."

"Gadis muda?"

"Iya, itulah awal Mbok bertemu Weling. Beberapa hari setelahnya warga ramai membicarakan kematian para perampok itu. Tidak lama Mbok tahu bahwa Weling itu adalah putri Renggo Ambang. Mbok hanya tahu sampai situ Ragasa! Mbok punya kecurigaan, tetapi tidak tahu bagaimana Ndoro bisa menemukan perampok itu atau benarkah Raden Panji Kenengkung benar-benar membunuh mereka. Mbok juga tidak berani mencari tahu lebih jauh atau bertanya. Bukan hak kita, Ragasa."

"Iya, aku mengerti Mbok."

"Memang ada apa kau menanyakan peristiwa lama itu? Jangan bilang bahwa ada yang mencari Weling? Jika memang iya, tolong lindungi Weling karena ayahnya yang bersalah dan bukan dia."

"Tidak ada hubungannya dengan Weling. Aku hanya penasaran saja, Mbok" ucapku menenangkannya.

"Oalah... ngaget-ngageti wong tuo wae!"

Mungkin Mbok Sinem akan tenang tetapi sebaliknya aku tidak bisa setenang itu. Benar dugaanku bahwa Ndoro-ku yaitu Raden Panji Kenengkung tidak bisa dianggap remeh. Sosok beliau tidak setenang kelihatannya justru sebaliknya. Apalagi kepalaku seolah mengingat kejadian beberapa jam lalu.

Kudaku berderap pelan di belakang kuda milik Raden Panji Kenengkung. Akhirnya tugasku selesai juga walau membutuhkan waktu cukup lama. Tapi mereka memang selalu berpindah tempat sehingga sulit ditemukan.

"Mereka ingin menemuimu di kedai?" tanya Raden Panji Kenengkung tanpa menengok ke belakang.

"Benar, Raden. Mereka ingin jual beli dilakukan di tempat umum, itu syaratnya. Maafkan hamba yang tidak becus ini!" jawabku agak malu sebenarnya.

"Ckckck... berhasil menemukan cecunguk itu saja aku sudah senang. Sebenarnya aku ingin menyelesaikannya dalam senyap tapi apa boleh buat dan jujur sekarang aku tidak punya banyak waktu luang karena masalah di istana. Tapi melepaskan merekapun tidak akan pernah aku lakukan."

"Apa hamba perlu panggilkan beberapa prajurit, Raden Panji Kenengkung?"

"Tidak perlu, kau juga tidak perlu ikut campur. Cukup berjaga saja. Mereka semua urusanku!"

"Ba__baik Raden," jawabku walau dalam hati agak heran sebenarnya.

Dia sedang bercandakan? Mereka itu tidak mungkin hanya berjumlah lima orang saja. Bisa jadi hampir berjumlah dua puluh orang atau bahkan lebih... yang benar saja! Tapi teserahlah, mau tidak mau aku harus mengerahkan tenaga sebentar lagi. Jujur, walau bekerja dengannya lebih dari tiga tahun tapi aku belum pernah bertarung bersamanya. Melihat pertarungannya langsung itupun baru sebulan lalu saat beliau menyelamatkan Rengganis.

Memang keadaan kedai di ujung kampung ini tidak seramai biasanya. Lagipula siapa juga yang ingin makan jika banyak orang berpenampilan sangar berkerumun di meja-meja sambil minum tuak? Walaupun memang ada warga yang tetap nekat makan di sana. Mereka ini bodoh atau bagaimana?

Benar tebakanku bahwa jumlah mereka lebih banyak dibandingkan saat di hutan waktu itu. Memasuki kedai suara obrolan dan tawa keras mulai terdengar. Berkebalikan dengan Pak Tua penjaga kedai yang sepertinya mengkerut ketakutan di balik meja dagangannya sambil pura-pura mengelap piring tanah liat. Mimpi apa dia tadi malam karena tampaknya ini adalah hari sialnya.

Mengikuti Ndoro-ku yang duduk di salah satu kursi dan malah santai mengambil sebuah pisang lalu memakannya. Akupun duduk di depannya pura-pura tenang. Beberapa perampok sepertinya mulai mengenali kami.

Jujur, aku memakai orang lain saat seolah-olah ingin membeli barang hasil rampokan mereka. Malahan sebagian uang sudah mereka ambil dan sekarang tinggal mengambil sisanya dan tentu menyerahkan barangnya. Kenyataannya beberapa orang kaya memang membeli barang dengan cara seperti ini. Tapi dengan perantara tentunya, sehingga para perampok tak benar-benar tahu siapa pembeli sebenarnya.

Cara ini lebih berbelit-belit, namun mau bagaimana lagi jika perintah yang diberikan Ndoro-ku adalah menyerahkan mereka dalam keadaan hidup. Mungkin aku malah hanya butuh waktu lebih cepat jika hanya diperintahkan membawa kepala mereka. Aku bisa dengan mudah menyewa orang untuk membunuh mereka semua di tempat.

"Bersihkan tempat ini!" perintah pelan Raden Panji Kenengkung.

"Baik, Raden!" jawabku sigap.

Berdiri mendekati pengunjung kedai di pojok yang aku yakin adalah warga biasa. Berbisik pelan pada mereka sehingga mereka mau meningalkan tempat ini secepatnya. Kemudian beranjak ke bagian meja belakang dan memberikan sekantong uang pada pemilik kedai dan menyuruhnya pergi.

Tampaknya dia paham situasi karena tak banyak bertanya dan langsung pergi lewat pintu belakang. Suasana seketika berubah senyap, nyaris tak ada obrolan ataupun tawa lagi. Beberapa perampok malah terang-terangan mengenggam parangnya.
"Ckckck... kami dijebak rupanya!" suara Bajradaka terdengar kesal.

"Salah sendiri karena kau bodoh!!!" jawab Raden Panji Kenengkung santai sambil menuang air dalam cangkir.

"Braaaaak," tangan Bajradaka memukul meja di hadapannya hingga kendi, cangkir serta makanan terguling.

Semua orang berdiri serentak melihat kemarahan sang pimpinan. Sedang aku makin waspada karena tinggal tunggu waktu saja hingga keadaan berubah kacau. Namun, anehnya Raden Panji Kenengkung masih tenang-tenang saja di tempatnya.

Harap diketahui bahwa beliau itu malah mengambil pisang kedua dan mulai makan lagi. Demi Dewata... Ndoroku ini orang macam apa?... Dia ini terlau sombong atau malah terlalu bodoh... Astaga...

"Duuuuuuk... Braaaaak..." Bajradaka menendang kursi kayu ke arah Raden Panji yang kemudian ditepis oleh Ndoro-ku hanya dengan sebelah tangannya sehingga kini kursi itu rusak karena menghantam meja di belakangnya... Bayangkan hanya dengan sebelah tangan saja... Sungguh, aku berusaha menyembunyikan kekagumanku padanya.

"KALIAN PIKIR KAMI AKAN KALAH MELAWAN DUA ORANG, BEGITU? OH, MUNGKIN KALIAN MENUNGGU BALA BANTUAN DATANG???" teriak Bajradaka yang bukan lagi kesal tapi sudah marah.

"Hahaha... dua orang yang mana??? Aku sendiri saja sudah cukup!" jawab Raden Panji Kenengkung dengan tawa meremehkan.

"Cuuuiiiiih," meludah di lantai mendengar perkataan Raden Panji Kenengkung "TUNGGU APA LAGI BODOH!!! SERANG MEREKA!!!" perintah Bajradaka yang mulai mengangkat parangnya.

Segera semua orang berderap mendekat ke arah Raden Panji Kenengkung yang memang berada di tengah ruangan. Akupun sesaat maju ingin membantunya namun dia memberi isyarat agar aku tetap di tempatku. Jujur, aku bingung sebenarnya.

"Gedebuuuum..." suara orang, kursi bahkan meja terpental menjauhi posisi Raden Panji Kenengkung.

Sumpah, aku kini benar-benar menganga menyaksikannya. Memang aku sudah melihat kekuatan tenaga dalamnya saat di hutan. Tetapi ini lebih aneh karena aku tidak terkena kekuatannya dan hanya mereka yaitu para perampok serta barang-barang di belakangnya.

Ternyata tenaga dalamnya luar biasa. Pantas saja tadi dia bilang sendirian sudah cukup. Aku yakin setelah ini para perampok itu tidak akan baik-baik saja apalagi Bajradaka. Kasihan... Kasihan...

"SIALAAAAAN!!!" umpat Bajradaka yang langsung bangun guna menyerang lagi dan tentu diikuti anak buahnya.

"Buuuuk"

"Sreeeeet"

"Jleeeeeb"

"Dhuuuuk"

"Praaaang"

"Debuuuuk"

"Tranggg"

"Jleeeeeb"

"Kraaaak"

Suara pukulan, tendangan, parang beradu, tusukkan keris hingga benda terjatuh menjadi latar pertarungan siang ini. Beberapa orang malah sudah terkapar di lantai. Aku juga untungnya dapat mengalahkan dua penyerang sekaligus.

"Sreeet"

"Auuuwww" ringisku seketika karena tak menyadari bahwa penyerangku ternyata bangun lagi dan menyambetkan parangnya ke lenganku...Sialan... aku bersiap membalas seranganya tapi_____

"Whuuuus... Jleeeb" sebuah belati langsung menancap di leher orang yang akan aku serang, maka akupun menengok ke arah Raden Panji Kenengkung.

"Jangan lengah! Tadikan aku sudah bilang, jangan ikut campur. Kau lebih baik minggir!" perintahnya sambil lalu.

"Eeehh," jawabku karena tak tahu harus berkata apa.

"Dhuuuuk"

"Jleeeeb"

"Braaak"

Raden Panji Kenengkung meneruskan pertarungannya. Akhirnya anggota perampok bergeletakan di lantai bahkan ada yang mati sepertinya. Sedangkan Bajradaka masih mencoba bangkit berdiri.

Raden Panji Kenengkung berderap pelan mendekati Bajradaka "Bugh" suara tendangan keras membuat perampok itu terjatuh kembali. Sepertinya hari ini juga hari sial bagi Bajradaka.

"Wuuuus... Jleeeb..." Raden Panji Kenengkung kembali melemparkan sebilah belati lagi dan kini menancap di kaki anggota perampok yang sepertinya ingin membantu pimpinannya.

"Itu peringatanku, jangan ikut campur. Jika masih keras kepala dan membuat pilihan yang salah maka aku pastikan belati yang terlempar nanti akan menancap tepat di leher kalian!" ancamnya pelan walau tanpa menengokkan wajahnya ke belakang dan malah terus mendekati Bajradaka yang ikut mundur sambil terduduk itu.

"APA SEBENARNYA MASALAHMU? Uhuuuk... Cuuuuiiiiih" ucapnya lalu meludahkan darah ke lantai. Sepertinya dia terluka cukup parah apalagi dia terus memegang dadanya.

"Kau lupa padaku?" tanya Raden Panji Kenengkung yang tiba-tiba berhenti melangkah.

"Kau ini siapa sebenarnya? Kekasih atau suami perempuan bangsawan itu?"

"Perempuan bangsawan yang mana?"

"Jika bukan kekasih atau suami perempuan itu. Artinya kau bukan keluarganya jugakan?"

"Tentu saja bukan."

"JIKA BUKAN SEMUANYA, LALU UNTUK APA ANDA MENYERANG KAMI SEMUAAAA???" tanya Bajradaka yang terlihat bingung sekaligus kesal walau memang kata-kata berubah sopan.

"Itu salahmu karena mencari gara-gara denganku! Kau salah memilih korban."

"Para pengawal mati karena terlalu lemah. Perempuan yang mati waktu itu juga salahnya sendiri. Sedang perempuan satunya aku memang.... uhuuuk... uhuuuk... bukannya aku tidak jadi membawanya. Jadi apa masalahnya sekarang? Apa Anda ingin kami juga mengembalikan barang-barang yang kami ambil. Jika iya, maka tidak mungkin karena sudah dijual dan laku murah karena bukan barang berharga," jawab Bajradaka terlihat makin kesal tapi kini ada ketakutan juga dalam suaranya.

"Berani kau bawa dia, maka aku tidak akan segan-segan mengulitimu!" balas Raden Panji Kenengkung sambil menggeram marah.

"Hahaha... uhuuuk... uhuuuk... jadi ini cuma karena perempuan jelata?"

"Bugh" tendangan keras ke wajah Bajradaka sekali lagi membuat yang bersangkutan menyemburkan darah segar dari mulutnya.

Raden Panji Kenengkung berjongkok kemudian berkata pelan "Hati-hati berbicara! Perempuan itu amat sangat aku jaga. Berani sekali kau menyentuh milikku. APA KAU SUDAH BOSAN HIDUP, HAAH?"

"A___Aku bahkan tidak memukulnya!"

"Hahaha..." tawa tanpa perasaan terdengar dari mulut Raden Panji Kenengkung ketika dia bangkit berdiri lalu melanjutkan perkataannya, "Benar, memang tak ada bekas luka. Aku tahu kau tidak memukulnya. Hmm... mungkin itu keberuntungan bagimu. Jika yang terjadi sebaliknya maka aku pastikan kau akan menyesal dan memilih mati saja."

"Haaaaah..."

"Dengan tangan inikah kau menyentuhnya?" tanya pelan Raden Panji Kenengkung

"Haaaaah..."

"Kraaak," suara tulang patah terdengar memilukan telinga saat kaki Raden Panji Kenengkung menginjak sepenuh tenaga lengan Bajradaka tanpa perasaan.

Aku yakin Ndoro-ku tidak hanya mengunakan tenaga badannya saja tetapi tenaga dalam karena suara gemeretak tulang patah amat sangat terdengar gilu di telinga. Seperti aku bilang tadi, jauhi Rengganis jika kau masih ingin hidup tenang. Namun, benar kata Raden Panji Kenengkung bahwa Bajradaka salah memilih korban. Jujur, aku agak merasa kasihan pada prampok yang sedang sial itu karena harus berurusan dengan Ndoro-ku.

"Aaaarrrrggg..."suara teriakan Bajradaka yang kesakitan memekakak telinga.

"Oh... atau malah dengan tangan yang ini kau merobek pakaiannya?" tanya Raden Panji Kenengkung sekali lagi lalu "Kraaaak" kakinya sekali lagi menginjak tangan Bajradaka yang satunya.

"Aaaaarrrggg..." suara teriakan Bajradaka terdengar lagi.

"Dia bagai mayat hidup berhari-hari akibat ulahmu," ucap Raden Panji Kenengkung pelan namun berbahaya.

"Iiiiissshhh... a___aku bahkan tidak menamparnya atau menendang perempuan sialan itu!"

"Apa kau ingin aku merontokkan semua gigimu, hm? Aku sudah peringatkan, JAGA UCAPANMU DI DEPANKU!" teriak Raden Panji Kenengkung mengakhiri ancamannya.

"BUNUH SAJA AKU!!!"

"Hahaha... aku sudah bilang bahwa dia bagai mayat hidup berhari-hari, maka kau juga harus merasakannya. Aku akan buat kau benar-benar jadi mayat hidup hingga akhir hayatmu!"

"Apa???"

"Sreeet... Bhuuuuuk..." Raden Panji Kenengkung tiba-tiba menjangkau kursi kayu panjang di dekatnya kemudian memukulkannya sekuat tenaga ke arah kedua kaki Bajradaka. Sangking kuatnya hantaman kursi itu hingga kini patah tak berbentuk.

"AAAAAARRRRGGGG!!!!" teriakan Bajradaka terdengar untuk ketiga kalinya dan makin nyaring.

Menutup sebelah telinganya "Ah, kau membuat telingaku sakit!" balas Raden Panji Kenengkung sambil berdecak malas.

"Bu____bunuh sa___saja aku!"

"Kematiaan terlalu enak bagimu, jalani hukumanmu. Aku ingin kau merasakan penderitaannya... Hmm... Berkali-kali lipat tapinya!"

"Ka___kau gila... Iiisshhh..." ucap Bajradaka sambil meringis menahan sakit sepertinya.

Berjongkok sekali lagi dihadapan perampok yang kini tak berdaya itu kemudian berkata, "Iya... Demi dia, aku bisa berubah gila!" Tangan Raden Panji Kenengkung kemudian mencengram rahang Bajradaka. Menekannya sekuat tenaga hingga lidahnya keluar.

"Jleeeeeb," Seketika Raden Panji Kenengkung menusukkan ujung belati ke lidah Bajradaka tanpa perasaan.

"A___aa___rrr aaa____ggg," suara Bajradaka tak jelas dengan mata merah melotot namun semua orang bisa membayangkan kesakitan yang dialaminya.

Aku nyaris tak berkedip menyaksikan kejadian di hadapanku itu. Sudah bisa dipastikan Bajradaka benar-benar akan jadi mayat hidup dengan tulang tangan dan kaki yang patah semua. Dia juga tidak akan bisa bicara dengan benar karena lidahnya telah dibuat cacat. Aku paham bahwa Raden Panji Kenengkung membuat Bajradaka tidak bisa bicara agar dia tidak meminta siapapun membantunya bunuh diri. Seperti katanya tadi "mati terlalu enak baginya".

Seperti aku, anggota perampok yang lain nyaris kehilangan suara melihat sang pemimpin disiksa di depan mata mereka. Walaupun aku maklum akan ketakutan mereka sehingga tidak membantu pimpinannya. Jujur, aku juga takut pada Ndoro-ku itu.

Berdiri lalu berbalik dan berjalan keluar dari kedai "Ayo kita pergi Ragasa! Apa kau mau bengong di sana sampai sore?" tanyanya walau tanpa menengok ke arahku.

"Haah... Ma__maaf, Raden!" ucapku kaget karena terlalu terkesima akan kelakuan kejam dari Ndoro-ku itu.

Akupun mengikutinya keluar dari kedai dengan perasaan tak tentu. Para anggota perampok yang terluka seketika memberi jalan. Sebaliknya Raden Panji Kenengkung malah melenggang santai dan tampak tidak terganggu akan ada banyak bercak darah di badan maupun kain yang dipakainya. Darah musuh yang jadi saksi bisu tindakan luar biasanya tadi...luar biasa mengerikan maksudku.

"ASTAGA!!! RAGASA, KAU BELUM JUGA MENGOBATI LUKA DI LENGANMU ITU???" teriakan Rengganis yang tiba-tiba menyadarku dari lamunan tentang peristiwa hari ini yang sangat mengerikan sehingga tak mungkin aku lupakan seumur hidupku.

--------------Bersambung ---------------

23 Juli 2021

---------------------------------------------------

Salah paham sama peringatanku???
🤭


But
Elements of violence are only for content needs
So don't try this at home or anywhere else... Ok
(Aku udah berusaha mengurangi tingkat kesadisan sih, berhubung banyak dedek-dedek gemezzz di sini 🤔)

Please,
keep being a nice, wise, and polite person

Makin kenal siapa Raden Panji Kenengkung, bukan???

Panglima Kerajaan level berapa nih:

🌶️ LEVEL 1
Pedas Manis

🌶️ LEVEL 2
Pedas Nikmat

🌶️ LEVEL 3
Pedas HQQ

🌶️ LEVEL 4
Pedas Gila

🌶️ LEVEL 5
Pedas Sepedas Comment Nyiyir
Warga Wattpad

Upss
Kaboooooor

〜 (๑╹◡╹๑)〜

Continue Reading

You'll Also Like

Privilege [END] By Fadli L

Historical Fiction

771K 95.9K 63
WARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa t...
366K 35.2K 40
Mungkin, masa lalu yang dapat menyembuhkannya Book I Start: 26 Maret 2020 End : 19 Mei 2020
86.1K 16.8K 61
Apa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu ada...
33K 1.7K 8
Kisah Klasik tentang cinta masa SMA yang dialami seorang cewek gendut nan jutek bernama Kintara ini cukup unik ia tak mengira dengan penampilan fisik...