Setelah membentak Asa di luar kendalinya, Rey memasuki kamarnya dengan gebrakan pintu yang sangat keras. Rey hilang kendali, tekanan yang ia pendam itu meluap di depan Asa.
Rey tahu, sangat tahu jika kata-katanya pasti akan menyakiti hati Asa. Rey juga kini mulai menyadari jika dia terlalu kasar pada gadis itu, tapi Rey tidak tahu harus melakukan apa.
Pria itu hanya duduk di kursi belajarnya sambil membenturkan kepalanya ke meja beberapa kali. Berharap amarahnya akan terlampiaskan dengan hal itu.
Kepala Rey melengos ke samping dengan keadaan pelipis menempel di meja, ia raih foto mereka bertiga, foto Asa yang sengaja dilipat.
Rey melepaskan foto itu dari frame meja, lantas membuka lipatan foto Asa. Ibu jari Rey mulai membelai wajah Asa lembut, satu tetes air berhasil mengalir dari salah satu matanya.
"Sa, gue tau lo udah jahat sama Clara. Tapi, kenapa rasa benci gue sama lo juga nyakitin gue."
"Maaf, Ra. Maafin gue yang sampai akhir pun nggak bisa lepas dari Asa, sejauh apapun gue paksain diri buat suka sama lo, hati gue tetep ada di Asa, dan gue benci sama hal itu, Ra."
"Gue benci sama semuanya, gue benci! Gue juga benci sama diri sendiri yang nggak bisa tegas sama perasaan gue."
"Gue harus gimana sekarang?" Rey terdiam selama beberapa saat.
Setelah amarahnya mereda, Rey turun ke dapur lagi. Dia mengambil botol minuman dingin di kulkas, dan melihat lantai dapur yang sudah bersih, shining, shimmering, splendid.
"Rey, maaf. Aku cuma pengen bikin jus prune--"
Suara Asa terngiang jelas di rungu Rey, membuat pria itu urung untuk kembali ke kamarnya. Rey mengambil blender dan buah plum, mencucinya, memotong, lalu menuangkan air ke dalam blender.
Iya, dia sedang membuatkan jus untuk Asa. Mungkin karena merasa bersalah?
Rey membuang sisa plum yang tidak terpakai di tempat sampah, dan di sana, dia tidak sengaja melihat pecahan piring dengan bercak darah yang cukup banyak.
Percakapannya dengan Elvan tadi sore tiba-tiba terngiang. "Lo udah bikin cewek baik-baik kayak Asa jadi rusak! Lo tau? Lo itu udah hancurin hidup Asa semenjak lo renggut keperawanannya, El. Nggak sadar?"
Saat itu Elvan terkekeh. "Lo tau apa, Rey? Orang yang bikin Asa berhenti selfharm itu gue, Fak! Tapi karena lo kasarin dia lagi cuma gegara Clara mati, selfharm Asa jadi makin parah, Njing! Kalo sampai dia kenapa-napa, itu berarti salah lo!"
Panik, Rey pun sontak mengambil kotak P3K dan menghampiri kamar Asa. Pria yang masih mengenakan seragam sekolah itu mengetuk pintu sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban dari sang pemilik kamar.
Glek! Rey membuka pintu kamar Asa tanpa permisi, takut Asa pingsan di dalam sana. Netra Rey membesar setelah melihat sesuatu yang tidak biasa sedang Asa lakukan.
Dia menggores lengannya sendiri? Asa? Benarkah itu? Begitu Asa menoleh ke arah pintu, cutter di tangannya langsung terjatuh. "Rey--"
"Lo udah gila?!" Rey bergegas menghampiri Asa, dia menarik tangan Asa yang berdarah.
"Kenapa? Peduli? Dari dulu aja lo nggak pernah peduli, Rey!" Asa mendorong Rey dan segera menutup lukanya dengan lengan sweater abu yang ia kenakan.
"ASA!"
"Apa?! Takut gue meninggal terus gentayangin lo? Gue nggak akan mati, Rey. Lo nggak akan tau seberapa banyak gue berusaha bunuh diri, tapi ga bisa karna gue takut mati! Gue cuma berharap suatu hari nanti gue bisa mati karena kehabisan darah."
"Asa, tangan lo perlu diobatin--"
"PERGI!" sentak Asa semakin kasar. "LO JUGA PENGEN GUE MATI, KAN?! PERGI, REY!"
"Sa--"
"Gue bilang pergi!" Asa mendorong Rey hingga keluar kamar, dia pun segera mengunci kamarnya rapat-rapat.
Tiga detik setelahnya, Rey mendengar teriakan Asa yang begitu menyayat hati, disusul dengan suara tangisan yang mampu membuat Rey ikut menangis.
Rey bergeming di depan pintu kamar Asa yang tertutup, dia masih syok melihat Asa yang sedang menyakiti diri sendiri tepat di depan matanya.
Rey pikir tidak akan separah itu, tetapi setelah melihatnya secara langsung semuanya terasa mengerikan. Selama ini ia selalu meremehkan hal itu, seolah menyakiti diri sendiri hanyalah masalah sepele karena cari perhatian.
"Gue cuma berharap suatu hari nanti gue bisa mati karena kehabisan darah." Ucapan Asa kembali berputar di otaknya. Rey mulai terisak, dadanya benar-benar sesak dan berat.
"Lo nggak akan tau seberapa banyak gue berusaha bunuh diri, tapi ga bisa karna gue takut mati!"
Asa? Rey merebahkan keningnya di pintu, tubuhnya memutar, lantas merosot duduk di lantai. Rey memeluk kakinya yang tertekuk sambil terisak dalam diam, mendengar tangisan Asa benar-benar sangat menyesakkan.
Rey sakit, bayang-bayang bekas luka di tangan Asa itu terus terngiang. Apa lagi teringat akan bekas luka baru yang Asa buat karena dirinya.
Rey memukul dadanya yang semakin sesak. Menahan isakan tangis sambil membekap bibirnya rapat-rapat sangatlah sakit, dadanya terasa seperti diremas-remas tanpa ampun.
Satu jam, dua jam, hingga tiga jam, tangis Asa tidak terdengar lagi. Rey mengambil kunci cadangan dan membuka pintu kamar Asa.
Entah Asa pingsan atau tertidur di lantai, Rey tidak bisa membedakannya, yang dia tahu hanyalah Asa yang kini terbaring lemah di lantai.
Dengan wajah masih dipenuhi jejak air mata, Rey menggendong Asa ke ranjang, menyelimutinya, lantas duduk bersimpuh lutut di samping ranjang Asa.
Air matanya kembali meluruh, rasa sesal itu benar-benar nyata adanya. Rey menepikan rambut Asa yang menutupi wajah, mata gadis itu sembab dan hidungnya pun memerah.
Rey beralih menatap tangan Asa yang berdarah, perlahan ia raih tangan itu dan menyingkap lengan sweater Asa hingga bekas goresan yang sangat banyak itu terlihat.
Rey menyeka air matanya, kemudian mengambil isi kotak obat yang berserakan. Pria itu mulai mengobati luka Asa sambil sesenggukan, pergerakannya begitu lembut, seolah tubuh Asa sangatlah rapuh yang dapat hancur hanya dalam sekali sentuhan.
Rey memberi perban di pergelangan tangan dan telapak tangan Asa yang berdarah karena pecahan piring. Tangan kekar itu perlahan membelai tangan Asa, menggenggamnya lembut, seakan-akan Asa akan menghilang jika ia tidak melakukan hal itu.
"Nggak usah pura-pura perhatian, Rey." Asa membuka matanya bersamaan dengan air yang mengalir di kedua matanya.
"Sa--" Rey baru saja ingin membelai kepala Asa, namun Asa sudah memalingkan wajahnya membelakangi Rey.
"Lo takut gue bilang ke Tante Nisha kalau lo jahatin gue terus?" Pertanyaan retoris, Rey sangat paham jika Asa tidak benar-benar ingin menanyakan hal itu.
"Nggak usah khawatir, Rey. Gue nggak bakalan laporin lo ke Tante Nisha kok, jadi nggak usah pura-pura baik sama gue, Rey."
"Sa, gue nggak pura-pura--"
"Kalau lo kayak gini terus, bisa-bisa gue salah paham, Rey. Gue itu orangnya gampang suka sama orang baik, dan suka sama lo itu salah satu luka yang pengen banget gue hindarin, Rey."
"Asa, gue minta maaf--"
"Pergi, Rey!" usir Asa tanpa menatap Rey. "Gue lagi pengen sendiri."
"Tapi, Sa--"
"Lo bisa pura-pura nggak tau soal gue, Rey!" sela Asa tidak terbantahkan. "Rasa sakit ini nggak seberapa kalau dibandingin sama tekanan yang udah lo buat, Rey."
"Asa, gue minta maaf." Rey menggenggam tangan Asa.
"Sakit, Rey," kata Asa parau.
"Maaf, Sa. Maafin gue. Gue nggak bermaksud apa-apa, yang tadi itu refleks--"
"Sakit, Rey," ulang Asa lagi dengan nada yang cukup datar.
"Maafin gue, Sa."
"Tangan gue sakit," jelas Asa.
"Oh, maaf." Rey melepaskan genggamannya di tangan Asa, lalu Asa pun berbalik memunggungi Rey.
"Biarin gue sendiri, Rey. Gue mohon."
"Sa, gue--"
"Tolong, Rey. Gue takut makin suka sama lo kalau lo tetep ada di sini dalam waktu yang lama. Gue tau dan gue sadar kalau lo benci sama gue, jadi, tolong jangan bikin gue makin sakit nantinya."
Rey hilang kata, satu-satunya hal yang terlintas di otaknya adalah menuruti perkataan Asa.
Rey pun keluar dari kamar Asa.
TBC.
Vote dulu jangan lupa, dan ramein kolom komentar ya biar update setiap hari. ♥
Ada yang nunggu next?
Share cerita ini ke temen-temen/ sosmed kalau kalian suka dan layak dibaca ya.
Jangan lupa follow akunku juga, karena tiap update akan selalu aku umumin di wall.
3K komen ya, nanti aku update lagi. ♥
Jangan cefat-cefat, mau napas dulu.
Spam apa aja boleh »
Makasih banyak yang udah baca dan aktif komentar di lapak ini.
✨ ILYSM Dash ✨