Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

enam

76.8K 11.1K 532
By luckybbgrl

Malam harinya, Rea duduk di kursi meja belajarnya dengan handphone milik Rea yang ia temukan setelah mengobrak-abrik tas yang ia gunakan ke sekolah tadi di tangannya.

Handphone dengan logo apel tergigit keluaran terbaru itu sedari tadi dipandangi gadis itu dengan wajah melongo yang belum berganti sejak beberapa menit yang lalu.

"Buset. Gue dulu minta dibeliin ke Ibu malah diusir anjir. Inget banget masihan," Rea mengulum bibir bawahnya dengan kening berkerut sedih yang dibuat-buat ketika mengingat kilasan kejadian Ibunya mengepak pakaiannya ke dalam tas dan mendorongnya keluar rumah sebelum menutup pintu rumah. Menyisakan dirinya dan tas berisi pakaian di luar rumah setelah meminta dibelikan handphone apple keluaran terbaru.

Beruntung setelah merengek selama setengah jam sambil mengedor-ngedor pintu dan berjanji tidak meminta dibelikan handphone tersebut, Ibunya mau membukakan pintunya meski jatah makan siangnya diberikan ke kakaknya.

"Sumpah? Ini jadi hape gue sekarang?" Rea masih melotot tak percaya ke arah benda pipih itu.

"OMG, GUE SENENG BANGET!!"

Rea tiba-tiba berdiri, melonjak-lonjak kegirangan sebelum berlarian mengelilingi kamar seperti orang kesetanan.

"AAAAAA!!!" teriaknya sebagai penutup sambil melompat ke arah ranjang yang membuat tubuhnya terpental beberapa kali.

Tok tok tok

Rea menangkat kepalanya saat mendengar suara ketukan pintu. Alisnya terangkat heran, siapa yang mengetuk pintunya.

"Non, Non Rea teriak-teriak ada apa?" suara Bi Imah terdengar dari balik pintu tersebut. Mendengar pertanyaan Bi Imah, Rea langsung mendudukkan tubuhnya.

"OH, ENGGAK, BI. CUMA SENENG AJA GAK ADA TUGAS BUAT BESOK!" balas Rea asal sedikit berteriak agar Bi Imah bisa mendengar.

"Kirain. Ya sudah, Non. Bi Imah balik ke bawah dulu."

"IYA, BI. MAAF!

"Enggak papa kok, Non."

Setelah suara langkah kaki Bi Imah tak terdengar, Rea merebahkan tubuhnya lagi dan mengangkat kedua tangannya yang memegang handphone. Ia nyalakan handphone tersebut.

"Buset notifnya," Rea mendelik saat melihat notifikasi handphone tersebut yang penuh oleh pesan dari kontak dengan nama 'my boo♡'.

"Ini Nathan ya?" kening Rea mengerut jijik dengan bibir atas yang terangkat.

Ia segera menggeser ke atas layarnya, terkunci. Beruntung Rea yang asli memasang sidik jari, sehingga memudahkannya.

"Okeyy, ini enaknya buka apa dulu ya?" gumam Rea sambil melihat-lihat layar pop-up nya yang menunjukkan banyak notifikasi dari berbagai aplikasi.

"ANJIR, KEPENCET!" Rea memekik tertahan ketika sadar tangannya tanpa sengaja memencet notifikasi pesan Nathan di aplikasi whats app.

gk pulang sama aku?
kamu udh pulang?
kok gk ngabari aku?

bareng savita?
sejak kapan kalian deket?

kenapa gk jawab chat aku?
kamu marah?

"Apaan sih? Gak jelas," gumamnya sambil mulai mengetik balasan.

iya
bukan urusan lo
gak

Dengan cepat Rea keluar dari room chat-nya dengan Nathan, berniat beralih pada pesan lain yang ada di aplikasi whats app.

"Ini apa-apaan?"

Rea melonggo saat menyadari bahwa pesan Nathan tersemat di bagian paling atas, di bawahnya ada kontak bernama Vera yang juga diikuti lambang hati. Selainnya hanya grup, dengan puluhan pesan diarsip.

Ia mengabaikan pesan dari Vera. Jika saja pesan Nathan tidak kepencet, Rea juga berniat untuk mengabaikannya. Gadis itu lebih tertarik dengan pesan diarsip.

"Buset. Rea, lo ada masalah apa sih?" ia mendesah frustasi saat pesan-pesan diarsip itu kebanyakan belum dibaca.

"Ih, ini Ratna nanya anjir dari minggu lalu. Gak dibaca, apalagi dibales."

"Sumpah si Rea kenapa deh," ia menyebik sedih, membuat ekspresi menangis yang dibuat-buat. Menangisi kebodohan Rea yang dibutakan oleh pacar dan sahabatnya itu.

"Tau deh, buka lainnya aja."

Setelahnya Rea memilih keluar dari aplikasi whats app dan beralih ke aplikasi instagram. Mengecek akun instagram-nya sendiri, dan ia dibuat takjub.

Followers-nya belasan ribu. Feeds-nya sangat tertata, dengan foto yang selalu berkualitas. Bisa dilihat bahwa dalam feeds-nya, hanya terlihat wajah Rea, Nathan, dan Vera. Tidak ada yang lain. Dan itu membuat dirinya muak entah karena apa.

"Ini boleh gak sih gue hapusin fotonya?"

----

"Aduhh, seger banget udara pagi."

Rea meregangkan ototnya sambil berjalan menuju kelasnya. Tadi pagi ia berangkat ke sekolah dengan diantar supirnya, Pak Imam.

"Sekolah ini bagus banget ya, ternyata," gumamnya sesaat setelah matanya mulai menelusuri seluruh bangunan sekolah elite milik orang tua pemeran utama laki-laki novel itu, yang tak lain adalah Agam.

Ciri khas novel fiksi remaja sekali bukan?

Suasana sekolah saat ini masih sepi. Tentu saja, karena ia berangkat pagi-pagi sekali. Bebeda dengan saat ia masih menjadi Ara dulu, ia selalu berangkat mepet dengan bel masuk berbunyi. Bagaimana tidak jika setiap hari ia bangun kesiangan karena malamnya ia begadang membaca novel?

Setelah menaiki tangga, gadis itu langsung masuk ke dalam kelasnya dan duduk di bangkunya. Memainkan handphone-nya yang sedari tadi ia genggam. Melanjutkan memeriksa aplikasi lain yang belum ia buka kemarin.

Mengingat kemarin, Rea jadi ingat dengan pesan balasan Nathan yang ia abaikan semalaman. Cowok itu semalaman mengiriminya pesan terus meski tidak ia baca, menanyakan hal yang sama seputar 'Kamu marah?' 'Apa salahku?' 'Kamu kenapa?' dan sebagainya. Entah itu ia tulus mengirimkannya atau tidak, Rea tidak peduli. Gadis itu bahkan mensenyapkan notif dari Nathan karena risih.

"Bentar deh."

Seakan teringat sesuatu, Rea langsung menaruh handphone-nya dan duduk tegak dengan wajah berpikirnya.

"Dari kemarin, gue belum bener-bener mikirin kondisi gue yang kurang masuk akal ini. Iya kan?"

Rea menggigit bibir bawahnya sendiri dengan kening berkerut, memikirkan sesuatu yang sedari kemarin ia lupakan.

"Poin utamanya adalah gue masuk ke novel. Jadi Rea, yang ending-nya bakal mati di tangan Agam, si pemeran utama laki-laki gara-gara nge-bully Vanya, pemeran utama perempuan. Udah kan?" gadis itu bergumam sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Karena gue jadi Rea, dan tau ajal gue kapan. Harusnya gue bisa ngubah takdir yang ditulis penulisnya kan? Atau... enggak?"

Rea berdecak, ia jadi sedikit gelisah saat memikirkan kemungkinan bahwa ia tidak bisa mengubah takdir kematiannya. Bukan tidak percaya atau apa, ini adalah dunia novel yang takdir masing-masing tokohnya sudah ditulis oleh penulis. Bukannya itu lebih sulit diubah?

"Oke, tenang. Bukan berarti kalo udah ditulis, lo gak bisa ngubah. Kalo di perhatiin dari kejadian kemarin waktu Agam nge-bully Vanya. Itu berarti masih awal novel kan?" Rea tersenyum sedikit lebar.

"Oke, karena masih awal banget ceritanya. Gue bakal cepet-cepet mutusin Nathan. Pusat kegoblokannya Rea ada di Nathan, kan?" gadis itu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

"Eh tapi. Enaknya langsung gue putusin apa dijauhin dulu ya?" Rea mengembungkan sebelah pipinya.

"Dijauhin dulu aja deh ya. Biar ntar Nathan ketahuan selingkuh atau apa kek dulu baru diputusin. Iya kan?" mulutnya terbuka dengan tangan kirinya yang menggenggam menyisakan jari telunjuk bergerak, seolah-olah ia menemukan ide bagus.

"Iya kalo dia selingkuh. Kalo enggak gimana dong?" raut wajahnya yang awalnya ceria kini beralih keruh lagi.

"ARRGHH, TAU DEH SERAH," teriaknya frustasi sambil memegang kepalanya.

Menyerah berpikir tentang hidupnya yang kini sedikit rumit, Rea diam sebentar sambil menghela nafas beberapa kali. Setelahnya, kepalanya menoleh ke seluruh penjuru kelas, mengamati dengan lebih leluasa suasana kelas karena kemarin begitu ia menginjakkan kaki pertama kali ke dalam kelas ini suasananya gaduh.

"Buset, AC nya ada 3," Rea mendelik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya saat matanya menangkap adanya air conditioner berjumlah tiga yang dipasang di masing-masing sisi tembok kecuali bagian belakang.

"Beda banget sama sekolah gue. Boro-boro AC, kipas aja satu mana horok-horok kalo digedein."

Beralih dari AC, matanya beralih ke belakang kelas. Alisnya terangkat saat melihat lemari dengan banyak pintu kecil-kecil yang ia yakini adalah loker.

"Wih, ada lokernya juga," gumamnya takjub sambil melangkah mendekat ke arah loker itu.

"Oh. Untung pake nama bukan nomer," gumamnya saat melihat setiap pintu loker tersebut ditandai dengan nama panjang masing-masing pemilik.

Tangannya menyusuri satu persatu papan nama berukuran kecil yang terpasang di setiap pintu sambil membacanya dalam hati.

"Agam Syahputra Adiraja," gumamnya saat tangannya menyentuh papan nama salah satu pintu di baris ketiga. Lama memandangi papan nama itu, pundaknya terangkat acuh sebelum beralih ke pintu loker diatasnya.

"Ih, kenapa di atasnya loker si Agam," keningnya berkerut tidak terima saat menyadari bahwa lokernya berada tepat di atasnya loker Agam.

"Oke santai aja, cuma kebetulan nama kalian emang sama-sama depannya A. Udah, itu gak bakal mempengaruhi apa-apa, asal gue putus sama Nathan. Iya, kan? Oke, itu masuk akal," gumamnya pada dirinya sendiri untuk menenangkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat dari biasanya saat memikirkan tentang Agam. Apa ini pengaruh ia tahu bahwa Agam malaikat mautnya?

Rea menggeleng-gelengkan kepalanya agar bayang-bayang ending novel 'To Protect You' tidak terputar di otaknya lagllpl. Jujur saja, ia masih sering ngilu ketika membayangkan Agam menyiksa Rea.

"CUKUP, ANJIR. MALAH MAKIN INGET!" Rea berteriak dengan ekspresi seperti akan menangis sambil memegang kepalanya.

"Oke, tenang. Tenang, Ar- Rea. Tenang, tenang," gumamnya pelan sambil menarik dan menghembuskan nafas.

"Gue harus ngebiasain diri manggil diri sendiri Rea kayaknya," gumamnya lagi saat telah lebih tenang sambil mengulum bibirnya sebagai akhiran.

Tatapannya kini fokus lagi ke arah loker dengan namanya. Tangannya terangkat hendak membuka pintu loker tersebut, ingin mengecek apa isi loker milik Rea.

"Ini di kunci gak ya?" gumamnya saat tangannya sudah memegang pegangan pintu loker.

Tung trung tung tung tung tung tung

Tung trung tung tung tung tung tung

Tangan Rea yang hendak menarik pegangan loker itu berhenti saat nada dering pertanda adanya telepon terdengar. Ia menoleh ke arah handphone-nya di meja yang menampilkan adanya panggilan.

Ia mendekat ke arah mejanya dengan alis terangkat. Keningnya berkerut kesal saat melihat siapa yang meneleponnya.

"Kenapa sih?" gumamnya dengan kedua alis mengkerut kesal.

Rea akhirnya mengangkat panggilan itu setelah menghembuskan nafas kesal.

"Halo?"

"Lihat gue!"

To be continue...

•••••

makasih banget buat vote kalian
gak nyangka part kemarin udah 12 bintang aja
buat yang komen juga makasih banget
masih terharu😭

Continue Reading

You'll Also Like

383K 44.2K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...
2.1M 195K 37
Aurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tany...
537K 34.8K 62
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...
416K 28.9K 42
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...