The Unwanted Billionaire (END)

By Revee16

221K 16.7K 1.2K

REVISI. Judul sebelumnya: MISUNDERSTANDING 1 #oldlove 1 #forcedmarriage 1 #amerika 1 #barat 1 #misunderstandi... More

Hi!
CAST 1
1 - Tidak Terlihat
2 - Kerelaan
3 - Keegoisan
4 - Persiapan
5 - Cinta itu Buta
6 - Tiga Situasi
7 - Apakah Ini Benar atau Salah?
8 - Kenangan Indah
9 - Kembali ke Kenyataan
10 - Mulai Berbohong
11 - Tetap Tersenyum Ketika Hati Terluka
12 - Kecemburuan Lana
13 - Sesuatu yang Salah
15 - Keputusan
16 - Pilihan Mia
17 - Gagal
18 - Pahit dan Manis
19 - Luka Ganda
20 - Berita Baik di Tengah Kekacauan
21 - Kekosongan
22 - Kebodohan
23 - Kebenaran VS Kesalahpahaman
24 - Karena Diriku
25 - Tanpamu
26 - Tempat yang Penuh dengan Kenangan
27 - Tidak Bisa Melupakanmu
28 - Senyumanmu
29 - Cukup
30 - Kebenaran
31 - Menanti Dirimu
32 - Paling Mencintai VS Menyusul
33 - Kau dan Aku
34 - Cepat Belajar
35 - Lamaran Kita
36 - Aku Bertemu Denganmu
37 - Kembali
38 - Sangat Terberkati
39 (END) - Orang Tua Dua Anak
ANNOUNCEMENT
VOTE COVER
IT'S HAPPENING

14 - Apa pun tentang Dirimu

3.9K 409 14
By Revee16

Hai readers!

I'm back!

Don't forget to vote, comment, and share ya!

Happy reading!

Thank you!

***

"Jadi, apa aku bisa mengantarmu hari ini?"

Pertanyaan Damian itu sontak membuat Mia memutar lehernya mengarah ke sumber suara dari stiletto yang hendak ia pakai. 'Bisa', kata yang digunakan Damian tidak salah. Damian sedang meminta izin untuk mengantar Mia karena setelah kedatangan Jerome, Damian tidak bisa selalu mengantar Mia. Bukan Damian yang tidak bisa atau tidak mau, namun untuk menghindari kecurigaan Jerome.

Jadi terkadang Damian mengantar Mia ke apartemen Julie atau mengantar Mia ke lokasi syuting saat Mia pasti datang lebih awal daripada Jerome. Terkadang, Julie yang menjemput Mia secara langsung.

Mia melemparkan senyuman tipis kepada suami tampannya yang sudah berdiri tepat di belakangnya. "Hari ini aku harus menemani Jerome mencari tempat tinggal, Damian," ucapnya pelan sehingga pasti hanya Damian yang bisa mendengarnya.

Hari di mana Mia harus menemani Jerome lantas mendampingi Damian nanti malam sudah tiba. This is the day.

"Jadi artinya tidak bisa," sahut Damian sambil mengganti sandal rumahnya dengan sepatu kerja yang sudah disiapkan Mia. Ia menjawab dengan nada biasa, tetapi hatinya sama sekali tidak rela. Come on, siapa yang rela seratus persen ketika istrinya menemani pria lain yang cukup spesial?

Mia memakai stiletto-nya. "Aku—Akhh." Wanita itu memekik karena ia kehilangan keseimbangannya. Sepertinya perasaan tidak nyaman di hatinya membuat seluruh tubuhnya bergetar tidak nyaman dan gugup hingga kehilangan keseimbangan dengan ceroboh seperti ini.

Namun, detik berikutnya, bukannya merasakan sakit di bagian tubuhnya, Mia malah merasakan nyaman sehingga dirinya terasa jauh lebih tenang.

"Are you okay?" Suara lembut Damian mengudara, bersamaan dengan usapan lembut tangan besarnya di bahu serta pinggang Mia. Tepat sekali, sekarang Mia berada dalam dekapan Damian.

Secara otomatis, Mia membuka matanya. Niatnya, ia mau langsung menjauhkan diri. Akan tetapi, begitu matanya bertemu dengan mata biru Damian yang memancarkan tatapan lembut, Mia hanya bisa terdiam dan melemparkan tatapan seperti seorang anak kecil yang terpesona akan tokoh kartun.

Tanpa keduanya sadari, jantung pasangan mereka berdetak dengan kencang.

"Mia?" gumam Damian sambil berniat membantu Mia menegakkan tubuhnya.

Lagi, Mia tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. Karena sedetik kemudian, ia menahan tangan Damian yang mencoba mendorongnya menjauh. "Aku berjanji, aku tidak akan terlambat, Damian," lirihnya dengan sepenuh hati.

Damian terdiam. Ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk menanggapi ucapan Mia. Ia hanya membalas tatapan mata Mia yang tampak penuh kesungguhan.

Mia berdeham lalu menegakkan tubuhnya, sehingga Damian juga berdeham pelan.

Pasangan suami istri itu terlihat sangat salah tingkah. Lucu sekali. Setidaknya itu yang dipikirkan Philip yang mengintip dari lantai atas tanpa bisa mendengar pembicaraan Damian dan Mia.

"Damian." Mia mengibaskan anak rambutnya yang menganggu. "Boleh aku meminjam mobilmu? Mungkin itu bisa membantuku supaya tidak terlambat."

Tanpa menunggu lama, Damian mengangguk. "Tentu saja. Semua mobil di garasi juga milikmu, Mia."

Tetapi pada kenyataannya, sepertinya tadi Damian masih terlalu salah tingkah hingga menjawab secara spontan. Lihat saja, saat ini, setelah membukakan pintu Maserati untuk Mia, Damian masih menunduk di jendela mobil bagian pengemudi yang terbuka.

"Damian, aku harus segera berangkat agar tidak terlambat nanti malam. Bisakah aku berangkat sekarang?" tanya Mia sembari menatap Damian penuh arti, tetapi tidak ada tatapan jengah atau kesal dari matanya. Ia menikmati wajah Damian yang tampak khawatir.

Dahi Damian berkerut. "Sebenarnya, lebih baik kau terlambat tapi aku mengantar jemputmu, tidak membiarkanmu menyetir sendiri seperti ini."

Mia menyandarkan tubuhnya di jok mobil. "Mungkin kau harus lebih sering membiarkanku menyetir mobil sendiri supaya kadar khawatirmu berkurang, Mr. Hamilton."

Seketika Damian menggeleng. "Bagaimana kalau aku membuat surat ijin mengemudimu dicabut saja?"

"Damian!" Mata Mia melebar.

Senyum terukir di wajah Damian. Ia menegakkan tubuhnya seraya mengangkat kedua tangannya sejenak. "Okay. Be careful, Mia."

Mia menghela napas kemudian melengkungkan senyum. "See you tonight, Damian."

Satu menit kemudian, Damian berdecak pelan begitu mobil Mia melaju dengan kecepatan cukup tinggi.

"Ted!" panggil Damian sebelum memasuki Lamborghini miliknya.

"Yes, Sir?"

"Perintahkan beberapa pengawal untuk memastikan Mia berkendara dan sampai ke tujuan dengan aman." Damian sedikit menoleh. "Tidak perlu memberitahu tujuannya kepadaku. Hanya pastikan dia aman," lanjutnya dengan suara memelan.

Ted mengangguk mantap. "Baik, Sir."

***

Saat staf marketing menjelaskan segala sesuatu tentang unit apartemen yang ia pijak kepada Jerome, Mia melihat jam tangannya. Entah sudah berapa kali pergerakan itu Mia lakukan.

Jerome berbalik menatap Mia. "Bagaimana menurutmu, Mia?"

Mia menurunkan tangannya. Ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru apartemen yang cukup mewah ini, meskipun tidak semewah milik Damian—

Tangan Mia mengepal. Ia berdecak pelan. Saat aku bersama Damian, pria itu tidak berhenti menguasai kepalaku. Tapi ketika aku tidak bersamanya, dia juga tidak menyingkir dari kepalaku.

"Mia?"

Mia sedikit tersentak. "Ini bagus, Jerome."

"Itu tanggapanmu sejak apartemen pertama yang kita lihat, Mia." Jerome memutar tubuhnya, menghadap Mia sepenuhnya. Ia menatap Mia penuh selidik. "Ada apa dengan dirimu, Mia?"

Jerome mengernyit. "Hari ini kau bertingkah cukup aneh, Mia. Kau melihat jammu terus menerus. Kau tidak fokus dan kau menyetir Maserati sendiri."

"Aku meminjam mobil Julie, Jerome," sahut Mia cepat. Ia bersyukur memiliki sahabat yang cukup kaya seperti Julie. Tidak, bukan Mia ingin memanfaatkan Julie. Hanya saja, ia jadi bisa mengakui salah satu mobil Damian menjadi mobil Julie agar Jerome tidak curiga.

Mia tersenyum simpul. "Dan aku belum selesai memberikan pendapatku." Ia mengalihkan tatapannya sembari melangkah pelan menyusuri apartemen. "Apartemen ini memiliki view yang bagus. Lokasinya strategis. Desainnya mewah tapi tidak berlebihan. Pelayanan, surat, dan lain sebagainya juga bagus."

"Satu kata." Mia menatap Jerome sembari melebarkan senyum. "Perfect."

Seulas senyum kembali menghiasi wajah Jerome. "Aku juga merasa ini yang terbaik daripada sebelumnya."

Senyum Mia melebar mendengarnya. Untung saja. Karena sejujurnya sejak tadi, dirinya tidak bisa fokus.

Staf marketing yang melayani Jerome menatap Jerome dan Mia secara bergantian. "Kalian adalah pasangan yang serasi, Miss, Mister."

Senyum Mia memudar. Perasaan tidak enaknya semakin membengkak.

Jerome tertawa pelan. Tiba-tiba, ia merangkul bahu Mia. "Kami mengambil apartemen ini, Miss."

Tanpa Jerome tahu, Mia diam-diam menghela napas dan melirik jam tangannya sekilas. Masih ada waktu.

Setelah itu, dengan perlahan, Mia berusaha menyingkirkan tangan Jerome dari bahunya. Dirinya tidak suka Damian dekat dengan wanita lain, jadi dirinya juga tidak boleh dekat berlebihan dengan pria lain.

Shit. Mata Mia terpejam begitu menyadari pemikirannya sembari mengumpati dirinya sendiri di dalam hati. Again. Damian again. Oh, Damian, can you get out from my head?!

"Are you okay, Mia?"

Mia tersentak ketika Jerome menyentuh punggungnya. Matanya terbuka, menatap Jerome tanpa berkedip. "I'm okay."

Jerome tersenyum. "Syukurlah. Aku mau mengajakmu makan setelah ini."

Mia langsung menggeleng. "Tidak perlu."

Jerome menatap Mia bingung.

"Aku—aku harus pergi setelah ini." Mia tersenyum tidak enak. "Aku akan mentraktirmu di lain hari."

Senyum Jerome melebar. Ia mengangguk. "Baiklah. Aku harap hari lain itu tidak terlalu lama."

Mia tidak menyahut, ia hanya tersenyum kikuk menanggapi.

***

"C'mon, Julie. Jangan lama-lama," gerutu Mia sembari menatap Julie yang berada di belakangnya, mengurus rambut cokelat Mia. Mia mengetuk-ngetukkan kakinya dengan tidak sabaran.

Malam ini, Mia memang meminta bantuan Julie untuk bersiap ke acara Damian. Mulai dari make up, hair do, dan lain sebagainya.

"Sabarlah sedikit. Jangan banyak bergerak," jawab Julie sambil fokus dengan rambut sahabatnya.

Mia menatap jam di ponselnya. "Kita hanya memiliki waktu tidak sampai setengah jam, Julie!"

Lewat cermin, Julie menatap tajam Mia sekilas. "Siapa suruh kamu pergi sama Jerome?!"

"Tidak bisakah kau tidak membahas itu?" Mia menghela napas. "Bahkan aku belum makan, Julie. Aku hanya sarapan dengan Damian tadi pagi. Aku melawatkan makan siang hanya supaya aku tidak terlambat."

Sambil menggigit bibirnya, Julie memasang sebuah hiasan rambut yang indah di rambut Mia. "Hati-hati dengan asam lambungmu, Darling. Damian akan khawatir."

Tak lama kemudian, Julie sedikit mundur sembari menatap Mia dengan puas. "Done!"

Secepat kilat, Mia berdiri, memakai high heels-nya, mengambil clutch-nya. "Thank you, Julie!" serunya seraya berlari terbirit-birit.

Mata Julie mengawasi sahabatnya yang menuju pintu keluar apartemennya itu. "Perhatikan langkahmu!"

Tepat setelah Julie menyelesaikan peringatannya, Mia merintih karena high heels-nya tidak seimbang sehingga kaki kanannya jatuh dengan posisi menyamping.

"Mia!"

"Aku baik-baik saja!" Mia menegakkan tubuhnya. "Aku pergi dulu!" serunya sebelum berlari keluar sambil menahan ringisan.

Julie menghela napas. Tangannya berkacak pinggang. "Sepertinya, aku akan tetap menjadi temanmu, Mia Hamilton."

Senyum terukir di wajah Julie. Lantas ia menggedikkan bahunya. "Good luck."

***

Melihat waktu yang semakin mendekati pukul tujuh, Mia semakin menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Sesekali, ia meringis pelan karena rasa sakit di pergelangan kakinya.

Mia melampiaskan rasa sakitnya dengan mencengkram setirnya dan menajamkan penglihatannya. "Aku tidak boleh terlambat," ulangnya entah sudah yang keberapa kali sejak ia meninggalkan apartemen Julie.

Tidak sampai lima menit kemudian, Mia menghela napas lega saat ia memasuki lingkungan sebuah hotel berbintang di bawah naungan Hamilton Group, tempat acara perusahaan Damian dilaksanakan.

Dengan cepat, Mia menghentikan Maserati Damian di depan lobi. Sembari meringis pelan, ia melangkah keluar dan memberikan remot mobil serta tip kepada petugas.

Mia berjalan cepat menuju lift dengan sedikit menyeret kaki kanannya yang semakin sakit. Beruntung cara berjalannya tidak terlalu terlihat karena gaun merahnya yang memiliki panjang yang menutupi tubuhnya hingga menyapu lantai.

Lift yang dinaiki Mia berdenting, menunjukkan ballroom yang ramai. Namun, mata Mia terpaku pada satu sosok yang mengenalkan tuksedo hitam.

Bahkan dengan melihat tubuh belakangnya saja, Mia dapat mengenali bahwa sosok itu adalah suaminya. Tentu saja tidak aneh, sudah berapa kali Mia mencakar, mengusap, mencengkram, bahkan mengecu—

Wait! Mata Mia melebar begitu seorang wanita menghampiri Damian. Mia spontan mencengkram gaunnya saat mengenali wanita bergaun hitam tersebut. Caroline Kennedy.

Ketika mendapati Caroline tersenyum, Mia langsung melangkah cepat menghampiri Damian. Bahkan karena terlalu kesal, ia berjalan cepat seperti biasa, benar-benar melupakan kakinya yang sepertinya terkilir dan mulai membengkak.

"Mrs. Hamilton belum datang, Sir? Bagaimana kalau saya—"

"Saya di sini, Ms. Kennedy," sela Mia sambil langsung memeluk lengan Damian posesif.

Damian menoleh. "Mia," gumamnya tidak percaya. Mata birunya terpaku pada sang istri, menggagumi ciptaan Tuhan yang semakin cantik tersebut.

Victor yang berdiri di sisi lain Damian sontak tersenyum miring.

Caroline menunduk hormat. "Selamat malam, Mrs. Hamilton."

Mia tidak ada niatan menjawab. Ia hanya menatap Caroline dengan sangat tajam hingga membuat wanita itu segera mengundurkan diri.

"Aku kira kau akan terlambat." Damian bergerak memeluk pinggang Mia, membuat Victor memutuskan menjauh daripada mengganggu sang sahabat dan istri.

Mia membalas memeluk pinggang Damian. "Maaf aku hampir terlambat." Tatapannya menajam. Bibirnya sedikit mengerucut. "Lebih tepatnya hampir memberikan kesempatan Caroline mendekatimu."

Tatapan Damian melembut. Senyuman lebar tersungging di bibirnya. Ia mengecup pelipis Mia seringan bulu. "Kita masuk sekarang, Mrs. Hamilton?"

Mia mengangguk sehingga Damian langsung melangkah maju. Tetapi tepat saat ia hendak menggerakkan kaki kanannya, Mia tidak bisa menahan diri untuk tidak merintih. Oh, kenapa rasa sakit di kakinya baru benar-benar terasa sekarang? Parahnya, rasa sakit itu menjadi berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Damian urung melangkah. "Mia. Kamu kenapa? Ada yang sakit?" bisiknyapaniksembari menunduk, menyejajarkan diri dengan wajah Mia. Matanya melebar, pandangannya mengamati sosok Mia dari atas hingga bawah.

Mia melirik kakinya lantas sedikit menyingkapkan belahan gaunnya di kaki kiri, memperlihatkan pergelangan kaki kanannya yang membengkak.

Mata Damian membulat. "Astaga Mia!" Ia berlutut dengan satu kaki, melihat kaki Mia tidak peduli sedang ada banyak orang.

Damian menyingkirkan high heels Mia lalu meletakkan kaki sang istri di atas lututnya.

"Dam—"

Mia harus menelan protesannya karena Damian sudah memanggil manajer umum hotel dan mengucapkan beberapa kalimat, atau lebih tepatnya perintah.

Setelah itu, Mia harus menahan pekikannya karena Damian tiba-tiba mengendongnya ala bridal style. "Damian. Acara mau dimulai. Kita harus masuk," protesnya karena Damian membawanya ke sebuah lorong, menjauhi ballroom.

"Masih ada waktu sebelum aku harus memberikan sambutan." Damian menoleh, dengan tatapan lembut nan tegas di matanya. "Terlebih, kau jauh lebih penting, Mia."

Damian menurunkan Mia di sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang tunggu atau entah apa. Yang jelas, hanya ada sofa dan meja, tanpa tempat tidur.

Damian kembali berlutut dengan satu kaki dan meletakkan kaki Mia di atas kakinya. "Katakan, apa yang terjadi?"

Mia menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu kamu akan percaya atau tidak. Aku hanya ingin segera sampai ke sini—"

"Jadi kamu berlari dengan high heels sampai melukai kakimu," lanjut Damian tepat sasaran.

Mia meringis, tidak menyangka Damian akan menebaknya dengan tepat. Entah sudah berapa kali Damian menebak semua tentang Mia dengan tepak sasaran. "Bagaimana kau tahu?"

Sebelum Damian menjawab, seorang pegawai hotel masuk sambil membawa dua kantong kertas.

"Terima kasih." Damian menerima kantong itu dan memberikan beberapa lembar uang. "Kamu boleh pergi."

"Thank you, Sir. Saya permisi." Pegawai pria itu membungkuk hormat kemudian undur diri.

Damian mengeluarkan obat untuk kaki Mia dan sebuah sandal hotel. "Aku tahu karena aku mengetahui segalanya tentangmu, Mia."

"Bahkan mungkin aku lebih mengenalmu daripada dirimu sendiri," lanjut Damian dengan suara lebih pelan sambil menyemprot kaki Mia dengan obat.

Damian menengadah, menatap Mia sambil tersenyum. "Aku juga tahu kau akan tetap menemaniku di acara ini apa pun yang terjadi." Ia mengganti high heels Mia dengan sandal hotel. "Dan kau pasti akan bersikeras berjalan sendiri."

Mia tersenyum penuh haru. Semua yang diucapkan Damian tepat sasaran.

Tatapan sangat lembut terpancar dari kedua mata hijau Mia. Ketika Damian membereskan obatnya, Mia menangkup rahang Damian dan mencium bibir pria itu.

Ketika Mia mulai melumat bibirnya, Damian memejamkan mata. Seraya membalas pagutan Mia, tangannya bergerak memeluk Mia.

Beberapa menit kemudian, Mia mengurai ciumannya kemudian tersenyum lebih lebar dan penuh ketulusan. "Thank you, Damian."

***
TBC

Hai semuaaa

Author update lagiii
Kali ini dengan part yang panjang kali lebar kali tinggi sampai 2000 kata donggggg
Pada bosan nggakk? Atau senengg?

Gimana part iniii? Sukaaaaaa? Kalau dianter Damian sih, author rela SIM dicabut hahahahhahahahahhaa
Ada yang samaa?

Mia, Mia.. Sampai rasa sakit ga kerasa saking cemburunyaaa
Gituu sempat-sempatnya ketemu Jeromee
Padahal dirangkul Jerome aja ga mau, malah situ ngegas duluan nyium suamiii tamvan nan perhatiannn
Gitu bilangnya cinta sama Jerome dan ga suka sama Damian
Are you sure?
Menurut readers gimanaaa?

Sukaa nggak sama part inii?

Semoga sukaa yaaa

Ditunggu vote, comment, and sharenyaaa

Thank you
-M. Lavena-

Continue Reading

You'll Also Like

2M 18.9K 25
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
973K 3.8K 14
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
1.4M 97.3K 43
Bagi tuan putri seperti Stefany Aurelia Wibowo, hanya ada dua hal yang tidak bisa bisa ia dapatkan di dunia ini. Pertama, izin dari keluarga untuk ti...
1.3M 61.5K 68
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...