BERTEDUH

By amellidong

62K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... More

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
3. HANYA AKU
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
9. MERASA BERSALAH
10. KAU YANG KUBUTUHKAN
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
13. KHAYALAN SAJA?
14. KITA TAK KEMANA-MANA
15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA
16. MASA DEPAN YANG FANA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN

2.4K 487 50
By amellidong

Punggung polos Aira yang tak tertutupi selimut adalah objek pandangan Tombak selama beberapa menit yang lalu. Semalam setelah bercinta dengannya, Aira tak segera menghambur ke pelukannya seperti biasa, melainkan memilih untuk tidur memunggunginya. Hingga Tombak terbangun pun, perempuan itu masih tertidur dengan posisi yang sama. Perasaan risau lalu menghampiri Tombak tanpa iba. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa.

Tanpa membuat banyak gerakan yang bisa membangunkan Aira, Tombak berdiri dan keluar kamar. Lebih baik ia bergegas dan bersiap diri daripada semakin tenggelam dalam perasaan bersalahnya pada sang istri.

.

Sesosok perempuan berbalut selimut yang duduk di ujung tepi ranjang, adalah hal pertama yang Tombak jumpai ketika kembali masuk kamar setelah mandi. Tanpa berkata apa-apa, perempuan itu menoleh suaminya.

"Baru bangun?" tanya Tombak seraya mendekat perlahan.

"Aku telat buat sarapan."

Tombak menggeleng. "Kamu tidur aja kalau masih mengantuk."

"Kamu nggak bisa di sini lebih lama lagi?"

Langkah Tombak seketika terhenti.

Aira tersenyum getir. "Nggak bisa, ya?"

"Lain kali," jawab Tombak. "Aku janji lain kali bisa lebih lama di sini."

"Kamu kedengeran seperti orang asing di rumah ini."

Tak ada tanggapan berarti dari Tombak.

Aira lalu berdiri, membiarkan ujung selimut yang melingkari tubuh polosnya terjuntai begitu saja menyentuh lantai. "Nggak ada yang kamu sembunyikan dari aku, kan?"

Tombak menggeleng cepat. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

Bibir Aira terkunci. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tiba-tiba tak terkontrol. "Maaf... aku cuma nggak mau kamu pergi lagi secepat ini."

Ulu hati Tombak bagaikan tertusuk benda tak kasat mata saat melihat sang istri mengusap pipi. Tepat di hadapannya, Aira baru saja meneteskan air mata.

"Ka-kalau memang bisa ditunda... kalau bisa-" Perkataan Aira terhenti saat Tombak memeluknya.

"Bisa." Tombak menunduk menghirup aroma tubuh istrinya. "Bisa ditunda."

Air mata Aira semakin deras. Ia membalas pelukan Tombak dengan putus asa. "Tombak..."

"Jangan menangis lagi, ya?"

Isakan Aira kembali terdengar.

"Aku mohon."

***

"Dia nggak kasih kabar gitu?

"Iya."

"Udah coba lo telepon?"

"Handphonenya mati."

Gembul menyandarkan punggungnya di jok mobil. Jemarinya yang bebas mengetuk-ngetuk roda kemudi. "Coba lo tunggu bentar lagi deh, Bram."

"Masalahnya sejam lagi kami harus ketemu klien, Mbul."

"Tombak nggak pernah mangkir dari tugasnya kalau bukan karena sesuatu yang bener-bener penting. Lo tunggu aja dulu."

"Bener, ya?"

"Iyaaaa. Lagian lo kenapa nanyain Tombak ke gue sih? Lo kira gu baby sitter-nya?"

Bram tertawa di seberang sana. "Nggak ada yang kenal Tombak sebaik lo, Mbul."

"Tai." Gembul mendengkus. "Ya udah kabarin gue kalau dia udah bisa dihubungi."

Sambungan terputus, Gembul pun memasang dengan benar sabuk pengaman mobilnya. Untuk beberapa saat, tak ada yang Gembul lakukan selain menatap jemarinya yang berada di atas roda kemudi. Benaknya pun melalang buana ke tempat lain.

Bukan. Bukan masalah Tombak yang ia pikirkan. Temannya satu itu pasti hanya waktu lebih bersama istrinya. Ya, Gembul sudah bisa menebaknya sejak kemarin lusa. Yang lebih menyita perhatiannya adalah kilasan momen kemarin malam di mana ia mencium Andrea dengan sengaja.

Gembul meletakkan keningnya di roda kemudi dengan putus asa. Astaga, bagaimana bisa? Bagaimana bisa dirinya melakukannya pada putri bungsu bosnya sendiri saat perempuan itu dalam keadaan setengah mabuk? Ke mana akal sehatnya kemarin malam? Ke mana kontrol dirinya?

Keresahan Gembul semakin menjadi mengingat Andrea tak bereaksi apa-apa setelah itu. Bahkan ketika Gembul mengantarkannya pulang, perempuan itu hanya diam layaknya mayat hidup di sepanjang perjalanan.

"Apa Andrea marah ke gue ya?" tanyanya lirih. "Tapi kalau marah kenapa dia nggak nabok gue kemarin?"

Tanpa ingin membiarkan keresahannya semakin menjadi, Gembul menyalakan mesin mobilnya dan pergi.

***

Aira menatap kosong secangkir teh di hadapannya yang disinari cahaya matahari senja lewat jendela dapur. Sejak bangun dan kembali sendirian siang tadi, yang ia lakukan hanyalah berdiam diri di meja makan seperti ini.

Satu tangan Aira mengusap tengkuknya sendiri kala teringat betapa sensitifnya ia tadi pagi. Mengapa ia bisa menitikkan air mata dengan mudah hanya karena Tombak akan kembali pergi? Mengapa ia sebegitu tidak inginnya Tombak berada jauh darinya? Mengapa ia begitu... manja?

Kepala Aira menggeleng lemah saat menyadari apa yang telah ia lakukan tadi pagi sangat bukanlah dirinya.

Ponsel putih di samping cangkir menjadi perhatian Aira selanjutnya. Benda itu tenang sedari tadi. Tak ada panggilan, atau bahkan pesan yang membuat layar benda itu menyala. Aira tahu ia tidak boleh mengharapkan Tombak menghubunginya setelah ia mengacaukan jadwal pekerjaan pria itu hari ini. Namun di dalam lubuk hatinya, lagi-lagi ia menyimpan sebuah tanya mengapa Tombak pergi begitu saja saat ia kembali tertidur di rengkuhan pria itu.

"Setidaknya kamu harus pamit atau meninggalkan pesan, Tombak," gumam Aira seraya menatap matahari senja dengan hampa.

***

Mobil Tombak berhenti tepat di depan sedan hitam yang sudah menepi terlebih dulu sejak tadi. Lewat spion di atasnya, ia bisa melihat Bram dan dua orang yang tak ia kenal keluar dari sana.

"Bisa diundur kan?" tanya Tombak seraya berjalan mendekat.

Bram mengangguk. "Sesuai perintah lo."

"Jam berapa?"

"Jam 7. Sekalian makan malam," jawab Bram.

Tombak melihat jam tangannya. "Dua puluh menit lagi. Bisa sampai sana tepat waktu nggak?"

Lagi-lagi Bram mengangguk, kali ini seraya menutup mata. "Tempatnya cuma sekitar sepuluh menit dari sini."

"Oke." Tombak menatap salah satu pria asing yang menatapnya tanpa kedip sejak tadi, lalu melemparkan kunci. "Lo balik ke markas sekarang, bawa mobil gue."

"Siap, Bang."

"Bertiga aja nih?" tanya Bram.

"Hm. Lebih efisien." Tombak berjalan ke kursi penumpang dan membuka pintu.

Bram terkekeh seraya menggeleng pelan. "Vibes senior emang beda," ucapnya seraya masuk di samping kursi kemudi.

.

.

Restoran besar nan megah itu nampak sepi saat Tombak dan Bram berjalan memasukinya. Di ujung restoran, sekelompok pria berdiri menunggu mereka.

"Selamat malam," sapa Tombak terlebih dahulu kepada satu-satunya pria yang duduk di sana. "Saya Tombak, utusan Bos Anthony. Sebelumnya saya sampaikan terima kasih karena telah bersedia mengatur ulang jadwal pertemuan ini."

Satu-satunya pria paruh baya yang duduk di sana, memandang Tombak dengan tertarik. "Oh... jadi ini Tombak yang namanya sedang banyak diperbincangkan itu?"

Tombak hanya menatap lawan bicaranya.

"Salah satu calon terkuat yang akan menggantikan Anthony." Pria pimpinan perusahaan berlian ilegal itu lalu tertawa seraya bertepuk tangan. "Hebat sekali. Kamu bahkan bukan darah dagingnya sendiri."

"Saya hanya bertugas untuk menggantikan Bos hari ini."

"Hahaha... jangan merendah! Mana ambisi 'calon perebut kursi kekuasaan' itu?"

Ujung bibir Tombak terangkat satu. Selama menatap calon kliennya yang sedang tertawa, sekilas keinginan memecahkan kepala pria itu melintas begitu saja di kepala Tombak dengan tiba-tiba.

***

Gembul menutup pintu mobil seraya memperhatikan gedung rumah sakit di hadapannya. Saat di perjalanan tadi Arthur meneleponnya, memerintahkan dia untuk datang ke rumah sakit setelah pulang bertugas dari luar kota.

Harus Gembul akui, ia sedikit enggan untuk menemui Arthur di rumah sakit. Bukan karena ia tak ingin mengetahui kabar Bosnya yang masih terbaring lemah, tapi kemungkinan bertemu Andrea lah yang membuatnya merasa seperti itu. Jujur ia bingung bagaimana harus berekspresi dan berkata-kata di hadapan perempuan itu.

"Oy, Mbul. Silakan masuk," sapa Arthur saat Gembul membuka perlahan pintu rawat inap Bosnya.

Kedua mata Gembul menyapu ruang naratama itu secara keseluruhan. Lega menghampirinya saat tak melihat orang lain lagi di ruangan itu.

"Kerjaan di Bandung aman?"

"Aman," jawab Gembul seraya duduk di depan Arthur. Ia melirik sekilas ke arah ranjang Bosnya. "Ada apa, Thur?"

"Gue mau minta tolong gantiin gue buat ambil senjata."

Gembul mengerutkan dahinya.

"Gue mau jagain Bokap gue di sini."

"Kapan?"

"Lusa. Bisa, kan?"

"Bisa sih. Tapi... lo yakin nih gue gantiin?"

Arthur mengangguk tanpa beban.

Pinti kamar mandi ruang rawat itu terbuka. Gembul sempat gugup, namun anak kedua Bosnya yang muncul dari sana membuatnya bisa menghembuskan napas lega.

"Sendirian aja lo?" tanya Alex seraya mendekat.

Gembul menoleh sampingnya. "Emang lo lihat gue sama siapa lagi?"

"Udah dibuang lo sama Tombak?"

Kedua mata Gembul menajam menatap Alex yang kini tengah tertawa.

"Kayaknya yang bakal jadi kaki tangannya bukan lo deh. Tapi Bram."

"Lex!" Suara Arthur terdengar lebih tinggi saat menegur adiknya.

Sedetik setelahnya, suara pintu masuk terdengar di ruang rawat inap itu. Kali ini pintu ruangan terbuka, dan menampakkan Andrea di sana.

Untuk beberapa saat Andrea terlibat adu tatap dengan Gembul, memalingkan pandangan seperti biasa. "Bang Arthur jadi nginep sini?" tanyanya seraya mendekat.

Arthur mengangguk, lalu menatap Gembul. "Kamu pulang sama Gembul, ya?"

Gembul reflek melebarkan matanya.

"Bang Alex nggak jadi ngantar aku?" Andrea duduk di samping Gembul dengan santainya.

"Nggak!" sela Arthur tegas seraya menatap adik laki-lakinya. "Dia lagi mabuk."

Alex hanya terkekeh seraya menggelengkan kepala. Tanpa berkata apa-apa lagi, Alex meninggalkan area tunggu dan duduk di samping ranjang sang ayah.

Andrea turut menatap pungung Alex, menerka-nerka apa yang membuat kakaknya itu nampak beda akhir-akhir ini.

"Kamu juga langsung pulang, Ndre! Nggak usah mabuk-mabukan lagi malam ini!" perintah Arthur.

Kedua alis Andrea terangkat sebagai bentuk respon perintah kakak sulungnya.

"Udah itu aja yang mau gue omongin, Mbul. Lokasi sama jamnya gue kabarin besok."

"Hm." Gembul mengangguk. "Oke."

Gembul berdiri, lalu menunggu Andrea untuk melakukan hal yang sama.

"Aku pulang, Bang." Andrea berdiri, dan berjalan lebih dulu ke arah pintu.

.

.

Bagi Gembul, suasana di dalam mobilnya terasa lebih mencekam dadi kemarin malam. Jika sebelumnya Andrea diam karena mabuk, malam ini perempuan itu diam karena kembali ke tabiat awalnya. Entah Gembul harus memilih Andrea versi mana yang lebih ia suka. Tapi paling tidak, Andrea versi malam ini adalah Andrea yang bisa ia ajak bicara.

"Keadaan Bos gimana, Ndre?" tanya Gembul membuka obrolan.

"Lo kan tadi di sana juga, Bang. Kenapa nggak tanya Bang Arthur aja tadi?"

Senyum gemas Gembul terukir tanpa bisa ia tahan. Sekarang ia tahu Andrea versi mana yang lebih ia suka untuk menemaninya menyetir malam ini.

"Udah makan belum lo?" tanya Gembul lagi.

"Gue keluar kamar rawat Papa tadi karena dipaksa Bang Arthur makan."

"Oh... jadi udah."

"Belum. Tadi gue cuma ngerokok."

Gembul menoleh Andrea dengan heboh. "Sejak kapan lo ngerokok?"

Andrea yang tengah menatap jalanan di sampingnya hanya menghela napas.

"Setahu gue lo nggak ngerokok, Ndre! Jangan gegayaan deh lo! Kayak bocah SMP aja lo ah!"

Masih tak ada sahutan dari Andrea.

"Lo ada masalah?"

"..."

"Ndre!"

"Berisik banget ah!"

Raut wajah Gembul berubah gemas. Ia pun menepikan mobilnya di salah satu rumah makan masakan Padang. "Turun!" ucap Gembul saat mematikan mesin.

"Apaan sih? Gue nggak laper!"

"Gue yang laper! Turun lo!"

"Nggak mau! Gue tunggu di sini aja!"

Gembul merapatkan bibirnya karena benar-benar gemas melihat tingkah Andrea. "Makan, atau gue aduin lo Arthur kalau lo ngerokok?"

Andrea nampak gugup. "Apaan sih lo, Bang? Rese' bener sih lo?"

"Oh... pilihan kedua. Oke!"

"Bang!" Andrea merebut ponsel Gembul. "Lo gila? Bisa-bisa gue nggak dibolehin nemuin Papa, Bang!"

"Lo yang gila! Udah tahu kecilnya punya penyakit radang akut, tapi malah sok-sok an ngerokok sekarang. Mau penyakit lo kambuh lagi, ha?"

Bibir Andrea terkunci rapat. Kedua matanya hanya menatap Gembul dengan sedikit takut.

"Turun, dan ikut makan sama gue!" Gembul mengambil ponselnya lagi. "Lo keliatan kurusan sekarang. Kayak nggak keurus tahu nggak?!"

Hingga Gembul turun, Andrea masih terpaku di dalam mobil memikirkan semua perkataan pria itu padanya.

***

Suara lonceng yang berdenting membuat Delvi yang berdiri di belakang meja bar, mengangkat kepala ke arah pintu. Senyumnya merekah melihat siapa yang hadir sore ini di restorannya.

"Selamat datang Nyonya Priambodo."

Aira hanya tertawa kecil sebelum duduk di kursi di hadapan Delvi.

"Mau minum apa?"

"Um..."

"Mau teh tarik?"

Tawa Aira kembali hadir. "Mas Delvi kayanya harus masukin minuman itu di menu deh!"

Giliran Delvi yang tertawa. "Nggak. Biarin menu itu jadi menu khusus buat kamu."

Secangkir minuman dengan latte art bergambar merak berhasil disajikan oleh Delvi.

"Tunggu bentar ya, Ra. Habis aku antar ini, aku buatin minuman kamu," ucap Delvi seraya pergi mengantar pesanan.

Aira mengoperasikan ponselnya setelah itu. Memeriksa jika ada pesan atau mungkin pemberitahuan panggilan tak terjawab dari pria yang ia tunggu kabarnya empat hari ini.

"Ra, aku lupa kalau aku nggak punya persediaan teh."

Suara Delvi membuat Aira kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Kamu tunggu sini, ya? Aku mau pergi ke minimarket dekat sini dulu," ucap Delvi seraya melepas apron.

"Aku boleh ikut, Mas?"

"Boleh dong!"

.

.

"Kamu tahu rumah Andrea, kan?"

Aira yang memperhatikan berbagai permen yang ada di depan meja kasir pun mengangguk. "Deket banget dari sini."

Delvi menahan senyumnya. "Mau ajak dia sekalian, nggak?"

"Ide bagus," sahut Aira dengan binar setuju di matanya.

Setelah menyelesaikan transaksi, Delvi dan Aira pergi menuju rumah Andrea. Karena jaraknya yang dekat, Aira bahkan bisa mengingat rutenya dengan sangat baik. Tak butuh waktu lama bagi ia dan Delvi untuk sampai di rumah Andrea. Namun keadaan teras rumah yang bisa dilihat dari luar pagar membuat mereka tak yakin sang tuan rumah ada di dalamnya.

"Rumah ini kaya' ditinggal beberapa hari deh," komentar Delvi.

Aira menyetujuinya. Bunga yang ia berikan kepada Andrea yang ada di teras rumah pun nampak kering tak terawat. "Pasti Andrea udah pergi lumayam lama," komentarnya.

"Kamu nggak punya nomor hp Andrea, Ra?"

Kepala Aira menggeleng. Ia juga baru sadar bahwa ia tak memiliki nomor ponsel Aira ataupun Gembul sama sekali. Gembul hanya menelepon ke rumah, tidak pernah sekalipun ke nomor ponsel Aira. Sebuah pertanyaan pun melintas begitu saja di benak Aira tentang apakah ia harus menanyakan nomor Gembul kepada suaminya.

Bagaikan dihantam benda tak kasat mata tepat di dadanya, Aira tertegun menyadari kenyataan bahwa Tombak pun juga telah pergi selama beberapa hari ini. Berbagai pertanyaan tiba-tiba menghantamnya tanpa ampun. Berbagai spekulasi seolah berteriak kencang di kepalanya tanpa bisa ia hentikan.

Gembul dan Andrea tak ada di rumah. Begitu pula dengan Tombak yang pamit mengurus bisnis baru di luar kota. Apakah sebenarnya mereka terlihat suatu urusan yang sama? Jika benar, urusan macam apa yang mengharuskan mereka berada di situasi yang sama? Dan juga, jika benar hal itu terjadi... mengapa Tombak membohonginya? Apa yang sedang Tombak sembunyikan dari Aira?

Aira mendadak pening, ia sempat limbung ke belakang sebelum Delvi menangkap tubuhnya terlebih dahulu.

"Ra? Kamu kenapa?"

Aira menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Cu-cuma dehidrasi."

"Ya ampun, ya udah yok kita ke minimarket lagi beli minum-"

"Nggak usah, Mas," sela Aira seraya menatap rumah Andrea dengan tatapan yang sulit diartika. "Kita langsung ke restoran aja."

"Kamu yakin?"

Aira mengangguk kecil, dan mulai berjalan mendahului Delvi untuk mengenyahkan apa yang baru saja dipikirkannya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Sehat-sehat ya, semuanya ❤

.

.

.

Eniwei... perbedaan vibesnya dua cewek idaman mafia ini kerasa yak? 😂

Continue Reading

You'll Also Like

260K 766 15
cerita pendek dewasa seorang gadis yang punya father issues
439K 10.5K 61
bagaimana kalau hidup kamu yang awal nya bahagia dengan pekerjaan itu, malahan menjadi petaka untuk kamu sendiri. Pernikahan paksa akibat sebuah jeba...
7M 48.1K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
254K 19.1K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...