Bittersweet Divorce

By NanasManis98

284K 27.4K 495

•Bittersweet Series 2• __________ Bercerai bukan berarti memutuskan hubungan sepenuhnya, bahkan saling memusu... More

Prolog
Bagian 1 : Tour Guide
Bagian 2 : Nasib Yang Sama
Bagian 3 : Festival Kuliner
Bagian 4 : Club
Bagian 5 : Gadis Kecil
Bagian 7 : Bubur Ayam
Bagian 8 : Gosip
Bagian 9 : Ya Anggap Saja Begitu
Bagian 10 : Salah Paham
Bagian 11 : Mantan Suami
Bagian 12 : Ajakan Ke Kondangan
Bagian 13 : Kondangan
Bagian 14 : Chat Tak Terbalas
Bagian 15 : Tidak Mungkin Berlanjut
Bagian 16 : Kumpul Lagi [1]
Bagian 17 : Kumpul Lagi [2]
Bagian 18 : Panti Asuhan
Bagian 19 : Berjumpa Lagi
Bagian 20 : Piknik
Bagian 21 : Ke Puncak
Bagian 22 : Status Tidak Jelas
Bagian 23 : Minta Restu
Bagian 24 : Kelulusan
Epilog

Bagian 6 : Diantar Pulang

11K 1.1K 25
By NanasManis98

Kelas Salena baru saja usai setelah sore hari. Berjalan keluar dari area kampusnya seraya menatap layar ponsel. Berniat untuk memesan ojek.

Saat hendak menekan tombol pesan, ia mengurungkan niatnya saat suara klakson mobil terdengar tepat di hadapannya.

Menatap mobil di hadapannya dengan pandangan terkejut. Apalagi saat kaca jendela terbuka. Menunduk sedikit untuk bisa menatap langsung atasannya tersebut.

"Mau kemana, Len?" tanya Rehan. Seperti biasa sangat ramah.

"Em... pulang Pak," jawab Salena seraya tersenyum tipis. Merasa canggung. Karena semenjak bekerja, ia dan Rehan jarang berinteraksi. Di saat semua teman kerjanya akrab dengan atasannya tersebut, tapi tidak dengan Salena karena Salena pendiam dan tidak tau cara mencari muka di depan atasannya.

"Ayo naik!" Rehan mengendikkan kepala pelan agar Salena naik ke mobilnya.

Salena agak terkejut mendengar tawaran Rehan. Dengan sungkan ia menggeleng. "Eng-enggak usah Pak."

Pria itu melepas sabuk pengamannya, lalu turun. Menghampiri Salena yang semakin kikuk. Membuka pintu di hadapan Salena lalu kembali mengendikkan kepala.

Meski ingin menolak lagi, tapi Salena merasa tidak enak. Apalagi Rehan membuka pintu mobil untuknya.

Akhirnya ia naik ke mobil tersebut. Menoleh ke belakang saat menyadari kehadiran Kiara yang tertidur dengan posisi duduk. Kepalanya miring ke kanan.

Menatap Rehan yang baru masuk ke balik kemudia. "Em Pak... itu lehernya Kiara nanti pegal kalau tidurnya seperti itu."

Pria itu ikut menoleh ke belakang, kembali turun lalu membuka pintu belakang. Memperbaiki posisi tidur Kiara menjadi terlentang. Lalu kembali naik.

"Kelasnya baru selesai, Len?" tanya Rehan tanpa mengalihkan tatapannya pada Salena.

"Em... iya Pak." Duduk Salena terasa kikuk. Merasa sangat canggung saat ini.

Rehan yang menyadari sikap canggung Salena, semakin mengajak wanita itu bicara agar merasa lebih nyaman.

"Kapan selesainya?"

"Apa Pak?" Salena menoleh menatap Rehan, pria itu pun menoleh sekilas.

"Kuliah mu."

"Oh em... dua tahun lagi sih Pak."

Rehan tersenyum tipis, lalu kembali fokus menyetir.

Sementara itu Salena mati kutu. Tidak tau harus bertindak apa. Apakah mengajak Rehan bicara atau tidak usah?

Pergolakan batin tersebut membuat Salena memutuskan untuk mengajak Rehan bicara. Daripada mereka saling diam dan suasana menjadi kikuk.

"Em... Kiara kayaknya kelihatan capek, ya?" Salena meringis pelan. Kenapa ia memulai percakapan sangat buruk? Pertanyaan sangat tidak etis.

"Oh iya. Abis main seharian ini bareng sepupunya. Makanya langsung tidur pas naik ke mobil."

Untung saja Rehan menjawabnya. Kalau tidak, Salena bisa malu sendiri.

"Kamu sudah makan, Len?"

"Sudah."

Rehan menoleh sekilas. "Tadi siang, kan?" Tebaknya membuat Salena tersenyum malu.

"Kita makan malam di MeeBel Restaurant, ya? Kayakanya deket dari sini," ujar Rehan seraya mengarahkan kemudi ke arah kanan.

"Ta-tapi kan Pak ini masih sore. Terus..."

"Saya sudah belok lho." Rehan menyela. Tersenyum tipis. Telah memutar laju mobil. Akan menuju restoran yang di maksud. "Sekalian makan malam, Len."

Salena tidak tau harus melakukan apa. Sangat enggan menerima tawaran Rehan, tapi ia tidak tau bagaimana caranya menolak. Pun memikirkan nasibnya jika ia menolak, mungkin saja Rehan menilai dirinya tidak bersyukur. Sudah diantar, tapi banyak maunya.

Salena merasa serba salah.

Tiba di restoran tersebut. Rehan membangunkan Kiara yang terlihat enggan bangun. Makanya Rehan menggendong Kiara. Tidak lupa mengajak Salena masuk.

Salena merasa kecil hati saat masuk ke restoran tersebut karena pakaiannya. Hanya mengenakan celana jins berwarna hitam yang warnanya sudah pudar. Atasan menggunakan baju bali bermotif pelangi.

Berbanding jauh dari pakaian orang-orang yang berada di restoran tersebut. Bahkan seragam karyawan restoran tersebut terlihat bagus daripada pakaian miliknya. 

"Len?" Teguran Rehan menghentikan Salena mengamati sekitar. Ia meringis pelan dan segera menghampiri Rehan yang telah duduk.

"Em... Pak Rehan gak risih makan bareng saya?" ujar Salena pelan setelah duduk.

Rehan merengutkan kening heran lalu menggeleng pelan. "Enggaklah. Kamu kenapa ngomong gitu?"

"Em... pakaian saya gak pantas makan di tempat seperti ini. Apalagi bareng Pak Rehan." Sedari tadi Salena menciut. Tidak ingin menegakkan punggung, apalagi pandangannya. Merasa sangat tidak pantas berada di tempat ini.

"Kamu jangan ngomong gitu Len!" Tekan Rehan, tapi lembut. Dua tahun menjadi karyawannya, Rehan sedikit banyak tau tentang sikap Salena yang selalu insecure. Mulai dari statusnya yang janda dan asal usulnya yang berasal dari panti asuhan membuat wanita itu tidak pernah percaya diri.

"Pakaian kamu bagus kok. Emang kamu gak lihat saya. Saya cuma pake kaos biasa," sambung Rehan.

Salena mengamati pakaian Rehan.

Iya. Memang kaos biasa. Tapi, pasti harganya mahal.

Berteman dengan Odit membuat Salena sedikit tau tentang brand mahal. Meski ia tidak pernah membelinya. Tapi, temannya yang royal itu akan memberikan hadiah ulang tahun berupa tas, sepatu atau pakaian dari brand terkenal yang harganya membuat Salena merasa sungkan menerima hadiah dari Odit.

Meski mereka telah lama berteman, tapi Salena tidak seperti yang lainnya. Yang akan menerima bahkan meminta lebih hadiah dari Odit jika mereka berulang tahun.

Karena Salena merasa tidak enak jika Odit ulang tahun, ia hanya memberi hadiah sederhana untuk sahabatnya itu. Meski Odit tetap menerimanya dengan sukacita.

"Kok kamu pesen salad doang Len?" tegur Rehan pada Salena yang menyebutkan pesanan pada pramusaji.

"Itu saja Pak," jawab Salena pelan. Seraya menyerahkan buku menu kembali ke pramusaji. Kalau bisa memesan air putih saja, maka Salena akan memesan itu. Meski tau Rehan memang kerap kali mentraktir karyawannya, tapi ia meras sungkan jika meminta sesuatu yang mahal.

Sudah ditraktir, Salena tidak ingin ngelunjak. Itulah prinsip Salena jika ditraktir.

"Tambah steaknya satu, ya?" ujar Rehan pada pramusaji.

"Jadi dua ya, Pak?" Rehan mengangguk pelan. Pramusaji menyebutkan kembali pesanan mereka.

Keadaan meja itu kembali hening. Rehan sibuk dengan ponselnya. Membuat Salena semakin kikuk.

Maka wanita itu berniat mengajak Kiara yang sepertinya sangat mengantuk. "Kiara masih ngantuk, ya?" tanyanya pelan. Berusaha mungkin tidak menarik perhatian Rehan agar atasannya itu tidak mengira dirinya cari muka. Salena enggan dicap seperti itu.

"Iya. Tapi lapar." Salena tersenyum tipis mendengar jawaban Kiara.

Seketika mengingat sosok Shalita.

Pasti Shalita sudah sebesar Kiara. Sosok gadis kecil yang pernah ia asuh saat masih berstatus istrinya Rasya. Merasa iba dengan Shalita. Tidak beda jauh dengan dirinya yang tidak merasakan kasih sayang orang tua.

Bedanya, Shalita masih memiliki orang tua yang lengkap meski mereka kini sibuk dengan keluarga masing-masing. Sedangkan Salena tidak mengenal orang tuanya.

Tanpa Salena sadari, kini tatapan Rehan tertuju padanya.

Pramusaji datang membawa pesanan mereka.

Salena mengerutkan kening saat sepiring steak dan salad sayur berada di depannya. "Lho Pak..."

"Makan Len." Suruh Rehan lalu fokus ke Kiara. Membantu putrinya makan.

"Ta-tapi bukannya ini pesanan Pak Rehan?" Rehan kembali menatap Salena lalu menggeleng.

"Buat kamu. Kamu pikir saya mau makan dua steak?" Rehan tersenyum geli.

"Ah... maaf Pak. Bu.."

"Makan Len!"

Mau tidak mau Salena memakan hidangan di hadapannya. Tiba-tiba perutnya keroncongan melihat lezatnya steak daging sapi tersebut.

"Em... kamu temenan sama Odit, ya?" Di sela mereka makan, Rehan mengajak Salena mengobrol agar suasana diantara mereka tidak hening.

"Iya Pak." Salena agak terkejut karena Rehan mengenal Odit.

Oh tentu saja Odit kan salah satu selebgram dan travel blogger yang cukup dikenal di negeri ini.

"Saya lihat postingan Odit yang baru diunggah. Fotonya bareng kamu waktu di festival kuliner."

Salena mengangguk pelan. Ia belum membuka Instagram, Jadi belum melihat postingan baru Odit. "Pak Rehan ngikutin Odit di IG?" Salena hanya ingin membangun percakapan. Dan sedikit kepo.

"Iya. Dia salah travel blogger favorit saya. Blog-nya tentang tempat yang dia kunjungi benar-benar menarik. Seakan-akan mengajak pembacanya harus ke sana. Dan tempat-tempat yang dia kunjungi benar-benar tempat yang recommended banget."

"Iya Pak." Salena mengangguk setuju dengan pendapat Rehan tentang rekomendasi tempat wisata yang di tulis Odit di blog-nya. Benar-benar bagus dan bagi siapa saja yang membacanya pasti akan langsung tergiur ke sana.

"Udah lama temenan sama Odit?"

"Em lumayan. Dari SMA."

Rehan mengangguk pelan. Memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya. Berhenti bicara sejenak. Pun Salena melakukan hal yang sama. "Denger-denger, dia mau berhenti jadi travel blogger? Atau itu cuma gosip?"

Entah kenapa Rehan dari tadi membahas Odit. Apa Bosnya itu menyukai Odit?

"Em... iya dia mau berhenti. Soalnya mau fokus ngurus anaknya dan pengen jadi novelis," jawab Salena. Seperti yang dikatakan Odit beberapa waktu yang lalu.

"Oh gitu." Rehan mengangguk pelan. "Berarti anaknya tinggal bareng dia?"

"Iya Pak."

"Cewek atau cowok? Soalnya dia gak pernah publish tentang anak, ya?"

Salena mengerjap pelan.

Rehan pun tersadar jika sudah kelewat bicara. "Maaf. Bukannya saya kepo tentang kehidupan teman kamu. Saya cuma gak tau mau ngobrol apa bareng kamu."

Salena semakin terdiam.

Maksudnya Rehan apa?

Maka mereka terdiam hingga Salena diantar pulang Rehan menuju tempat kos-nya.

***

Rasya menghela nafas lelah karena seharian ini mengaudit hingga malam hari. Pulang ke rumah dalam keadaan sebagian lampu rumah tersebut telah padam.

Namun, saat memasuki area ruang tengah. Ia masih menemukan Mama yang duduk menonton sinetron.

"Ma?"

Mama agak tersentak menatapnya. "Kamu ngagetin aja!" sungut Mama kesal membuatnya meringis pelan dan meminta maaf.

"Shali udah tidur?"nRasya duduk di sebelah Mama seraya menyandarkan punggungnya di sofa.

"Udah. Dia tidur bareng Tasha." Mata Mama masih fokus ke arah televisi. Saat pemeran Mama Rosa yang tidak ingin Nino mengetahui siapa sebenarnya sosok Reyna.

Setelah jeda iklan, Mama menatap Rasya yang memejamkan mata di sebelahnya. Melihat putranya yang lelah setelah seharian ini bekerja.

"Mau Mama buatin teh?

Rasya hanya mengangguk sekilas tanpa membuka mata.

Mama pun berdiri, menuju ke dapur. Tidak berapa lama kembali membawa secangkir teh.

"Makasih Ma." Rasya meraih cangkir tersebut.

"Harusnya kamu terima tawaran Mama buat cepat nikah. Biar ada yang ngurus kamu. Kan kamu sendiri yang enak. Pulang dari kerja langsung dibuatin teh atau dipijitin gitu."

Hampir saja lidah Rasya terkena teh panas tersebut karena terkejut mendengar omelan Mama.

Memilih menaruh kembali cangkir tersebut ke atas meja.

"Ada tuh anaknya sahabat Mama. Kamu kenalan sama dia. Mau ya?"

Entah sudah berapa kali Mama mengatakan hal tersebut.

"Dia guru di tempatnya Shali sekolah lho." Mama kembali menatap Rasya. "Em... tapi kayaknya gak ngajar Shali."

Rasya hanya diam mendengarkan Mama. Pun enggan meninggalkan Mama karena tau Mama akan marah jika ia melakukan hal tersebut. Meski ia sangat ingin melakukannya karena enggan dijodohhkan.

"Kamu jemput dia besok, ya? Mama bakal ngomong sama sahabat Mama itu. Terus ajak dia makan. Kalian ngobrol lah. Saling mengenal."

Ingin rasanya menolak, tapi ia malah mengangguk.

"Bagus! Dia anaknya pendiam, Sya. Penurut juga. Terus sayang sama anak-anak. Cocoklah jadi istri mu. Biar bisa ngurus Shali juga. Karena kayaknya orang tuanya anak itu gak mau lagi nganggap Shali anaknya."

Rasya hanya mampu diam. Mengiyakan keinginan Mama agar ia mengajak anak teman Mama makan bareng. Agar Mama berhenti mendesaknya.

Kini ocehan Mama tergantikan tentang orang tua Shalita. Adiknya, Sabian yang benar-benar tidak peduli dengan putrinya, begitupun dengan ibunya Shalita. Entah kemana wanita itu. Sejak bercerai dari Sabian, wanita itu tidak pernah lagi menampakkan diri. Tidak pernah bertanya kabar tentang Shalita.

Merasa miris dengan Shalita. Hadir di dunia karena kesalahan orang tua mereka. Bisa dikatakan kehadirannya tidak diinginkan.

Padahal banyak orang tua yang menginginkan seorang anak. Salah satunya Rasya.

Rasya pernah sangat menantikan buah hatinya meski ia mendapatkannya dengan tidak sengaja, tapi ia sangat menantikanya. Namun, Tuhan berkhendak lain.

Salena keguguran saat usia kehamilannya lima bulan.

Karena Salena keguguran dan Rasya menikahi wanita itu hanya untuk bertanggung jawab, maka Mama menyuruh mereka berpisah saja.

Padahal...

Saat itu Rasya ingin menolak Mama, namun karena ia yang selalu menurut dengan titah Mama. Mau tidak mau ia menceraikan Salena.

Sosok wanita yang selalu ia ingin lindungi setelah tau wanita itu tidak memiliki orang tua. Dan perasaan bersalah karena memperkosanya.

***

Ini Pak Rehan kepo soal Odit atau cuma mau ngobrol terus bareng Salena sih?🤭

See you the next chapter
Salam manis dari NanasManis😉
14/06/21

Continue Reading

You'll Also Like

76.8K 7.7K 32
Awal pertama melamar kerja Fiolyn memilih untuk berada di urutan tingkatan terendah karyawan, ya.. Bukan sebagai Office Girl juga. Intinya ia tidak...
249K 21.6K 47
•Bittersweet Series 1• _____ Menikah di usia muda, bahkan sangat terlalu muda. Masa depan yang Odit cita-citakan harus pupus. Masa depan yang sudah i...
157K 19K 39
•Bittersweet Series 4• _____________ Tuntutan dari orang tua agar ia menikah membuatnya jengah. Ingin rasanya lenyap saja jika setiap harinya di sugu...
5.4K 309 41
Sebuah pertemuan adalah ikatan takdir dan Indira Prisa mempercayainya. Sampai akhirnya pertemuan berkali-kali dengan Nicolaas Sebastiaan menyadarkan...