Enam Tahun Kemudian

By MbakTeya

735K 57.6K 1.8K

Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat

Dua Belas

27.4K 2.2K 82
By MbakTeya

"Apa?"

Suara terkejut Ibunya membuat Bumi menghela. Dia sudah ingin menundukkan kepala karena berpikir akan kena marah lagi, saat suara-suara lain memberondongnya.

"Serius?"

"Yang benar?"

"Kamu diterima, gak? Pastinya diterima ya, soalnya kamu berani bilang."

"Senang deh, Remi jadi adik ipar kita. Dia tuh anaknya baik banget. Dewasa dan mandiri juga."

"Iya. Remi tuh anaknya enak diajak nongkrong. Mengobrol apa pun sama dia bisa nyambung."

Bumi mengerjap saat mendengar ucapan keluarganya, dia sangat bingung dan apa-apaan pula sambutan keluarganya ini. Kenapa mereka semua terlihat begitu antusias? Tidak seperti biasanya.

Dia ingat betul, keluarganya tidak pernah seantusias ini jika Bumi mengenalkan seorang pacar. Dan bukannya mereka ingin menjodohkan dengan wanita di depan? Wanita yang kini memasang wajah terkejut, tidak jauh berbeda dengannya.

"Kamu serius melamar Remi?" tanya Ibunya yang membuat Bumi langsung terdiam.

Dia tidak benar-benar melamar Remi. Itu hanya kesalahpahaman saja.  Jika jujur sekarang sudah tidak mungkin. Padahal Bumi ada rencana meminta tolong pada keluarganya, tetapi sekarang dia sudah tidak bisa melakukan hal itu.

"Iya, Bu." Bumi pasrah. Biarlah sekarang dia berbohong, nanti dia akan mencari jalan keluar. "Keluarga Remi sudah menunggu kedatangan Ayah dan Ibu," kata Bumi lagi dengan mata terpejam.

Pelukan yang diterimanya membuat Bumi membuka mata dengan segera. Dia membeku, lalu terkejut saat Isak tangis Ibunya terdengar. "Bu," panggil Bumi pelan.

"Ibu tidak apa-apa. Ibu hanya terlalu senang kamu melamar Remi." Tata benar-benar bahagia. Menantu yang paling dia harapkan akhirnya didapatkan juga. Di mata Tata, Remi benar-benar menantu idaman. Itulah kenapa semua wanita yang dibawa dan kenalkan sang putra penuh kekurangan. Remi itu bukan hanya baik di luar saja, tetapi hatinya juga sangat murni.

"Ibu." Bumi menepuk punggung Ibunya dengan lembut, menenangkan sang Ibu yang tengah menangis bahagia. Dia benar-benar tidak menduga akan mendapati ibunya seperti ini. Hanya karena mendengar berita dia melamar Remi, Ibunya bisa begini.

"Gak apa, Ibu gak apa." Tata melepas pelukan. Dia menatap Bumi dengan senyum lebar. "Jadi, besok kita bisa berangkat ke rumah Remi, kan?"

Belum Bumi menanggapi, deheman dari sisi kiri ibunya langsung terdengar.

"Kita bahas itu nanti, sekarang kita masih ada tamu." Begitu selesai ayahnya berbicara, semua diam membisu. Rasa bersalah tergambar jelas dari wajah-wajah anggota keluarga. Bumi hanya bisa memejamkan mata sembari memijat pelipis. Dia memilih angkat tangan, lagi pula bukan dia yang meminta perjodohan.

"Ini jadi gimana?" tanya Suci memecahkan keheningan. Dia kesal. Sudah dijanjikan sebuah pernikahan, tetapi langsung gagal. Sherli putri pertama yang paling dibanggakan, dia tidak rela putrinya dibohongi begini.

"Maaf, Suci. Aku tidak tahu jika Bumi tertarik pada teman masa kecilnya," kata Fajar menyesal. Usianya dan Suci memang sebaya, mereka juga sudah mengenal lama. Itulah kenapa dia yakin jika Bumi dan Sherli akan menikah nantinya.  Tetapi ternyata Bumi sudah memilih sendiri masa depannya. Sekarang dia benar-benar menyesal langsung mengundang Suci dan anaknya tanpa bilang-bilang.

"Aduh. Gimana jadinya ini." Suci kecewa, bukan karena dia gagal mendapatkan besan super kaya. Tetapi lebih ke anak perempuannya yang pendiam dan terlalu polos jika dibiarkan sendirian. Sherli memang terkenal di universitas, tetapi hanya karena prestasinya saja yang membanggakan. Selebihnya Sherli benar-benar pendiam.

"Mas Jupiter duda tanpa anak, Tante," kata Bumi tanpa sadar. Dia langsung menutup mulut begitu semua tatapan mengarah padanya, lalu dengan gerakan perlahan dia mengalihkan pandang. Sial, dia keceplosan.

"Jadi kalian berencana mengoper anak saya ke lelaki lain?!" Yang tadinya tetap damai, kini Suci mulai diliputi kemarahan. Kurang ajar, hatinya membara. Anak gadis kebanggaannya enak saja dipermainkan seperti ini.

"Sudahlah, Bu. Aku juga gak ngarep apa-apa dari pertemuan ini." Sherli memegang tangan ibunya. Mencoba menenangkan. "Sekarang kita pulang aja, ya. Udah malam juga." Sherli bersyukur karena ibunya segera mengangguk, meski wajah marah tetap terpasang. "Selamat atas kebahagiaan kalian."

Sherli bangkit berdiri bersama yang lain, dia pamit pulang bersama ibunya beberapa detik kemudian setelah menegangkan Om Fajar yang terlihat semakin menyesal.

Ya, namanya juga perjodohan sepihak. Bisa berhasil dan bisa gagal kapan saja.

"Benar-benar, deh. Kenapa kamu gak bilang-bilang kalau tertarik sama Remi?" kata Fajar berdecak sembari menggelengkan kepala. Dia bangkit berdiri, sebelum melangkah keluar bersama sang istri untuk mengantar Suci dan anaknya keluar.

Setelah Fajar tak terlihat lagi, Bumi menggaduh saat mendapat tendangan  dari Jupiter. 

"Bagus, Bumi. Siapa bilang kamu boleh berkata begitu?"

"Maaf, Mas. Aku gak sengaja." Bumi mengangkat tangan, menyerah dan tak ingin kembali mendapat tendangan. Tetapi bukan Jupiter namanya jika dia berhenti begitu Bumi meminta maaf. Lagi-lagi dia menendang Bumi sampai ibunya menghentikan keributan mereka berdua.

Jupiter berdecak, dia kembali duduk di sofa sembari menatap Bumi tajam 

Bumi yang mengusap bekas tendangan saudaranya ikut duduk, jauh dari jangkauan Jupiter.

"Jadi, kenapa kamu bisa melamar Remi? Sejak kapan kamu tertarik padanya. Ibu ingin tahu."

Menoleh, Bumi lagi-lagi tidak mampu menjawab cepat pertanyaan ibunya. Dia mengaruk belakang kepala sebelum mulai bercerita. Menambah sedikit kebohongan agar terlihat manis dan meyakinkan. Bumi meringis saat Ibunya tampak bahagia, lalu saat mengalihkan pandang, dia beradu tatap dengan Jupiter.

Bumi segera mengalihkan tatapan. Dia merasa ditelanjangi, tidak mungkin kan saudaranya itu tahu jika dia mengarang cerita.  

"Ya, akhirnya gitu, Bu. Aku disuruh memberi tahu kalian jika ingin cepat mendapat kepastian."

Anggukan dan senyum Ibunya membuat Bumi merasa sangat bersalah. Namun, dia cepat-cepat tersenyum lebar demi menghindari kecurigaan dari Jupiter yang masih terus menatapnya tajam.
Ada apa dengan saudaranya itu? Mungkinkah dia tertarik pada Remi? Apa lagi dia tidak terlihat senang, tak seperti yang lainnya.

Namun, itu tidak mungkin. Jika tertarik pada Remi, Jupiter tidak akan menikah dengan orang lain

Yakin dengan pemikirannya, Bumi memilih undur diri. Dia ingin membersihkan diri dan segera beristirahat dengan tenang.

"Besok cepat bangun, ya, Nak. Kita cari pakaian dan barang bawaan untuk ke rumah Remi."

                              *****

Pagi-pagi sekali Remi sudah bangun. Tetapi dia memilih tetap berbaring di ranjang. Memperhatikan Radi yang terlelap damai. Remi meletakan tangan di pipi Radi, mengelusnya pelan dengan banyak kasih sayang.

Ah, Remi penasaran dengan masalahnya semalam. Dia sangat berharap itu sudah selesai. Kemarin malam Remi benar-benar tidak bisa kembali ke dapan karena tangisan Radi terlalu hebat. Anaknya ini kaget saat membuka mata, tidak ada satu pun orang di dekatnya.

Radi bilang dia sudah berusaha memanggil, tetapi tidak ada sahutan. Jadi dia memilih menangis karena takut dibuang di tempat asing. Rumah Omanya sendiri pun bisa jadi tempat asing untuk Radi jika tidak ada seorang pun di sekitarnya.

Remi memaklumi, jadi dia lebih memilih menenangkan Radi dan mengajak anaknya naik ke lantai atas. Dia akan menidurkan Radi dengan cepat sebelum meminta pembantu untuk menemaninya sebentar. Tetapi Radi yang sulit tidur membuat Remi tertahan lebih lama, saat hendak keluar mobil Bumi sudah keluar dari pagar dan dia tidak bisa melihat  dengan jelas wajah-wajah bahagia Ibu, ayahnya.

Jadi Remi memilih tetap di kamar, dia tetap terdiam meski ketukan beberapa kali terdengar. Sebelum kembali sunyi karena mengira dia sudah terlelap. Remi jadi tidak ingin keluar, suara ibunya cerah dan tampak bahagia. Remi jadi takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Sekarang Remi benar-benar penasaran, apa saja yang telah dilakukan Bumi sampai bisa membuat kesalahpahaman ini semakin menjadi. Tanpa mendengar langsung dari keluarganya, Remi yakin masalah sudah menyapanya dengan kegirangan.

Remi mendesah panjang sebelum bangkit dan melangkah ke sudut kamar. Karena bangun terlalu pagi, dia sangat malas turun ke bawah. Jadi, dia memilih mulai menyusun sisa pakaian dan mainan Radi ke tempatnya.

Satu jam lamanya Remi menyusun semua itu, sebelum kembali ke ranjang dan memperhatikan Radi yang  terlelap sangat damai. Tampaknya Radi begitu kelelahan sampai-sampai tak bisa bangun jika tak siang.

Karena sudah tidak memiliki pekerjaan, Remi kembali merebahkan diri di samping Radi. Apalagi saat pintunya tidak ada yang mengetuk dan meminta segera bangun. Ah, mungkin saja keluarganya mengira dia terlalu kelelahan, jadi mereka tidak berniat menggagu.

Remi bersyukur sih, tetapi menatap Radi yang terlelap lama-lama dia jadi ikut mengantuk dan jatuh tertidur beberapa menit kemudian. Remi baru kembali membuka mata saat tepukan dan panggilan di dekatnya terdengar.

"Mami bangun. Sudah siang, matahalinya sudah sangat tinggi," kata Radi terus menepuk pipi ibunya sembari menatap jendela yang sudah terbuka sedikit. Memperlihatkan sinar matahari pagi.

Bangun terduduk, Remi mengusap kepala Radi. "Terima kasih sudah membangunkan, Mami."  Remi melirik jam, sudah setengah delapan, dia sepertinya harus cepat-cepat turun dan memberi Radi sarapan. "Sayang, ayo kita mandi," kata Remi turun dari ranjang dan segera mengendong Radi saat anak itu memintanya.

Tepat pukul delapan, Remi sudah tiba di lantai bawah. Dia mencari ibu dan ayahnya, tetapi tidak ada di mana-mana. Sudah mengetuk pintu kamar juga tetap tidak ada sahutan. Mencari adik-adiknya juga tidak ada, entah ke mana mereka semua pergi.

Karena tetap tidak menemukan semua penghuni rumah, Remi memutuskan langsung pergi ke meja makan. Sarapannya dan Radi masih berada di sana. Tanpa membuang waktu Remi segera membantu Radi duduk untuk mengisi perut. Baru saja Remi meletakan piring di hadapan Radi dan meminta anak itu berdoa, dia dikejutkan dengan suara dari belakang. Ternyata Raka yang datang sembari meneingis dan mengelus perut.

"Ibu sama Ayah ke mana, Ka?" tanya Remi melihat adik lelakinya melangkah ke laci di sudut ruangan dan mulai dan membukanya.

"Pergi, tapi gak tahu ke mana. Lupa aku, Kak." Raka meringis, dia memegangi perut yang semakin melilit.  

"Sakit kamu, Ka?" Remi bertanya sembari melangkah mendekat. Dia memegangi lengan Raka, menuntun agar adiknya duduk di meja makan sebelum berbalik dan mengambilkan beberapa merek obat sakit perut.

"Om Laka sakit pelut, ya?" tanya Radi memperhatikan Omnya yang tampak begitu kesakitan.

Raka memaksakan senyum, agar keponakannya tidak khawatir tetapi dia tetap mengangguk pelan saat rasa sakit semakin tak tertahankan. Sepertinya dia ingin buang air besar lagi, dan Raka benar-benar berlari ke kamar mandi yang beberapa langka saja.

Beberapa menit kemudian, Raka kembali ke meja makan. Dia harus minum obat secepatnya sebelum rasa sakit kembali datang.

"Om Laka ini obatnya," kata Radi menunjuk obat dan segelas air hangat yang berada di atas meja pada Raka.

Raka mengucapkan terima kasih, dia duduk di sisi Radi dan segera meminum obatnya.

"Makannya Om Laka, jangan pelnah telat makan. Jadi sakit pelut, kan? Kalau Om Laka demam dan sakit kepala juga, nanti Om Laka halus ke doktel."

Raka meringis, dia sakit perut bukan karena terlambat makan. Tetapi lebih ke kebanyakan dan asal pilih makanan. Tetapi dia tidak akan pernah mengatakan hal itu pada Radi yang tengah memberinya wejangan tentang betapa penting kesehatan.

"Iya. Om tidak akan telat makan lagi," kata Raka tersenyum senang. "Ehh tapi Mami Radi ke mana?"

"Ada apa cari aku, Ka?" tanya Remi yang kembali memasuki ruang makan .

"Tadi sebelum pergi Ibu berpesan supaya Kakak mulai siap-siap sekarang," kata Raka begitu teringat apa yang dikatakan ibunya sebelum pergi berbelanja. Setelah rasa sakit diperut berkurang, dia langsung ingat ke mana Ibu dan Arkan pergi.

"Siap-siap buat apa?" tanya Remi bingung.

"Buat acara lamaran resmi, lah. Keluarga Bang Bumi entar sore datang," kata Raka tanpa menatap mata Remi. Fokusnya kini malah pada Radi yang tengah membaca kotak obat yang diminumnya tadi dengan lancar.

"Gak mungkin," kata Remi dengan kepala menggeleng pelan.

Akan tetapi Raka benar-benar mengabaikan, adiknya itu kini malah mengajak Radi mengobrol. Mereka berencana ke toko buku sesegera mungkin untuk membeli beberapa buku bacaan yang cocok untuk Radi.

"Kamu sedang bercanda kan, Kak?" tanya Remi. Namun, tetap tidak mendapat jawaban. Raka benar-benar mengabaikan kepanikan kakak perempuannya.







Baru satu hari aku terbebas dari hutang, udah ada hutang up lagi. Kerjaan yang ditunda-tunda ya begini.

Tinggal up aja harus nunggu malam hari, ehh gak tahunya mati lampu, ada petir dan geluduk pula.

Ya udah, Karena gak boleh main hp. Tak tinggal tidur, ehh malah keblabasan 🤭🤭

Jadi intinya hari ini kita bakal up tiga part lagi.

Vote dan komen yang banyak-banyak ya 😘🤭🤭

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 9.8K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
840K 80.2K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
361K 28K 59
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
3.7M 54.4K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...