DASA (END)

By devitnask

3.7M 399K 315K

[COMPLETED] PART MASIH LENGKAP FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA ⚠️ R-16, Selfharm, Sex, Drunk, Violence, Suicide... More

DASA 00
DASA 01
DASA 02
DASA 03
DASA 04
DASA 05
DASA 06
DASA 07
DASA 08
DASA 09
DASA 10
DASA 11
DASA 12
DASA 13
DASA 14
DASA 15
DASA 16
DASA 17
DASA 18
DASA -
DASA 19
DASA 20
DASA 21
DASA 22
DASA 23
DASA 24
DASA 25
DASA 26
DASA 27
DASA 28
DASA 29
DASA 30
DASA 31
DASA 32
DASA 34
DASA 35
DASA 36
DASA 37
DASA 38
DASA 39
DASA 40
DASA 41
DASA 42
DASA 43
DASA 44
DASA 45
DASA 46
DASA 47
DASA 48
DASA 49
DASA 50
DASA 51
DASA 52
DASA 53
DASA 54
DASA 55
DASA 56
DASA 57
DASA 58
DASA 59
DASA 60
DASA ExChap : Unboxing
DASA ExChap : Together

DASA 33

57.4K 6.6K 6.7K
By devitnask

"Bu Nisha bilang kamu suka menyakiti diri sendiri?" tanya seorang Psikiater yang kini duduk di kursi kerja sambil menulis data-data pasien barunya. "Dan beberapa hari belakangan semakin parah?"

Asa hanya mengangguk sebagai jawaban, seraya menekan pangkal kuku ibu jari menggunakan kuku ibu jari yang lain hingga kulitnya mengelupas. Tanda bahwa Asa sedang cemas.

Psikiater itu menatap tangan Asa sejenak, lalu Asa akan berhenti melukai tangannya. "Pernah menemui Psikiater? Atau ini yang pertama kalinya?"

Psikiater itu menatap Asa dan langsung tau hanya dengan melihat wajah Asa yang super cemas. "Ah, ini yang pertama kali ya?"

Psikiater itu kembali mencatat data-data Asa sesuai dengan pengamatannya hari ini, termasuk bagaimana cara Asa melukai pangkal kukunya saat cemas.

"Sejak kapan kamu melakukan itu, dan kenapa?" tanyanya lagi tanpa melihat Asa.

Asa menggeleng lemah. "Entahlah, saya tidak ingat."

Psikiater itu berhenti menulis, lalu mengaitkan jemarinya sambil memandang wajah pasiennya. "Kapan terakhir kali kamu menyakiti diri sendiri? Atau berusaha ingin mengakhiri hidup?"

Asa tidak menjawab, dia menunduk seperti enggan untuk bercerita tentang dirinya.

Psikiater itu memegang tangan Asa yang berada di atas meja kerja. "Asa, ingatlah satu hal. Jika kamu tidak mau membuka diri, kamu tidak akan pernah sembuh."

"Coba jelaskan saja bagaimana perasaanmu waktu itu." Psikiater itu mengamati wajah Asa lekat-lekat, seolah sedang membaca pikiran Asa.

"Depresi, mungkin?" jawab Asa ragu-ragu. "Cemas, stress, lelah, dan sesuatu yang sangat sulit untuk saya jelaskan."

"Apa kamu sangat depresi belakang ini? Atau ada sebab tertentu yang mendorong kamu melakukan hal itu?"

Asa mengangguk. "Iya, ada."

"Bisa ceritakan?" pintanya lemah lembut.

Asa kembali diam, merasa sangat asing menceritakan tentang dirinya pada orang lain. Terlebih lagi pada orang yang baru ia kenal, meskipun wanita itu psikiater Asa tetap saja merasa tidak nyaman.

"Ada yang bisa kamu ajak bercerita? Teman, keluarga, atau semacamnya?"

Asa lagi-lagi membisu.

"Asa, memiliki sistem pendukung sangatlah penting dalam proses penyembuhan. Seseorang yang dapat kamu ajak bercerita dan mengatakan semua tentang apa yang sedang kamu rasakan."

"Papa, mungkin." Asa memegang perutnya yang sedikit buncit. "Atau Rey, Bunda Nisha."

Psikiater itu melihat ekspresi murung di wajah Asa. "Coba kita bahas tentang Papa kamu lebih dulu."

"Kenapa harus Papa?"

"Saya psikiater, tentu saya harus bertanya tentang keluargamu."

Perlahan, Asa menceritakan semuanya. Tentang Liam yang dulu selalu menuntutnya untuk sempurna, sampai akhirnya Elvan datang di kehidupannya, lalu kehamilan Asa yang ternyata membuat Papanya berubah, juga masalah Rey dan Clara.

"Pernah mencoba melampiaskannya dengan hal lain?" Psikiater itu mulai memahami Asa. "Menulis, mencurahkan segala perasaanmu ke dalam buku, menggambar, mendengarkan musik, atau satu hal yang paling kamu sukai?"

Asa menggeleng.

"Sepertinya kamu belum bisa menerima diri kamu sendiri. Kamu merasa benci pada diri sendiri, tetapi juga tidak bisa berhenti untuk melukai diri sendiri."

"Asa, kalau kamu mau sembuh, kamu harus bisa menerima diri kamu sendiri. Sakit itu bukan masalah, semua orang pernah sakit, dan kita harus berjuang untuk sembuh."

"Tugas kamu yang pertama adalah menerima diri sendiri, dan berusaha mencari kegemaran baru untuk meminimalisir keinginan menyakiti diri sendiri."

"Sesi konseling kita hari Selasa dan Sabtu, saya harap ada kemajuan untuk pertemuan berikutnya."

"Terimakasih, Bu Nita."

***

"Asa gimana, Bun?" tanya Rey melalui sambungan telepon.

"Alhamdulillah udah selesai, jadwal konselingnya hari Selasa sama Sabtu."

"Yes, weekend. Rey bisa anterin Asa konseling besok." Rey mengepalkan tangan membentuk tanda yes.

Karena suaranya terlalu keras, beberapa anak-anak Cassy yang sedang membaca di perpus itu memusatkan perhatiannya ke tempat Rey. "Maaf, maaf."

Rey berjalan ke sudut rak buku seraya mengakhiri panggilan bersama Sang Bunda. Tangannya meraih buku psikologi, Rey ingin belajar psikolog agar dapat memahami Asa.

Pria itu membaca buku sampai jam istirahat selesai, lalu meminjam buku itu agar dapat ia baca lagi nanti.

Rey memasuki kelas, dia duduk di samping Gavin, lantas menyiapkan buku pelajaran hingga jam terakhir.

"Cewek yang ada di video itu bukan Asa, Rey. Itu yang perlu lo percayai."

Tiba-tiba, Rey jadi kepikiran ucapan Gavin waktu itu. Apa benar ia bukan Asa? Rey tidak pernah menontonnya hingga selesai, dia langsung percaya jika wanita di video itu adalah Asa karena Clara meyakinkannya.

"Gav!" panggil Rey pada Gavin yang tengah bermain game. "Hm?"

"Lo masih punya link bokepnya Asa?"

"Astagfirullah, vulgar banget tuh bibir!" Gavin ngelus dada. "Masih, Rey. Mau apa lo?"

"Iya mau nonton lah, ya kalik belajar."

Gavin berhenti bermain game, kemudian menatap Rey datar. "Istigfar, Brader."

"Lo bilang dia bukan Asa, gue kan cuma pengen mastiin aja."

Gavin memainkan ponselnya. "Udah gue kirim, tapi jangan ditonton sekarang."

"Ya kali, Gav." -,-

***

Rey keluar dari kamar mandi sambil mengusap kepalanya yang basah dengan handuk kecil. Pria itu duduk di kursi belajarnya dan kembali membaca buku psikologi.

Bokep, Rey! Ekhem! Ah, pikiran seperti itu terus terngiang di otaknya. Ponsel Rey yang berada di atas meja itu seolah sedang memintanya untuk dibelai.

Sebentar lagi magrib. Nggapapa kalik ya dosa bentar terus langsung sholat? Eh, nggak dosa dong! Rey kan cuma pengen mastiin itu bukan Asa, ya walaupun sambil belajar.

Rey mengamati pintu kamarnya, sepi, Asa dan Bundanya sedang memasak untuk makan malam. Aman.

Rey meneguk salivanya, jari nakalnya langsung bergegas membuka link yang Gavin kirimkan. Pupilnya mulai membesar, Rey sedang excited.

Telinga tertutup headphone itu mulai fokus mendengarkan video. "Akh, uhh, faster ... Baby, ahhh, aughh, yang cepet dong. Ahh, aku aja yang di atas ya--"

"Ekhem!" Asa yang berdiri di ambang pintu itu berdeham, Rey terlalu fokus menonton ponsel sampai-sampai tidak sadar jika Asa sudah mengetuk pintu berkali-kali.

"Astagfirullah, istri!" Rey terperanjat hingga ponselnya terjatuh, hal itu membuat sambungan headphonenya terlepas dan suara video terputar pun mulai terdengar keras-keras.

"Ah, mmmpphhh, cepet, akkkhhhh, enak, buruan, cepet. Ah, ahh, ahhh, faster, Baby."

Rey mengerjap pelan, atmosfer di sekitarnya mendadak terasa aneh. Pipi Asa bersemu merah, begitu pula dengan pipi Rey yang sudah memanas karena malu.

"Rey--" Rey buru-buru mengambil ponselnya dan mematikan video bokep tadi.

Asa membekap bibirnya, menahan tawa yang ingin meledak detik itu juga. Sungguh, melihat tingkah Rey membuat moodnya naik.

"BUNA, REY LAGI NONTON BOK--"

Rey berlari dan membekap mulut ember Asa, mereka mulai beradu kekuatan hingga akhirnya terjatuh di sofa kamar Rey dengan posisi Asa di atas Rey.

Keduanya sama-sama mematung di tempatnya masing-masing. Netra Asa membulat menatap Rey yang terlalu dekat dengannya, sedangkan Rey meneguk salivanya karena payudara Asa menempel di dadanya.

Otak Rey sedang kotor, maklum habis nonton bokep. Rey mengigit bibirnya, mati-matian menahan diri untuk mencium bibir Asa.

Ya, meski notabenenya suami, Rey termasuk tipikal pria yang sangat menghargai wanitanya. Dia bahkan rela tidur di sofa karena belum meminta ijin pada Asa, Rey selalu bertindak setelah wanitanya benar-benar mau, jadi Rey tidak akan berani menyerang Asa secara tiba-tiba.

"Ben-tar lagi mag-rib," Suara Asa mendadak terdengar canggung.

"Oh, i-iya, Sa." Rey merubah posisinya menjadi duduk setelah Asa berdiri.

"Boleh ikut jemaah?"

"Iya boleh dong. Tajwid Rey bagus kok, cocok jadi imam yang baik." Rey merancu karena salah tingkah.

Asa mengulum senyum, merasa aneh mendengar Rey membanggakan diri sendiri karena Rey sangat jarang melakukan itu.

Adzan berkumandang, dan mereka pun beribadah bersama--sama Buna juga.

TBC.

Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥

Ada yang nunggu next?

Part selanjutnya #ReySa seranjang nih. Siapa yang nunggu mereka bobo bareng? 😂

Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.

Jangan lupa follow akunku juga, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.

6K komen ya, nanti aku update lagi. ♥
Jangan cefat-cefat, vliss.

Spam apa aja boleh »

Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
ILYSM Dash ✨

Continue Reading

You'll Also Like

4.2M 338K 61
(SUDAH TERBIT, TERSEDIA DI GRAMEDIA) "Bisa gak sih kamu jangan cuek sama aku?!" "Ribet, mau putus?" Mengejar cinta pacarnya sendiri? Ini yang di alam...
ROLANDARA By intanzs

Teen Fiction

14.2M 946K 46
⚠️PART MASIH LENGKAP Roland Gideon. Bad boy tapi suka susu strawberry. Emosian tapi pas dimarahin sama Adara malah kicep. Wajah nyalat tapi hati hell...
Revalet By M A R S

Teen Fiction

8.4K 1.1K 50
[COMPLETED] [LENGKAP] Sequel Boy Bestfriend [Bisa dibaca lebih dulu] jadi kalian ga perlu baca cerita pertamanya karna akan tetap nyambung. "Sahabata...
7.2M 356K 48
COMPLETED!! [DALAM PROSES PENERBITAN] **** Tujuan awal Kenneth hanya ingin membuat Klarisa jatuh hati padanya agar gadis itu move on dari bayang-baya...